Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Political science
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.6922

Construction of Political Identity on Instagram: Unveiling the Kadrun Hashtag Movement in Indonesia's 2024 Presidential Election


Konstruksi Identitas Politik di Instagram: Menyingkap Gerakan Tagar Kadrun dalam Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Political Identity Social Media Hashtag Movements Instagram Political Polarization

Abstract

This scientific article investigates the construction of political identity through hashtag movements on Instagram, focusing on the "#kadrun" hashtag related to Anies Baswedan, a presidential candidate for the 2024 election in Indonesia. Using the framing analysis method by Zhong Dang Pan and Gerald M. Kosicky, the study examines the structural dimensions of political identity content by observing and analyzing the hashtag from October 3, 2022, to May 3, 2023. The results reveal three Instagram accounts actively contributing and acting as political identity buzzers, uploading 89 to 92 contents within seven months. The hashtag frames Anies Baswedan and his supporters as a radical Islamic group, seeking to establish a caliphate, and intolerant, potentially leading to political polarization based on religion, community, and ethnicity in the upcoming election. These findings hold implications for understanding the impact of social media content on political discourse and polarization, especially among young active voters who rely on Instagram as a source of information during elections.

Highlight:

  • Research Scope: The study explores the construction of political identity on social media, particularly through hashtag movements on Instagram related to the 2024 presidential candidate in Indonesia, Anies Baswedan, and the "#kadrun" hashtag.

  • Framing Analysis: Utilizing the framing analysis method by Zhong Dang Pan and Gerald M. Kosicky, the research examines the structural dimensions of political identity content on Instagram, focusing on message characteristics and content design from October 3, 2022, to May 3, 2023.

  • The hashtag spreads messages identifying Anies Baswedan as a radical Islamic group, causing potential religious-based political polarization, as seen in the 2019 Election. Additionally, ethnic elements now contribute to polarization based on religion, community, and ethnicity in the 2024 elections.

Keyword: Political Identity, Social Media, Hashtag Movements, Instagram, Political Polarization.

Pendahuluan

Media sosial telah membuka ruang kontestasi yang lebih luas dalam dunia politik. Persaingan politik tidak hanya terjadi dalam kalangan elit, namun juga ke tingkat daerah dan akar rumput. Melalui media sosial semua partisipan politik dapat beberkspresi dengan kreatifitas yang seakan tidak terbendung oleh ruang dan waktu, terlebih dengan adanya buzzer politik di media sosial sehingga konten politik beresonansi lebih massif, cepat, dan efisien. Fenomena ini memunculkan persoalan ketika kemudahan transaksi informasi politik ini tidak diimbangi dengan etika dan kedewasaan, baik pada pembuat konten maupun receiver atu penerima pesan sehingga sering kali meniscayakan politik identitas yang berujung pada disintregrasi sosial.

Menurut Frenki, kontestasi politik di Indonesia sulit lepas dari politik identitas, dan yang menjadi komoditas dari isu ini adalah simbol-simbol yang melekat pada agama dan etnis tertentu [1]. Misalnya narasi mengenai identitas politik tentang agama yang banyak ditemui di Indonesia pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 lalu [2]. Menurut Ardipandanto politik identitas anti-establishment dikaitkan oleh politisi populis untuk menarasikan bahwa pemerintah memarginalkan Islam dengan memunculkan gerakan “2019 Ganti Presiden”, partai setan versus partai Allah, dan people power [3]. Hasil penelitian yang dialkuakn oleh Ardipandanto menunjukkan dampak polarisasi pemilih dalam Pemilu 2019 karena adanya politik identitas, dalam exit poll Indikator menemukan hasil bahwa kelompok Islam tradisional dan non-muslim memilih pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin dengan capaian fantastis untuk non-muslim, yakni 97%, sedangkan pemilih Islam modernis memilih Prabowo – Sandiaga Uno [3].

Polarisasi di atas kemudian berkembang menjadi perpecahan politik yang sampai saat ini masih terjadi di Indonesia dan massif di media sosial Instagram dengan tagar Kadrun, Kampret, dan Cebong, terlebih ketika Partai Nasional Demokrat (NasDem) secara resmi mengumumkan Anies Rasyid Baswedan sebagai Calon Presiden pada 03 oktober 2022. Dari tiga tagar di atas, tagar yang paling banyak mendapatkan perhatian dari netizen Instagram dari 03 oktober 2022 sampai dengan 03 mei 2023 adalah tagar Kadrun dengan total pemirsa 2,9 juta, sementara tagar Cebong 2,7 juta, dan tagar Kampret 2,5 juta. Jika polarisasi tetap massif di media sosial Instagram, maka bukan tidak mungkin polarisasi politik identitas Pemilu 2019 terulang kembali pada Pemilu 2024.

