Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.8667

Understanding the Role of the Environmental Arena and Community Social Structure in Stunting Prevention Education


Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dalam Pendidikan Pencegahan Stunting

Program Studi Pendidikan Teknologi dan Informasi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Program Studi Administrasi Publik, Universitas Sunan Giri Surabaya
Indonesia
Program Studi Sastra Inggris, Universitas Airlangga
Indonesia
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Program Studi Manajemen, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Program Studi Sastra Inggris, Universitas Airlangga
Indonesia

(*) Corresponding Author

arena education economy culture ideology

Abstract

Indonesia is a country with the third highest incidence of stunting in Southeast Asia. Stunting has various negative impacts therefore it is important to prevent it through public education. This research aims to understand the role of the environmental arena and social structure of society in stunting prevention education. This research uses a qualitative method with a case study approach. The research analysis explains the problem of stunting through four environmental arenas and social structures that exist in communities in four cities or districts, including the educational, economic, cultural, and ideological arenas. By understanding the roots of the stunting problem identified through the environmental arena and social structure of society, we can identify effective methods for stunting prevention programs in the field, namely sustainable education based on local culture in all aspects of community life.

Highlights :

  • Interconnected Factors: The research explores how various environmental arenas and social structures intertwine to contribute to the prevalence of stunting.

  • Local Cultural Context: Understanding the local cultural context is crucial for designing effective stunting prevention education programs.

  • Sustainability and Community Engagement: Emphasizing sustainable education initiatives rooted in local culture ensures long-term engagement and effectiveness in combating stunting.

Keywords : arena, education, economy, culture, ideology

Pendahuluan

Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, merupakan proses pembelajaran yang bertujuan meraih pengetahuan, keterampilan, dan pembiasaan positif secara sistematis. Pendidikan bertujuan agar siswa mampu mengembangkan potensi diri secara aktif, baik akademik maupun spiritual. Pesantren diakui pemerintah sebagai salah satu penyelenggara pendidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2019, sehingga turut berperan aktif mendidik santri dengan ilmu keagamaan yang terintegrasi dengan pendidikan umum[1].

Proses pendidikan menyebabkan terjadinya relasi sosial siswa, yakni interaksi individu dengan lingkungan, proses pendidikan juga melibatkan pemahaman perkembangan yang terungkap dari interaksi siswa tersebut [2]. Praktik pendidikan terbuka (Open Education Practises) terkait dengan kerjasama, berbagi informasi dan pemberdayaan, gagasan penting bagi pendidik dengan fokus kesetaraan pserta didik. Metode diskusi merupakan pendorong kreatifitas individu untuk mengungkap ide dan gagasannya di depan umum [3]. Metode terbaik mengedukasi masyarakat melalui berbagai forum diskusi interaktif saat pertemuan umum warga dan berkesinambungan, hal ini karena memungkinkan mereka merasa dihargai dan berani menyampaikan pendapat.

Menurut WHO pada 2017, Indonesia merupakan negara dengan angka kejadian stunting tertinggi ketiga di Asia Tenggara, yakni masalah kurang gizi kronis yang dipicu kekurangan asupan nutrisi dalam waktu cukup lama, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai pada 1000 hari pertama kehidupan [4]. Stunting memiliki berbagai dampak negatif, meliputi: menyebabkan anak mudah sakit, mengakibatkan kerugian ekonomi keluarga dan negara, postur tubuh tidak berkembang maksimal saat dewasa, fungsi tubuh tidak seimbang, berkurangnya kemampuan kognitif atau berpikir [5]. Penduduk Indonesia sangat besar dan tersebar pada wilayah yang luas, karena itu penting untuk mencegah stunting agar kelak bisa menjadi generasi muda berkualitas dalam mengisi pembangunan.

Pertimbangan memilih tema Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dalam Pendidikan Pencegahan Stunting sebagai obyek penelitian, pertama karena tingginya angka stunting. Berdasarkan pengamatan di lapangan penelitian, stunting dipengaruhi aspek budaya masyarakat, pernikahan dini, ekonomi, sosial, dan psikologis masyarakat. Oleh WHO, stunting ditegaskan sebagai ketidakmampuan pertumbuhan dan perkembangan fisiologis anak-anak yang dipicu kekurangan nutrisi, infeksi berulang, dan stimulus psikologis yang tidak seimbang [6].

Target berbagai negara menurunkan praktik nikah dini pada 2030, sebagai bagian dari SDGs kelima, yakni mencapai persamaan gender dan pemberdayaan anak dan perempuan, termasuk upaya mencegah pernikahan anak, pernikahan dini, dan pernikahan paksa (child, early and force marriage and union) CEFMU [7]. Target tersebut penuh hambatan, karena membutuhkan kerjasama dan strategi semua pihak terkait budaya pernikahan dini yang sudah berjalan lama di masyarakat, sehingga untuk mengubah budaya tersebut perlu pendidikan kontinyu dan komprehensif.

