Abstract
General Background: Feminism education is crucial for fostering mutual respect and understanding of gender differences, emphasizing the social identity of archipelago feminism. This approach embraces the values of womanhood rooted in Indonesian culture and customs. Specific Background: The book "Sarinah" by President Sukarno offers a foundational perspective for exploring the historical and cultural significance of feminism education in Indonesia. Knowledge Gap: Despite analyses of "Sarinah" focusing on feminist values and Marxist literary criticism, research on the specific educational arena of feminism in Indonesia is limited. Aims: This study aims to analyze the Indonesian feminism education arena as presented in "Sarinah," using a qualitative methodology, including literature review and event interpretation. Results: The analysis identifies four key aspects: the third phase of civilization evolution, the role of intelligence, motivations of Indonesian feminism, and external influences such as society, family, and education systems. Novelty: The study highlights the distinctiveness of feminism education in Indonesia by focusing on local cultural values. Implications: The research emphasizes integrating cultural and traditional values in feminism education to promote gender equality. It calls for empowering women, recognizing their equal capabilities to men, and eliminating discrimination based on gender, class, or ethnicity.
Highlights:
-
Cultural Relevance: Emphasizes aligning feminism education with Indonesian cultural values.
-
Key Factors: Identifies intelligence, motivation, and societal influences in the education arena.
-
Empowerment: Highlights the need to empower women and address barriers to gender equality.
Keywords: Pendidikan Feminisme, Arena, Adat, Budaya Nusantara
Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses meraih pengetahuan, keterampilan, dan pembiasaan postif, disusun sistematis, bertujuan mengembangkan potensi akademik atau spiritual siswa, sesuai UU Nomor 20 tahun 2003. Pesantren diakui sebagai penyelenggara pendidikan formal, sesuai undang-UU Nomor 18 Tahun 2019, turut terlibat membina santri melalui integrasi ilmu agama dan ilmu pendidikan umum [1]. Lembaga sekolah berperan aktif mengajarkan pendidikan berbasis budaya [2]. Proses pendidikan berbasis muatan budaya lokal sangat diharapkan berkembang dan memperkuat potensi siswa, baik dalam pendidikan formal atau pesantren.
Proses pembelajaran memicu hubungan sosial peserta didik, interaksi dengan lingkungan melibatkan pemahaman pengetahuan mereka [3]. Praktik pendidikan terbuka terkait kolaborasi, pertukaran informasi dan pemberdayaan, pemikiran penting tenaga pendidik dengan fokus persamaan siswa, dengan paradigma dialog interaktif memicu kreatifitas ide dan gagasan seseorang [4]. Hubungan baik antar individu di dalam lembaga sekolah memengaruhi capaian pembelajaran [5]. Salah satu pendekatan terbaik mendidik masyarakat/komunitas dengan membina relasi positif, serta dialog aktif melibatkan masyarakat sesuai dengan kultur mereka dan dilakukan konsisten, sehingga masyarakat terlibat aktif karena merasa dihargai, akhirnya berani menyampaikan pendapat.
Perilaku stereotip laki-laki relatif eksis di lingkungan masyarakat yang underestimate terhadap gerakan feminisme yang bertujuan mencapai kesetaraan gender [6]. Social Identity termasuk pengenalan masyarakat, yakni penjelasan identitas lengkap, diperoleh atas keanggotaan suatu social category (nationality, gender, race, authority, sport tim, temporary and short group memberships [7]. Memahami pendidikan feminisme akan memicu rasa menghormati dan menghargai perbedaan laki dan perempuan. Memahami peran arena dalam pendidikan feminisme terkait dengan konstruksi Indonesian feminism social identity, yakni memercayai dan memeraktikkan nilai perempuan sesuai adat dan budaya Indonesia.
Pada tahun 1984, pemerintah telah meratifikasi UU nomor 7 (konvensi penghapusan semua bentuk ketidakadilan terhadap wanita) [8]. Dalam pelaksanaan pembangunan, nilai feminisme penting dielaborasi karena terkait identitas nasional, pendidikan keseteraan laki-laki dan perempuan, hal itu disampaikan Presiden Sukarno sejak awal kemerdekaan.
Identitas sebagai produk pertemuan budaya lokal dan asing, interakasi yang tidak sesaat dan tidak sama [9]. Social identity merupakan aktifitas bersama menginvestigasi pengaruh proses terhadap dukungan aktif wujud aktifitas bersama, rasa keberhasilan bersama, tekanan sosial komunitas melalui aturan sosial, kebijakan yang dipengaruhi proses identitas sosial [10]. Arena pendidikan feminisme merupakan konsekuensi hubungan sosial dan gerakan kesadaran wanita global, tapi berbasis budaya (religius, ramah, dan santun) Indonesia.