Menurut situs We Are Social, pengguna media sosial di Indonesia sampai dengan januari 2023 adalah 167 juta jiwa atau 60.4% dari keseluruhan masyarakat Indoinesia, yakni 276.4 juta jiwa. Masyarakat Indonesia menggunakan media sosial dan internet sebagai tempat pencarian informasi, yakni sebanyak 83,2% atau menempati urutan pertama dalam indicator alasan utama menggunakan internet [4]. Penggunaan internet dan media sosial sebagai media pencarian informasi juga didukung oleh hasil laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI), bahwa media sosial menjadi sumber pencarian informasi masyarakat Indonesia seperti gambar berikut:

Figure 1.Media Pencarian Informasi Maysrakat Indonesia

Sumber: [5]

Dari gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa media pencariaan informasi masyarakat Indonesia pada tahun 2022 masih didominasi oleh media sosial, meskipun penggunaannya mengalami penurunan 3,6% dibandingkan dengan tahun 2021. Dari berbagai media sosial yang menjadi sumber pencarian informasi, media Watsapp dan Instagram menjadi yang tertinggi, masing-masing 92,1% untuk WatApp dan 86,3% untuk Instagram [4] seperti pada gambar berikut:

Figure 2.Media Sosial yang Digunakan Masyarakat Indoneisa

Sumber: [4]

Pada gambar 2 di atas terdapat 3 besar media yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia, yakni WhatsApp, Instagram, dan Facebook. Kendati demikian, ketiga media tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. WhatsApp adalah platform media sosial yang fokus pada interaksi interpersonal antar pengguna dan juga komunikasi kelompok melalui grup yang dibuat, sementara Facebook memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Instagram, yakni aplikasi yang menyediakan menu berbagi konten audio visual pada pengguna umum, hanya saja Instagram lebih fokus pada penyebaran konten kreatif dengan adanya fitur Instagram Stories, Feed, Reels, dan IGTV, sedangkan Facebook lebih fokus pada interkasi sosial antar pengguna.

Berdasarkan paparan data di atas, penelitian ini berusaha mengeksplorasi konstruksi realitas identitas politik di Instagram pada seorang tokoh yang telah dideklarasikan oleh Partai NasDem sebagai calon Presiden, yakni Anies Rasyid Baswedan. Beberapa akademisi telah memberikan perhatian pada kajian media sosial dan politik, misalnya Cahyono dan Fardila pada tahun 2021 yang menyebutkan bahwa fungsi tagar (#) di Twitter selain sebagai media komunikasi dapat juga digunakan untuk menyebarkan propaganda dan wacana pergerakan [6]. Hal ini tentu dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor di media sosial untuk mempropagandakan isu-isu yang dianggap strategis untuk memenangkan pertarungan tagar (#) di media sosial. Konsepsi konstruksionis tentang pembingkaian media menunjukkan proses kognitif individu-struktur representasi kognitif dan panduan teori tentang pemrosesan informasi [7].

Isu-isu agama yang didengungkan oleh buzzer di media sosial telah menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Dalam penelitian Wantona et al. ditemui produksi simbol-simbol sentimen sejarah, agama, dan budaya yang sudah menjadi habitus masyarakat dan terpelihara dengan adanya politik identitas tersebut [8]. Dalam penelitian lainnya bahkan strategi politik identitas dijadikan sebagai strategi utama dalam pemenangan Calon Legislatif (Caleg), terutama dalam kontestasi politik lokal [9], [10]. Dalam hal ini kredibilitas dan kapabilitas Caleg bukan lagi menjadi ukuran, melainkan sudah pada simbolis identitas yang dijadikan sebagai komoditas politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran tokoh agama dalam kontestasi politik Indonesia sangat dominan di berbagai daerah. Karenanya, peran pemimpin opini, baik itu pemuka agama bukan hanya meningkatkan partisipasi politik, namun mengaburkan perbedaan-perbedaan identitas yang ada di masyarakat [11].