Kedua, adalah dampak negatif stunting terhadap generasi muda, masalah kesehatan yang berdampak signifikan terhadap masa depan dan tumbuh kembang anak, penting untuk mengintervensi nutrisi bayi dengan stunting hingga mencapai usia 2 tahun, hal itu bertujuan mengejar ketertinggalan pada masa tumbuh kembang di periode berikutnya. Intervensi gizi sensitif merupakan tindakan mereduksi masalah gizi secara tidak langsung, misal melalui peran faktor lingkungan [6]. Pemerintah melalui regulasi Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (GERNAS PPG) yang termaktub dalam RPJMN 2015-2019, menegaskan bahwa pengentasan stunting sebagai kebijakan prioritas di masyarakat. Hal ini karena stunting sangat berdampak negatif terhadap masa depan perkembangan sumber daya manusia Indonesia.

Terdapat beberapa penelitian terkait pencegahan stunting. Berdasarkan berbagai pertimbangan, kami menemukan artikel pertama A Movement To Recognize, Prevent, and Overcome Stunting Through Education For The Community in Padamara Village, Purbalingga Regency. Bertujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat meliputi remaja, ibu hamil, dan kader posyandu agar mengenali, mengetahui upaya pencegahan, dan penatalaksanaan stunting. Menggunakan metode kunatitatif melalui webinar cara mengenali, menilai status gizi menggunakan KMS terbaru, pentingnya 1000 hari pertama kehidupan, cara pencegahan, dan apa yang haarus dilakukan ketika menjumpai stunting [8]. Kedua, berjudul Pengaruh Pola AsuhPemberianMakanTerhadapKejadian Stunting Pada Balita. Bertujuan mengetahui faktor dominan memengaruhi balita stunting. Menggunakan desain  cross-sectional, kejadian stunting 31,8%, faktordominanberpengaruhterhadap stunting adalahpolaasuhpemberianmakanan, ibudenganpolaasuhpemberianmakanan yang kurang, berisikoenam kali lebihtinggimengalami stunting dibandingkandenganpolaasuhmakanan yang baik [9].

Ketiga berjudul Growth In Milk Consumption And Reductions In Child Stunting: Historical Evidence From Cross-Country Panel Data. Bertujuan menjelaskan peningkatan konsumsi susu terkait penurunan signifikan stunting, negara dengan angka stunting tinggi harus memertimbangkan strategi meningkatkan gizi melalui konsumsi susu anak-anak, baik aspek permintaan dan penawaran [10]. Keempat Environmental Factors Related To Children Diagnosed With Stunting 3 Years Ago In Salatiga City, Central Java, Indonesia. Bertujuan menegaskan faktor lingkungan yang memengaruhi stunting pada bayi, hasil penelitian menunjukkan faktor lingkungan tidak berkontribusi atas faktor risiko kondisi stunting, tetapi konsumsi air matang mendidih. Asi eksklusif juga berkorelasi dengan kondisi stunting karena mampu mencegah stunting [6].

Sementara ini stunting telah dianalisis dari beberapa aspek, yakni peningkatan pengetahuan masyarakat, pola asuh pemberian makan balita, peningkatan konsumsi susu, dan pengaruh faktor lingkungan. Masih belum ditemui analisis dari aspek Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat Dalam Pendidikan Pencegahan Stunting, karena itu peneliti menilai penting untuk melaksanakannya. Penelitian Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat Dalam Pendidikan PencegahanStuntindan penelitian terdahulu memiliki perbedaan terkait analisis teori dan metode yang digunakan, sedangkan aspek persamaan penelitian saat ini yaitu penggunaan metode kualitatif.

Fokus analisi penelitian saat ini Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat Dalam Pendidikan Pencegahan Stunting, dengan tujuan penelitian memahami bagaimanakah peran arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting. Manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Diharapkan dipahami peran signifikan arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting. 2. Diharapkan masyarakat bersikap arif dan obyektif saat memahami peran signifikan arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting.

Kerangka Pemikiran

Figure 1.Kerangka Pemikiran

Arena merupakan konteks sosial khusus atau bidang tindakan praktis sosial yang memungkinkan individu saling berinteraksi, terlihat sebagai posisi ruang terstruktur dalam masyarakat, dengan posisi dan relasi ditegaskan oleh distribusi beberapa jenis sumber kapital/modal yang berbeda, antara lain, kapital simbolik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain [11, p. 14]. Arena selalu menjadi bidang ‘perjuangan’ atau ‘persaingan’ yang menyebabkan individu menjaga atau mengesampingkan distribusi bentuk khusus suatu kapital/modal. Arena perjuangan pencegahan stunting, menjadi medan ‘pertempuran’ budaya masyarakat marjinal terhadap kebijakan pencegahan stunting yang digagas oleh pemerintah.

