Abstract
This study investigates the antibacterial properties of betel leaf (Piper Betle L) extract on suture wound infections caused by Staphylococcus aureus. Using 25 Webster mice divided into five groups, the research compared the healing effects of 5%, 10%, and 15% betel leaf extract against a control group and a gentamicin antibiotic group over 8 days. Results, measured with the REEDA scale, indicated that the 15% extract was most effective, achieving optimal healing by the eighth day. These findings suggest that betel leaf extract, particularly at higher concentrations, could serve as a potent alternative to traditional antibiotics for treating bacterial wound infections.
Highlights:
- 15% Extract Most Effective: Achieved complete healing by eighth day.
- Comparative Study: Betel leaf extract vs. control and gentamicin.
- Antibacterial Alternative: Potential for treating bacterial wound infections.
Keywords: Betel leaf extract, Piper Betle L, wound infection, Staphylococcus aureus, antibacterial
Pendahuluan
Infeksi luka jahitan dapat disebabkan oleh kontaminasi luka dengan mikroflora dari saluran genitourinaria; namun, mereka juga dapat disebabkan oleh flora kulit yang biasanya terisolasi. Infeksi yang terjadi dalam dua hari pertama pasca operasi paling sering disebabkan oleh streptokokus grup A atau B. Patogen lain yang biasa diisolasi termasuk Ureaplasma urealyticum, Enterococcus faecalis, Escherichia coli, Proteus mirabilis, dan spesies Staphylococcal [1]
Pengobatan infeksi luka jahitan pada umumnya menggunakan pengobatan farmakologi. Profilaksis antibiotik sefalosporin umumnya diberikan pada wanita yang menjalani operasi caesar [2]. Pengobatan farmakologi lainnya bisa diberikan antibiotik sesuai bakteri yang menginfeksi, seperti pemberian erythromycin, metronidazole dan clarithromycin. Pengobatan menggunakan antibiotik untuk ibu pasca melahirkan boleh digunakan karena belum ada bukti antibiotik bisa mempengaruhi jumlah produksi ASI, akan tetapi antibiotik bisa masuk ke ASI dan diminum oleh bayi, sehingga bayi yang akan merasakan dampak langsung dari antibiotik ini. Dampak antibiotik yang masuk ke ASI bagi bayi adalah gangguan pencernaan, mempengaruhi pertumbuhan bayi, menimbulkan reaksi alergi dan ada kasus bisa memperparah sakit bawaan yang diderita bayi. Oleh karena itu, saat ini sedang dikembangkan pengobatan non farmakologi dengan pendekatan alam, yaitu menggunakan bahan dari ekstrak tumbuhan. Pengobatan non farmakologi ini dinilai lebih aman daripada pengobatan farmakologi yang menggunakan bahan kimia.
Piperaceae merupakan salah satu famili yang banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi, kecantikan maupun dalam bidang kesehatan. Berbagai sabun dan tonik menggunakan ekstrak daun sirih sebagai salah satu bahan utama atau bahan tambahan. Daun sirih memiliki ciri-ciri berbentuk seperti jantung, berujung runcing, tumbuh selang-seling, bertangkai, tampak mengkilap pada permukaan atas, dan mengeluarkan bau yang sedap saat diremas [3]
Daun Sirih Hijau (Piper betle L) merupakan salah satu tanaman obat Indonesia yang memiliki banyak khasiat. Tanaman sirih (Piper betle L) merupakan tanaman yang bersifat antifungi, antimikroba dan antioksidan. Hal ini disebabkan karena didalam ekstrak daun sirih mengandung minyak atsiri, tanin, fenoil, flavonoid, riboflavin, dan asam nikotat.[4] Daun sirih memiliki kandungan minyak atsiri yang memiliki komponen utama yaitu fenol dan senyawa turunannya. Salah satu turunan tersebut yaitu klavikol diketahui memiliki efek antibakteri hingga 5x lebih kuat daripada fenol [5]. Hasil penelitian yang dilakukan Yendriwati, 2008 juga menyatakan bahwa minyak atsiri daun sirih memiliki aktivitas antibakteri melawan Streptococcus mutan pada konsentrasi 0,1%. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Armianty, 2014 juga mengatakan bahwa ekstrak daun sirih menunjukkan efek antibakteri pada bakteri E.faecalis pada konsentrasi 20%.[6] Menurut Fuadi, 2014 ekstrak daun sirih dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus pyogenes. [7]
Hasil studi Damarini,S, 2013, menyatakan daun sirih terbukti bisa digunakan sebagai antiseptik. Luka perineum yang mendapatkan intervensi dengan diberi rebusan air daun sirih terbukti mengering lebih cepat, pada hari ke 3 dan 4 dibandingkan dengan luka perineum yang diberi iodin yang mengering pada hari ke 5 dan 6. Hal ini dikuatkan kembali dengan hasil studi Supadmi K, 2021 menyatakan rendaman daun sirih lebih efektif menyembuhkan luka perineum dibandingkan kelompok kontrol.
