Abstract
The examination parameters used to detect febris are leukocytes (WBC), erythrocytes (RBC), hemoglobin (Hb), hematocrit, and platelets. Leukocyte examination is very important to detect the cause of febris. The purpose of this study was to determine the comparison of the number of leukocytes, lymphocytes, monocytes, and neutrophils in patients with infectious and non-infectious febris. This study used a laboratory experimental research design, with quantitative methods. The research subjects were febris patients aged 0-5 years with a total of 60 patients. Data showing a significance value of p=0.000 (p<0.05) means that there is a comparison between the number of infectious and non-infectious febris leukocytes and the number of monocytes shows a significance value of p=0.003 (p<0.05) means that there is a comparison between the number of monocytes of infectious and non-infectious febris patients. While the number of lymphocytes showed a significance value of p=0.482 (p>0.05) meaning that there was no comparison between the number of lymphocytes with febris infection and non-infection, and the number of neutrophils showed a significance value of p=0.287 (p>0.05) meaning that there was no comparison between the number of neutrophils with febris infection and non-infection. Conclusion on the examination of the number of leukocytes, lymphocytes, monocytes, and neutrophils in infectious and non-infectious febris patients, there is a comparison in the number of leukocytes and monists between infectious and non-infectious febris patients.
Highlight:
- Leukocyte exams crucial for febrile diagnosis.
- Variances in leukocyte and monocyte counts aid distinction.
- Unique cell count patterns reveal infection types.
Keyword: Febris, Leukocytes, Lymphocytes, Monocytes, Neutrophils
Pendahuluan
World Health Organization (WHO) diperkirakan 16 hingga 33 juta orang mengalami demam di seluruh dunia dan 500.000 hingga 600.000 meninggal setiap tahun. Anak penderita demam di Brazil sebanyak 19%-30%. Di Indonesia penderita demam sebanyak 465 (91,0%), kebanyakan dari itu kondisi demam pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh virus, anak sembuh tanpa pengobatan khusus. Balita sekitar 10-15% demam di Asia dengan tanda-tanda atau terindikasi penyakit. Peristiwa ini terjadi antara usia 1 bulan hingga 5 tahun peristiwa itu terjadi sebagian besar pada usia 14-18 bulan. Insiden demam bervariasi dari satu negara ke negara. Prevalensi kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa berkisar dari 2% hingga 55%. Jika dengan Amerika Serikat dan di Eropa, kejadian demam kali lebih tinggi dibandingkan di Asia. Jepang memiliki angka demam yang tinggi sekitar 8,35-9%, sedangkan demam tinggi di Guam 14% [1]
Berdasarkan hasil Kemenkes RI, 2018, 31% anak Indonesia berusia di bawah 5 tahun atau bayi mengalami demam, 37% bayi yang berusia 6-23 bulan rawan demam dan 74% dirawat di fasilitas kesehatan. Dinas Kesehatan Jawa Timur mengatakan bahwa kasus demam terbilang menurun dibandingkan di tahun 2019 [2]. Demam di Jawa Timur tahun 2020 sebanyak 8.567 penderita, dengan jumlah kematian 73 orang. Angka kesakitan demam di jawa timur sebesar 21,5 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian sebesar 0,9% [3].
Febris secara klinis adalah peningkatan suhu tubuh 1°C atau lebih dari suhu normal tubuh. Rentang suhu pada tubuh bervariasi tergantung lokasi pengukuran, sebagai contoh suhu tubuh pada ketiak adalah 34,7-37,4°C dengan nilai normal suhu tubuh di ketiak adalah 36,4°C maka 1°C di atas rata-rata yaitu 37,4°C peningkatan suhu disebut sebagai demam [3]. Febris terjadi ketika proses infeksi atau non infeksi yang berkaitan dengan proses pertahanan inang. Pada anak yang berada di masa pertumbuhan, yang disebabkan secara biologis dapat diidentifikasi dan menghilang setelah beberapa saat [1].