Konten politik identitas di media sosial bukan hanya menimbulkan polarisasi pemilih, namun juga perpecahan antar anak bangsa. Karenanya, penting bagi penelitian ini untuk membongkar konstruksi realitas di media sosial pada identitas politik Anies Baswedan di Instagram. Menurut We Are Social pada tahun 2023 terdapat 32,3% dari 276,4 juta jiwa penduduk Indonesia adalah pengguna aktif Instagram dengan dominasi usia 18-44 tahun [4], sehingga propaganda politik identitas akan berdampak luas dan mengulangi polarisasi dan perpecahan pada Pemilu 2019.

Metode

Penelitian ini menngunakan metode analisis framing Zhong Dang Pan dan Gerald M. Kosicky. Obyek yang diteliti ialah konten dalam tagar (#) Kadrun di media sosial Instagram dari tanggal 03 oktober 2022 sampai 03 Mei 2023 atau sejak Anies Baswedan diumumkan oleh Partai NasDem sebagai Calon Presiden sampai dengan penelitian ini dilakukan. Dalam metode analsisi framing Zhong Dang Pan dan Gerald M. Kosicky yang lebih menekankan pada analisis dimensi struktural dalam konten pendengung atau buzzer. Konten terpilih dianalisis dalam 4 tahap, yakni: struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik, struktur retorik. Struktur sintaksis adalah pola susunan kata yang menjadi kalimat. Hal ini bisa dilihat dari pemilihan judul, headline, lead, pemilihan sumber, latar informasi, dan penutup. Kemudian struktur skrip, dengan unit pengamatan struktur penulisan 5W + 1H untuk mengungkap bagaimana pembuat konten mengemas dan mengisahkan peristiwa. Struktur tematik, dimana konten yang dibuat dapat mendukung suatu hipotesis tertentu yang diinginkan oleh kreator. Dalam membuat konten, konten kreator memiliki tema dan tujuan tertentu yang dimanifestasikan dalam bentuk kata atau susunan kalimattertentu. Kemudian yang terakhir adalah struktur retoris, yakni bagaimana konten kreator menekankan bahwa konten yang dibuat adalah faktual dengan perangkat framing leksikon, grafis, metaphor, dan pengandaian, seperti analisis foto, angle foto, pemilihan bahasa, tulisan cetak tebal, dan lain sebagainya.

Hasil dan Pembahasan

Sejak pencalonan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden (Capres) Partai Nasional Demokrat (NasDem) aktivitas tagar bermuatan politik identitas di media sosial kembali menguat. Dari tanggal 03 Oktober 2022 sampai 03 Mei 2023 terdapat 3 tagar yang sudah dilihat oleh lebih 2 juta pengguna Instagram. Fenomena ini berpotensi mengulang perpecahan netizen di media sosial yang berujung pada polarisasi politik seperti pada tahun 2019 dengan munculnya tagar cebong dan tagar kampret yang membawa isu politik identitas antara islam radikal dan islam tradisional, dimana tagar cebong diperuntukkan untuk pendukung Jokowi dan tagar kampret untuk pendukung Probowo, yang kemudian juga bertambah dengan tagar kadrun ketika muncul gerakan 212 untuk menyerang kelompok Islam oposisi. Dari 3 tagar tersebut tagar kadrun menjadi yang paling ramai dibicarakan di media Instagram seperti pada tabel berikut:

No Tagar (#) Jangkauan Pengikut Total Konten Total Engagement
1 Kadrun 2.990.870 886 43.504
2 Cebong 2.734.080 303 7.926
3 Kampret 2.529.764 428 15.212
Table 1.Potensi Influence

Sumber: Data Penelitian

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tagar kadrun mendominasi atau paling banyak memilikih pengaruh dibandingkan tagar cebong dan kampret pada rentang waktu 03 oktober 2022 sampai 03 mei 2023 atau saat Anies Baswedan dideklarasikan oleh Partai NasDem sebagai Capres hingga penelitian ini dilakukan. Oleh karenanya, penelitian ini mengeksplorasi tagar kadrun untuk membongkar konstruksi yang dilakukan oleh netizen dan buzzer politik dalam membingkai sosok Anies Baswedan di media sosial Instagram. Dari 886 konten yang diunggah dengan tagar kadrun, didapati 3 besar akun yang menjadi kontributor dengan postingan tertinggi 92 dan 89 konten. Sementara itu, untuk tagar cebong dan kampret tidak massif seperti pada table berikut:

No Nama Instagram Total post Tagar (#)
1 Bukan KADRUN! @bukankadalgurun 92 #kadrun
2 Kadrun Bahlul @kadrunbahlul 89 #kadrun
3 DemoKRAT is CRAZY @demokratzy 89 #kadrun
4 Toko Alat Pancing Pontianak @alatpancing.ptk 61 #cebong
5 M. Shine Huang @muslim_apologist 4 #cebong
6 Badri Channel @badri_channel 3 #cebong
7 Mohd Syukri Kicuk Abdullah @syukkicuk 49 #kampret
8 JOOARA | FINANCIAL PLANNER @jadijooara 5 #kampret
9 Penggerak Milenial Indonesia @pmi_official 3 #kampret
Table 2.Influencer dan Kontributor

Sumber: Data Penelitian

Dari perbandingan tabel di atas dapat dilihat bahwa tagar yang tetap konsisten didengungkan oleh netizen dan buzzer dalah tagar kadrun. Untuk tagar cebong hampir sudah tidak menjadi sebuah gerakan atau alat mobilisasi konten politik, hanya ada satu akun yang mencapai 61 postingan, namun akun tersebut tidak mengunggah konten politik, dan cebong yang dimaksud adalah cebong anak katak, bukan istilah untuk menggambarkan pemilih Jokowi pada Pemilu 2019. Sedangkan 49 konten tagar kampret yang diunggah oleh @syukkicuk tidak mengandung konten politik dan merupakan kata kampret untuk menggambarkan ungkapan kekesalan, bukan kampret untuk menggambarkan pemilih Prabowo pada Pemilu 2019.

Kendati setelah Pemilu 2019 gerakan 2 tagar (cebong dan kampret) mereda di media sosial, namun tagar kadrun tetap didengungkan dengan isu politik identitas yang sama yakni Islam radikal untuk melabeli Anies Baswedan dan pendukungnya. Hal ini tentu saja memunculkan babak lanjutan polarisasi politik yang dapat menimbulkan perpecahan antara netizen dan masyarakat pada Pemilu 2024.

Selain 3 kontributor Instagram yang disebutkan di atas, sebenarnya masih ada kontributor lain yang memiliki engagement konten tinggi meskipun tidak intens dalam mengunggah konten-konten dengan tagar Kadrun. Hanya ada 3 kontributor di atas dengan intensitas yang hampir sama dan bentuk konten yang serupa sehingga dapat diidentifikasi berada dalam satu kelompok pendengung tagar kadrun. Berikut ini adalah contoh konten dari akun @bukankadalgurun yang diambil dari 3 engagement unggahan tertinggi dengan pesan politik identitas:

Figure 3.Salah satu konten politik identitas @bukankadalgurun

Sumber: [12]

Struktur Perangkat Framing Hasil Analisis
SintaksisCara kreator menyusun fakta Skema konten Penggunaan judul Wan Abud terang-terangan didukung kelompok terlarang sekaligus menjadi lead dan headline konten. Adapun latar informasi yang digunakan ialah dukungan orama-ormas “Islam” terlarang pada Anies Baswedan. Latar informasi yang digunakan oleh kreator adalah berita online Liputan6.com yang telah diperbarui pada 08 juni 2022 [13]. Pada berita online tersebut tidak menggunakan gambar/foto yang digunakan oleh kreator. Bisa jadi gambar telah diubah oleh Liputan6.com karena gambar/foto yang ada menggunakan gambar/foto dari Merdeka.com, atau telah diedit oleh konten kreator. Untuk memperkuat pesannya, judul di atas dilanjutkan dengan kalimat “dengan satu tujuan melahirkan khilafah di bumi pertiwi” dengan maksud penekanan bahwa baik pendukung dan Anies Baswedan sama-sama memiliki tujuan membentuk sistem negara khilafah. Terakhir pesan ditutup dengan tagar #AniesBiangOnarNKRI #AniesKhilafahIndonesia #toamasyarakat #aniesbaswedan #indonesia #jakarta #politik #beritapolitik #jokowi #ridwankamil #najwashihab #SisiGelapKadrun #Kadrun.
SkripCara kreator mengisahkan fakta Pengemasan konten dan penonjolan unsur kelengkapan 5W + 1H Dari unsur 5W+1 H, konten kreator menekankan pada unsur Who dan Why dan tidak ada unsur When, Where, dan How. Pesan yang ditekankan adalah adanya kelompok Islam radikal yang mendeklarasikan dukungan pada Anies Baswedan dengan tujuan mendirikan sistem negara khilafah.
TematikCara kreator menulis fakta Detail rangkain kalimat dalam konten Subyek dalam konten di atas adalah Anies Baswedan, namun diberi nama ganti Wan Abud dan Yohanies, sementara obyek yang ditekankan adalah kelompok Islam radikal dengan kata kerja ingin mengganti ideologi negara menjadi khilafah.
RetorikCara kreator menekankan fakta Penekanan-penekanan dalam konten Terdapat penggunaan istilah Wan Abud untuk menggambarkan sosok Anies. Angle foto Anies memakai peci hitam dan jas dengan gaya tersenyum diikuti dengan 2 background foto sekolompok orang dengan identitas pakaian bangsa Arab (jubah dan sorban). Kalimat yang diberi warna jelas dan cetak tebal adalah tujuan melahirkan khilafah di bumi pertiwi. Kata bumi pertiwi dijelaskan dalam caption adalah Indonesia dengan penekanan akan adanya malapetaka bagi NKRI.
Table 3.Analisis Gambar 3