Berdasarkan teori tersebut, dapat dikatakan bahwa ekstrak daun sirih bisa menimbulkan efek antibakteri pada infeksi luka jahitan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat ekstrak daun sirih terhadap penyembuhan infeksi luka jahitan, sehingga bisa diketahui seberapa efektif ekstrak daun sirih ini dalam proses penyembuhan luka yang sudah memasuki proses infeksi.
Metode
Penelitian ini bersifat eksperimental uji praklinis dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dan komparatif. Data yang diamati adalah kecepatan penyembuhan infeksi luka. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 15%, sedangkan variabel terikat adalah infeksi luka jahitan.
Proses Adaptasi Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan adalah mencit Webster yang diperoleh dari Peternakan Budhi Surabaya. Jumlah hewan coba yang diperlukan adalah 25 ekor dan 5 ekor sebagai cadangan. Perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus Federer, dimana jumlah perlakuan yang diberikan ada 5 perlakuan, dan masing-masing kelompok perlakuan membutuhkan jumlah tikus minimal 5 ekor. [8] Semua mencit akan diadaptasikan di laboratoium TLM Universitas Muhammadiyah Sidoarjo selama kurang lebih 1 minggu dengan menyesuaikan pakan dan minum yang diberikan 1-2x dalam sehari. Mencit diletakkan dalam kandang ukuran 30 cm x 20 cm x 15 cm, diberikan alas kayu dan ditutup dengan ram kawat. [9]
Pembuatan Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper Betle L)
Pembuatan ekstrak daun sirih menggunakan metode maserasi. Pembuatan dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Daun sirih didapatkan dari pasar bunga Banyu Urip Surabaya, sebanyak 1 kg daun sirih diseleksi, dicuci, kemudian daun akan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 55°C – 60°C hingga daun seluruhnya kering. Setelah daun kering, daun akan dihancurkan dengan cara dipotong-potong atau dirobek, kemudian daun akan diblender hingga halus, hasil blender ini nanti akan diayak hingga menghasilkan simplisia. Tahap berikutnya yaitu maserasi simplisia sebanyak 100 gram serbuk dilarutkan dalam etanol 96% sebanyak 250 ml (dengan menggunakan perbandingan 1 : 5) selama 3 hari. [10] Kemudian larutan disaring menggunakan kertas saring Whitman no.1, hasil fitrat disimpan dalam wadah tertutup dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Endapan serbuk yang sebelumnya kemudian dilarutkan lagi dalam larutan etanol 96% dan didiamkan selama 3 hari. Hasil filtrat pertama dan kedua dicampur dan diaduk hingga homogen. Filtrat murni ini kemudian dievaporasi dengan suhu rendah 50°C menggunakan rotary vacuum evaporator sehingga didapatkan ekstrak kental. [11]
Salep ekstrak daun sirih hijau (Piper betle L) dibuat dengan memformulasikan ekstrak kental daun sirih hijau dengan masing-masing konsentrasi yakni 5%, 10% dan 15% . Ekstrak kental daun sirih hijau tersebut diformulasikan dengan bahan dasar salep vaselin album dan adeps lanae yang dibuat masing-masing sebanyak 10 gram. Adapun formula pembuatan salep menurut Goeswin Agoes, 2008 ialah sebagai berikut [12]:
R/ Adeps lanae 15 g
m.f. salep 100 g
