Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Business and Economics
DOI: 10.21070/acopen.9.2024.8668

Revolutionizing Tax Compliance Through Attitudes and Knowledge Worldwide


Merevolusi Kepatuhan Pajak Melalui Sikap dan Pengetahuan di Seluruh Dunia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Tax compliance Attitudes Subjective norms Behavioral controls Tax knowledge

Abstract

This study investigates the factors influencing individual taxpayer compliance at the South Sidoarjo Pratama Tax Office in Indonesia. Utilizing data from 75 respondents collected through questionnaires, the research examines the impact of attitudes, subjective norms, behavioral controls, and tax knowledge on compliance. Results indicate that attitudes and tax knowledge significantly influence compliance, while subjective norms and behavioral controls show no significant effect. These findings underscore the importance of fostering positive attitudes and enhancing tax knowledge to improve compliance among individual taxpayers. However, strategies targeting subjective norms and behavioral controls may require further exploration. Policymakers can utilize these insights to tailor interventions aimed at enhancing tax compliance, particularly in local tax offices like the South Sidoarjo Pratama Tax Office.

 

Highlight: 

Attitudes Drive Compliance: Positive perceptions significantly influence individual taxpayer compliance.

Knowledge Enhances Compliance: Understanding tax regulations fosters better compliance.

Policy Tailoring for Compliance: Insights aid policymakers in designing effective compliance strategies.

 

 

Keyword:  Tax compliance, Attitudes, Subjective norms, Behavioral controls, Tax knowledge

Pendahuluan

Pendidikan pada abad 21 bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan siswa dalam belajar sehingga memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang ada disekitarnya. Karena hal ini sangat berdampak antara lain pada tingkat depresi yang tinggi disamping tersedianya peluang bagi yang memiliki kompetensi hidup, serta memiliki multiliterasi yang menguatkan kapasitas fisik, mental, serta intelektual peserta didik. Kecerdasan dunia nyata bukan hanya pemahaman, tetapi kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi di lingkungan dengan cara yang bermakna, relevan, dan kontekstual. Pembelajaran kontekstual, kemampuan siswa dalam melatih berpikir kritis, penguasaan teknologi, kemampuan berfikir Kreatif dan kolaborasi sangat penting untuk pemecahan masalah. Pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA) adalah suatu upaya atau proses untuk mengajarkan siswa memahami hakikat sains yang meliputi: produk, proses, dan pengembangan sikap ilmiah dan persepsi tentang nilai-nilai yang ada di masyarakat untuk mengembangkan sikap dan tindakan. dalam bentuk aplikasi ilmiah aktif. Tujuan pendidikan sains/sains meliputi: pengetahuan dan pemahaman, eksplorasi dan penemuan, imajinasi dan kreativitas, sikap ilmiah dan aplikasi.

Menurut Neuman Berpikir kreatif merupakan cara untuk membangkitkan informasi baru dan menghasilkan ide-ide maupun gagasan akhir yang baru yang mungkin belum pernah mereka jumpai. Berpikir kreatif ini ditandai oleh empat sub keterampilan yaitu fluency (keluwesan), flexibility (fleksibel/ide atau objek yang beradaptasi tinggi), originality (ide atau objek yang baru, tidak biasa, atau luar biasa), dan elaboration (ide atau objek yang komplek, dirinci, dan beradab). Kunci kreativitas adalah kemampuan mengevaluasi masalah dari berbagai sudut sehingga menjadi solusi yang lebih baik. Menurut Silver dan Ervynck, pemecahan masalah dengan cara yang berbeda merupakan alat untuk mengevaluasi dan mengembangkan kreativitas dan estetika matematika. Dalam pemecahan masalah, setiap orang memiliki cara dan kemampuan yang berbeda karena tidak semua orang memiliki kemampuan berpikir yang sama. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah kecerdasan.