Penting memahami konteks sejarah dan budaya, realitas universal pengutamaan wanita (fenomena sosial budaya) saat ini, termasuk bidang sastra dan studi terjemahan, yakni feminism identity [11]. Realitas tersebut memengaruhi gerakan feminisme Indonesia, salah satunya arena pendidikan feminisme dalam Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam PerdjoeanganRepublik Indonesia. Buku tersebut menjelaskan historiografi peradaban manusia prasejarah sampai Indonesia merdeka, tujuan feminisme diharapkan sesuai budaya lokal Indonesia. Hal ini bertujuan masyarakat memiliki pemahaman komprehensif pendidikan feminisme.
Seseorang menegosiasikan tempat dan peran di dalam interaksi sosial, berbagi nilai makna dan membentuk kebudayaan, interaksi unik berdialogis/relasional [12]. Pengembangan pembelajaran memicu komitmen pendidik mengembangkan metode diskusi terkait berpikir kreatif, kemampuan argumentasi, menerima kritik, dan pengembangan sikap sosial [13]. Proses pendidikan memungkinkan wanita mendominasi lebih 60 persen perguruan tinggi saat ini, berpeluang lulus saat melanjutkan ke universitas [14]. Sarinah menjelaskan analisis interaksi sosial pendidikan berbasis budaya lokal Indonesia, mengembangkan interaksi sosial setara pria dan wanita, relasi setara berdasarkan ajaran agama.
feminisme dalam peradaban kemanusiaan, tahap kesatu posisi rendah kaum perempuan, makhluk yang ditaklukan, menetap dalam gua bersama anak-anak serta manula, kaum pria menduduki posisi tinggi, mereka berburu binatang dan menjelajah lingkungan, sistem sosial belum dikenal, hidup komunal berpindah-pindah, [15]. Posisi perempuan di tahap kedua lebih tinggi dan pria lebih rendah, dipengaruhi pergeseran kebudayaan, mulai bertempat tinggal dan bertani, wanita mengenalkan sistem keturunan garis ibu dan bertani serta pionir budaya, fisik relatif besar, trengginas dan cekatan, pandai, pemberani, visioner [16]. Posisi perempuan berubah lagi pada tahap ketiga, lebih rendah daripada kaum pria, sudah dikenal sistem dan budaya bercocok tanam, peternakan, dan sistem perdagangan. Pada fase ini berlaku sistem hukum keturunan, patriarki, kesetiaan pernikahan [17].
Pertimbangan memilih tema Arena PendidikanFeminismeBerbasisBudayaLokaldalam buku Sarinah, pertama aspek koherensi pendidikan feminisme dengan kehidupan bangsa saat ini, yakni perbedaan motivasi memahami peran arena pembelajaran feminisme negara-negara Barat dan Indonesia. Feminisme memahami laki-laki dan perempuan memiliki hak sama sejak lahir, mereka memiliki hak akses sama dalam semua hal, termasuk kesetaraan pendidikan [18].
Kedua manfaat pendidikan feminisme dalam pembangunan, melibatkan peran perempuan lebih besar dan memiliki peran dan kesempatan sama dengan pria. Hasil gerakan feminisme universal saat ini, perempuan berkesempatan sama dalam pendidikan dan politik, keadilan sosial, dan kebebasan [19]. Penelitian ilmu sosial menunjukkan interaksi dengan anak kandung perempuan menjadi katalisator efektif menanamkan dan meningkatkan perilaku, preferensi, dan nilai sosial orang tua [20]. Interaksi aktif keluarga sejak dini dengan anak perempuan, berperan positif terhadap kepercayaan diri saat mereka dewasa, bahwa mereka setara dengan kaum pria.
Peneliti menganalisis berbagai studi tentang Sarinah: Kesatu, RelevansiPemikiran Ir. Soekarno Terhadap Pendidikan Islam [21]. Kedua IdentitasFeminisme Indonesia Dalam Buku Sarinah [22]. Ketiga, Sosok Perempuan dalamPandangan Bung Karno pada Memoar Sarinah: Sebuah Analisis Wacana Kritis Feminis [23].Keempat Nilai Pendidikan Feminisme Indonesia dalamBuku Sarinah [24]. Kelima Perjuangan Perempuan Dalam Sarinah Karya Soekarno: Kajian Kritik Sastra FeminismeMarxis [25].