Sumber: Hasil Penelitian

Figure 4.Salah satu konten politik identitas @kadrunbahlul

Sumber: [14]

Struktur Perangkat Framing Hasil Analisis
SintaksisCara kreator menyusun fakta Skema konten Kreator menggunakan judul masyarakat sudah lantang menolak kehadiran presiden khilafah demi tolak bala dan kekacauan, yang mana mempertegas bahwa konten yang dibuat merupakan opini dari konten kreator. Seperti pada gambar 3 di atas, gambar 4 juga memasukkan salah satu berita online yakni dari CNN Indonesia, namun dengan gambar yang berbeda dengan gambar yang ada di dalam pemberitaan CNN Indonesia [15]. Berita penolakan safari politik Anies kemudian berujung pada ajakan menolak presiden khilafah dan dipertegas dengan deskripsi bahwa Yohanies atau dalam hal ini Anies akan menggulingkan Pancasila, dan ditutup dengan tagar yang sama dengan gambar 1 dalam akun @bukankadalgurun.
SkripCara kreator mengisahkan fakta Pengemasan konten dan penonjolan unsur kelengkapan 5W + 1H Sama dengan konten @bukankadalgurun, dalam gambar 4 juga menekankan Who dan Why dan tidak ada unsur When, Where, dan How. Who dalam hal ini adalah masyarakat dan Why adalah alasan menolak safari politik Anies karena dinilai sebagai presiden khilafah.
TematikCara kreator menulis fakta Detail rangkain kalimat dalam konten Subyek dari konten di atas adalah masyarakat dengan kata kerja menolak kehadiran presiden khilafah atau Anies sebagai obyek karena diangga akan membawa malapetaka. Kendati demikian dalam deskripsi konten sudah mengarah pada justifikasi bahwa Anies ingin melahirkan khilafah tanpa diberi petunjuk atau bukti.
RetorikCara kreator menekankan fakta Penekanan-penekanan dalam konten Kata yang paling banyak digunakan untuk menggambarkan Anies adalah khilafah. Dalam konten pun diakhiri dengan kalimat ajakan tolak presiden khilafah, termasuk juga foto spanduk yang seolah-olah berita online dari CNN Indonesia yang berisi pesan ajakan untuk menolak Anies karena dianggap sebagai kelompok khilafah, meskipun dalam berita online gambar yang digunakan berbeda.
Table 4.Analisis Gambar 4

Sumber: Hasil Penelitian

Figure 5.Salah satu konten politik identitas @demokratzy

Sumber: [16]

Struktur Perangkat Framing Hasil Analisis
SintaksisCara kreator menyusun fakta Skema konten Gambar 5 ini mempertegas bahwa akun @bukan kadalgurun, @kadrunbahlul, dan @demokratzy adalah satu kelompok buzzer yang ingin menciptakan politik identitas pada Pemilu 2024 karena semua tagar yang diguanakn sama dari awal sampai akhir. Awal judul selalu berisi keterangan keburukan Anies kemudian ditutup dengan kesimpulan pembuat konten bahwa Anies tokoh licik dan bengis dengan ditambah background Anies bersama Rizieq Shihab. Konten ini merupakan respon dari adanya berita online dari warta ekonomi, sama dengan konten-konten sebelumnya yang selalu memiliki keterkaitan antara media sosial Instagram dengan media online [17].
SkripCara kreator mengisahkan fakta Pengemasan konten dan penonjolan unsur kelengkapan 5W + 1H Dalam konten ini hanya ada What, Who dan Why, yakni adanya tokoh licik dan bengis bernama Anies yang menghalalkan segala cara untuk menjadi presiden khilafah, namun tidak dijelaskan bagaimana caranya, kapan, dan dimana.
TematikCara kreator menulis fakta Detail rangkain kalimat dalam konten Subyek konten ini adalah Anies yang dinamai Wan Abud karena tema yang diangkat adalah khilafah. Kendati demikian dalam deskripsi konten Anies dinamai Yohanies. Dari sini konstruksi politik identitas agama dan etnis sangat terlihat.
RetorikCara kreator menekankan fakta Penekanan-penekanan dalam konten Untuk konten ini angle foto Anies dibuat merengut dan disesuaikan dengan foto latar berita online. Ada penekanan bahwa Anies adalah tokoh yang licik dan bengis. Untuk menghubungkan kata Wan Abud dan khilafah konten kreator memasukkan background Anies sedang bersama Rizieq Shihab.
Table 5.Analisis Gambar 5

