Abstract
This research delves into the rich oral folklore tradition across different historical periods in Sidoarjo's villages, spanning from the Kahuripan Prabu Airlangga era to Islamic and Dutch colonial periods. The study aims to hermeneutically interpret these narratives to uncover their profound philosophical and meaningful content, specifically focusing on their potential as positive role models for the younger generation. The selected villages include Bendotretek, Semambung, Becirongengor, Singopadu, and Trompoasri, which hold symbols passed down since the Kahuripan era. This exploration seeks to present these enduring symbols in a contemporary context, aligning with current generational trends. The research outcome offers valuable insights into the cultural heritage's adaptability and relevance, fostering cross-generational understanding and appreciation.
Highlight:
- Temporal Span: Investigates Sidoarjo villages' oral folklore, spanning Kahuripan Prabu Airlangga, Islamic, and Dutch colonial eras.
- Philosophical Exploration: Utilizes hermeneutical approach to unveil profound meanings and positive role models within the narratives.
- Generational Alignment: Aligns enduring symbols with contemporary trends, fostering cross-generational appreciation and understanding.
Keyword: Folklore, Hermeneutics, Cultural Heritage, Generational Values, Contemporary Relevance
Pendahuluan
Penelitian ini berupaya menjawab lemahnya kesukaan generasi muda terhadap lokalitas (kekayaan pengetahuan luhur dari cerita-cerita rakyat) yang ada di Sidoarjo. Hasil penelitian melalui bedah makna semiotik dari cerita-cerita rakyat yang ada di 4 (empat) desa di Sidoarjo akan ditampilkan dalam bentuk video puisi. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian PSPB tahun 2022 bersubjek cerita rakyat di Sidoarjo. Cerita rakyat sering pahami sebagai mitos belaka, pengantar tidur anak-anak dan dilupakan begitu saja ketika mereka dewasa dan terbangun dari mimpimya. Manusia dewasa dihadapkan pada permasalahan sosial, sehingga upaya pencarian solusi selalu menjadi aktivitas rutin manusia dewasa selama ia mampu berpikir. Pemikiran tentang kajian mitos yang tersimpan dalam cerita dari desa-desa di Sidoarjo di bawah ini merupakan bagian pencarian solusi, utamanya solusi keadilan sosial bagi seluruh rakyat lndonesia. Pemaknaan mitos dari desa-desa di Sidoarjo masih menjadi masalah yang perlu digali berdasarkan logika. Roland Barthes mengatakan “Mitos adalah suatu nilai”, nilai tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi masayarakat dalam ruang dan waktu yang berbeda. Konsep mitos dapat berubah, dapat dibuat kembali, dapat terurai, dapat juga hilang sama sekali [1] .
Penafsiran dan penerapan nilai-nilai kehidupan yang tersimpan dalam mitos cerita rakyat di Sidoarjo haruslah disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat masakini, diuraikan maknanya, dan harus dijaga sebagai kearifan lokal yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat lndonesia. Nasrullah menjelaskan bahwa tiap wilayah bahasa masyarakat lndonesia memiliki logika bahasa masing-masing sesuai dengan fungsi budayanya, dan akan disesuaikan dengan kondisi sosiokebahasaannya [2]. Ekspresi budaya masyarakat di setiap ditafsirkan mempunyai karakter keadilan sosial yang beragam sesuai kebutuhannya. Penelitian ini ditujukan sebagai praktik visualisasi cerita rakyat dalam video puisi yang konsisten dengan filsafat estetika.
Belajar dari kearifan lokal yang sudah ada dan diwariskan secara luhur oleh nenek moyang bangsa lndonesia adalah suatu konsep penting dan harus dilakukan. Pembelajaran tersebut dapat memupuk rasa bangga dan rasa percaya diri bahwa bangsa lndonesia merupakan bangsa yang besar. Di Sidoarjo pernah menjadi pusat kejayaan Nusantara pada masa Airlangga dengan negeroi besar Kahuripan. Simbol-simbol yang diwariskan sejak masa Kahuripan disajikan dalam bentuk cerita rakyat yang masih sangat perlu dikaji dan disajikan sesuai dengan tren kegemaran generasi masa kini.
