Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Law
DOI: 10.21070/acopen.6.2022.677

Non-compliance with the Constitutional Court's Decision from the Perspective of Constitutional Law


Ketidakpatuhan terhadap PutusanMahkamah Konstitusi dari Perspektif Hukum Tata Negara

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia Bio
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia Bio
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia Bio

(*) Corresponding Author

constitutional court decision disobedience manpower

Abstract

This study aims to determine the forms of non-compliance with the Constitutional Court Decision regarding Manpower and to find a constitutional solution to the problem of non-compliance with the Constitutional Court Decision regarding Manpower.This research is a juridicial normative study using a statutory, case, and conseptual approach.Using legal materials in the form of a Constitutional Court Decision related to Manpower.From the research results, it can be concluded that the Constitutional Court Decision regarding Manpower are not obeyed by the adressats. Various forms of non-compliance with the Constitutional Court Decision regarding Manpower-related Laws were not followed up and partially fulfilled in the form of government policies such as the Regulation of Minister of Manpower, Circular of the Minister of Manpower. Some laws are in the legislative process. The constitutional solution that has the potential to realized for non-compliance with the Constitutional Court Decision is the implementation of the concept of judicial order, judicial defferal, and imposition of sanctions.

Pendahuluan

Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengubah struktur lembaga negara pelaksana kekuasaan kehakiman yang semula hanya dijalankan Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya, menjadi ditambah dengan Mahkamah Konstitusi (MK). MA memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat kasasi dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 24A ayat (1). Sedangkan kewenangan MK diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat (1), salah satunya adalah mengadili di tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap UUD.

Berdasarkan otoritas yang dimilikinya, setidaknya MK memiliki lima fungsi : sebagai pengawal konstitusi, penafsir final konstitusi, pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, serta pelindung demokrasi. Setidaknya ada empat hal yang menjadi latar belakang dan pijakan dalam Pembentukan MK : (1) implikasi dari konstitusionalisme; (2) mekanisme check and balances; (3) penyelenggaraan negara yang bersih; dan (4) perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.[1] Pelaksanaan prinsip check and balances bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang seimbang dan terkontrol. Salah satu indikator terlaksananya prinsip ini dapat dilihat dari dilaksanakan atau tidaknya putusan MK oleh lembaga lain sebagai adressatputusan tersebut.

Dari segi law in action, putusan MK yang memiliki sifat final dan mengikat memunculkan sebuah permasalahan. Tanpa adanya instrumen atau lembaga eksekutor yang bertugas menjamin pelaksanaan putusan MK berdampak pada beberapa putusan MK tidak dijalankan bahkan diabaikan oleh lembaga negara. Dari segi kepastian hukum, permasalahan ini adalah sebuah problem fundamental karena seharusnya putusan MK dilaksanakan secara konsekuen oleh semua pihak.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis bermaksud melaksanakan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Perspektif Hukum Tata Negara”. Penelitian ini akan menjawab dua permasalahan utama yaitu tentang bentuk-bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK, serta solusi ketatanegaraan atas ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis bentuk-bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK serta menganalisis solusi ketatanegaraan atas masalah ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Penelitian ini akan mengkhususkan pada penelitian putusan MK yang terkait dengan kasus ketenagakerjaan yang dijatuhkan antara tahun 2003 hingga tahun 2019.

Metode

Jenis penelitian yang dilaksanakan penulis adalah penelitian normatif, yaitu penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan, menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan.[2] Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.[2] Sedangkan pendekatan konseptual ialah pendekatan yang berawal dari doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dan menjadikannya sebagai dasar dalam membangun argumentasi hukum untuk menyelesaikan isu hukum penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas seperti perundang-undangan, putusan hakim, atau catatan resmi dalam pembuatan undang-undang.[2] Dalam penelitian ini yang digunakan penulis terdiri atas : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum pendukung yang berupa peraturan perundang-undangan serta semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi.[2] Dalam penelitian ini penulis menggunakan : Putusan MK terkait ketenagakerjaan, peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan, buku, jurnal ilmiah, laporan penelitian, majalah, dan sumber dari internet. Penelitian ini menggunakan teknik analisis dengan logika deduktif yaitu berpangkal pada pengajuan premis mayor (pernyataan yang bersifat umum), kemudian diajukan premis minor (pernyataan bersifat khusus), dari kedua premis ini ditarik suatu kesimpulan. Bahan hukum dianalisis dengan cara mengkaji kesesuaian pelaksanaan Putusan MK dengan teori dan peraturan perundang-undangan.