Sehingga dari formulasi di atas tersebut didapatkan formulasi salep ekstrak daun sirih sebagai berikut, untuk salep 5% bahannya adalah ekstrak daun sirih 0,5 gram, adeps lanae 1,4 gram, dan Vaseline album 8,1 gram; untuk salep 10% bahannya adalah ekstrak daun sirih 1 gram, adeps lanae 1,3 gram, dan vaseline album 7,7 gram; dan salep 15% bahannya adalah ekstrak daun sirih 1,5 gram, adeps lanae 1,3 gram, dan vaseline album 7,2 gram. Masing-masing bahan kemudian ditimbang sesuai dengan komposisi tersebut dan dicampur. Pencampuran dilakukan menggunakan alat mortar hingga homogen dan disimpan ke dalam botol kecil serta diberi label [12]
Pembuatan Suspensi Bakteri
Pembuatan suspensi bakteri ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi TLM Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Suspensi bakteri Staphylococcus aureus dibuat dengan cara meremajakan kembali kultur murni Staphylococcus aureus yang didapatkan dari Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Surabaya pada media NA Slant selama 24 jam, selanjutnya dilakukan inokulasi 1 ose bakteri dari media NA Slant ke dalam 10 ml NB steril dan diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37°C. Hasil kultur cair dibandingkan kekeruhannya dengan standar Mc. Farland No 1 (kekeruhan bakteri ± 3 ×108 CFU/ml) [13]. Selanjutnya, dilakukan pengenceran biakan bakteri Staphylococcus aureus menggunakan media NB steril hingga didapatkan konsentrasi 105 CFU/ml [14]. Setelah suspensi jadi, bakteri dibawa menggunakan tabung reaksi tertutup, dimasukkan ke dalam Cooling box untuk menjaga bakteri tetap pada suhu 2-8◦C. Suspensi bakteri siap digunakan untuk dipapar di luka jahitan.
Preparasi Hewan Coba
Mencit Webster 25 ekor dibagi kedalam 5 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 5 ekor mencit, dengan rincian kelompok kontrol negatif (K-) tidak diberikan intervensi, kelompok kontrol positif (K+) diberikan intervensi antibiotik Gentamisin, kelompok perlakuan 1 (P1) diberikan intervensi ekstrak daun sirih 5%, kelompok perlakuan 2 (P2) diberikan terapi ekstrak daun sirih 10%, dan kelompok perlakuan 3 (P3) diberikan intervensi ekstrak daun sirih 15%.
Semua kelompok mencit diberikan anastesi menggunakan kombinasi ketamin (dosis 40 mg/kgBB, konsentrasi 100 mg/mL) dan xylazine (dosis 5 mg/kgBB, konsentrasi 20 mg/mL) secara intraperitoneal [15], setelah itu dilakukan pencukuran rambut pada area punggung mencit dengan menggunakan pet clipper (alat cukur hewan). Pada bagian punggung diolesi dengan alkohol 70%, kemudian diukur dan diberi garis untuk memudahkan saat melakukan sayatan atau insisi sepanjang 2 cm dan kedalaman hingga subkutan menggunakan pisau bedah steril. [16] Darah yang keluar dibersihkan dengan aquades sampai perdarahan berhenti. Setelah itu luka dilakukan teknik penjahitan simple interrupted suture (jahitan terputus atau jahitan satu-satu). Suspensi bakteri dipaparkan di area jahitan kemudian tunggu 1-2 hari hingga muncul tanda infeksi seperti kemerahan, bengkak, dan keluar cairan berupa pus. [17] Setelah 2 hari, baru dilakukan intervensi sesuai pengelompokkan hewan coba. Intervensi diberikan 2x sehari secara topikal di area luka jahitan. Luka tidak ditutup dengan perban atau kasa karena untuk menghindari rasa ketidaknyamanan pada mencit dan memudahkan proses pengamatan.
Pengamatan hewan coba
Intervensi dilakukan selama 7 hari. Penilaian luka menggunakan skala REEDA, yang berarti pengukuran dilakukan dengan melihat Redness (kemerahan), Ecchymosis (perdarahan di bawah kulit), Edema (pembengkakan), Discharge (keluaran), dan Approximation (penyatuan jaringan).