Peneliti pernah melakukan penelitian tentang serat bermetrum macapat pada tahun 2011 dilanjutkan 2014 dengan objek Serat Mursada. Telaah deskriptif falsafah hidup masyarakat Jawa secara umum mengikuti pandangan hidup kraton (Jawa Pedalaman) yang diciptakan atau dituliskan oleh para pujangganya. Terdapat beberapa karakter dalam Serat Mursada pandangan Jawa pinggiran (pesisiran) yaitu di pesisiran yang mayoritas penduduknya nelayan. Pandangan hidup untuk menata keselarasan hidup umat manusia dalam interaksinya dengan Tuhan, alam, dan sesama makhluk demi mencapai kehidupan yang sempurna bagi masayakat tempat teks Serat Mursada dituliskan [3]. Penelitian pada Serat Mursada membandingkan pandangan umum masyarakat Jawa Kraton dan Jawa Pesisiran dari sudut pandang falsafah kehidupan. Persamaan dengan penelitian dibawah ini adalah sama—sama mengkaji serat bermetrum macapat, sedangkan perbedaannya adalah kajian Serat Cemporet berlanjut pada kajian prinsip perilaku ekonomi bagi yang diajarkan R.Ng. Ronggowarsito Pujangga Kraton Surakarta.
Tahun 2019 dilakukan penelitian terkait dengan budaya lokal dalam Serat Cemporet yang diciptakan oleh R.Ng. Ronggowarsito. Teori dan metode yang digunakan adalah perpaduan antara filosofi macapat disandingkan dengan teori simbol Roland Barthes. Di dapatkan tentang representasi kemakmuran alam yang dapat mendukung ksesetabilan ekonomi masyarakat lndonesia [3].
Metode
Mitologi Roland Barthes
Teori yang ditawarkan Barthes akan mampu membedah simbol-simbol yang pada teks kisah desa-desa di Sidoarjo dan diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan pandangan masyarakat masa sekarang. Alasan yang kedua adalah belum ditemukan teori yang khusus menelaah teks macapat untuk mendapatkan hasil sampai pada tataran mitos ketika dikaitkan dengan bukti sejarah. This generic way of conceiving language is in factjustified by the history of writing: long before the invention ofour alphabet, objects like the Inca quipu, or drawings, as inpictographs, have been accepted as speech. This does not meanthat one must treat mythical speech like laguage; myth in factbelongs to the province of a general science, coextensive with linguistics, which is semiology [4]. Dalam mitos menurut Barthes berdimensi 3 yaitu: penanda, petanda dan tanda. Perlu dipertimbangkan bahwa mitologi adalah suatu sistem terkhusus, karena mitos terbentuk berdasarkan rangkaian semiologis yang sudah lahir terdahulu. Mitos merupakan proses bagian kedua dari semiologi [4]. Pemahaman bahwa spesialisasi di bawah ini adalah sebuah metafora:
Dapat dikatakan bahwa dalam mitos terpaut antara makna satu dengan makna lain yang dilahirkan bahasa. Adalah bahasa yang disampaikan berulang-ulang. Di dalamnya mengandung sistematika semiologi.Metode wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dalam kajian ini. Masyarakat desa, sesepuh, atau tetua desa sebagai subjek pencerita yang mengisahkan cerita rakyat asal-usul desa.
Hasil da Pembahasan
A. Beberapa Kisah Desa Budaya
1) Ikatan Persaudaraan Desa Bendotretek
Desa Bendotretek, terletak di Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, memiliki sejarah lokal yang berkaitan dengan arti nama "Tretek". Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, Tretek merupakan sebuah kata dalam bahasa Jawa yang memiliki makna "jembatan". Legenda lokal mengisahkan bahwa di masa lalu, Desa Bendotretek terletak di sekitar aliran sungai yang cukup lebar. Untuk menghubungkan kedua sisi sungai tersebut, masyarakat desa membangun sebuah jembatan dari pohon bendo. Jembatan ini menjadi sarana penting dalam mobilitas dan komunikasi antarwarga desa serta pemukiman sekitarnya [5].