Sebagian besar febris pada anak terjadi karena adanya respon terhadap infeksi virus yang sembuh sendiri dalam 3 hari atau respon terhadap infeksi bakteri yang tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Kecenderungan yang menyebabkan munculnya demam, seperti: alergi, dehidrasi atau kekurangan cairan, pertumbuhan gigi, paparan panas yang berlebihan dan adanya gangguan sistem imun. Febris juga menjadi tanda adanya infeksi, kondisi ini menjadi serius dan dapat mengancam jiwa, seperti: sepsis, atritis septik, pneumonia dan meningitis [4]. Pemeriksaan awal pada penderita febris secara rinci memfokuskan pada sumber infeksi seperti, skala penilaian evaluasi menangis, warna kulit, status dehidrasi, variasi keadaan dan pengukuran suhu badan. Pemeriksaan laboratorium pada pasien febris perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap, seperti: Leukosit, Hemoglobin, Hematokrit, dan LED [5].
Leukosit atau sel darah putih merupakan bagian yang dapat bermobilitas dalam sistem pertahan tubuh. Leukosit berfungsi sebagai penunjang agregasi patogen dengan proses fagositosis, membersihkan tubuh dari bahan sampah dengan memfagositosis debris dari sel mati, mengidentifikasi atau menghancurkan sel kanker yang ada dalam tubuh, dan berpartisipasi dalam penyembuhan atau perbaikan jaringan yang rusak. Leukosit berbagai macam dalam struktur, jumlah dan fungsi. Ada lima jenis leukosit yang bersirkulasi yaitu: neutrofil, eosinofil, basinofil, monosit, dan limfosit. Dibagi menjadi dua golongan berdasarkan gambaran nukleus dan ada tidaknya granula dalam sitoplasma. Granulosit polimorfonuklear terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil. Kategori agranulosit mononuklear terdiri dari monosit dan limfosit [6].
Limfosit memainkan peran penting dalam respon imun tubuh melawan terhadap infeksi bakteri dan virus. Biasanya, jumlah limfosit 15-45%. Limfosit memiliki umur 100 sampai 300 hari. Pada infeksi disebabkan oleh virus, penyakit bakteri, dan gangguan hormonal, jumlah absolut limfosit meningkat. Infeksi virus seperti infeksi mononukleosis, hepatitis, gondongan, campak, pneumonia, kanker sel plasma dan insufisiensi adrenal [7]. Limfosit dibagi menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T bertanggungjawab merespon kekebalan seluler dengan cara membentuk sel reaktif dengan antigen dan untuk mengatasi radikal bebas di aliran darah dan dalam kelenjar getah bening, jumlah limfosit T sekitar 75% dari jumlah total limfosit. Limfosit B berfungsi untuk menghasilkan antibodi IgA, IgD, IgE, dan IgM, jumlah limfosit B kurang lebih 25% dari jumlah total limfosit [7].
Monosit berukuran lebih besar dari neutrofil, monosit membentuk 5-7% dari total sel darah putih. Monosit berfungsi sebagai sekresi enzim, pematangan sel, interaksi dengan imunogen dan berfungsi sebagai fagosit seperti memindah zat kontaminan, sel-sel mati, puing-puing selular dan mikroorganisme patogen [8]. Monosit tidak dapat bertahan dalam jangka panjang di aliran darah, pergerakan monosit sepanjang pseudopodia kapiler dan menembus ke dalam jaringan ikat. Monosit bermigrasi ke jaringan yang disebut dengan makrofag, terlibat dalam fagositosis dan mengirimkan antigen ke limfosit. Makrofag dapat membelah [9]. Neutrofil adalah leukosit dengan 3-5 lobus inti yang dihubungkan oleh benang kromatin dan sitoplasma. Neutrofil bersifat fagositik, yang berarti memakan mikroorganisme asing seperti bakteri. Neutrofil bertindak sebagai garis pertahanan tubuh terhadap zat asing, terutama bakteri. Bersifat fagosit dan dapat menyerang jaringan yang terinfeksi [7].
Berdasarkan penelitian sebelumnya penderita kejang demam dengan 134 responden, sebanyak 69 responden mengalami leukopenia, 4 responden jumlah leukosit normal, 64 responde terjadi leukositosis dan 5 responden tidak teridentifikasi jumlah leukositnya. Jumlah leukosit yang tinggi mungkin tidak digunakan sebagai tanda utama adanya infeksi pada anak dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya [10].
Berdasarkan penelitian sebelumnya didapatkan hasil jumlah limfosit pada anak-anak secara teoris meningkat. Berdasarkan pada penelitian ini, rata-rata kadar limfosit penderita demam tifoid dengan berdasarkan usia <12 tahun dari 21 responden, 4 responden (19%) mengalami limfopenia, 7 responden (33,3%) jumlah limfosit normal 10 responden (74,6%) mengalami limfositosis. Sedangkan berusia 12 tahun dari 34 responden, diperoleh 6 responden (17,6%) mengalami limfopenia, 18 reponden (52,9%) jumlah limfosit normal dan 10 responden (29,4%) mengalami limfositosis [11].