Analisa Data
Analisis data dilakukan secara kuantitatif menggunakan SPSS. Dilakukan uji homogenitas menggunakan Levene Test dan ANOVA (Analysis of Variance) satu arah dengan tingkat kepercayaan 95% (P<0,05) untuk mengetahui perbedaan nyata antar kelompok perlakuan. Setelah itu dilakukan uji Saphiro Wilk untuk mengetahui normalitas data. Karena data tidak terdistribusi secara normal dan homogen maka dilakukan uji non parametrik menggunakan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian ekstrak daun sirih terhadap infeksi luka jahitan. Uji post hoc dilakukan untuk mengetahui ekstrak yang memiliki pengaruh secara spesifik.
Hasil dan Pembahasan
Uji Homogenitas | Sig. |
Levene test | 0,272 |
ANOVA | 0,001 |
Berdasarkan uji statistik menggunakan uji one way anova, didapatkan semua data tidak tersebar secara homogen dengan nilai signifikansi < 0,05. Data kemudian diuji normalitas menggunakan uji Saphiro Wilk, kemudian didapatkan hasil data tidak terdistribusi secara normal. Setelah mendapatkan hasil demikian, maka dimulai menghitung uji Kruskal Wallis untuk melihat apakah ada pengaruh pemberian ekstrak daun sirih terhadap penyembuhan infeksi luka jahitan dan ternyata hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti bahwa ada pengaruh pemberian ekstrak daun sirih terhadap penyembuhan infeksi luka jahitan dengan nilai signifikansi 0,010. Uji Kruskal Wallis hanya menunjukkan bahwa ada pengaruh, tapi tidak menunjukkan secara spesifik mana kelompoknya yang paling berpengaruh sehingga dilakukan uji Post Hoc untuk membandingkan setiap variabel.
Hari | Kelompok | N | Mean±SD | CI 95% | P Value |
1 | Kontrol + | 5 | 9 ± 0,00 | 0,00 | |
Kontrol - | 5 | 9 ± 0,00 | |||
Ekstrak 5% | 5 | 9 ± 0,00 | |||
Ekstrak 10% | 5 | 9 ± 0,00 | |||
Ekstrak 15% | 5 | 9 ± 0,00 | |||
2 | Kontrol + | 5 | 6,6 ± 0,55 | 5,92 – 7,28 | 0,272 |
Kontrol - | 5 | 7,6 ± 0,55 | 6,92 – 8,28 | ||
Ekstrak 5% | 5 | 6,2 ± 0,45 | 5,64 – 6,75 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 5,8 ± 0,84 | 4,76 – 6,84 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 5,6 ± 0,89 | 4,48 – 6,71 | ||
3 | Kontrol + | 5 | 5,4 ± 0,89 | 4,29 – 6,51 | 0,282 |
Kontrol - | 5 | 7,2 ± 1,09 | 5,83 – 8,56 | ||
Ekstrak 5% | 5 | 5,6 ± 0,55 | 4,92 – 6,28 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 5,8 ± 0,84 | 4,76 – 6,84 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 5,6 ± 0,89 | 4,49 – 6,71 | ||
4 | Kontrol + | 5 | 4,4 ± 0,89 | 3,29 – 5,51 | 0,024 |
Kontrol - | 5 | 7,2 ± 1,09 | 5,84 – 8,56 | ||
Ekstrak 5% | 5 | 5,2 ± 0,84 | 4,16 – 6,24 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 5,2 ± 0,45 | 4,64 – 5,75 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 5,2 ± 0,45 | 4,64 – 5,75 | ||
5 | Kontrol + | 5 | 4 ± 0,71 | 3,12 – 4,88 | 0,013 |
Kontrol - | 5 | 7,6 ± 0,89 | 6,49 – 8,71 | ||
Ekstrak 5% | 5 | 4,6 ± 0,55 | 3,92 – 5,28 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 3,8 ± 1,64 | 1,76 – 5,84 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 3,6 ± 1,14 | 2,18 – 5,02 | ||
6 | Kontrol + | 5 | 1,8 ± 0,45 | 1,24 – 2,35 | 0,093 |
Kontrol - | 4 | 7,5 ± 1,00 | 5,90 – 9,09 | ||
Ekstrak 5% | 5 | 3,8 ± 1,30 | 2,18 – 5,42 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 1,6 ± 0,89 | 0,49 – 2,71 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 1,4 ± 0,55 | 0,72 – 2,08 | ||