Nama Tretek kemudian melekat kuat sebagai identitas Desa Bendotretek, mencerminkan pentingnya jembatan sebagai simbol persatuan dan keterhubungan antarwarga. Selain memiliki makna harfiah sebagai jembatan, Tretek juga dapat diartikan sebagai persatuan dan hubungan yang erat di antara masyarakat desa. Sejarah lokal mengenai arti nama Tretek di Desa Bendotretek merupakan bagian dari identitas dan kekayaan budaya masyarakat setempat. Melalui pengetahuan dan pemahaman akan sejarah ini, masyarakat dapat lebih menghargai warisan budaya dan memperkuat rasa kebersamaan serta identitas sebagai penduduk Desa Bendotretek.
2) Sejarah Tugu Peluru Wonoayu
Sebuah tugu berbentuk peluru besar berdiri persis di samping perempatan jalan Raya Wonoayu menuju Krian. Pada masa perang kemerdekaan di Desa Semambung ini, pernah terjadi pertempuran hebat antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan tentara Inggris yang berasal dari India. "Jika kota Surabaya adalah kota pahlawan, maka Sidoarjo adalah kota pertahanan." terang Ahmad Zaki Yamani. Salah satu pemateri yang memaparkan perjuangan para pejuang Wonoayu dalam mempertahankan kemerdekaan.
Peristiwa yang melatar belakangi pertempuran di Wonoayu terjadi pada tanggal 24 Desember 1945. Saat pesawat Thunderbolt milik Inggris ditembak jatuh oleh pihak Indonesia karena memasuki teritorial Republik Indonesia dan berhasil menawan pilot pesawat bernama Davidson. Pasukan Inggris dikerahkan untuk mencari pilot mereka yang jatuh di sekitar Sidoarjo.
Saat Tentara Inggris masuk ke wilayah Sidoarjo, terjadi pertempuran sengit dimana dalam pertempuran itu telah menggugurkan empat pimpinan perang. Korban pertempuran di Wonoayu diantaranya adalah: Kapten Herkamto, Letnan Satu Soemardanoe, Letnan Dua M Said Ibnoe, Prajurit Satu M Ikwan, Untuk mengenang jasa dan perjuangan mereka dalam mempertahankan wilayah kedaulatan negara Indonesia, dibangunlah tugu peringatan yang dibuat menyerupai peluru. Tugu ini menjadi tanda dimana telah terjadi pertumpahan darah demi menahan laju pergerakan pasukan Inggris agar tidak meluas.
Kini tugu peluru Wonoayu masih tetap berdiri. Monumen peringatan pertempuran diresmikan oleh bupati Sidoarjo Edhi Sanyoto pada 22 November 1992. Akan tetapi, keberadaan tugu yang memiliki bentuk amunisi senjata berat tersebut sudah ada jauh sebelum monumen diresmikan [6].
3) Desa Singopadu: Pertarungan Dua Jagoan.
Sebelum dinamakan desa Singopadu, dahulu wilayah ini adalah hutan yang lebat (gung liwang liwung dalam istilah Jawa). Pada sekitar tahun 1810 terjadi sebuah peristiwa ketika sebuah singa meneror wilayah tersebut, tetapi berhasil ditaklukan oleh seorang laki-laki yang kemudian dinamai Mbah Singo. Setelah sekitar 17 tahun kemudian, muncul sosok sakti bernama Mbah Bei atau Mbah Kerto, yang menjadi penguasa hutan di wilayah tersebut dan dinamai sebagai Mbah Kerto Wono Joyo. Pada sekitar tahun 1830, terjadi perselisihan antara Mbah Singo dan Mbah Kerto Wono Joyo yang berakhir tragis dengan kematian Mbah Singo. Sebelum meninggal, dia meminta agar wilayah tersebut diberi nama Desa Singopadu. Nama Singopadu disahkan pada tanggal 17 Agustus 1838, di hari Jumat Kliwon [7].
