Abstract
This study aims to determine the legal consequences if a marriage is carried out using a fake divorce certificate. And also And also to find out the legal sanctions imposed on someone who is getting married by using a fake divorce certificate. The method used is normatife juridicl with a statutory approach. Marriage using a fake divorce certificate does not only cover the area of civil law but also criminal law, which imposes sanctions on the perpetrator and the party who participates in the forgery. The conclusion from this research is that marital status using a fake divorce certificate can be canceled. Then the parties have their status as before the marriage. And parties involved in committing the crime of counterfeiting are punished by up to eight years in prison
Pendahuluan
Indonesia terdiri dari perairan dan daratan, sudah semestinya akan memberikan banyak manfaat bagi seluruh rakyatnya. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Memperhatikan isi yang ada dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 di atas, dapat dimaknai bahwa wilayah Indonesia dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.
Instrument hukum yng mengatur mengenai pernikahan di Indonesia dapat dilihat di Undangundang No. 22 Tahun 1964. Undang-undng ini menhandle kebutuhan admin pekawinan dan mempertegas bahwasannya pernikahan telah diawasi oleh pegawai K U A. Aturan pencatatan penikahan diperkuat dalam aturan perundangan Nomr 1 Tahun 1974 dan dalam pasal 5 ayat 1 KHI terdapat informasi bahwa pencatatan kawin ialah sebuah alat untuk penciptaan tata tertib dalam perkawinan. Tidak tercapainya pendaftaran perkawinan berakibat pada ketidakabsahann perkawinan, dan usaha hukum pada ranah Pengadilan akan ditolak jika pelaksanaan pernikahan tak terdaftar. Ini berarti, KHI tidak memberi ruang bagi perkawinan yang tdak terdaftar. Namun KHI ada pembeda dalam hal keaslian secara agama dan legalitas perkawinan menurut Negara tidak menganggap perkawinan batal secara agama jika fihak-fihak tersebut hanya tidak mendaftarkan perkawinan mereka. Tampak jelas KHI tidak ingin secara jauh keluar sasaran dari doktrin hukum cara lama.
Permasalahan seringkali terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dan sudah menjadi hal yang wajar pada kehidupan rumah tangga. Dapat disimpulkan dari sini bahwa kasus perceraian yang sering kali menjadi problem rumah tangga. Banyak hal yang menjadi faktor penyebab perceraian terjadi dan terkesan sangat unik dan juga kompleks. Sehingga penyebab terjadinya perceraian tiap-tiap keluarga sangatlah berbeda.
Perceraian maksudnya adalah berakhirnya suatu perkawinan. Beberapa hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan antara lain yaitu terjadinya talaq yang diucap oleh suami terhadap istrinya, atau karena terjadinya perceraian antara keduanya, kematian salah satu fihak, dan atas putusan hakim. Sebagaimana Pasal 38 Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 113 Bab XVI KHI yang berbunyi “Perkawinandapatputuskarena: a. Kematian b. Perceraian dan c. AtasPutusanPengadilan.”
Salah dari satu perbuatan pidana yang terjadi dilingkungan masyarakat yaitu pemalsuan surat yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan vonis pidana. Dalam kacamata pidana, memalsukan surat sendiri tertuang dalam pasal 263 yang terdiri atas 2 bentuk tindakan ranah pidana, masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan (2). Berdasar pada unsur perbuatan memalsukan surat ayat (1), disebut dengan membuat surat palsu dan memalsukan surat. Sementara memalsukann surat ayat (2) disebut dengan pemakai surat palsu atau surat yang dipalsuka. Maka dari itu dibentuknya perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran mengenai isi kandungan surat tersebut.
Pemalsuan surat atau akta cerai menjadi salah satu kasus yang sering terjadi di masyarakat. Seperti kasus yang terjadi di daerah Banjar yaitu seorang tenaga kerja kontrak pemkot Banjar berinisial YG yang membeli akta cerai palsu dari salah satu oknum yang mengaku berprofesi sebagai Pengacara. Akte cerai palsu tersebut dibeli dengan harga 2,6 juta dengan tujuan untuk menikahi wanita lain.[1]
Kasus lain tentang pemalsuan akte cerai juga terjadi di daerah Blitar, Jawa Timur. Hal tersebut dilakukan oleh seorang dokter berinisial SI. Terdakwa terbukti memalsukan akte cerai agar dapat menikah lagi dengan calon istri kedua. Terdakwa telah mengakui perbuatannya bahwa telah melakukan pemalsuan data untuk menikah lagi, sehingga status terdakwa adalah duda.[2] Hal ini membuktikan bahwa masih ada celah dalam hukum, yang masih bisa dimanfaatkan orang-orang tersebut sehingga masih bisa melakukan tindak pidana pemalsuan.