7 | Kontrol + | 5 | 0,0 ± 0,00 | 0,00 | |
Kontrol - | 3 | 7,3 ± 1,15 | 4,46 – 10,20 | ||
Ekstrak 5% | 5 | 1,6 ± 0,55 | 0,92 – 2,28 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 0,6 ± 0,55 | -0,08 – 1,28 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 0,4 ± 0,55 | -0,28 – 1,08 | ||
8 | Kontrol + | 5 | 0,0 ± 0,00 | 5,92 – 7,28 | 0,00 |
Kontrol - | 1 | 6 | |||
Ekstrak 5% | 5 | 0,6 ± 0,55 | -0,28 – 1,28 | ||
Ekstrak 10% | 5 | 0,4 ± 0,55 | -0,28 – 1,08 | ||
Ekstrak 15% | 5 | 0,0 ± 0,00 |
Pada hari pertama diberikan intervensi, semua kelompok menunjukkan skor REEDA yang hampir sama. Perbedaan tampak muncul saat hari kedua diberikan intervensi, terlihat bahwa ada penurunan jumlah skor pada kelompok kontrol positif, sedangkan pada kelompok kontrol negatif justru mengalami peningkatan skor yang menunjukkan penyembuhan luka semakin buruk dan infeksi semakin parah. Pada kelompok perlakuan, terdapat penurunan skor meskipun lebih lambat dari penurunan skor kelompok kontrol negatif. Di antara ketiga kelompok perlakuan, kelompok perlakuan yang ketiga yaitu yang diberikan salep ekstrak daun sirih 15% yang menunjukkan penurunan skor paling cepat. Faktor yang paling cepat berpengaruh dalam pemberian ekstrak daun sirih ini adalah faktor kemerahan dan inflamasi.
Pada hari ketiga tidak terdapat perbedaan hasil pada kelompok perlakuan ekstrak 10% dan 15%, tetapi pada kelompok perlakuan ekstrak 5% terdapat penurunan skor REEDA dari 6,2 menjadi 5,6. Kemudian pada hari keempat kelompok perlakuan mengalami penurunan dan menghasil skor yang sama yaitu 5,6. Pada hari kelima, proses penyembuhan luka pada kelompok kontrol positif menunjukkan bahwa proses berjalan dengan baik. Pada kelompok perlakuan juga ketiga-tiganya menunjukkan peningkatan proses penyembuhan luka yang ditunjukkan dengan penurunan skor REEDA. Sedangkan untuk kelompok kontrol negatif, proses penyembuhan semakin memburuk. Pada hari ketujuh, pada kelompok kontrol positif, luka sudah menutup seutuhnya sehingga skor REEDA menunjukkan angka 0, untuk kelompok perlakuan menunjukkan hasil skor antara 1-3 yang berarti proses penyembuhan luka berjalan dengan baik. sedangkan untuk kelompok kontrol negatif tidak ada perubahan penyembuhan luka.
Pada hari keenam, salah satu sampel di kelompok kontrol negatif mengalami drop out atau mati. Sehingga terjadi perbedaan jumlah sampel kontrol negatif dengan kelompok yang lain. Pada hari berikutnya, 1 ekor mencit kembali mati sehingga jumlah sampel menjadi 3, dan pada hari terakhir 2 ekor mencit mati sehingga jumlah sampel yang tersisa pada kontrol negatif pada hari terakhir adalah 1 ekor. Data yang didapat pada hari keenam dan ketujuh, jumlah sampel tidak sama sehingga data tidak berdistribusi normal.
Pada hari kedelapan, kelompok perlakuan ketiga yang diberikan salep ekstrak daun sirih 15% memberikan hasil skor 0, yang berarti luka pada mencit sudah menutup dengan baik, sedangkan untuk kelompok perlakuan ke 1 dan 2 masih memberikan hasil 0,6 dan 0,4 akan tetapi itu sudah menunjukkan bahwa proses penyembuhan luka baik sesuai dengan total skor REEDA. Proses penyembuhan luka kelompok kontrol negatif semakin memburuk dan tidak menunjukkan perbaikan sama sekali.