4) Spirit Diponegoro di Desa Becirongengor
Sesepuh desa mengatakan desa Becirongengor berdiri sekitar tahun 1800-an Masehi. Namun kisah yang bercerita tentang penamaan desa sudah ada sejak masa akhir Majapahit. Di akhir Majapahit wilayah tersebut masuk dalam Kadipaten Terung yang dipimpin oleh Raden Kusen. Tenggelamnya Majapahit membuat wilayah tersebut jauh dari kekuasaan, karena pusat pemerintahan dibawa oleh Raden Patah ke Demak. Ketika Belanda menjajah lndonesia wilayah tersebut dicatat sebagai wilayah desa Becirongengor. Becirongengor adalah gabungan dari 2 nama yaitu dusun Beciro disatukan dengan dusun Ngengor. Di masa akhir Majapahit wilayah tersebut berupa rawa yang terhubung dengan wilayah Terung. Rawa atau yang disebut mbet oleh para tetua desa dahulu kala tidak bisa kering, sementara masyarakat membutuhkan wilayah untuk tempat tinggal. Untuk mengeringkan wilayah rawa tersebut masyarakat menutup air rawa dengan damen atau daun padi kering. Sekalipun berkali-kali diurug tetap saja yang namanya mbet itu terbuka dan ada airnya, yang lebih menakutkan ditempat itu adalah tempat bersemayamnya para roh dan lelembut serta dedemit yang selalu mengganggu para manusia [8].
Ketika Perang Diponegiro berakhir atau setelah tahun 1830 pasukan Pangeran Diponegoro terpencar ke pelbagai wilayah. Beberapa orang sisa pasukan Pangeran Diponegoro bersembunyi dan membaur dengan masyarakat dusun Beciro. Mereka memberikan pengetahuan ilmu agama lslam ke masyarakat. Ketika warga hendak mendirikan masjid mereka mendapatkan tempat yang dirasa cocok yaitu wilayah mbet rawa-rawa di atas. Dengan bahu membahu mereka menutup rawa tersebut dengan tumpukan pohon, jerami, batu, dan tanah. Namun wilayah rawa tidak bisa kering, akhirnya mereka membangun masjid di utara rawa. Wilayah utara disebut warga dengan sebutan Beciro.
Ngengor ditafsirkan dari kata ngenger dan congor. Banyak orang berdatangan ke wilayah tersebut. Mereka ngenger atau menumpang hidup pada wilayah yang subur, tetapi banyak juga para pendatang yang belum mempunyai pengetahunan yang teguh. Mereka banyak bicara banyak bertanya dengan mulut congor-nya. Para pendatang banyak mengikuti ajaran yang dari para santri mantan pasukan Diponegoro. Beciro dan Ngengor akhirnya disatukan menjadi sebuah kesatuan makna yang baik yaitu: beciko siro ngenger. Para pendatang yaitu orang-orang yang ngenger harus selalu berbuat kebaikan untuk masyarakat sekitar dan masyarakat luas. Mereka harus menjadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak.
Desa Becirongengor kini memiliki 2 masjid, 17 musala, dan 2 makam Islam yang masing-masing terletak pada tiap-tiap dusun. Di dusun Beciro nama Masjidnya Roudlotul Jannah dan di dusun Ngengor bernama Masjid Baitur Rokhim sebagai bukti bahwa masyarakat Desa Becirongengor adalah pemeluk muslim sejati yang selalu meluangkan waktunya untuk beribadat.
5) Dusun Jangan Asem.