Sarinah telah dianalisis dari aspek nilai pendidikan feminisme Indonesia, kritik sastra feminis marxis, relevansi dalam pendidikan Islam, wacana kritis feminis, serta identitas sosial feminisme. Belum ditemukan analisis peran arena pendidikanfeminisme di Indonesia, tema tersebutberbedadengan penelitian sebelumnya utamnya pada penggunaan teori, sedangkan persamaan dengan penelitian sebelumnya yaitu penggunaan metode kualitatif. Tujuan penelitian menganalisis peran arena edukasi feminisme di Indonesia dalam buku Sarinah. Manfaat penelitian: 1. Pembaca diharapkan memahami peran arena pendidikan feminisme indonesia menurut buku Sarinah. 2. Pembaca diharapkan bijaksana dan obyektif memahami peran arena pendidikan feminisme Indonesia menurut buku Sarinah.
Arena/fields merupakan konteks sosial khusus praksis sosial seseorang berhubungan dengan lingkungan, suatu posisi “ruang terstruktur” dalam komunitas, posisi dan hubungan sosial dijelaskan dalam alur distribusi berbagai sumber kapital/modal , meliputi modal budaya, ekonomi, simbolik, sosial, dll [26]. Konteks sosial tersebut menjadi bidang ‘perjuangan’ menyebabkan seseorang menjaga atau mengabaikan alur kapital/modal tersebut. Konteks sosial/fields pendidikan feminisme Indonesia menjadi wilayah ‘pertempuran’ kebudayaan suatu masyarakat dengan sebagian besar berlatar belakang ekonomi relatif marjinal.
Tindakan praksis individu tidak sepenuhnya objektif, dan bukan suatu hasil keinginan pribadi, praksis sosial merupakan refleksi interaksi/dialektika konstruksi struktur sosial di sekitarnya. Dialektika praksis sosial ini disebut struktural konstruktifis, konstruktifisme strukturalis, atau strukturalisme genetis [27].
Strukturalisme genetik menjelaskan analisis struktur obyektif seseorang dipengaruhi latar belakang struktur mental, pengetahuan dan sikap mental, serta struktur sosial masyarakat, yakni realitas sosial dan kecerdasan mereka. Kecerdasan dan sikap mental menjadi bagian kehidupan masyarakat, perkembangan sain dan pola pikir selaras kepentingan dan kebutuhan. Arena atau fields seseorang berpengaruh signifikan terhadap pemikirannya. Arena/fields berada di luar pemikiran individu dan memengaruhi pemikiran nya. Fokus Bourdieu menghubungkan fenomena subjektivisme serta konstruksi objektivisme dalam praksis kehidupan masyarakat.
Konsep Habitus dan Arena berkelindan, Habitus adalah konstruksi pemikiran, mengendalikan pola hubungan dengan dunia sosial, terjadi secara historis pada beberapa bidang khusus misal arena sastra, seni, politik, agama, dll. Fokus penelitian ini pada aspek arena, sehingga konsep habitus dalam buku Sarinah tidak dianalisis. Seorang individu hakikatnya telah dilengkapi serangkaian skema terinternalisasi yang digunakan memahami dan mengevaluasi lingkungan sekitarnya, skema tersebut menghasilkan praktik sosial, persepsi dan mengevaluasinya. Habitus masyarakat adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia sosial/arena, dialektika, karena keberadaan kedudukan di dunia sosial/arena dalam tempoh lama dan kontinyu.
Metode
Metode penelitian Peran Arena Pendidikan Feminisme Indonesia bersifat kualitatif, berdasarkan pengamatan, baik dalam wilayah maupun peristilahannya, yang bermaksud secara komprehensi mengerti fenomena pada subyek riset, mendeskripsikan dalam format kalimat pada suatu konteks spesifik alamiah serta menggunakan berbagai metode alamiah. Prosedur implementasi penelitian ini meliputi fokus pada satu atau dua individu, mengumpulkan data melalui mengumpulkan cerita mereka, laporan pengalaman individu, dan menyingkat makna pengalaman.
Paradigma merupakan teknik elaborasi ilmiah memungkinkan pertanyaan penelitian terjawab dengan baik. Penggunan studi kualitatif deskriptif dalam riset ini agar mendapat pemahaman komprehensif, bertujuan memahami arena pendidikan feminisme dalam Sarinah, melalui kajian literatur serta pemaknaan kejadian. Sebagai human instrument, peneliti menetapkan fokus riset, memutuskan informan sumber data riset, mengumpulkan data riset, analisis kualitas data riset, analisis kritis data, interpretasi data riset, serta menyimpulkan. Tahapan riset itu selaras penegasan Creswell, yakni qualitative researcher memahami komprehensif fenomena sosial sebagai kesatuan, media elaborasi dan mengerti nilai individu atau masyarakat, menganalisis induktif sejumlah data penelitian serta wawancara untuk memeroleh data riset.