Keterampilan berfikir kreatif di latih dengan harapan siswa dapat memunculkan berbagai solusi dari masalah atau pertanyaan dan menggunakan pemikiran kreatifnya untuk menghasilkan solusi dari masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Filsaime, berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang diharapkan untuk menangani masalah, melacak pemikiran, dan membuat hal-hal baru selama latihan pembelajaran. Keterampilan ini tercermin dalam kemampuan seseorang untuk berpikir dan berinteraksi dengan lancar, dengan fleksibilitas, dan orisinalitas mereka. Dalam dunia pendidikan, berpikir kreatif sangat penting, terutama dalam pendidikan sains. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang mencoba membuat hubungan alamiah antara ide-ide matematis, jadi IPA merupakan penemuan dari benda atau fakta yang sudah ada. Dalam hal ini siswa akan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari di kelas pada mata pelajaran IPA dalam masalah dunia nyata dan memperoleh pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikannya.

Siswono mengungkapkan bahwa Tingkat Kemampuan Berpikir Imajinatif (TKBK) khususnya Tingkat 4 (sangat kreatif): siswa dapat menunjukkan keakraban, kemampuan beradaptasi, dan keanehan atau rasa ingin tahu dan kemampuan beradaptasi dalam menangani masalah, Tingkat 3 (kreatif): Tingkat 2 (cukup kreatif) siswa dapat memecahkan masalah dengan lancar dan kebaruan atau dengan lancar dan luwes: siswa Tingkat 1 (kurang kreatif) dapat memecahkan masalah dengan cara yang baru atau luwes; Siswa tingkat 0 (tidak kreatif) dapat menyelesaikan masalah dengan lancar; dan siswa Tingkat 1 (tidak kreatif) tidak dapat menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif. Siswa diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya jika kemampuan kreatifnya sudah meningkat. Guru harus dapat mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan kreatif dan memberi mereka kesempatan untuk kegiatan kreatif. Guru harus meningkatkan sarana dan prasarana yang diperlukan. Memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan diri secara kreatif tanpa merugikan orang lain atau lingkungan adalah hal yang dapat dilakukan. Untuk menunjukkan imajinasi, pendidik harus imajinatif dalam mengatur cara mengajar, cara memberi tugas, cara survei.

Menurut Munandar, pengajaran guru di sekolah selama ini hanya menitikberatkan pada proses berpikir konvergen (kemampuan berpikir untuk menemukan kemungkinan jawaban dalam memecahkan suatu masalah), tanpa merangsang proses berpikir divergen (berpikir kreatif – kemampuan berpikir). dari beberapa kemungkinan jawaban dari sudut pandang yang berbeda dengan kemudahan, fleksibilitas dan orisinalitas dalam pemecahan masalah) subjek). Tidak jarang pemikiran konvergen pada siswa diarahkan atau ditentukan oleh guru. Bakat berpikir kreatif peserta didik perlu diberi kesempatan untuk berkembang secara optimal sejalan dengan tujuan pendidikan secara keseluruhan, yaitu menciptakan lingkungan bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan, keterampilan, dan bakatnya. diperbarui. Dalam proses pembelajaran cara berfikir kreatif dapat di ajarkan dalam beberapa cara atau metode diaman salah satu ciri pembelajaran kreatif yang efektif meliouti sebagai berikut: Keterlibatan intelektual dan emosional siswa dalam pemebelajaran. Partisipasi ini difasilitasi dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan mengeksplorasi konsep bidang ilmu yang dipelajari dan menginterpretasikan hasil penemuan tersebut. Mahasiswa berhak bebas mengeksplorasi berbagai sumber yang relevan dengan topik/konsep/masalah yang dipelajari Penemuan ini akan meningkatkan interaksi mahasiswa dengan lingkungan dan pengalamannya sendiri.