Sumber: Hasil Penelitian

Dari hasil analisis framing pada konten-konten yang dibuat oleh 3 kontributor paling aktif dalam gerakan tagar kadrun dapat diidentifikasi bahwa akun Instagram @bukankadalgurun, @kadrunbahlul, dan @demokratzy merupakan satu kelompok pendengung atau buzzer yang mengkonstruksi identitas Anies Baswedan sebagai politikus Islam radikal dan memiliki cita-cita mengubah sistem negara demokrasi menjadi khilafah. Framing Anies Baaswedan sebagai idola kelompok Islam radikal dilakukan dengan cara memberi nama ganti Wan Abud, dan selalu memberi background berita online yang menampilkan kelompok dengan pakaian budaya Arab dan foto Rizieq Shihab, meskipun foto tersebut tidak digunakan oleh portal berita online yang dikutip oleh buzzer. Portal berita online digunakan sebagai legitimasi bahwa framing yang dibuat oleh buzzer faktual dan aktual, dan dibutuhkan penelitian lebih mendalam apakah portal berita online yang dipilih apakah juga termasuk dalam jaringan buzzer di media sosial, mengingat pesan yang disampaikan senada dengan framing yang dilakukan oleh buzzer di media sosial.

Penyajian opini yang dilakukan oleh buzzer melalui tagar kadrunjelas mengarah pada konstruksi politik identitas Anies Baswedan yang negatif karena melibatkan unsur psikologis yang dalam “agama dan etnis”. Konstruksi politik identitas pada agama dan etnis telah menjadi habitus di media sosial sejak terjadinya polarisasi politik pada Pemilu 2019 [8]. Agama merupakan obyek yang rawan terkonstruksi demi kepentingan ekonomi dan politik. Dalam pandangan akademisi bidang agama dan politik, afiliasi agama penting untuk menumbuhkan sikap dan partisipasi politik yang lebih baik, namun banyak orang pada kahirnya terjebak pada hal yang negatif ketika mencampuradukkan afiliasi agama dengan identitas politk sehingga menjadi politik identitas [18].

Melalui tagar Kadrun, buzzer tidak hanya menciptkan konstruksi politik identitas Islam Radikal, namun juga menyerang semua kelompok oposisi, meskipun pada awalnya tagar Kadrun digunakan untuk melabeli kelompok 212 dan oposisi kelompok Islam keturunan Arab [19]. Kendati Anies tidak beroposisi dengan pemerintah ketika menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, namun Anies juga dibingkai sebagai pendukung gerakan oposisi Islam garis keras, termasuk juga partai-partai yang dinilai buzzer sebagai partai oposisi, seperti penamaan akun @demokratzy.

Fenomena buzzer telah menjadi perhatian dunia. Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Bradshaw & Howard pada tahun 2019 yang meneliti di 70 negara menemukan 89% telah menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politiknya [20]. Kecenderungan buzzer ini menggunakan akun palsu untuk mengkonstruksi politik identitas lawan politiknya. Hal ini tentu memunculkan ketidakpastian fakta dalam konten yang dibuat oleh buzzer, oleh karenanya, buzzer menggunakan kutipan portal berita online untuk meyakinkan masyarakat dan menghubungkan unsur pendukung lainnya, seperti penekanan judul, angle foto dan background, penggunaan istilah Wan Abud, khilafah, dan selalu menekankan struktur kalimat di tiap konten pada siapa mengapa, yang dalam hal ini Anies atau pendukungnya melakukan tindakan tercela karena ingin mendirikan negara khilafah. Istilah-istilah penggunaan bahasa obyektif tersebut dalam sebuah konstruksi realitas oleh Berger disebut sebagai obyektifikasi, yang mana proses ini adalah usaha untuk meyakinkan komunikan bahwa apa yang telah disosilaisasikan dinggap obyektif dan sudah sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat [21]. Misalnya berulangkali mendengungkan kata khilafah dan Islam radikal untuk meyakinkan masyarakat bahwa Anies dan para pendukungnya adalah kelompok intoleran yang tidak sesuai dengan cita-cita Pancasila.