Analisis studi kepustakaan terhadap Buku Sarinah ini, meliputi: Analisis sejumlah data utama /primer terhadap buku karya Presiden Sukarno tersebut, terdiri lima bab dan 329 halaman, terbitan ketiga dan dicetak oleh PanityaPenerbitBuku-BukuKaranganPresiden Soekarno pada 1963. Sejumlah data pendukung/sekunder yang terkait objek kajian penelitian, mendukung keabsahan analisis objek, meliputi sumber data umum (koran, artikel ilmiah, buku, majalah, notulen rapat, laporan resmi), dan sumber data pribadi (catatan: harian, pribadi, surat elektronik).
Analisis permasalahan dilakukan dengan mengelaborasi data sesuai dengan buku, menganalisis menurut pendekatan Bourdieu terkait Bahasa dan KekuatanSimbolik dan menjawab rumusan masalah penelitian. Kajian pustaka kuantitatif dan kualitatif sistematis, menjadi instrumen utama penyimpulan suatu penelitian. Elaborasi data penelitian melalui langkah : 1. Mendeskripsikan berbagai sitasi teks yang terkait arena edukasi Feminisme di dalam Buku Sarinah, 2. Menganalisis berbagai kutipan terkait peran arena dalam pendidikan feminisme Indonesia menggunakan pendekatan Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power .
Hasil dan Pembahasan
A. Arena Pendidikan Feminisme dalam Sarinah
Memahami arena pendidikan feminisme Indonesia merupakan aspek menarik dianalisis, karena berperan signifikan mendukung proses pembangunan dan memiliki perbedaan dengan gerakan feminisme universal. Arena/fields merupakan konteks sosial khusus, bidang tindakan praksis sosial yang memungkinkan interaksi individu. Arena merupakan posisi ruang terstruktur dalam masyarakat, dengan status dan hubungan individu dipengaruhi kepemilikan kapital/modal (simbolik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain).
Terdapat empat penjelasan arena pendidikan feminisme dalam Sarinah: kesatu berada di fase ketiga perubahan peradaban, kedua yakni aspek arena inteligensia, ketiga terkait arena motivasi pendidikan feminisme, keempat terkait arena pengaruh faktor eksternal individu.
Arena pertama pendidikan feminisme Indonesia berada tahap ketiga perubahan peradaban, berikut ini sitasi tersebut ”Datanglah phase (tingkat) ketiga didalam sedjarah-perikemanusiaan itu, jang menggugurkan lagi kaum perempuan dari singgasananja”. Fase evolusi ketiga ini, kaum hawa berada pada status di bawah pria, terjadi revolusi kedudukan sosial masyarakat, yang memengaruhi pergeseran gaya hidup karena mulai mengenal budaya bercocok tanam dan sistem patriarki. Pada fase ketiga, perempuan memahami kekurangan gerakan feminisme dan neo-feminisme, dan berharap menemukan solusi di dalam perspektif feminisme baru, yakni feminisme berkesejahteraan sosial/revolusi sosialisme.
Kehidupan manusia pada fase ketiga evolusi ini sudah mengenal sistem pertanian sederhana, budi daya peternakan, dan transaksi barter sistem perdagangan, berdagang produk pertanian dan hewan hasil peternakan mereka. Terdapat tawanan yang menjadi budak dan wajib bercocok tanam dan berternak. Fase ini mulai memberlakukan asas keturunan, loyalitas pasangan terhadap pernikahan, serta asas patriarki. Wanita dibatasi dan berubah fungsi menjadi “benda kepemilikan”, dan mutlak mengabdi sepenuhnya terhadap suami. Keluarga, suami, dan rumah menjadi pusat pengabdian, kaum ibu tersebut menduduki tingkatan kedua dalam struktur sosial, proses perubahan evolusi tersebut berjalan ratusan tahun.
Arena kedua pendidikan feminisme Indonesia, yakni aspek inteligensia. Perempuan memiliki aspek inteligensia atau kecerdasan otak yang relatif sama dengan pria, kecerdasan otak laki-laki dan perempuan secara ilmiah tidak berbeda, hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam kutipan berikut ini “ tapi itu tidak mendjadi bukti bahwa dus kwaliteit otak perempuan itu kurang dari kwaliteit otak laki-laki. Kwaliteitnja sama, ketadjamannja sama, kemampuannja sama, hanja kesempatan bekerdjanja jang tidak sama”
Sitasi teks di atas menegaskan intelegensia otak perempuan yang memiliki kualifikasi sama dengan intelegensia otak pria. Perempuan diciptakan Tuhan tidak berbeda dengan pria, namun tidak memiliki kesempatan sama untuk mengekspresikan keterampilan, maka kaum wanita relatif inferior daripada laki-laki. Kapasitas otak wanita dan laki-laki relatif sama, sehingga prestasi akademis wanita kadang mampu mengungguli laki-laki. Tubuh perempuan relatif tidak berbeda dengan pria, kadang fisik mereka lebih kuat pada beberapa hal.