Di Desa Trompoasri, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo terdapat salah satu dusun dengan nama unik yaitu Dusun Jangan Asem.Dalam bahasa Jawa, Jangan Asem sama dengan sayur asem. Menurut warga sekitar banyak versi yang berkembang di masyarakat terkait penamaan Jangan Asem pada dusun itu. Namun dari beberapa warga sekitar mengatakan penamaan dusun jangan asem berawal ketika dulu di daerah jangan asem ini terdapat banyak tumbuhan pohon asem. Pohon asem di dusun jangan asem ini dulu banyak sekali dan hampir disetiap sudut dusun ini dulu terdapat pohon asem. Di daerah dusun jangan asem ini juga dulu masih banyak hewan menjangan atau dalam bahasa indonesia rusa. Sehingga suatu saat terdapat hewan menjangan atau rusa ini ditemukan mati dibawah pohon asem jawa dan dari situlah penamaan dusun menjangan asem berawal. Dan dengan seiring perkembangan zaman pohon asem di desa menjangan asem ini berkurang dan hanya tinggal sedikit, dan juga hewan menjangan ini juga sudah tidak ada lagi di dusun menjangan asem. Seiring zaman tanpa deketahui alasanya nama desa ini juga berubah menjadi jangan asem sampai saat ini [9].
B. Tafsir Semiologi Kisah dari Desa Budaya
Teori Barthes membedah simbol-simbol yang pada teks kisah desa-desa di Sidoarjo dengan menyesuaikan diri dengan pandangan masyarakat masa sekarang. Kajian ini membantu teori yang khusus menelaah teks macapat untuk mendapatkan hasil sampai pada tataran mitos ketika dikaitkan dengan bukti sejarah. Dalam mitos menurut Barthes berdimensi 3 yaitu: penanda, petanda dan tanda. Perlu dipertimbangkan bahwa mitologi adalah suatu sistem terkhusus, karena mitos terbentuk berdasarkan rangkaian semiologis yang sudah lahir terdahulu. Mitos merupakan proses bagian kedua dari semiologi. Pemahaman bahwa spesialisasi di bawah ini adalah sebuah metafora. Dapat dikatakan bahwa dalam mitos terpaut antara makna satu dengan makna lain yang dilahirkan bahasa. Adalah bahasa yang disampaikan berulang-ulang. Di teks kisah-kisah desa mengandung sistematika semiologi.
Ratusan tahun silam belum diketahui masa tahunnya, bisa ditafsirkan sejak masa Kahuripan, masa Majapahit atau masa Islam di wilayah Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, memiliki sejarah lokal yang berkaitan dengan arti nama tretek atau jembatan yang terbuat dari pohon bendo. Legenda lokal mengisahkan bahwa di masa lalu, desa Bendotretek terletak di sekitar aliran sungai yang cukup lebar. Jembatan ini menjadi sarana penting dalam mobilitas dan komunikasi antarwarga desa serta pemukiman sekitarnya. Prasasti Kamalagyan yang terdapat di desa Tropodo dekat dengan wilayah tersebut juga mengisahkan tentang pembangunan di sekitar sungai. Prasasti tersebut mengisahkan Prabu Airlangga membangun Tanggul Waringin Sapta untuk membantu persawahan di wilayah Kahuripan. Di masa Majapahit wilayah Terung Krian juga terkait dengan pelabuhan sungai yang menjadi tempat pertemuan para pedagang. Tiga kisah tersebut ditafsirkan melalui simbol tretekatau jembatan adalah sebagai tanda persatuan.
Simbol pohon juga terdapat pada teks kisah Dusun Jangan Asem. Pohon asem di desa Trompoasri telah hidup lama dengan binatang menjangan. Masyarakat mendapatkan nama desa dengan sebutan Dusun Jangan Asem sebagai dusun yang dahulu banyak ditumbuhi pohon asem dan hewan menjangan dapat hidup berkembang biak. Simbol pohon melindungi kehidupan menjadi harmoni dengan alam sekitarnya. Di wilayah desa Becirongengor terdapat simbol pohon sawo kecik. Simbol tersebut sebagai tanda bahwa mereka yang memiliki rumah berpohon sawo kecik merupakan santri pengikut Pangeran Diponegoro yang taat beribadah dan berbuat baik untuk masyarakat.