Mahkamah Konstitusi

Disebutkan dengan tegas oleh amanat konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum. Penegasan ini muncul dalam batang tubuh UUD 1945 hasil amandemen ketiga, dimana disebutkan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Salah satu unsur penting yang mencirikan negara hukum adalah pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Terciptanya sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) menjadi tujuan pemisahan kekuasaan agar tidak terpusat pada salah satu cabang kekuasaan. Terpisahnya cabang kekuasaan yudikatif dari cabang kekuasaan lainnya bertujuan untuk menjamin independensi kekuasaan kehakiman yang menjadi kata kunci dalam implementasi terwujudnya negara hukum.

Hasil amandemen UUD 1945 selain mempertegas deklarasi negara hukum dan konsep pemisahan kekuasaan negara juga menghasilkan langkah besar dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Salah satunya melalui pembagian kekuasaan lembaga yudikatif dalam tiga kamar yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi Khkamah Ko(MK), dan Komisi Yudisial (KY).[3] MK Republik Indonesia secara resmi berdiri pada tanggal 13 Agustus 2003 bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK (UU MK). Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus negara pertama yang membentuk lembaga sejenis pada abad ke-21.

Landasan pelaksanaan tugas MK sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang yang secara materiil diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 7B, Pasal 24, dan Pasal 24C; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 12 ayat (1); dan Undang-Undang MK Pasal 10. Prosedur pengajuan uji materiil kepada MK diatur dalam Undang-Undang MK Pasal 28 hingga Pasal 60. Sedangkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Wewenang MK oleh Mahkamah Agung mengatur perbedaan antara gugatan dan permohonan.[4]

Wewenang pengujian ketentuan hukum di bawah konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan negara diberikan kepada MK untuk menjamin agar konstitusi benar-benar dijalankan.. Sedangkan dari sisi politik ketatanegaraan, pembentukan MK dilatar belakangi perlunya menciptakan sarana bagi cabang kekuasaan negara, khususnya terhadap lembaga negara pembentuk undang-undang. Hal ini bertujuan agar undang-undang tidak menjadi legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat. Di sisi lain, MK dibutuhkan untuk berperan sebagai lembaga penyelesai sengketa antar lembaga yang membutuhkan forum hukum dalam penyelesaiannya.

Sifat final dan mengikat putusan MK diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat (1). Ketentuan ini dipertegas dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK Pasal 10 ayat (1). Sifat putusan MK mempunyai masa keberlakuan semenjak diucapkan dalam sidang pleno yang bersifat terbuka dan untuk umum. Atas sifat tersebut maka berimplikasi pada tiga hal yang fundamental yaitu : (a) Serta merta memiliki kekuatan hukum; (b) Tidak tersedia ruang untuk melakukan upaya hukum lain; (c) Seluruh pihak (erga omnes) berkewajiban untuk taat serta menjalankan putusan MK, bukan hanya para pihak yang berperkara.[5] Dalam dinamikanya putusan MK tidak selalu dipatuhi oleh para adressat putusan.

Tata negara bermakna sistem penataan negara, yakni berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan substansi norma kenegaraan. Atas pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa negara adalah sebuah organisasi kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan sesuatu kepada pihak lain atau mengendalikan pihak lain. Kekuasaan harus diberikan batasan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk konstitusi, karena salah satu muatan konstitusi adalah pengaturan fungsi dan kewenangan lembaga negara yang dibatasi. Konstitusi merupakan aturan dasar yang mengatur fungsi dan kewenangan organ-organ negara serta hubungan antara negara dan warga negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) berkedudukan sebagai hukum formal tertinggi di Indonesia dan salah satu sumber hukum formal dari tata negara. Penempatan UUD NRI 1945 sebagai hukum formal tertinggi sebagaimana telah ditetapkan sejak TAP MPRS Nomor III/MPRS/1966. Kemudian dimuat kembali dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 serta dimuat dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 juncto UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) Pasal 7 ayat (1) yaitu : (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Propinsi; (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Penempatan ini didasarkan pada teori hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, hierarki peraturan perundang-perundangan di Indonesia diilhami dari teori hierarki yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen. Menurutnya sistem hukum adalah sistem kaidah berjenjang menyerupai anak tangga. Pembuatan norma lain diatur oleh norma lain melalui sebuah hubungan yang disebut sebagai super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial.[6] Jadi, sebuah norma yang berkedudukan lebih rendah berlaku dan berdasar pada norma yang berkedudukan lebih tinggi, begitu seterusnya hingga sampai pada norma tertinggi yang disebut norma dasar (Grundnorm). Hierarki peraturan perundang-undangan disebut oleh Hans Kelsen sebagai hierarchi of norm (Stufenbau des recht). Teori Hans Kelsen yang lebih dikenal sebagai Stufenbau Theory ini selanjutnya dikembangkan muridnya yaitu Hans Nawiansky dengan teorinya yang disebut die Iehre vom dem stufenaufbau der Rechtsordnung atau die stufenordnung der Rechtsnormen.

Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Dalam sistem hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila berfungsi sebagai norma fundamental negara, kemudian secara hierarki diikuti batang tubuh Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, serta Konvensi Ketatanegaraan sebagai aturan dasar negara, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang sebagai undang-undang formal, hingga peraturan pelaksana dan peraturan otonom yang berbentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah propinsi dan Peraturan Daerah kabupaten/kota.[7]

Ajaran tentang hierarki peraturan perundangan mengandung beberapa prinsip: (a) Peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi dapat dijadikan dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih rendah; (b) Peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih rendah harus memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi; (c) Muatan Peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi; (d) Peraturan perundang-undangan hanya dapat diubah, dicabut, atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi atau sederajat; (e) Peraturan perundang-undangan yang sejenis dan mengatur hal yang sama maka yang diberlakukan adalah yang terbaru dan yang mengatur hal yang lebih khusus harus diutamakan daripada yang umum.[8]

Konsekuensi dari prinsip-prinsip diatas adalah keharusan adanya mekanisme pengujian secara yudisial atas peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berkedudukan yang lebih tinggi atau yang paling tinggi yaitu Undang-Undang Dasar. Tanpa hal tersebut, hierarki peraturan perundang-undangan tidak akan memiliki arti. Sebuah peraturan perundang-undangan akan tetap berlaku walaupun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Maka menjadi sangat penting peran MK sebagai lembaga yudikatif pengawal konstitusi untuk memastikan undang-undang yang dibentuk oleh lembaga pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 yang berkedudukan lebih tinggi melalui mekanisme judicial review.

Dalam hal putusan MK yang menyatakan bahwa sebuah UU sebagai sebuah produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945, maka menjadi tugas DPR dan Pemerintah untuk melakukan perubahan (legislative review) terhadap UU yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional tersebut. UU PPP Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) menyatakan bahwa tindak lanjut atas putusan MK adalah sebuah materi muatan UU yang harus ditindak lanjuti oleh DPR atau Presiden. Mekanisme pengajuan Rancangan UU oleh DPR dan Pemerintah dilakukan melalui program legislasi nasional yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis untuk jangka menengah selama lima tahun dan tahunan. Namun, dimungkinkan untuk melakukan pengajuan RUU baru sebagai tindak lanjut putusan MK. Hal ini sesuai dengan UU PPP Pasal 23 ayat (1) huruf b.

Sebagai sebuah lembaga peradilan, MK melaksanakan kewenangannya untuk menangani perkara konstitusional didasarkan pada permohonan yang diajukan sesuai dengan hukum acara yang telah diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK serta Peraturan MK. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga 31 Desember 2019, MK telah meregistrasi 3.005 perkara dan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) menjadi perkara terbanyak.[9]

Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Ketenagakerjaan

Putusan-putusan MK yang menjadi bahan penelitian penulis adalah putusan MK Pengujian Undang-Undang terkait Ketenagakerjaan yang amar putusannya dikabulkan, yang mana berdasarkan data amar putusan didapatkan bahwa putusan tersebut berjumlah 19 (sembilan belas) putusan.

No Nomor Putusan Bentuk Tindak Lanjut Kategori
1 012/PUU-I/2003 SE MenakerNo: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005; SEMA No.03 Tahun 2015 Sebagian
2 007/PUU-III/2005 PP No.70 Tahun 2015 Sebagian
3 019/PUU-III/2005 UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Seluruhnya
4 115/PUU-VII/2009 Permenakertrans No: PER.16/MEN/XI/2011; Permenakertrans No.28 Tahun 2014 Sebagian
5 19/PUU-IX/2011 - Belum ada
6 27/PUU-IX/2011 SE Kemenakertrans No: B.31/PHIJSK/I/2012; Permenakertrans No.19 Tahun 2012; SE Menakertrans No : SE.04/MEN/VIII/2013 Sebagian
7 37/PUU-IX/2011 SEMA No.03 Tahun 2015 Sebagian
8 58/PUU-IX/2011 - Belum ada
9 70/PUU-IX/2011 Permenakertrans No.20 Tahun2012 Sebagian
10 82/PUU-X/2012 Perpres No.12 Tahun 2013 Sebagian
11 100/PUU-X/2012 SEMA No.4 Tahun 2014 Sebagian
12 50/PUU-XI/2013 UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Seluruhnya
13 67/PUU-XI/2013 PP No.78 Tahun 2015 Sebagian
14 7/PUU-XII/2014 Permenaker No.33 Tahun 2016 Sebagian
15 68/PUU-XIII/2015 - Belum ada
16 72/PUU-XIII/2015 - Belum ada
17 114/PUU-XIII/2015 - Belum ada
18 49/PUU-XIV/2016 - Belum ada
19 13/PUU-XV/2017 - Belum ada
Table 1.Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan analisis penulis didapatkan fakta bahwa terdapat dinamika implementasi atau tindak lanjut Putusan MK terkait Ketenagakerjaan. Beberapa putusan ditindaklanjuti sepenuhnya, beberapa ada yang ditindaklanjuti sebagian, ada juga putusan yang belum atau tidak ditindak lanjuti. Dalam praktik peradilan maupun praktik di lapangan juga terjadi dinamika pemahaman dan penerapan tindak lanjut putusan MK