Arena ketiga terkait motif pendidikan feminisme di Indonesia, yang berbeda dengan pergerakan di Eropa, sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut “ peladjarilah lebih dulu dalam-dalam pergerakan-pergerakan perempuan di Eropah, sebelum kita mengoper sadja segala tjita-tjitanja dan sepak terdjangnja!”
Sitasi tersebut menegaskan arena motivasi memelajari feminisme. Semua pihak seyogyanya dapat memetik hikmah atas perkembangan feminisme di Eropa, berhati-hati, tidak konservatif, dan berwawasan luas. Wanita Indonesia diharapkan dapat memaknai pergerakan feminisme universal, mampu memetik nilai perjuangan positif serta meninggalkan nilai negatif. Bijaksana dapat dipahami belum semua perempuan bahagia dengan hasil feminisme, masih muncul banyak pertanyaan terkait apakah sesungguhnya tujuan feminisme universal.
Arena keempat pendidikan feminisme Indonesia, sangat dipengaruhi berbagai aspek eksternal individu. Berikut ini merupakan kutipan beberapa aspek tersebut:
1. Keluarga /Orang Tua
Terdapat kutipan teks yang menjelaskan adanya peran arena keluarga/orang tua terkait pendidikan feminisme Indonesia.
“ maka senantiasa kaum jang mengurung perempuannja itu mengasih alasan, bahwa mereka menutup istri-istrinja dan putri-putrinja itu ialah untuk memelihara mereka, untuk mengenakkan hidup mereka, untuk memuliakan hidup mereka. Ja…”memuliakan” mereka…tetapi “memuliakan” mereka dengan memperlakukan mereka sebagai blasteran dewi-dan-si tolol! [28].
Kutipan di atas menjelaskan peran arena keluarga/orang tua terhadap pendidikan feminisme. Disampaikan tentang perlakuan perempuan sebagaimana contoh kutipan di atas merupakan sikap kurang tepat, orang tua/keluarga seharusnya memberikan kemerdekaan kepada perempuan untuk bebas: mengekspresikan diri, memutuskan sekolah yang sesuai, memutuskan bersikap, serta pilihan pekerjaan. Penting untuk diingat, kebebasan sesuai norma dan adat setempat adalah utama, agar perempuan tidak merasa rendah diri, lemah, serta tidak pandai. Pada masa penjajahan, wanita sangat sulit mendapat kesempatan belajar, oleh pandangan masyarakat saat itu dianggap tidak penting, hanya kaum pria yang boleh belajar sampai perguruan tinggi. Pembelajaran dan Pendidikan feminisme Indonesia terkait erat dengan peran keluarga, sebagai guru pertama dan berperan memastikan kesuksesan tujuan pendidikan feminisme .
2. Sekolah /Guru
Guru turut menentukan capaian tujuan pendidikan feminisme, karena mampu mengoptimalkan kecerdasan siswa, karena itu peran guru sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan feminisme. Pendidik akan mengajarkan nilai-nilai pembelajaran terkait feminisme, menggunakan metode dan contoh pembelajaran terbaik, peran pendidik ini belum bisa digantikan oleh siapa saja saat ini.
Ironi terjadi dengan realitas saat masa kolonialisme, sekolah justru berfungsi mereproduksi praktik diskriminasi celah kesenjangan wanita dan pria, wanita pada masa itu dilarang untuk sekolah. Hak mendapatkan pendidikan eksklusif hanya dimiliki kaum pria, wanita dianggap sebagai pelengkap dalam rumah tangga dan negara, sehingga tidak perlu sekolah tinggi. Peran Sekolah/guru sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut “lambat laun putri-putri itu diizinkan masuk sekolahan- sekolahan dan madrasah- madrasah, masuk kantor-kantor dan perusahaan- perusahaan, mendjadi guru, dokter, insinjur, adpokat” [29].
3. Masyarakat/ Lingkungan Sekitar
Sitasi yang menjelaskan arena masyarakat/lingkungan sekitar terkait pendidikan feminisme Indonesia: 1. “ dan oleh karena soal perempuan adalah soal masjarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanja dengan masjarakat, soal laki-laki-perempuan adalah sama tuanja dengan kemanusiaan”. 2. “Kita musti mentjari ichtiar memerdekakan kaum perempuan itu dengan basis masjarakat sekarang, atau dengan basis masjarakat jang akan datang” [30].
Sitasi tersebut menegaskan arena lingkungan berperan signifikan, serta memengaruhi keberhasilan tujuan pendidikan feminisme, lingkungan sosial memengaruhi kepekaan sosial perempuan. Berinteraksi positif dengan alam dan lingkungan sekitar, akan memperkaya materi dan nilai-nilai pengalaman hidup, yakni nilai budaya, etika, dan moralitas. Realitas lingkungan sekitar memengaruhi batin dan psikis perempuan, sehingga akan menjadi pribadi lemah atau kuat. Berbagai pengalaman tersebut turut membentuk karakter dan kepribadiannya.