Hasil dari observasi yang dilakukan oleh peneliti di SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo tentang keadaan siswa dalam mengatasi masalah dapat disimpulkan bahwa setiap siswa memiliki kontras dalam berpikir kritis, variasi berpikir kritis berpusat pada penyempurnaan model pendidik dan ada demikian pula jawaban dalam rangka peningkatan mentalitas siswa itu sendiri. Salah satu aspek keterampilan berpikir kreatif adalah pertumbuhan mental siswa itu sendiri. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah tersebut memerlukan penggunaan strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum 2013 di SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo. Penelitian ini tertuju kepada kelas VIII. Pemilihan kelas tersebut berdasarkan keaktifan kelas tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang lain. Cara guru mengajarkan kreativitas kepada siswanya di SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo ialah dengan cara mendorong siswanya untuk dapat memecahkan masalah dengan memberikan tantangan atau masalah yang harus dipecahkan oleh siswa, meenghargai hasil berfikir kreatif siswa yang lain. Dalam hal tersebut guru dapat menghargai hasil pikiran kreatif siswa dengan memberikan apresiasi terhadap ide-ide kreatif yang dihasilkan oleh siswa. Selanjutnya Guru dapat menggunakan teknologi dalam pembelajaran untuk merangsang kreativitas siswa. Dengan menggunakan teknologi, siswa akan lebih tertarik dan termotivasi untuk belajar. Guru dapat mengajarkan siswa untuk berpikir out of the box dengan memberikan tantangan atau masalah yang tidak biasa atau di luar kebiasaan. Dengan memberikan tantangan atau masalah yang tidak biasa, siswa akan terdorong untuk berpikir kreatif dan berpikir out of the box. Dari beberapa cara di atas, dapat disimpulkan bahwa guru dapat mengajarkan kreativitas kepada siswanya dengan berbagai cara, seperti mendorong siswa untuk memecahkan masalah, mengajarkan siswa untuk berpikir out of the box, dan menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Selain itu, guru juga harus menciptakan lingkungan yang aman dan terbuka di mana kegagalan diterima dengan baik dan menghargai hasil pikiran kreativitas siswa.

Keaktifan siswa dalam pengalaman pendidikan akan mendorong hubungan yang tinggi antara pendidik dan siswa dan kegiatan tersebut dapat mempengaruhi susunan pengetahuan dan kemampuan yang mengarah pada peningkatan kreatifitasnya. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Profil Kreativitas Siswa Kelas VIII Di SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo dengan tujuan untuk mengkaji kreativitas siswa karena profil yang dihasilkan akan memberikan wawasan tentang seberapa kreatif siswa dalam menyelesaikan soal, khususnya pada soal pemanasan global. siswa memiliki kecerdasan spasial visual dan logika sehingga guru dapat membayar lebih peduli kreativitas siswa dan dapat berkembang dan memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi kreativitasna.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Sugiyono menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti objek secara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu dengan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil penelitian tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada 21 Juni 2023. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa siswi kelas VIII SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo. Data yang terkumpul dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dalam bentuk Berapa populasi berapa sampel. Instrument soal creative dengan indicator kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keterincian yang telah valid dan reliabel yang bertujuan untuk mengukur tingkat kreativitas siswa. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui kajian Pustaka yang berhubungan dengan penelitian. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tes keterampilan berpikir kreatif. Tes keterampilan berpikir kreatif ini berupa essay dengan empat soal yang di dalamnya terdapat empat indikator berpikir kreatif yaitu lancar, luwes, orisinil, dan terperinci. Teknik analisis data untuk mengetahui persentase keterampilan berpikir kreatif siswa dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif. Analisis kuantitatif yang digunakan berupa data statistik, untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membat kesimpulan yang berlaku untuk umum dan generalisasi, analisis ini bertujuan untuk mendeskripsikan persentase keterampilan berpikir kreatif siswa.

Analisis data pada penelitian ini menggunakan persentase yang sebagaimana dikemukakan oleh sugiyono sebagai berikut:

N =

Prosentase hasil kemampuan berpikir kreatif siswa dikategorikan berdasarkan standar kemampuan berpikir kretif. Kategori tersebut terdiri dari sangat kreatif, kreatif, cukup, kurang dan sangat kurang. Untuk mengkategorikan berpikir kreatif siswa maka digunakan kategori kemampuan sebagai berikut:

No Prosentase Kategori
1 81 – 100 % Sangat Baik
2 61 – 80 % Baik
3 41 – 60 % Cukup
4 21 – 40% Kurang
5 0 – 20 % Sangat Kurang
Table 1. Prosentase Kreativitas Siswa

Hasil dan Pembahasan

Temuan dan pembahasan pada penelitian ini merupakan susunan dari sumber bukti yang dijadikan fokus bagi pengumpulan data yang terkumpul dalam penelitian yang meliputi data-data yang diperoleh peneliti pada saat penelitian. penelitian berlangsung. Kriteria berikut digunakan untuk mengukur tingkat kreativitas siswa berdasarkan tanggapan terhadap kuesioner bergaya esai yang diberikan kepada responden:

Jumlah siswa Rata-rata kriteria
43 siswa 35,47 % Kurang Kreatif
Table 2. Hasil Prosentase Kreativitas Siswa

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa temuan tersebut dicapai sebagai hasil dari mengukur kreativitas dengan menggunakan empat pertanyaan yang diusung dari pemikiran Sequence Raudsepp (Princeton Creative Research): Terdapat 7 siswa pada kelompok tingkat tinggi dan 36 anak pada kelompok tingkat rendah. Berdasarkan temuan penelitian, tingkat kreativitas saintifik siswa berkisar dari sangat kreatif (81-100%), kreatif (61-80%), cukup (41-60%), rendah (21-40%), dan sangat rendah. (0%). Menurut hasil pengukuran indikator yang paling rendah yaitu jawaban siswa yang kurang memperhatikan selama pembelajaran terutama pada pemecahan masalah yang diberikan oleh guru, proses pembelajaran monoton, merasa dapat diandalkan perasaannya ketika memecahkan masalah, dan seringkali merasa pendapatnya lebih penting daripada pendapat guru, adalah mereka yang menganggap proses pembelajaran itu monoton.

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa terdapat empat indicator kreativitas siswa sebagai betikut:

No Indikator Jumlah siswa Prosentase Kriteria
1. Berpikir lancar 18 siswa 40,5% Kurang
2. Berfikir luwes 10 siswa 23,2% Kurang
3. Berfikir original 7 siswa 17,3% Sangat kurang
4. Berfikir terperinci 8 siswa 19% Sangat kurang
Jumlah 43 siswa 100%
Table 3. Hasil Keterampilan Berpikir Kreatif Tiap Indikator

Figure 1. Grafik Berfikir Kreatif Siswa Berdasarkan Empat Indicator

Hasil keterampilan berpikir kreatif tiap indikator berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa dengan perolehan persentase 40,5% tertinggi merupakan indikator berpikir lancar dengan jumlah 18 siswa. Dan sebanyak 7 siswa memperoleh persentase indikator terendah 17,3% yaitu indikator berpikir original. Sedangkan untuk persentase indikator tertinggi kedua sebanyak 10 siswa dengan perolehan persentase 23,2% yaitu indikator berpikir luwes (flexibility), dan untuk persentase tertinggi ketiga dengan 8 siswa dimana perolehan persentase yang didapatkan 19%yaitu indikator berpikir terperinci. Sehingga apabila persentase dijumlahkan diperoleh hasil 100%.