Bila dilihat dari gambar di atas, pada hari kedua kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan ekstrak 15% memberikan efek yang paling baik bila dibandingkan kelompok perlakuan ekstrak 5% dan 10%, bahkan kelompok perlakuan 15% menunjukkan penurunan rerata skor REEDA lebih banyak bila dibandingkan kelompok kontrol positif yang menggunakan antibiotik gentamisin.
Pada hari kedelapan, kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan ekstrak 15% berada pada titik yang sama, yaitu 0. Sedangkan untuk kelompok perlakuan 5% dan 10% tidak berada jauh dari titik 0, yang menunjukkan adanya penyembuhan luka berjalan dengan baik. Berbeda dengan kelompok kontrol negatif yang hanya memberikan penurunan sedikit bila dibandingkan pada saat hari kedua.
Kelompok Uji | Hari ke-2 | Hari ke-3 | Hari ke-4 | Hari ke-5 | Hari ke-6 | Hari ke-7 |
Ekstrak 5% | Ekstrak 10% | 0,362 | 0,721 | 1,000 | 0,246 | 0,001 |
Ekstrak 15% | 0,177 | 1,000 | 1,000 | 0,151 | 0,000 | |
Kontrol + | 0,362 | 0,721 | 0,124 | 0,381 | 0,002 | |
Kontrol - | 0,004 | 0,009 | 0,001 | 0,000 | 0,000 | |
Ekstrak 10% | Ekstrak 5% | 0,362 | 0,721 | 1,000 | 0,246 | 0,001 |
Ekstrak 15% | 0,646 | 0,721 | 1,000 | 0,768 | 0,726 | |
Kontrol + | 0,077 | 0,477 | 0,124 | 0,768 | 0,726 | |
Kontrol - | 0,000 | 0,020 | 0,001 | 0,000 | 0,000 | |
Kontrol + | Ekstrak 5% | 0,362 | 0,721 | 0,124 | 0,381 | 0,002 |
Ekstrak 15% | 0,777 | 0,477 | 0,124 | 0,768 | 0,726 | |
Kontrol + | 0,030 | 0,721 | 0,124 | 0,557 | 0,485 | |
Kontrol - | 0,030 | 0,004 | 0,000 | 0,000 | 0,000 | |
Kontrol - | Ekstrak 5% | 0,004 | 0,009 | 0,001 | 0,000 | 0,000 |
Ekstrak 15% | 0,000 | 0,020 | 0,001 | 0,000 | 0,000 | |
Kontrol + | 0,000 | 0,009 | 0,001 | 0,000 | 0,000 |
Dari hasil uji post hoc di atas dapat dilihat bahwa setiap kelompok perlakuan memiliki pengaruh terhadap infeksi luka jahitan. Pada hari pertama tidak dilakukan uji post hoc karena data sama, yakni rerata skor REEDA 9 setiap kelompok sehingga tidak bisa dilakukan perhitungan menggunakan uji post hoc. Pada hari kedua kelompok kontrol negatif memiliki pengaruh yang nyata dengan nilai p-value < 0,05 terhadap kelompok perlakuan yang lain. Hal ini terus berlanjut hingga hari ketujuh. Kelompok ekstrak 5% memberikan hasil yang paling nyata dibandingkan dengan kelompok perlakuan 15% dan 10% yang dimana pada hari ketujuh nilai p-value < 0,05. Tidak dilakukan uji post hoc di hari kedelapan karena kelompok kontrol positif dan kelompok ekstrak 15% sudah menunjukkan hasil rata-rata skala REEDA 0.