B. Peran Arena Pendidikan Feminisme Indonesia
Arena pendidikan feminisme nusantara merupakan dialektika interaksi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Barat, sehingga signifikan untuk mengerti relasi sosial yang ada. Pendidikan melibatkan pemahaman perkembangan individu, interaksi antar individu, karena relasi sosial menjadi arena dan motor perkembangan budaya nusantara. Pendidikan feminisme Indonesia harus mengacu pada norma dan budaya asli nusantara, mengedepankan nilai kesantunan setiap daerah dengan dasar agama masing-masing individu. Norma dan budaya asli tersebut akan menjadi dasar perkembangan gerakan feminisme nusantara, karena gerakan feminisme di Indonesia bertujuan bersama-sama membantu pembangunan dan kehidupan bangsa tanpa dominasi salah satu pihak.
Pendidikan dalam Islam bersifat wajib dilaksanakan semua pihak sejak dini hingga usia senja, pendidikan merupakan salah satu cara laki-laki dan perempuan meraih persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan. Tidak boleh terjadi praktik diskriminasi sekecil apapun dalam segala aspek, hal ini karena Tuhan telah menciptakan manusia setara, bahkan dalam hadist nabi ditegaskan dinyatakan kedudukan dan fungsi penting seorang Ibu. Implementasi dalam kehidupan universal saat ini, belum semua negara menerapkan persamaan terhadap wanita dalam semua aspek, bahkan beberapa negara muslim cenderung membatasi dan menindas kebebasan kaum wanita. Di Iran, Afganistan, bahkan Arab Saudi sendiri baru mereformasi undang-undang yang memberi kebebasan terhadap wanita tersebut pada 2016. Saat ini relatif belum semua wanita mendapatkan hak kebebasaannya dalam aspek hukum, politik, ekonomi, dan lain-lain. Realitas tersebut menjadi motivasi pendidikan feminisme masih perlu diperjuangkan bersama.
Arena pendidikan feminisme Indonesia meliputi empat aspek: pada Tahap ketiga evolusi kemanusiaan, inteligensia, motivasi feminisme Indonesia, pengaruh eksternal individu: masyarakat/lingkungan, keluarga/orang tua, sekolah/guru. Keempat arena pendidikan feminisme tersebut saling terkait dan tidak terpisah, berdasarkan nilai dan budaya lokal nusantara, hal ini yang menjadi dasar pembeda dengan gerakan feminisme universal. Wanita sangat perlu diberdayakan, karena secara fisik dan inteligensia tidak berbeda dengan pria, dan sangat menunjang tugas pria dalam setiap aspek kehidupan. Sangat penting menumbuhkan semangat saling menghargai dan menghormati pria dan wanita, mengoptimalkan potensi masing-masing demi mencapai tujuan bersama.
Implementasi pendidikan feminisme Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, karena masih terdapat hambatan, baik dari aspek motivasi, agama, dan masyarakat. Dari perspektif Islam sendiri, masih ada pihak yang menilai fungsi wanita sebagai pelengkap rumah tangga, sehingga tidak perlu belajar sampai ke perguruan tinggi, padahal jelas dalam Islam bahwa rumah merupakan sekolah pertama anak, karena itu seorang Ibu dituntut menjadi guru yang baik bagi anak-anaknya. Dari aspek motivasi, wanita dianggap akan mengancam eksistensi pria jika memiliki kemampuan sama bahkan jika melampui. Dari aspek masyarakat, sebagian besar menilai wanita tugasnya hanya mengurus keluarga, menghamba kepada suami, sehinga terkesan tidak berdaya.
Menjadi tugas kita semua untuk terlibat mengubah realitas pandangan negatif tersebut, karena saat ini sudah banyak wanita yang berprestasi dan memiliki kemampuan jauh melebihi pria. Dengan kepercayaan dan rasa saling menghormati, pria dan wanita merupakan mitra sejajar, hal ini merupakan implementasi nilai universal karena Tuhan menciptakan semua manusia sama, hanya tingkat keimanan yang membedakan. Tujuan utama gerakan feminisme Indonesia mencapai persamaan semua wanita tanpa diskriminasi kelas sosial, agama, etnis, ideologi, dll, berdasarkan nilai adat dan budaya nusantara. Tujuan tersebut memuliakan nilai-nilai universal kemanusiaan, dan sesuai dengan semangat awal gerakan feminisme universal, yang dipicu oleh perlakuan diskriminasi dan marjinalisasi pria terhadap wanita. Penting untuk memahami keempat arena pendidikan feminisme Indonesia, agar semua pihak mengerti substansi masalah yang dihadapi, karena realitas saat ini masih terdapat praktik diskriminasi terhadap perempuan, anak, dan kelompok marjinal lainnya.