Metode Penelitian
Jenis penelitian oleh penulis menggunakan metode penelitian yuridisnormativdengan pendekatan perundang-undnagan. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisisdeduktif yaitu membahas dan menganalisa masalah dari hal yang umum sampai dengan hal yang bersifat khusus melalui sebuah penjabaran terkait tentang masalah hukum yang sedang diteliti.
Hasil dan Pembahasan
3.1. Akibat Hukum Jika Perkawinan Dilakukan Dengan Menggunakan Aktw Cerai Palsu
Akta cerai merupakan akta autentik yang merupakan produk PA sebagai pembukti telah ada peristiwa putusnya hubungan kawin. Akta perceraian bisa diterbitkan jika permohonan fihak pemohon dikabulkan oleh Hakim dan perkara tersebut telah (inkracht). Suatu perkara dikatakan telah berkekuatan hukum tetap apabila dalam waktu 1 4 hari sejak putusan dibacakan, salah satu atau para pihak tidak ada upaya hukum banding. Dalam hal pihak berhalangan hadir, maka perkara baru berkekuatan hukum terhitung 14 hari sejak pemberitahuan isi putusan disampaikan kepada pihak yang tidak hadir dan yang bersangkutan tidak mengajukan upaya hukum banding (putusan kontradictoir) atau verzet (verstek). Perkara dikatakan telah berkekuatan hukum tetap jika dalam waktu 14 hari sejak putusan dibacakan (dalam hal para fihak hadir), salah satu atau para fihak tidak mengajukan upaya hukum banding.
Pada kenyataannya UU tentang Perkawinan telah mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam tiap sila dalam Pancasila dan UUD 1945 dan sudah memuat segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat itu sendiri, seiring berkembangnya waktu, baik menurut kenyataan sosial maupun kenyataan dalam pelaksanaan hukum adat dan agama serta dalam kenyataannya di masyarakat, syarat dan prinsip tertuang dalam undang.undang tersebut dianggap memperumit sehingga ada kecenderungan apabila suami ingin menikah lagi melakukannya secara diam-diam dan tidak jujur. Dengan jalan memalsukan identitas statusnya Kepada petugas pencatatan akta nikah. Seseorang yang masih dalam perkawinan dengan orang lain tak dapat kawin lagi kecuali bagi suami harus mendapat izin dari Pengadilan setempat.
Merujuk pada perihal tersebut, maka akibat hukum apabila suatu perkawinan menggunakan akta cerai palsu adalah status perkawinan menjadi batal. Dapat dilihat pada pasal 22 Undang-undng Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditulis bahwa suatu perkawinan batal dikarena tdak sahnya perkawinan tersebut, dan tidak sahnya tersebut karena bertentangan terhadap aturan U U yang berlaku, dan jauh dari rukun dan syarat perkawinan tersebut.
Kewenangan dalam membatalkan perkawinan berada dalam ranah PA bagi siapapun yang menikah secara Islami dan PN bagi mereka yang menikah secara tak Islami mengingat bahwa membatalkan kawinan tersebut dapat membawa akibat hukum terhadap suami dan istri, dan anak-anak maupun orang lain sebagai pihak ketiga.[3] Pembatalan perkawinan dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan bahwasannya perkawinan yang dilangsungkan dinyatakan baatl demi hukum dan ikatan perkawinan tersebut dianggap tak pernah ada.
3.2 Sanksi Hukum Yang Dikenakan Kepada Seseorang Yang Melangsungkan Perkawinan Dengan Menggunakan Akta Cerai Palsu
Tindak pidana berupa pemalsuan suatu surat sesuai ketentuannya termuat dalam Pasal 263 Kitab UndangUndangHukumPidana (“KUHP”). selanjutnya, di dalam Pasal 264 KUHP ditegaskan bahwa pemalsuansuratdiancamdenganpidanapenjara paling lama delapantahunjikadilakukanterhadapaktaautentik dan lainnya.
Ancaman yang sama ditujukan kepada siapa saja yang memakai surat tersebut dalam ayat pertama , yang isinya tidak original atau yang dipalsukan seolah olah benar dan tidak dipalsu kn , jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian . [4]
Selanjutnya, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana pemalsuan akta cerai sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya jika surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat autentik. Surat autentik, menurut Susilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pejabat umum seperti notaris
Merujuk dalam pasal 263 Ayat (2) K U H P yang menangani perbuatan memakai surat palsu yang berakibat pada suatu hubungan yang teratur dimasyarakat tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat sebab tindakan yang sengaja memalsukan surat surat dapat mengancam bagi keberlangsungan hidup dari masyarakat tersebut,[5] di dalam kehidupan masyarakat yang sudah maju dan teratur menginginkan adanya jaminan kebenaran atas bukti surat baik itu perorangan yang mempunyai hubungan dengan perseroan.[6]
Penjelasan pasal 263 ayat (2) KUHP menurut R Soesillo adalah yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan surat seperti yang dijelaskan pada pasal 263 ayat (1), tetapi juga dengan pihak-pihak yang sengaja mempergunakan surat palsu seperti dalam pasal 263 ayat (2). Arti daripada snegaja yang diolah oleh Satoechid Kartanegara, ialah melaksanakan sesuatu perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat.