Pada dasarnya penggunaan buzzer dalam strategi marketing adalah hal yang biasa, terlebih dalam usaha membangun citra dan memperluas jangkauan promosi dengan membuat gerakan tagar [22]. Dalam hal ini buzzer merupakan aktor-aktor terampil yang memahami wilayah promosi dan strategi penyusunan pesan sehingga kecil kemungkinan ada faktor ketidaksengajaan ketika menyusun pesan dan mengunggahnya di media sosial. Aktor-aktor terampil ini dalam istilah Giddens dikenal sebagai agen [23], dimana mereka telah memahami struktur, yang dalam hal ini media sosial, dan berhasil menciptakan semuah polarisasi pemilih dan tren politik di media sosial dengan pengetahuan dan skill yang dibutuhkan dalam pemasaran di media sosial. Bedanya, buzzer politik merupakan agen terampil yang tidak diketahui identitasnya secara jelas, namun memiliki legitimasi di masyarakat tentang keahliannya dalam menciptakan tren politik di media sosial.

Simpulan

Fenomena tagar kadrun di Instagram merujuk pada Anies Baswedan dan pendukungnya sebagai kelompok Islam radikal yang intoleran dan ingin mendirikan negara khilafah. Ada 3 kontributor yang teridentifikasi sebagai buzzer politik identitas dalam unggahan di tagar kadrun, yakni akun @bukankadalgurun, @kadrunbahlul, @demokratzy. Ketiga akun tersebut membingkai Anies dan pendukungnya dengan cara menyusun pesan tentang hubungan Anies dengan Islam radikal dan khilafah, melengkapi opini dengan menyertakan informasi dari portal berita online, memberi nama ganti Anies Wan Abud dan Yohanies, menyertakan background Rizieq Shihad dan kelompok bergaya fashion Arab, menyusun kalimat dengan Who, dan Why, dengan tidak menyertakan tempat dan waktunya, atau lebih menekankan pada sosok Anies dan pendukungnya yang melakukan kegiatan tercela. Strategi pembingkaian yang dilakukan buzzer di atas pada akhirnya akan menghadirkan polarisasi politik di Indonesia berdasarkan Agama, kelompok, dan etnis, mengingat potensial voters pada Pemilu 2024 adalah pemiih muda yang aktif mencari informasi di Instagram dan menjadikannya sebagai rujukan.