Sejarah nusantara menjelaskan praktik pemimpin wanita telah menjadi bagian integral kehidupan berbagai kerajaan tradisional, jauh sebelum lahir gerakan awal feminisme Barat, namun karena kolonialisme Eropa, jejak sejarah nusantara terkesan dikaburkan bahkan semangat perjuangan mereka dianggap negatif. Ratu Sima, Putri Mahendratta, Tri Buana Tungga Dewi, Putri Mahendratta, Cut Nyak Dien, Nyai Siti Walidah, Solichah Munawaroh Wahid Hasyim, dll merupakan sedikit nama yang telah menjadi saksi besarnya kiprah perjuangan wanita nusantara. Jika masa kolonialisme terjadi diskriminasi terstruktur dalam aspek pendidikan wanita, maka saat ini tidak boleh lagi terjadi praktik tersebut. Dua pilar utama Islam Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdhotul Ulama telah menjadi garda utama gerakan kebebasan dan kesetaraan feminisme Indonesia. Muhammadiyah melalui gerakan pendidikan moderat dan pelayanan kesehatan, Nahdhotul Ulama melalui kekuatan pendidikan pondok pesantren tradisional, keduanya telah berjasa melahirkan Indonesia sebagai negara kesatuan yang berdasarkan Pancasila, dengan nilai feminisme menjadi bagian implementasi nilai-nilai luhur dasar negara tersebut.
Simpulan
Arena pendidikan feminisme Indonesia meliputi empat aspek: pada Tahap ketiga evolusi kemanusiaan, inteligensia, motivasi feminisme Indonesia, pengaruh aspek eksternal individu: masyarakat/lingkungan, keluarga/orang tua, sekolah/guru. Implementasi pendidikan feminisme Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, karena masih terdapat hambatan, baik dari aspek motivasi, agama, dan masyarakat. Tujuan utama gerakan feminisme Indonesia mendapatkan kesejahteraan setiap perempuan tanpa batas agama, kelas, ideologi, etnis, berdasarkan nilai adat dan budaya nusantara. Sejarah nusantara menjelaskan praktik pemimpin wanita telah menjadi bagian integral kehidupan berbagai kerajaan tradisional, jauh sebelum lahir gerakan awal feminisme di Barat.
References
- A. Mustaqim and A. Khumairoh, "Relevansi Pemikiran Ir. Soekarno Terhadap Pendidikan Islam (Studi Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Buku Sarinah Karya Ir. Soekarno)," Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, vol. 2, pp. 1–22, 2019. doi: 10.14421/mjsi.
- V. Allert and G. Reese, "Social Identity Based Motivation to Engage in Collective Action Supporting the Redistribution of Street Space," Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, vol. 94, pp. 9–24, 2023. doi: 10.1016/J.TRF.2023.01.009.
- F. Apriliani, H. E. Anggraeni, I. Resmeiliana, and Y. V. Paramitadevi, "Edukasi PHBS dan Budaya 5R Pada Santri Putra di Pondok Pesantren Thoyyibah Al Islami Bogor," Jurnal Pusat Inovasi Masyarakat (PIM), vol. 5, no. 1, pp. 89–101, 2023. doi: 10.29244/JPIM.5.1.89-101.
- A. Arwan, M. Mahyuni, and N. Nuriadi, "Perjuangan Perempuan dalam Sarinah Karya Soekarno: Kajian Kritik Sastra Feminisme Marxis," Basastra, vol. 8, no. 2, pp. 154, 2019. doi: 10.24114/BSS.V8I2.14468.
- P. Bourdieu, Language and Symbolic Power, J. B. Thompson, Ed., 1st ed. Cambridge, UK: Polity Press, 1991.
- J. W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches, 3rd ed. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc., 2009. Available: https://www.ucg.ac.me/skladiste/blog_609332/objava_105202/fajlovi/Creswell.pdf.
- M. D. Douglass, M. Stirrat, M. A. Koehn, and R. S. Vaughan, "The Relationship Between the Dark Triad and Attitudes Towards Feminism," Personality and Individual Differences, vol. 200, art. no. 111889, 2023. doi: 10.1016/J.PAID.2022.111889.
- A. Dwi Saputra, F. N. Fauziah, and S. Suwandi, "Pemanfaatan Materi Ajar Bahasa Indonesia Bermuatan Kearifan Lokal di SMA Negeri 1 Karanganyar," Kembara: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, vol. 8, no. 2, pp. 335–348, 2022. doi: 10.22219/kembara.v8i2.21726.