Peristiwa memalsukan akta cerai untuk melakukan pernikahan ini pernah terjadi di kota Blitar. Seorang dokter berinisial SI diketahui telah memalsukan akta cerainya untuk dapat menikah lagi. Hal tersebut diketahui setelah istri sah dan melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib. Akibatnya perkawinan SI dengan istri barunya dibatalkan. Apabila merujuk pada pasal 22 dari UU Perkawinan, maka keputusan pembatalan status perkawinan SI dengan istri barunya tersebut adalah tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan akta cerai palsu. Selain itu tidak adanya ijin dari istri sah SI, sehingga hal tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku.[7] Dengan demikian, isteri sah dari terdakwa dapat melakukan permohonan pembatalan perkawinan pada Pengadilan Agama yang berwenang.[8]
Penulis menyimpulkan bahwasannya kasus perkawinan yang menggunakan akta cerai palsu ini dapat dimasukkan ke dalam dua ranah hukum yang berbeda, yaitu hukum perdata dan juga hukum pidana. Dalam hukum perdata, status perkawinan tersebut menjadi tidak sah dan juga dapat dilakukan pembatalan terhadapnya. Pembatalan perkawinan tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan pengajuan permohonan pembatalan pada Pengadilan Agama.[9] Para pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, dapat dijerat dengan hukuman pidana yang berlaku saat ini. Hal ini mencakup pihak-pihak yang terlibat termasuk didalamnya adalah yang menggunakan akte palsu tersebut, yang membuat akte palsu tersebut dan juga oknum dari instansi terkait yang membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.[10]
Kesimpulan
Dengan mengunakan UU Perkawinan sebagai dasar hukum kasus ini, maka akibat hukum yang timbul jika perkawinan dilakukan dengan menggunakan akte cerai palsu adalah batalnya status perkawinan tersebut. Ini artinya bahwa suatu putusan PA yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan ialah batal atau tak sah. Akibat hukumnya adalah bahwa perkawinan menjadi batal dan bagi para fihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke statue awal. Sesuai dengan isi dari pasal 22 UU Perkawinan yang menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan pada Pengadilan Agama setempat.
References
- J. Ibrahim, teori dan meteodologi penelitian hukum normatif. Malang: Bayumedia, 2006.
- A. Chazawi and A. Ferdian, Tindak Pidana yang Menyerang Kepentingan Hukum Terhadap Kepercayaan Masyarakat Mengenai Kebenaran Isi Tulisan dan Berita yang Disampaikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016.
- A. Chazawi, pelajaran hukum pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
- RAMADHANI, “TERAPI HIPNOQURAN SEBAGAI UPAYA MENGURANGI TRAUMA PERCERAIAN SEORANG SINGLE PARENT DI PRAPEN SURABAYA,” 2019.
- A. M. Siryan, “Penggunaan Surat Palsu Atau Yang Dipalsukan (Studi Kasus Putusan Nomor 1155/Pid.B/2014/PN.MKS),” 2016.
- S. Efendi, mimbar hukum. Jakarta: Al Hikmah, 1997.
- E. Riadi, “Palsu Surat Cerai dan Nikah, Dokter di Blitar Dijebloskan Penjara,” detiknews, 2018. [Online]. Available: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3817611/palsu-surat-cerai-dan-nikah-dokter-di-blitar-dijebloskan-penjara. [Accessed: 06-May-2020].
- D. H. Jayani, “Ramai RUU Ketahanan Keluarga, Berapa Angka Perceraian di Indonesia?,” databoks, 2020. [Online]. Available: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/20/ramai-ruu-ketahanan-keluarga-berapa-angka-perceraian-di-indonesia. [Accessed: 14-Apr-2020].
- A. Saputra, “Setengah Juta Pasangan Indonesia Cerai Pada 2019,” detiknews, 2019. [Online]. Available: https://news.detik.com/berita/d-4495627/hampir-setengah-juta-orang-bercerai-di-indonesia-sepanjang-2018. [Accessed: 14-Apr-2020].
- D. Rahadian, “Nikahi WIL, Tenaga Kontrak Pemkot Banjar Palsukan Akta Cerai,” detiknews, 2018. [Online]. Available: https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-3899457/nikahi-wil-tenaga-kontrak-pemkot-banjar-palsukan-akta-cerai. [Accessed: 06-May-2020].