Tindakan praktis individu sesungguhnya tidak ditentukan sepenuhnya secara objektif dan tindakan itu bukan merupakan hasil dari kehendak yang sepenuhnya bebas, individu melakukan tindakan refleksi atas minatnya pada relasi dialektika antara struktur di sekitarnya, dengan cara masyarakat mengonstruksi realitas lingkungan sosial yang telah ada. Bourdieu menegaskan orientasi pemahamannya sebagai structural constructivism, atau strukturalisme genetis [12, p. 578].

Strukturalisme genetik menegaskan bahwa analisis struktur obyektif sesunggguhnya tidak terpisahkan dengan analisis latar belakang struktur mental individu. Dalam strukturalisme genetik, semua refleksi pengetahuan manusia dibuat dari dalam struktur masyarakat sekitarnya, pengetahuan tersebut berbeda kepentingan sesuai keadaan sosial dan intelektualitas masyarakat. Pengetahuan dan pemikiran merupakan bagian kehidupan sosial, perkembangan pengetahuan dan pemikiran sesuai kepentingan dan efektifitas yang dibutuhkan [13, p. 6]. Arena atau lingkungan di sekitar individu, sangat memengaruhi sikap mental atau pemikiran individu. Arena berada di luar pikiran individu, berperan mengonstruksi pemikiran individu tersebut, fokus utama pendapat Bourdieu bertujuan menghubungkan praktik subjektivisme dan objektivisme dalam kehidupan sosial [12].

Habitus dan arena tidak terpisah, tetapi berkelindan, habitus merupakan konstruksi suatu struktur mental atau pengetahuan kognitif individu, memicu adanya relasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya, muncul secara historis dengan menampilkan properti khusus misal arena sastra, seni, politik, agama, dan lain-lain. [11]. Seorang individu hakikatnya telah dilengkapi serangkaian skema terinternalisasi dan digunakan saat menyusun persepsi, memahami realitas, mengapresiasi individu lain, dan mengevaluasi situasi lingkungan sosial. Melalui skema tersebut, individu telah memeroduksi suatu praktik sosial, mempersepsi serta mengevaluasinya. Habitus masyarakat merupakan “hasil/produk internalisasi suatu struktur” dunia sosial/Arena, habitus diperoleh karena menempati suatu posisi di dunia sosial/arena dalam rentang waktu panjang dan terus menerus [12].

Metode

Metode penelitian Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat Dalam Pendidikan Pencegahan Stunting adalah kualitatif, yakni berdasarakan pengamatan pada obyek manusia, baik di dalam wilayahnya maupun domain budaya peristilahannya. Bertujuan memahami secara holistik fenomena rumusan masalah penelitian, melalui deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus penelitian alamiah dan menggunakan berbagai metode alamiah [14, p. 16]. Induktif merupakan prosedur penelitian kualitatif, muncul dan dipertajam oleh pengalaman peneliti saat mengumpulkan dan menganalisis data. Logika penelitian induktif berasal dari bawah, kemudian dipindahkan keseluruhan ke dalam perspektif yang digunakan [15, p. 45]. Penelitian kualitatif dipilih karena ingin memahami konteks atau setting terkait masalah penelitian, peneliti tidak selalu bisa memisahkan apakah yang diucapkan informan dengan lokasi informasi itu berasal, apakah konteks itu, di rumah, keluarga, atau tempat kerja [15].

Paradigma penelitian merupakan cara suatu analisis ilmiah yang memungkinkan rumusan masalah penelitian dapat dijawab dengan baik, cara tersebut bertujuan memahami komprehensif tentang analisis peran habitus dan arena dalam pencegahan stunting di masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, yang dimulai dengan identifikasi kasus khusus, berupa entitas nyata seperti individu, kelompok kecil, lembaga atau hubungan persahabatan [15]. Data diperoleh melalui dialog interaktif dan mendalam saat FGD dan menginterpretasi berbagai peristiwa. Research instrument adalah peneliti sendiri, berfungsi menetapkan fokus utama penelitian, memilih berbagai informan sebagai sumber data penelitian, mengumpulkan data penelitian, menilai kualitas data penelitian, menganalisis data penelitian, menafsirkan data penelitian, dan menyimpulkan atas temuan penelitiannya [16, p. 222]. Tujuan penting studi kasus menegaskan suatu kasus bisa dibatasi atau dijelaskan dengan parameter tertentu, misal waktu dan tempat khusus. Peneliti studi kasus memahami kasus yang sedang trending, kejadian nyata yang sedang berlangsung, sehingga mereka bisa mengumpulkan informasi akurat yang tidak hilang oleh waktu.