References

  1. Frenki, “Analisis Politisasi Identitas dalam Kontestasi Politik pada Pemilihan Umum di Indonesia,” As-Siyasi J. Const. Law, vol. 1, no. 1, pp. 29–48, 2021, [Online]. Available: http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/assiyasi/article/view/8540
  2. R. Ronaldo and D. Darmaiza, “Politisasi Agama dan Politik Kebencian pada Pemilu Presiden Indonesia 2019,” Indones. J. Relig. Soc., vol. 3, no. 1, pp. 33–48, 2021, doi: 10.36256/ijrs.v3i1.150.
  3. A. Ardipandanto, “Dampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme [The Impact of Identity Politics On President Election 2019: Populism Perspective],” J. Polit. Din. Masal. Polit. Dalam Negeri dan Hub. Int., vol. 11, no. 1, pp. 43–63, 2020, doi: 10.22212/jp.v11i1.1582.
  4. S. Kemp, “Digital 2023: Indonesia,” DATAREPORTAL, 2023. https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia (accessed Mar. 12, 2023).
  5. Kemenkominfo, Status Literasi Digital Indonesia 2022. Jakarta: Kemenkominfo, 2022. [Online]. Available: https://eppid.kominfo.go.id/storage/uploads/1_3_Lakip_Kementerian_Kominfo_2021_low.pdf
  6. M. R. Cahyono and U. A. Fardila, “Fungsi Komunikasi dan Motivasi Pengguna Tanda Tagar (#) di Media Sosial Indonesia,” Islam. Commun. J., vol. 6, no. 2, pp. 191–210, 2021.
  7. Z. Pan and G. M. Kosicki, “Framing analysis: An approach to news discourse,” Polit. Commun., vol. 10, no. 1, pp. 55–75, 1993, doi: 10.1080/10584609.1993.9962963.
  8. S. Wantona, R. A. Kinseng, and S. Sjaf, “Praktik Politik Identitas dalam Dinamika Politik Lokal Masyarakat,” Sodality J. Sosiol. Pedesaan, vol. 6, no. 1, pp. 79–87, 2018.
  9. C. S. Nikmah and A. Suhardiyanto, “Strategi Pemenangan H. Nuruddin Amin (Gus Nung) dengan Mengonstruksi Identitas Nahdlatul Ulama pada Pemilihan Legislatif 2019 di Jepara,” Unnes Polit. Sci. J., vol. 5, no. 1, pp. 26–30, 2021, doi: 10.15294/upsj.v5i1.44234.
  10. M. Y. A. Pradana, “Relasi Kuasa Politik Tokoh Agama Dalam Hegemoni Pemilukada 2020,” Living Islam J. Islam. Discourses, vol. 3, no. 2, pp. 417–438, 2020, doi: 10.14421/lijid.v3i2.2418.
  11. F. A. Dharma, “Managing Intercultural Interaction and Prejudice of the Indonesian Mengelolah Interaksi Antar Budaya Dan Prasangka Masyarakat Indonesia,” Inf. Kaji. Ilmu Komun., vol. 48, no. 2, pp. 281–293, 2018.
  12. B. Kadrun!, “Wan Abud Terang-Terangan Didukung Kelompok Terlarang,” Instagram, 2023. https://www.instagram.com/p/CqxNGY5hNpQ/
  13. Liputan6.com, “Eks Napi Teroris hingga HTI Dukung Anies Capres, Relawan: Kami Tak Bisa Larang Mereka,” Liputan6.com, 2023. https://www.liputan6.com/news/read/4981545/eks-napi-teroris-hingga-hti-dukung-anies-capres-relawan-kami-tak-bisa-larang-mereka (accessed Jun. 10, 2023).
  14. K. Bahlul, “Masyarakat Sudah Lantang Menolak Kehadiran Presiden Khilafah,” Instagram, 2023. https://www.instagram.com/p/CqxMxKGBrOE/
  15. I. CNN, “Rentetan Demo dan Penolakan Safari Politik Anies di Sejumlah Daerah,” CNNIndonesia.com, 2023. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230316125035-617-925840/rentetan-demo-dan-penolakan-safari-politik-anies-di-sejumlah-daerah
  16. D. I. Crazy, “Mau Curang Atau Engga, Wan Abud Akan Menggunakan Segala Cara Demi Menjadi Presiden Khilafah!,” Instagram, 2023. https://www.instagram.com/p/CqxM9Aur2Fg/
  17. S. M. Rhamadanty, “Mantan Atasan Terang-terangan Sebut Anies Baswedan Halalkan Segala Cara untuk Berkuasa, Termasuk Didukung Kelompok Radikal!,” Warta Ekonomi dan Suara.com, 2022. https://wartaekonomi.co.id/read467542/mantan-atasan-terang-terangan-sebut-anies-baswedan-halalkan-segala-cara-untuk-berkuasa-termasuk-didukung-kelompok-radikal
  18. M. R. Miles, Religious Identity in US Politics. Colorado: Lynne Rienner Publisher, 2019.
  19. N. Hayat and N. Nurhakki, “Religion Identity And Political Polarization: How Does Labeling Make It Worst?,” Palita J. Soc. Relig. Res., vol. 7, no. 1, pp. 51–66, 2022, [Online]. Available: http://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/palita/article/view/2715
  20. S. Sugiono, “Fenomena Industri Buzzer Di Indonesia: Sebuah Kajian Ekonomi Politik Media,” Commun. J. Ilmu Komun., vol. 4, no. 1, pp. 47–66, 2020, doi: 10.15575/cjik.v4i1.7250.
  21. P. L. Berger and T. Luckmann, The Social Construction of Reality. New York: Penguin Group, 1966.
  22. N. J. L. Fitria, “Pengaruh Strategi Buzzer Dalam Amplifikasi Pesan Kepada Publik Pada Lingkungan Demokrasi Politik,” Polit. J. Ilmu Polit., vol. 15, no. 1, pp. 57–69, 2023, [Online]. Available: https://talenta.usu.ac.id/politeia/article/view/8724
  23. A. Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisa Sosial. Yogyakarta: Pedati, 2011.