Berdasarkan penelitian sebelumnya penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan 210 responden. Jumlah neutrofil yang mengalami peningkatan dengan presentase 38 responden (18,1%) karena pada awal DBD terjadi penurunan leukosit dan kemudian kembali normal karena adanya dominasi dari sel neutrofil, jumlah neutrofil normal 122 responden (58,1%) dan mengalami penurunan dengan presentase 50 responden (23,8%) dapat disebabkan adanya infeksi virus. Presentase jumlah monosit yang terjadi peningkatan sebanyak 163 responden (77,6%), jumlah monosit normal sebanyak 45 responden (21,4%), dan terjadi penurunan sebanyak 2 (1,0%) terjadi peningkatan karena sel fagosit mononukleas menjadi tempat terjadinya infeksi virus yang mereplikasi dalam sel fagosit [12].
Metode
Penelitian ini telah mendapatkan Ethical Clearance di peroleh dari Rumah Sakit Siti Khodijah Muhammadiyah Sepanjang dan dinyatakan layak etik dengan Nomor 002/KET-KEPK/2-2023. Jenis penelitian yang digunakan ini adalah kuantitatif dengan desain penelitian eksperimental laboratorik. Dilakukan di Rumah Sakit Siti Khodijah Muhammadiyah Sepanjang pada bulan Maret sampai April 2023. Sampel penelitian ini adalah 30 pasien febris infeksi dengan diagnosa tifoid dan 30 pasien non infeksi dengan diagnosa kejang yang berasal dari Rumah Sakit Siti Khodijah Muhammadiyah Sepanjang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive random sampling (teknik sampling dengan pertimbangan kriteria tertentu). Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini Sysmex Xs-800i (hematology analyzer). Bahan yang digunakan meliputi: Cellpack, Stromaylzer 4Dl, Stromaylzer 4DS, Sulfolyser dan Cellclean. Data dari hasil penelitian di analisis menggunakan SPSS 21 dengan uji statistik uji T Test.
Hasil dan Pembahasan
Pemeriksaan | Rata-rata hasil pengukuran ± SD |
---|---|
Leukosit Infeksi | 11,4257 ± 3,4408 |
Leukosit Non Infeksi | 7,4653 ± 2,8874 |
Limfoit Infeksi | 35,817 ± 19,6200 |
Limfosit Non Infeksi | 32,533 ± 16,1162 |
Monosit Infeksi | 15,307 ± 4,1440 |
Monosit Non Infeksi | 12,343 ± 3,2824 |
Nutrofil Infeksi | 58, 617 ± 12,9669 |
Neutrofil Non Infeksi | 54,804 ± 19,3568 |
Berdasarkan Tabel 1 Bahwa di dapatkan rerata jumlah leukosit pada penderita febris infeksi sebesar 11,425 103/µL dan rerata jumlah leukosit pada penderita febris non infeksi sebesar 7,465 103/µL, pertama dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji normalitas, hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh signifikan (p > 0,05) data terdistribusi normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas varians menggunakan uji Leven’s test of varians diperoleh (p > 0,05) data homogenitas terpenuhi selanjutnya dilakukan uji lanjutan menggunakan uji T Test. Dari hasil uji T Test didapatkan hasil signifikan 0,00<0,05 yang artinya terdapat perbedaan bermakna antara jumlah leukosit penderita febris infeksi dan non infeksi.
Di dapatkan rerata jumlah limfosit pada penderita febris infeksi sebesar 35,817 % dan rerata jumlah limfosit pada penderita febris non infeksi sebesar 32,533 %, hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh signifikan (p > 0,05) data terdistribusi normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas varians menggunakan uji Leven’s test of varians diperoleh (p > 0,05) data homogenitas terpenuhi selanjutnya dilakukan uji lanjutan menggunakan uji T Test. Dari hasil uji T Test didapatkan hasil signifikan 0,425>0,05 yang artinya tidak terdapat beda nyata antara jumlah limfosit penderita febris infeksi dan non infeksi.