Langkah-langkah penelitian tersebut sesuai penegasan Creswell, yakni peneliti kualitatif harus komprehensif melihat fenomena sosial masyarakat dan lingkungan, sehingga peneliti harus melihat gejala yang ada sebagai satu kesatuan utuh, media menggali dan memahami bagaimana makna individu atau kelompok, menganalisis data komprehensif penelitian, analisis secara induktif dan diperoleh melalui studi pustaka, dialog interaktif dan mendalam saat FGD, dan observasi lapangan [17, p. 22].

Informan dalam penelitian ini adalah pejabat pemerintah terkait serta alim ulama dari empat kabupaten dan kota di Jawa Timur: Surabaya, Jember, Situbondo, dan Bondowoso yang terlibat dalam kebijakan pencegahan stunting melalui pencegahan pernikahan dini. Tiga diskusi kelompok fokus dilakukan di tiga kota kabupaten di Jawa Timur, dengan puncak diskusi kelompok fokus di lakukan di kota Surabaya. Pertanyaan semi terstruktur dan terpandu digunakan untuk menggali aspek informasi, motivasi, dan ideologi untuk Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dalam Pendidikan Pencegahan Stunting.

Hasil dan Pembahasan

Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dalam Pencegahan Stunting

Arena merupakan konteks sosial khusus atau bidang tindakan praktis sosial yang memungkinkan individu saling berinteraksi, terlihat sebagai posisi ruang terstruktur dalam masyarakat, dengan posisi dan relasi ditegaskan oleh distribusi beberapa jenis sumber kapital/modal yang berbeda, antara lain, kapital simbolik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain [11]. Peran arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting saling terkait, menciptakan dialektika, saling memengaruhi dan terlibat dalam hubungan timbal balik. Arena berada di luar pikiran individu dan berperan mengonstruksi pemikiran individu tersebut. Inti pandangan Boudieu dimaksudkan untuk menjembatani praktik subjektivisme dan objektivisme dalam kehidupan sosial [12].

Berdasarkan observasi penelitian dan informasi dari narasumber yang didapatkan saat FGD, dapat digambarkan arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat pencegahan stunting sebagai berikut:

Figure 2.Grafik Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dalam Pencegahan Stunting

Arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting selalu menjadi bidang ‘perjuangan’ atau ‘persaingan’ tanpa henti. Arena perjuangan pencegahan stunting, menjadi medan ‘pertempuran’ budaya masyarakat marjinal terhadap kebijakan pencegahan stunting yang digagas oleh pemerintah. Berdasarkan observasi penelitian dan informasi dari narasumber yang didapatkan saat FGD, dapat dijelaskan identifikasi empat arena yang ada pada masyarakat di empat kota atau kabupaten terkait pencegahan stunting meliputi: pendidikan, ekonomi, budaya, dan ideologi.

Pendidikan: Arena terkait pendidikan pencegahan stunting di empat Kota/Kabupaten, sebagian besar relatif berada pada masyarakat yang kurang berpendidikan, tidak mencapai wajib belajar 12 tahun, mereka kurang mendapat kesempatan menempuh pendidikan agama atau pendidikan formal sebagaimana amanat Undang-Undang. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut berimplikasi terhadap pemahaman istilah stunting, mereka tidak menyadari bahwa kondisi fisik anak-anak sedang tidak baik, dan berbahaya bagi masa depan. Masyarakat dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih mapan, dan memiliki harapan masa depan lebih baik, cenderung memiliki pendidikan lebih tinggi, penting untuk memahami konsekuensi harapan masa depan melalui pendidikan terlepas dari aspek sosial ekonomi, karena harapan ini memungkinkan mobilitas sosial antar generasi [18]. Arena pendidikan masyarakat terkait pencegahan stunting berada pada kondisi sosial ekonomi yang belum mapan, masyarakat masih berjuang untk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, karena itu aspek pendidikan terabaikan.

Ekonomi: Arena ekonomi pencegahan stunting di empat Kota/Kabupaten, sebagian besar merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah, masyarakat yang kurang mampu mencukupi kebutuhan pokoknya. Keterbatasan ekonomi menyebabkan mereka tidak bisa memenuhi asupan nutri ideal, sesuai standar kebutuhan gizi anak, aspek ekonomi masyarakat sangat terkait dengan pendidikan. Pemerolehan perilaku terkait pembelajaran dan pengetahuan, pengembangan identitas anak sebagai siswa, pembelajaran literasi dasar dan kemampuan berhitung, akan memberikan akses pengetahuan pada tahun pembelajaran berikutnya, jika anak-anak tidak mendapat pendidikan tepat, mereka akan menghadapi hambatan serius di masa depan, terutama yang berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah [19].