Penelitian ini memiliki makna dapat mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi siswa dengan tujuan memberikan alternatif yang bertujuan mendorong kreativitas dan meningkatkan kreativitas siswa di masa mendatang dengan penemuan-penemuan tentang kreativitas yang berasal dari dalam diri seseorang tersebut. Oleh karena itu, pendidik harus memberikan pintu terbuka dan kepercayaan kepada siswa sehingga mereka dapat meramu pemikiran dan kemajuan pembelajaran baru untuk meningkatkan dan menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Hasil wawancara dengan siswa yang memiliki nilai tinggi menyatakan bahwa dia mampu memberikan berbagai macam jawaban apabila dia diberikan sebuah permasalahan. Subjek juga mengatakan bahwa dia mampu untuk memberikan alternatif penyelesain dari dampak pemanasan global, pada saat wawancara semua indikator kreatif Subjek mengtakan mampu dan bisa menyelesaikan permasalahan, akan tetapi ada beberapa jawaban yang kurang tepat saat disampaikan. Jika subjek kurang bahkan tidak mengerti peristiwa yang diberikan guru, maka subjek akan bertanya kepada guru dan menelaah jawaban yang diberikan guru. Pada penguasaan materi subjek sudah bisa menyebutkan permasalahan apa saja yang ada pada informasi pada soal. Ketika diberikan soal yang sama dengan perintah soal yang lebih jelas subjek juga mampu memberikan jawaban yang beragam. Hal ini tidak sesuai dengan wawancara yang dilakukan peneliti, subjek menjelaskan bahwa dia mampu dan bisa. tetapi ketika praktik subjek bisa menjawab dengan benar. Subjek ketika tidak tahu materi yang dijelaskan oleh guru, subjek akan mencari informasi sendiri melalui internet atau media yang lain. Dalam hal ini subjek sudah memenuhi kriteria berpikir kreatif pada indicator kelancaran. Menurut munandar aspek kelancaran terkait dengan cara siswa membangun ide dan mengacu pada beragamnya jawaban benar yang diberikan siswa. Dalam hal ini jawaban yang berbeda belum tentu dianggap beragam. Berdasarkan pada apa yang telah di lakukan oleh guru dalam pros es pembelajaran yang telah menggunakan berbagai strategi namun siswa masih mempunyai keterampilan berfikir kreatif yang rendah dikarenakan Hal adanya siswa tersendiri belum memiliki strategi yang tepat dalam meningkatkan keterampilan berfikir kreatif siswa ini diperkuat dengan pendapat Maemanah dkk [22]. Bahwa indicator menindak lanjuti permasalahan menuntut siswa untuk menyelesaikan strategi yang telah ditentukan. Pendapat lain diutarakan oleh Lutfi dkk [23]. Bahwa, menentukan strategi dan melaksanakan atau menindaklanjuti strategi merupakan aspek untuk mengatasi permasalahan.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan keterampilan berpikir siswa secara umum dalam kategori sangat kreatif, kreatif, cukup, rendah dan sangat rendah dari capaian indikator kelancaran, keluwesan, keaslian, dan keterincian. Dari hasil prosentase dapat disimpulkan bahwa kreativitas siswa kelas VIII pada materi pemanasan global berada pada tingkatan sangat kreatif yakni 81-100 %, kreatif 61-80%, 41-60% cukup, 21-40% rendah, 0-20% sangat rendah. hasil bahwa kreativitas siswa kelas VIII pada materi pemanasan global berada pada tingkatan kurang kreatif dengan presentase 35,47 %.

References

  1. N. L. G. M. Dicriyani and B. I. Ketut, "Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Pengetahuan Perpajakan Pada Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Niat Sebagai Pemoderasi," E-Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Universitas Udayana, vol. 10, pp. 3329–3358, 2016.
  2. M. Fauzia, "Sri Mulyani Soroti Rasio Pajak yang Terus Turun," Money.Kompas.Com, Dec. 8, 2020.
  3. S. Hermawan and S. Biduri, "Akuntansi Keperilakuan," Indomedia Pustaka, 2019.
  4. J. M. Karwur et al., "Pengaruh Sikap Terhadap Perilaku , Norma Subyektif , Kontrol Perilaku Yang Dipersepsikan Dan Kepercayaan Pada Pemerintah Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dengan Niat Sebagai Variabel Intervening ( Survey Pada KPP Pratama Manado )," 2020.
  5. R. M. Oktaviani and I. Nurhayati, "Determinan Kepatuhan Wajib Pajak Badan Dengan Niat Sebagai Pemediasi Dari Perspektif Planned Behaviour Theory Semarang," Fakultas Ekonomika Dan Bisnis, pp. 163–175, 2015.
  6. T. B. Samudra, Maslichah, and D. Sudaryanti, "E-JRA Vol. 09 No. 02 Februari 2020 Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, Dan Kontrol Keperilakuan Yang Dipersepsikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kota Batu," E-Jra, vol. 9, no. 2, pp. 47–57, 2020.
  7. L. Suryani, "Pengaruh Sikap, Norma Subjektif, dan Kontrol Perilaku Persepsian Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Niat Mematuhi Pajak sebagai Variabel Pemoderasi," Journal of Chemical Information and Modeling, pp. 1–192, 2017.
  8. S. Utami and L. Amanah, "Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Pengetahuan Perpajakan, dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dengan Kesadaran Wajib Pajak sebagai Variabel Intervening," Jurnal Ilmu Dan Riset Akuntansi, vol. 7, no. 4, pp. 1–15, 2018.
  9. B. Witono, "Peran Pengetahuan Pajak Pada Kepatuhan Wajib Pajak," Riset Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, vol. 7, no. 2, pp. 196–208, 2016.