- J. M. Ferreira, K. de S. Amorim, M. Mäkinen, and G. G. Moura, "The Network of Meanings and Educational Psychology: Theoretical and Practical Possibilities," Procedia - Social and Behavioral Sciences, vol. 217, pp. 501–511, 2016. doi: 10.1016/J.SBSPRO.2016.02.027.
- M. B. Harari, H. R. Parola, C. J. Hartwell, and A. Riegelman, "Literature Searches in Systematic Reviews and Meta-Analyses: A Review, Evaluation, and Recommendations," Journal of Vocational Behavior, vol. 118, art. no. 103377, 2020. doi: 10.1016/j.jvb.2020.103377.
- D. T. Ilaa, "Feminisme dan Kebebasan Perempuan Indonesia dalam Filosofi," Jurnal Filsafat Indonesia, vol. 4, no. 3, pp. 211–216, 2021. doi: 10.23887/jfi.v4i3.31115.
- I. Irshad and M. Yasmin, "Feminism and Literary Translation: A Systematic Review," Heliyon, vol. 8, no. 3, art. no. e09082, 2022. doi: 10.1016/j.heliyon.2022.e09082.
- L. Goldmann, "Sociology of Literary Creativity," P. Lengyel, Ed., International Social Science Journal Unesco, vol. 4, 1967. Available: https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000262132.
- A. S. Luhulima, Ed., Bahan Ajar tentang Hak Perempuan: UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, 1st ed. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
- P. Maulid, "Analisis Feminisme Liberal Terhadap Konsep Pendidikan Perempuan (Studi Komparatif antara Pemikiran Dewi Sartika dan Rahmah El-Yunusiyyah)," Jurnal Riset Agama, vol. 2, no. 2, pp. 305–334, 2022. doi: 10.15575/jra.v2i2.17534.
- L. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 40th ed. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2021.
- G. Mujianto and S. Sudjalil, "Pengelolaan Kelas pada Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan Bidang Studi Bahasa Indonesia di SMA Negeri 7 Malang," Kembara: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, vol. 6, no. 2, pp. 255–265, 2021. doi: 10.22219/kembara.v6i2.14057.
- A. R. Rashiva, Y. L. Subargo, and F. Baharuddin, "Implementasi MB-KM Melalui Metode Mengajar Bahasa Model Pembelajaran Student Center Learning di SMP Gema 45 Surabaya," Ghancaran: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, no. SE-Articles, pp. 252–265, 2022. doi: 10.19105/ghancaran.vi.7591.
- G. Ritzer and D. J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, 2016.
- W. M. Santoso, Ed., Ilmu Sosial di Indonesia. Perkembangan dan Tantangan, 1st ed. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016. Available: http://obor.or.id/ilmu-sosial-di-indonesia-perkembangan-dan-tantangan.
- R. E. Slavin, Educational Psychology: Theory and Practice, 12th ed. Baltimore, MD: Johns Hopkins University, 2018.
- Soekarno, Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, 1st ed. Jakarta: Panitya Penerbit Buku-buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.
- Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2017.
- N. Suwarta, "Nilai Pendidikan dan Identitas Sosial Calon Brahmana Dalam Novel Arok Dedes," Lingua Franca, vol. 6, pp. 190–198, 2022. doi: 10.30651/lf.v6i2.
- N. Suwarta, M. N. Arifin, E. D. Riantiarno, and A. Andriyanto, "Educational Value of Indonesian Feminism in Kitab Sarinah," Academia Open, vol. 7, no. Education, 2022. doi: 10.21070/acopen.7.2022.5930.
- N. Suwarta et al., "Identitas Feminisme Indonesia Dalam Buku Sarinah," Parafrase: Jurnal Kajian Kebahasaan & Kesastraan, vol. 23, no. 1, pp. 46–59, 2023. doi: 10.30996/PARAFRASE.V23I1.8564.
- Suyanto, "Sosok Perempuan dalam Pandangan Bung Karno pada Memoar Sarinah: Sebuah Analisis Wacana Kritis Feminis," NUSA, vol. 14, no. 3, pp. 283–292, 2019. doi: 10.14710/nusa.14.3.283-292.
- S. Tambak et al., "Discussion Method Accuracy in Islamic Higher Education: The Influence of Gender and Teaching Duration," Jurnal Cakrawala Pendidikan, vol. 41, no. 2, pp. 507–520, 2022. doi: 10.21831/cp.v41i2.40644.
- J. H. Turner, Pattern of Social Organization: A Survey of Social Institutions. New York: McGraw-Hill, Inc., 1972.
- X. Xu, C. Lin, and M. Wang, "Does Parenting Daughters Increase Corporate Cash Dividends? Evidence From Chinese Family Firms," Journal of Behavioral and Experimental Finance, vol. 41, art. no. 100892, 2024. doi: 10.1016/j.jbef.2024.100892.