Budaya: Arena budaya pencegahan stunting di empat Kota/Kabupaten, menjelasakan bahwa sebagian besar masyarakat meyakini menolak lamaran adalah hal tabu, budaya tersebut berkembang dan terus diyakini sebagai hal yang memalukan. Di lokasi penelitian di empat Kota/Kabupaten tersebut, masyarakat memiliki kebiasaan untuk menikahkan anaknya bahkan sebelum lahir, hal ini karena kuatnya ikatan budaya, ikatan kekerabatan, dan solidaritas. Jika anak gadis di desa itu sudah berumur 20 tahun dan belum memiliki tunangan, maka hal itu memicu orang tua gadis menjadi gusar, sehingga secepat mungkin mencarikan jodoh, hal ini sudah menjadi budaya yang umum di masyarakat.

Berdasarkan observasi dan data yang didapatkan saat FGD, dapat dijelaskan arena ideologi pencegahan stunting di empat Kota/Kabupaten, yakni fenomena masyarakat yang meyakini figur Kyai Kampung/Indiginous menjadi bagian integral masyarakat, sehingga ketika ada momentum apapun di desa, warga akan bertanya dan meminta pendapat kepada Kyai tersebut. Meski sudah ada beberapa program untuk mencegah pernikahan dini dari majelis taklim di beberapa masjid, namun program tersebut tidak efektif karena metode/pendekatan dan komunikasi yang dibangun tim penyuluh KUA, mereka tidak aktif melibatkan peranan Kyai Kampung tersebut. Masyarakat merespon dengan sikap pasif karena Kyai yang mereka hormati, tidak terlibat dalam program tersebut, sehingga muncul sikap masyarakat yang cenderung skeptis.

Terkait arena ideologi pencegahan stunting, perlu dipahami adanya relasi ideologi masyarakat dan bahasa, karena keduanya berkelindan dalam praktik sosial kehidupan. Ideologi bahasa masyarakat memengaruhi kebijakan pendidikan, perbedaan ideologi masyarakat menjadi poin penting keragaman bahasa didukung atau tidak di masyarakat, untuk mengatasi ketidaksetaraan sosial dan budaya dalam sistem pendidikan, penting untuk memahami ideologi masyarakat terkait keragaman bahasa dan ideologi tersebut karena memengaruhi keyakinan dalam praktik kehidupan [20].

Memahami Peran Arena Lingkungan dan Struktur Sosial Masyarakat dalam Pencegahan Stunting

Arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting selalu menjadi bidang ‘perjuangan’ atau ‘persaingan’ tanpa henti. Arena perjuangan pencegahan stunting, menjadi medan ‘pertempuran’ budaya masyarakat marjinal terhadap kebijakan pencegahan stunting yang digagas oleh pemerintah. Berdasarkan analisis penelitian, hasil identifikasi menjelaskan terdapat empat Arena lingkungan dan struktur sosial yang ada pada masyarakat di empat kota atau kabupaten terkait pencegahan stunting: pendidikan, ekonomi, budaya, dan ideologi.

Memahami peran arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting sangat penting agar bisa mengerti relasi dialektika keduanya. Berdasarkan analisis penelitian, pencegahan stunting perlu penekanan aspek pendidikan, baik pendidikan formal ataupun agama. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut berimplikasi terhadap pemahaman istilah stunting, sehingga mereka tidak menyadari bahwa kondisi fisik anak-anak sedang tidak baik, dan berbahaya bagi masa depan. Masyarakat dari latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi yang lebih mapan, akan cenderung memiliki harapan masa depan lebih baik. Pentingnya aspek pendidikan untuk masa depan perlu disosialisasikan secara terstruktur dan massif di semua kegiatan masyarakat, untuk itu perlu pembiasaan dan pendidikan kontinyu di semua aspek kehidupan masyarakat.

Bagi masyarakat desa di lokasi obyek penelitian, mereka tidak mengenal istilah stunting, karena stunting belum populer/tidak dikenali secara luas oleh masyarakat, hal ini karena sebagian besar masyarakat desa tidak mendapat pendidikan formal/rendah level pendidikan, namun relatif cukup mendapat pendidikan agama, terutama melalui pondok pesantren. Terkait realitas pendidikan masyarakat tersebut, diharapkan peran aktif penyuluh lapangan dari dinas terkait pencegahan stunting, agar menggunakan pendekatan domain budaya setempat. Hal ini bertujuan agar lebih efektif dan efisien, yakni menggunakan media komunikasi bahasa yang sesuai dengan kultur masyarakat. Pada aspek komunikasi efektif, peran utama ulama, kyai, dan tokoh masyarakat sangat signifikan menentukan tujuan keberhasilan penyuluhan tersebut.