Di dapatkan rerata jumlah monosit pada penderita febris infeksi sebesar 12,343 % dan rerata jumlah monosit pada penderita febris non infeksi sebesar 15,307 %, Hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh signifikan (p > 0,05) data terdistribusi normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas varians menggunakan uji Leven’s test of varians diperoleh (p > 0,05) data homogenitas terpenuhi selanjutnya dilakukan uji lanjutan menggunakan uji T Test. Dari hasil uji T Test didapatkan hasil signifikan 0,003<0,05 yang artinya bahwa terdapat perbedaan bermakna antara jumlah monosit penderita febris infeksi dan non infeksi.
Di dapatkan rerata jumlah neutrofil pada penderita febris infeksi sebesar 58, 617 % dan rerata jumlah neutrofil pada penderita febris non infeksi sebesar 54,804 %, hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-Wilk diperoleh signifikan (p > 0,05) data terdistribusi normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas varians menggunakan uji Leven’s test of varians diperoleh (p > 0,05) data homogenitas terpenuhi selanjutnya dilakukan uji lanjutan menggunakan uji T Test. Dari hasil uji T Test didapatkan hasil signifikan 0,287>0,05, yang artinya tidak terdapat beda nyata antara jumlah neutrofil penderita febris infeksi dan non infeksi.
Febris infeksi adalah demam yang disebabkan oleh patogen seperti bakteri, kuman, virus, atau hewan kecil lainnya yang masuk ke dalam tubuh manusia. Kuman, virus, atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara, misalnya melalui udara, makanan, atau kontak fisik. Vaksinasi termasuk dalam kategori ini karena imunisasi bertujuan untuk pemusnahan kuman, bakteri, atau melemahkan virus sehingga masuk ke dalam tubuh dan menghasilkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Febris non-infeksi jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Febris non-infeksi disebabkan oleh kelainan fisik yang ada sejak lahir yang tidak ditangani dengan baik. Contoh febris non infeksi antara lain adalah yang disebabkan oleh penyakit degeneratif, demam yang disebabkan oleh stres, atau demam yang disebabkan oleh penyakit serius seperti leukemia dan kanker [4]. Febris timbul akibat proses infeksi dan non infeksi yang berinteraksi dengan mekanisme pertahanan tubuh. Dalam proses ini, makrofag, leukosit, dan limfosit memfagosit bakteri atau fragmen jaringan dengan granula ukuran besar. Semua sel kemudian memecah bakteri dan melepaskan pirogen ke dalam darah [5]. Usia merupakan faktor internal yang berhubungan dengan akitivitas sehari-hari. Anak dibawah usia 5 tahun lebih rentan karena respon imun spesifik dan memori imunologis yang tersimpan dalam sel dendritik dan kelenjar getah bening belum sempurna [11].
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan jumlah leukosit penderita infeksi menunjukkan terjadinya peningkatan sebagai respon terhadap penyakit. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan respon imun pasien dan resistensi pasien terhadap virus dan bakteri tersebut. Respon tubuh terjadi stimulasi pematangan dan pelepasan leukosit yang dimediasi sitokin dari sumsum tulang untuk meningkatkan jumlah leukosit dalam darah. Ketika infeksi terjadi, leukosit akan bekerja untuk menghancurkan organisme yang menyebabkan infeksi. Jika penyebab infeksi menetap dan terdapat dalam jumlah besar di dalam tubuh, endotoksin dalam tubuh dapat menyebabkan supresi sumsum tulang dan hemofagositosis oleh makrofag di dalam sumsum tulang tempat terbentuknya leukosit dan juga mempengaruhi jumlah pirogen endogen yang dilepaskan sebagai penyebab demam [12].
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat hubungan antara infeksi jangka pendek dengan sel leukosit yang cenderung meningkat sel leukosit granulosit yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil. Jika infeksi berkepanjangan sel yang cenderung meningkat adalah sel leukosit agranulosit yaitu salah satunya limfosit. Faktor yang mempengaruhi karena terjadinya infeksi lain yang memungkinkan mempengaruhi fungsi sumsum tulang, status imunitas pasien dan invasi dari bakteri atau virus. Limfosit berperan dalam menjaga sistem kekebalan tubuh, cara kerja limfosit dalam melawan bakteri dan virus dengan cara memproduksi antibodi [13].