Tanda semiologi yang ditemukan pada kisah desa Singopadu adalah singa diartikan masyarakat Jawa sebagai harimau yang sakti. Di Jawa sesunguhnya tidak ada singa, masyarakat mengartikan singa sebagai petanda dengan harimau. Harimau singa mempunyai petanda yaitu harimau yang sakti. Ketika seseorang mempunyai kekuatan yang tinggi dia mampu mengalahkan singa. Akan tetapi singa yang terlena karena kelebihannya akan berakibat buruk, dikatakan singa yang banyak bicara atau suka sesumbar akhirnya kalah dengan singa yang lain.
Ketegughan hati ditandakan dengan kesaktian juga, yaitu kekuatan untuk menahan diri dan berani menghadapi masalah, berani menghadapi tantangan. Dalam kisah tugu peluru sangat jelas bahwa para pejuang mempunyai keteguhan hati dalam menghadapi penjajahan yang bertentangan dengan perikemanusiaan.
Simpulan
Cerita rakyat dari desa-desa di Sidoarjo mempunyai banyak memiliki konsep kearifan yang layak dikaji dan dipresentasikan ulang dalam pelbagai media. Penelitian ini mendapatkan kajian cerita rakyat dari desa-desa di Sidoarjo yang dilakukan dari pembacaan secara hermeneutik untuk menemukan kandungan makna atau nilai-nilai filosofi tentang suri tauladan yang baik bagi generasi muda. Desa-desa yang digunakan sebagai objek desa Bendotretek, Semambung, Singopadu, Becirongengor, dan dusun Jangan Asem. Desa dan dusun tersebut menggambarkan Sidoarjo pernah menjadi pusat kejayaan Nusantara pada masa Airlangga dengan negeri besar Kahuripan. Masa berlanjut berganti Majapahit, masa lslam, sampai masa penjajahan Belanda dan setiap masa masyarakat menciptakan spirit dari tanda atau simbol-simbol kearifan lokal tentang semangat saling menolong, cinta tanah air, rela berkorban dan semangat untuk selalu berbuat kebaikan bagi masyarakat sekitar. Generasi masa kini akan mempunyai karakter yang kuat dan baik dengan memahami makna simbol-simbol positif tersebut.
References
- Z. K, Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
- R. Nasrullah, D. Suganda, Wagiati dan S. Riyanto, “Recovery patterns and a linguistic therapy model of SundaneseIndonesian bilingual aphasia: A neurolinguistic study,” INDONESIAN JOURNAL OF APPLIED LINGUISTICS, vol. IX, no. II, pp. 452-462, 2019.
- J. Susilo, N. Suwarta dan W. Taufiq, “Representasi Kemakmuran Alam dalam Serat Cemporet. Parafrase,” Representasi Kemakmuran Alam dalam Serat Cemporet. Parafrase, vol. XIX, no. 1, p. 59 – 64, 2019.
- R. Barthes, Mitologi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
- A. Zamaira, Interviewee, Wawancara Bersama Warga Desa Sawo Tretek. [Wawancara]. 6 Mei 2023.
- D. P. D. Yanuarda, Interviewee, Wawancara dengan Putra Wilayah Tugu Peluru Wonoayu. [Wawancara]. 13 Maret 2023.
- M. D. Ramadani, Interviewee, Wawancara dengan Sesepuh Desa Singopadu. [Wawancara]. 20 Maret 2023.
- H. R. Putra, Interviewee, Wawancara dengan Warga Becirongengor. [Wawancara]. 2 Mei 2023.
- M. I. Agustian, Interviewee, Wawancara dengan Warga Desa Tromposari. [Wawancara]. 12 April 2023.