Berdasarkan analisis penelitian, pencegahan stunting perlu memahami penekanan aspek ekonomi. Arena ekonomi pencegahan stunting di empat Kota/Kabupaten, sebagian besar merupakan masyarakat kelas menengah ke bawah, mereka kesulitan dan kurang mampu mencukupi kebutuhan pokoknya. Keterbatasan ekonomi tersebut menyebabkan mereka relatif tidak bisa memenuhi asupan nutrisi ideal, sesuai standar kebutuhan gizi anak. Aspek ekonomi masyarakat di empat Kota/Kabupaten lokasi penelitian, sangat terkait dengan latar belakang pendidikan mereka. Sebagian besar tidak sempat mendapat pendidikan ideal sebagaimana diatur dalam undang-undang pendidikan, baik pendidikan formal atau agama. Pemerolehan perilaku terkait pendidikan di lembaga sekolah, meliputi pembelajaran dan pengetahuan, pengembangan identitas anak sebagai siswa, pembelajaran literasi dasar dan kemampuan berhitung, akan memberikan akses pengetahuan pada tahun pembelajaran berikutnya. Pendidikan mereka akan berpengaruh terhadap masa depan yang diharapkan lebih baik, penting untuk menanamkan harapan kehidupan, cita-cita, dan semangat meraih masa depan sukses, baik dunia dan akhirat.

Berdasarkan analisis penelitian, pencegahan stunting perlu penekanan aspek budaya lokal, agar masyarakat tertarik dan mendukung program tersebut. Pencegahan stunting berbasis Arena lingkungan dan struktur sosial sangat penting, karena menumbuhkan motivasi individu untuk berinteraksi berdasarkan identitas budayanya. Bagaimanapun juga, masyarakat tidak dapat terpisah dari akar budayanya, sehingga penting memahami dan menghormati bagaimana domain budaya mereka, agar tujuan utama program tercapai.

Berdasarkan analisis, peranan Kyai Kampung/indiginous seharusnya bisa dielaborasi lebih jauh, karena sesungguhnya peran mereka belum/tidak tersentuh secara optimal. Jika figur kyai/alim ulama dioptimalkan, maka beliau akan kuat menyampaikan pesan pencegahan stunting yang salah satunya dipicu budaya pernikahan dini di masyarakat. Pesan tersebut akan diikuti oleh masyarakat karena aspek tawadlu luar biasa kepada figur Kyai. Fenomena masyarakat di obyek lokasi penelitian, jika seorang gadis sudah bertunangan maka ‘boleh’ dibawa kemana-mana oleh tunangannya, justru jika seorang gadis yang sudah bertunangan tidak dibawa ke mana-mana oleh tunangannya, maka hal itu akan menjadi perbicangan negatif di masyarakat. Menjadi bahan gunjingan, mungkin karena calon mempelai pria kurang senang sehingga jarang atau tidak mau mengajak calon mempelai wanita, sikap calon mempelai pria tersebut memicu rasa malu bagi keluarga calon mempelai wanita.

Berdasarkan analisis arena ideologi pencegahan stunting di empat Kota/Kabupaten, menjelaskan fenomena masyarakat yang meyakini figur Kyai Kampung/Indiginous menjadi bagian integral masyarakat, sehingga ketika ada momentum apapun di desa, warga akan bertanya dan meminta pendapat kepada Kyai tersebut. Meski sudah ada beberapa program untuk mencegah pernikahan dini namun program tersebut tidak efektif karena metode/pendekatan dan komunikasi yang dibangun tidak aktif melibatkan peranan Kyai Kampung sehingga masyarakat merespon dengan sikap pasif, tidak terlibat dalam program tersebut, bahkan muncul sikap skeptis masyarakat. Terkait arena ideologi pencegahan stunting, terdapat relasi ideologi masyarakat dan bahasa, keduanya berkelindan dalam praktik sosial kehidupan. Ideologi masyarakat memengaruhi kebijakan pemerintah, adanya perbedaan ideologi masyarakat harus diidentifikasi agar memudahkan komunikasi bahasa di masyarakat. Ideologi masyarakat sangat memengaruhi keyakinan dalam praktik sosial kehidupan.