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa presentase jumlah monosit lebih dari nilai normal, dalam kasus infeksi yang disebabkan oleh benda asing, monosit dengan cepat bermigrasi dari pembuluh darah ke area yang terinfeksi untuk melakukan fagositosis. Monosit berperan sebagai Antigen Presenting Cell, mengenal, menyerang mikroba, memproduksi sitokin dan mengarahkan pertahanan sebagai respon terhadap infeksi. Sel monosit seterusnya akan hidup di dalam jaringan sebagai makrofag [14].
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukkan presentase jumlah neutrofil sebagai tanda terjadinya proses fagositosis yang merupakan fungsi pada saat terjadi peradangan. Neutrofil diproduksi di sumsum tulang belakang dan kemudian disalurkan ke seluruh tubuh dan mampu memasuki jaringan tubuh yang terinfeksi untuk melawan bakteri dan virus. Penurunan jumlah neutrofil dapat disebabkan karena adanya infeksi virus dan kondisi tubuh tidak mampu dalam melawan mikroba tersebut secara optimal [15].
Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah leukosit, limfosit, monosit dan neutrofil pada penderita febris infeksi dan non infeksi. Dari hasil uji T Test menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan jumlah leukosit (p=0,000) dan jumlah monosit (p=0,003) antara pasien febris infeksi dan non infeksi. Sedangkan tidak terjadi perbedaan antara jumlah limfosit (p=0,482) dan jumlah neutrophil antara pasien febris infeksi dan non infeksi (p=0,287).
References
- D. Santoso, E.D. Cahyani and M. Murniati, "Asuhan Keperawatan Hipertermia Pada An S Dengan Febris Di Ruang Firdaus Rsi Banjarnegara", JIP, vo.3,no. 7, Des 2022, hal. 6915-6922 doi:10.47492/jip,v3i7.2196..
- Kemenkes, RI Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018, vol 53, no 9, 1689-1699. 2018
- Dinkes Jatim. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2020. Dinas Kesehtan Provinsi Jawa Timur, 82-83
- E. K. Sari and R. T. Ariningpraja, "Demam Mengenal Demam dan Aspek Perawatannya". Universitas Brawijaya Press, 2021.
- L. Waruwu, "Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Penanganan Demam Dalam Pemberian Kompres Hangat Pada Anak Usia Balita Di Desa Soledua Kecamatan Hilimegai Kabupaten Nias Selatan" Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, Karya Tulis Ilmiah, 2019.
- K. M. W. Wati, "Asuhan Keperawatan Pada An. H dengan Demam di Desa Karang Tengah RT. 01 RW. 11 Kecamatan Pengadengan Kabupaten Purbalingba", Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Karya Tulis Ilmiah, Des 2020.
- M. A. Yahya, "Asuhan Keperawatan Pada Klien An. Q Dengan Febris Di Ruang Rawat Inap Anak Rsud Dr. Achmad Mochtar Bukittinnggi Tahun 2018", Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang, Karya Tulis Ilmiah, Jun 2018.
- “I. Hardi, A.Suharni and M.Asri, "Higiene Industri Pajanan Benzena 2021”, Deepubish Publisher, Agus 2021.
- F. Giyartika and S. Keman, "The Differences of Improving Leukosit in Radiographers at Islamic Hospital Jemursari Surabaya", JKL, vol. 12, no. 2, hal. 97-106, doi: 10.20473/jkl.v12i2.2020.97-106, Apr. 2020.
- P. Soesilawati, "Histologi Kedokteran Dasar". Airlangga University Press, 2020.
- A. N. Ainiyah, "Profil Penderita Kejang Demam Di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Kota Batu Tahun 2018- 2020" Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Skripsi, 2021.
- P.J. Yuntoharjo, A. Nahwa and Hardian, "Perbandingan Antara Nilai Rasio Neutrofil Limfosit (NLCR) Pada Anak Dengan Demam Dengue Dan Demam Berdarah Dengue, vol. 7, no. 2, 2018.”
- W. A. A. Anggraini," Jumlah Leukosit Pada Pasien Demam Tifoid. Di RSUD Jombang", Institusi Teknologi Sains dan Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang, Karya Tulis Ilmiah, Agus 2022.
- R. Simamora, "Gambaran Hitung Jumlah Limfosit Pada Penderita Demam Tifoid Di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang Tahun 2019, Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang, Karya Tulis Ilmiah, 2019".
- D. Wulandari and S. Wantini, "Gambaran Jenis Leukosit Pada Penderita Demam Berdarah Dengue ( DBD ) di RS Advent Bandar Lampung", vol. 5, no. 1, Maret 2016.