Daun sirih memiliki kandungan minyak atsiri, terutama klavikol yang memiliki efek sebagai bakterisid yaitu mencegah sintesis pertumbuhan dinding sel bakteri sehingga bisa berfungsi sebagai antibakteri. Daun sirih juga mengandung hidroxychavicol suatu senyawa anti inflamasi yang berperan dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Senyawa hidroxychavicol mampu menekan ekspresi TNF-α pada neutrofil manusia. Aktivitas antiinflamasi daun sirih juga disebabkan karena kandungan senyawa golongan flavonoid, saponin, tanin, dan minyak atsiri. Adanya flavonoid berfungsi sebagai pembatas pelepasan mediator inflamasi sehingga bisa meredakan inflamasi. Hal ini bisa dilihat dari hasil luka yang diolesi kandungan ekstrak daun sirih, tampak disitu bahwa edema hanya terjadi pada hari pertama saja, selanjutnya edema semakin berkurang dan semakin menipis. Mekanisme flavonoid menjadi antiinflamasi dengan cara menghambat permeabilitas kapiler dan menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga produksi prostaglandin berkurang [18]
Daun sirih juga memiliki daya antihistamin karena karena kandungan minyak atsiri (essential oil) dan ekstrak etanolnya (ethanolic extract). Daun sirih (Piper betle L) memiliki kandungan senyawa saponin yang berfungsi sebagai antioksidan, antifungal, antimikroba.[19] Dari penelitian ini juga terlihat bahwa ekstrak daun sirih memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Aktivitas antibakteri ini disebabkan oleh kandungan senyawa kavikol, yang merupakan turunan dari senyawa fenol. Senyawa kavikol memiliki aktivitas antibakteri lima kali lebih besar daripada senyawa turunan fenol yang lain [20]. Kandungan kavikol inilah yang membuat daun sirih bisa digunakan sebagai antiseptik. Selain Staphylococcus aureus, ekstrak sirih hijau memiliki aktivitas menghambat bakteri patogen lain seperti Eschericia coli, Salmonella sp, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus sp [21]
Semakin tinggi kadar ekstrak daun sirih yang digunakan, maka akan semakin banyak aktivitas antibakteri yang terjadi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan, 2007 kadar daun sirih 2,5% sudah menampakkan efek antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Rodiah, 2020 yang mengatakan bahwa ada aktivitas antibakteri yang dimulai pada konsentrasi 2,5%. Pada penelitian ini menggunakan konsentrasi ekstrak 5%, 10%, dan 15%. konsentrasi pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan yang dilakukan oleh Hermawan. Pada konsentrasi 15%, ekstrak daun sirih menunjukkan hasil antibakteri yang lebih bagus daripada konsentrasi 5% dan 10%. Pada dasarnya, setiap konsentrasi ekstrak daun sirih menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Tapi apabila dibandingkan dengan penggunaan antibiotika, ekstrak daun sirih masih dirasa kurang cepat untuk efektivitas antibakteri.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah pemilihan hewan coba mencit yang ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan jenis hewan coba lain, seperti Rattus. Karena tubuhnya yang kecil inilah diasumsikan mencit tidak kuat saat diberikan infeksi dan tidak diberikan intervensi. Pada penelitian selanjutnya mungkin bisa menggunakan hewan coba yang lebih besar seperti golongan Rattus yang memiliki daya tahan tubuh yang lebih kuat dibandingkan mencit
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh ekstrak daun sirih (Piper Betle L) terhadap infeksi Staphylococcus aureus pada luka jahitan hewan coba mencit Webster. Ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 15% menunjukkan hasil yang lebih optimal daripada ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 5% dan 10% bila dilihat dari rerata total skor REEDA di hari ketujuh. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji post hoc, ekstrak daun sirih 5% sudah memberikan pengaruh yang nyata karena nilai p-value yang didapat < 0,05. Saran untuk penelitian lebih lanjut mengenai potensi dari daun sirih ini sebelum digunakan sebagai alternatif pengobatan infeksi bakteri terutama yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
References
- M. Boushra and O. Rahman, "Postpartum Infection," *StatPearls*, Jul. 2022, Accessed: Nov. 06, 2022. [Online]. Available: [Link](https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560804/)
- D. E. Soper, "Infections of the Female Pelvis," *Mand. Douglas, Bennett’s Princ. Pract. Infect. Dis.*, vol. 1, pp. 1372.e1-1380.e2, 2014, doi: 10.1016/B978-1-4557-4801-3.00111-9.
- C. Rekha et al., "Ascorbic Acid, Total Phenol Content and Antioxidant Activity of Fresh Juices of Four Ripe and Unripe Citrus Fruits," *Chem. Sci. Trans.*, vol. 1, no. 2, pp. 303–310, 2012, doi: 10.7598/cst2012.182.