Peran arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting di masyarakat, di empat Kota/Kabupaten, dapat digambarkan sebagai berikut. Di Situbondo, mereka memiliki kebiasaan menikahkan anaknya sebelum lahir, hal ini karena kuatnya budaya, ikatan kekerabatan, solidaritas. Jika terdapat anak gadis di desa sudah berumur 20 tahun namun belum punya tunangan, maka akan memicu kegusaran orang tua, hal ini sudah menjadi budaya yang umum di masyarakat. Sudah terdapat program untuk mencegah pernikahan dini dari majelis taklim di beberapa masjid, namun tidak efektif karena metode/pendekatan dan komunikasi yang dibangun tim penyuluh KUA tidak aktif. Terdapat 2 hal utama budaya di Situbondo, 1. budaya menikahkan sejak sebelum lahir, yakni dengan dijodohkan oleh kedua orang tua sejak dalam kandungan 2. Tabu/sangat dilarang kalau seorang gadis menikah setelah 20 tahun, hal ini terkait dengan perspektif di masyarakat, praktik budaya turun temurun yang menganggap hal tersebut adalah aspek negatif keluarga, memberi rasa malu keluarga karena anak gadisnya ‘tidak laku’.

Fenomena di kabupaten Bondowoso, terdapat realitas peranan kyai kampung/desa yang harus dielaborasi lebih dalam, karena sesungguhnya peran mereka belum/tidak tersentuh secara optimal. Pada masyarakat desa yang menjadi obyek lokasi penelitian, jika seorang gadis sudah bertunangan maka yang bersangkutan “boleh” dibawa kemana-mana, justru kalau seorang gadis yang sudah bertunangan tidak dibawa kemana-mana, hal itu akan jadi perbicangan negatif di masyarakat. Berikutnya realitas masyarakat desa tidak mengenal istilah Stunting yang berasal dari kosakata berbahasa Inggris, selain itu karena stunting belum populer/tidak dikenali secara luas. Diharapkan peran penyuluh lapangan tentang stunting harus lebih efektif dan efisien, mereka bisa menggunakan pendekatan sesuai kultur dan tingkat pendidikan masyarakat. Peran utama ulama, kyai, dan tokoh masyarakat sangat menentukan tujuan keberhasilan penyuluhan tersebut.

Jember: Pernikahan dini menyebabkan stunting karena dipicu aspek budaya yang telah berkembang kuat di masyarakat. Seseorang yang sudah menjadi warga pesantren, namun jika diberikan kesempatan bertunangan maka mereka juga memilih melakukan pernikahan dengan akad nikah sirih, hal ini karena pintu pernikahan sudah terbuka. Walaupun berbagai aturan pernikahan sudah disosialisasikan, tetapi ada kesan ‘pelonggaran’ batas usia penikahan di masyarakat, untuk tetap bisa menikah meski hal itu tidak sesuai peraturan pemerintah terkait Undang-Undang Pernikahan. Surat nikah bisa saja diurus setelah mereka cukup umur, aparat terkait dan petugas desa juga sudah melakukan koordinasi itu. Jadi, faktanya seperti ada “pembolehan” tentang batas usia tidak sesuai dengan aturan pernikahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pernikahan, biasanya hal itu diatur oleh Mudin Desa, karena beliau yang berwenang menangani administrasi terkait urusan pernikahan setiap warga.

Simpulan

Berdasarkan analisis, peran arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat dalam pendidikan pencegahan stunting di masyarakat sangat penting, karena bisa menentukan keberhasilan tujuan program pencegahan stunting. Data penelitian menjelaskan permasalahan stunting sesungguhnya dalam realitas kehidupan masyarakat, melalui empat arena lingkungan dan struktur sosial yang ada pada masyarakat di empat kota atau kabupaten, meliputi arena Pendidikan, Ekonomi, Budaya, dan Idiologi. Dengan memahami akar masalah stunting yang teridentifikasi melalui arena lingkungan dan struktur sosial masyarakat, diketahui bahwa metode efektif saat pelaksanaan program pencegahan stunting di lapangan, yakni dengan pendidikan berkelanjutan berbasis budaya lokal di semua aspek kehidupan masyarakat.