- S. Dalimartha, "Ensiklopedia Tanaman Obat Indonesia Jilid 3," p. 189, 2008, Accessed: Jan. 12, 2023. [Online]. Available: [Link](https://books.google.com/books/about/Atlas_tumbuhan_obat_Indonesia.html?hl=id&id=JMlbDOSNr0AC)
- T. Nalina and Z. H. A. Rahim, "The crude aqueous extract of Piper betle L. and its antibacterial effect towards Streptococcus mutans," *Am. J. Biochem. Biotechnol.*, vol. 3, no. 1, pp. 10–15, 2007, doi: 10.3844/ajbbsp.2007.10.15.
- A. Armianty and I. K. Mattulada, "Antibacterial effectiveness of betel leaf extract (Piper betle Linn) to Enterococcus faecalis," *J. Dentomaxillofacial Sci.*, vol. 13, no. 1, p. 17, 2014.
- S. Fuadi, "Efektivitas Ekstrak Daun Sirih Hijau ( Piper betle L .) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus pyogenes In Vitro," 2014.
- M. R. Wahyuningrum and E. Probosari, "Pengaruh Pemberian Buah Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap Kadar Trigliserida Pada Tikus Sprague Dawley Dengan Hiperkolesterolemia," *J. Nutr. Coll.*, vol. 1, no. 1, pp. 192–198, 2012, doi: 10.14710/jnc.v1i1.693.
- Institut Teknologi Bandung, "Guidelines on Animal Care and Use for Education School of Life Sciences and Technology Institut Teknologi Bandung," *Pandu. Sch. Life Sci. Technol.*, pp. 1–10, 2014.
- L. O. A. Rasydy, J. Supriyanta, and D. Novita, "Formulasi Ekstrak Etanol 96% Daun Sirih Hijau (Piper Betle L.) Dalam Bedak Tabur Anti Jerawat Dan Uji Aktivitas Antiacne Terhadap Staphylococcus Aureus," *J. Farmagazine*, vol. 6, no. 2, p. 18, 2019, doi: 10.47653/farm.v6i2.142.
- D. L. Y. Handoyo, "Pengaruh Lama Waktu Maserasi (Perendaman) Terhadap Kekentalan Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle)," *J. Farm. Tinctura*, vol. 2, no. 1, pp. 34–41, 2020.
- M. A. Iekram, "Efek Salep Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle L.) terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada Ayam Petelur (Gallus Leghorn)," Skripsi, p. Hal. 1-52, 2015.
- S. Ristya Hertanti, I. Suswati, and I. Setiawan, "Efek Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica Papaya L) Terhadap Shigella Dysenteriae Secara in Vitro Dengan Metode Dilusi Tabung Dan Dilusi Agar," *Saintika Med.*, vol. 11, no. 1, p. 1, 2017, doi: 10.22219/sm.v11i1.4188.
- G. S. De Santana, E. C. Dip, and F. Aguiar-alves, "Methicillin resistant Staphylococcus aureus ( MRSA ) and Methicillin susceptible Staphylococcus aureus ( MSSA ) cause dermonecrosis and bacteremia in rats," vol. 6, no. 1, pp. 6–11, 2015.
- L. Cicero, S. Fazzotta, V. D. Palumbo, G. Cassata, and A. I. Lo Monte, "Anesthesia protocols in laboratory animals used for scientific purposes," *Acta Biomed.*, vol. 89, no. 3, pp. 337–342, 2018, doi: 10.23750/abm.v89i3.5824.
- D. R. Fardila, "Terapi Salep Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.) Terhadap Ekspresi TNF-α Dan Jumlah Sel Radang Pada Tikus (Rattus norvegicus) Model Luka Insisi Yang Diinfeksi Methicillin_Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)," Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya, 2020.
- R. Sihombing and M. Alsen, "Infeksi Luka Operasi," *Majalah Kedokteran Sriwijaya*, vol. 46, no. 3, pp. 230–231, 2014, [Online]. Available: [Link](https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/view/2710).
- A. Fitriyani, L. Winarti, S. Muslichah, and D. Nuri, "Uji Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav ) Pada Tikus Putih Anti-inflammatory Activityy