References

  1. F. Apriliani, H. E. Anggraeni, I. Resmeiliana, and Y. V. Paramitadevi, “Edukasi PHBS dan Budaya 5R Pada Santri Putra di Pondok Pesantren Thoyyibah Al Islami Bogor,” J. Pus. Inov. Masy., vol. 5, no. 1, pp. 89–101, Apr. 2023, doi: 10.29244/JPIM.5.1.89-101.
  2. N. Suwarta, “Nilai Pendidikan Dan Identitas Sosial Calon Brahmana Dalam Novel Arok Dedes,” Ling. Fr., vol. 6, pp. 190–198, 2022, doi: http://dx.doi.org/10.30651/lf.v6i2.
  3. A. R. Rashiva, Y. L. Subargo, and F. Baharuddin, “Implementasi MB-KM Melalui Metode Mengajar Bahasa Model Pembelajaran Student Center Learning di SMP Gema 45 Surabaya ,” GHANCARAN J. Pendidik. Bhs. dan Sastra Indones., no. SE-Articles, pp. 252–265, Dec. 2022, doi: 10.19105/ghancaran.vi.7591.
  4. N. Purnaningsih et al., “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Stunting di Desa Muncanglarang, Kabupaten Tegal,” J. Pus. Inov. Masy., vol. 5, no. 1, pp. 128–136, Apr. 2023, doi: 10.29244/JPIM.5.1.128-136.
  5. M. B. Eka, I. Krisnana, and D. Husada, “RISK FACTORS OF STUNTING EVENTS IN TODDLERS AGED 24-59 MONTHS,” Indones. Midwifery Heal. Sci. J., vol. 4, no. 4, pp. 374–385, Nov. 2021, doi: 10.20473/imhsj.v4i4.2020.374-385.
  6. N. Nurjazuli, B. Budiyono, M. Raharjo, and N. E. Wahyuningsih, “Environmental Factors Related to Children Diagnosed with Stunting 3 Years a go in Salatiga City, Central Java, Indonesia,” Toxicol. Anal. Clin., vol. 35, no. 3, pp. 198–205, 2023, doi: https://doi.org/10.1016/j.toxac.2023.01.003.
  7. A. Aguilera MPH, S. Green, M. E. Greene, C. Izugbara, and E. Murphy-Graham EdD, “Multidimensional Measures are Key to Understanding Child, Early, and Forced Marriages and Unions,” J. Adolesc. Heal., vol. 70, pp. 345–346, 2022, doi: 10.1016/j.jadohealth.2021.07.026.
  8. M. R. Purbowati, I. C. Ningrom, and R. W. Febriyanti, “Gerakan Bersama Kenali, Cegah, dan Atasi Stunting Melalui Edukasi Bagi Masyarakat di Desa Padamara Kabupaten Purbalingga,” AS-SYIFA J. Pengabdi. dan Pemberdaya. Kesehat. Masy., vol. 2, no. 1, p. 15, 2021, doi: 10.24853/assyifa.2.1.15-22.
  9. T. A. E. Permatasari, “PENGARUH POLA ASUH PEMBRIAN MAKAN TERHADAP KEJADIAN STUNTING PADA BALITA,” J. Kesehat. Masy. Andalas, vol. 14, no. 2 SE-Artikel Penelitian, pp. 3–11, Apr. 2021, doi: 10.24893/jkma.v14i2.527.
  10. B. Haile and D. Headey, “Growth in Milk Consumption and Reductions in Child Stunting: Historical Evidence from Cross-Country Panel Data,” Food Policy, vol. 118, p. 102485, 2023, doi: https://doi.org/10.1016/j.foodpol.2023.102485.
  11. P. Bourdieu, Language and Symbolic Power, 1st ed. Oxford: Polity Press, 1991.
  12. G. Ritzer and D. J. Goodman, Teori Sosiologi : dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Terbaru. Bantul: Kreasi Wacana, 2016.
  13. Lucien Goldmann, Sociology of Literary Creativity, 4th ed. paris: International Social Science Journal Unesco, 1967.
  14. L. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 40th ed. Bandung: Remaja RosdaKarya, 2021.
  15. J. W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches, 3rd ed. london: Sage publications, 2016.
  16. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung. Bandung: Alfabeta, 2017.
  17. J. W. Creswell, Research Design: Qualitative Quantitative And Mixed Methods Approaches, Third. California: SAGE Publications, Inc, 2009.
  18. K. Burger, “Revisiting The Power of Future Expectations and Educational Path Dependencies,” Adv. Life Course Res., vol. 58, p. 100581, 2023, doi: https://doi.org/10.1016/j.alcr.2023.100581.
  19. C. Benito and J. Filp, “The Transition from Home to School: A Socioeconomic Analysis of The Benefits of An Aducational Intervention with Families and Schools,” Int. J. Educ. Res., vol. 25, no. 1, pp. 53–65, 1996, doi: https://doi.org/10.1016/0883-0355(96)82042-8.
  20. L. K. Kiramba, Q. Deng, X. Gu, A. Yunes-Koch, and K. Viesca, “Community Language Ideologies: Implications for language Policy and Practice,” Linguist. Educ., vol. 78, p. 101251, 2023, doi: https://doi.org/10.1016/j.linged.2023.101251.