Bentuk-Bentuk Ketidakpatuhan Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Menurut analisis penulis, ragam bentuk dan kategori tindak lanjut terhadap putusan MK sebagaimana diuraikan diatas tidak serta merta menunjukkan kepatuhan terhadap putusan MK. Kepatuhan terhadap putusan MK paling tidak meliputi dua segi yakni segi praksis dan segi normatif. [10]

Ditinjau dari segi praksis, putusan MK memiliki sifat self-executing yang artinya seluruh pihak (erga omnes) berkewajiban untuk taat serta menjalankan putusan MK, bukan hanya para pihak yang berperkara (inter partes). Indikator yang menunjukkan bahwa putusan MK memenuhi kriteria sifat ini adalah bahwa putusan MK memiliki sifat final sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat (1). Indikator selanjutnya adalah bahwa amar putusan MK mengandung amar yang berisi penghukuman (comdentatoir) sebagaimana salah satu amar yang memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Sedangkan ditinjau dari segi normatif, putusan MK membutuhkan tindak lanjut dari lembaga negara adressat putusan (non-self executing) . Dalam perspektif ketatanegaraan, MK memiliki fungsi legislasi secara negatif (negative legislator). Terhadap putusan MK Pengujian Undang-Undang, dibutuhkan tindak lanjut lembaga pembentuk undang-undang yang berfungsi sebagai positive legislator dalam proses legislasi. Hal ini terkait ketentuan Pasal atau ayat dan/atau bagian sebuah undang-undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Tindak lanjut ini sebagaimana diatur dalam UU PPP Pasal 10 ayat (1) huruf d.

Berikut ini adalah bentuk-bentuk ketidakpatuhan terhadap Putusan MK Pengujian Undang-Undang terkait Ketenagakerjaan sejak tahun 2003 hingga tahun 2019 :

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 10 ayat (1) huruf d bahwa tindak lanjut Putusan MK adalah salah satu materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan ayat tersebut disebutkan bahwa tindak lanjut putusan MK tersebut adalah putusan MK terkait pengujian undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Selanjutnya, disebutkan bahwa tindak lanjut putusan MK tersebut dilaksanakan oleh DPR atau Presiden.

Berdasarkan ketentuan tersebut, ditinjau dari segi normatif seharusnya putusan MK terkait perkara pengujian undang-undang ditindaklanjuti sepenuhnya oleh lembaga pembentuk undang-undang dengan melakukan perubahan undang-undang atau membentuk undang-undang melalui proses legislasi. Hal ini harus dilakukan untuk mengisi kekosongan akibat sebuah Pasal dan ayatnya dan/atau bagian Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh MK.

Berdasarkan uraian sebelumnya didapatkan fakta bahwa hanya dua putusan MK Pengujian Undang-Undang terkait Ketenagakerjaan yang sudah ditindaklanjuti berupa perubahan undang-undang yaitu putusan MK Nomor 019/PUU-III/2005 dan Nomor 50/PUU-XI/2013 yang didahului ditindak lanjuti melalui Peraturan Menteri. Kedua putusan ini ditindaklanjuti melalui penetapan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pada tanggal 22 November 2017. Dengan berlakunya undang-undang ini maka UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan terhadap Undang-Undang lainnya belum dilakukan perubahan meskipun Pasal dan ayatnya dan/atau bagian undang-undang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui putusan MK.

Beberapa undang-undang terkait Ketenagakerjaan tercatat dalam proses legislasi khususnya melalui wacana omnibus law ketika penulis melaksanakan penelitian ini. Berdasarkan dokumen yang diakses penulis melalui laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Pasal 88 disebutkan bahwa tiga undang-undang menjadi bagian dari proses legislasi ini yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 40 Tahun 2004, dan UU Nomor 24 Tahun 2011. Di sisi lain, RUU ini dianggap belum mengakomodir putusan MK terkait Ketenagakerjaan yaitu bertentangan dengan putusan MK Nomor 58/PUU-IX/2011 dan Nomor 72/PUU-XIII/2015. Menurut analisis penulis proses legislasi terhadap beberapa undang-undang tersebut belum bisa dimasukkan sebagai tindak lanjut terhadap putusan MK karena hasil legislasi tidak selalu mengakomodir putusan MK. Seperti contoh ketentuan yang dibatalkan oleh putusan MK Nomor 98/PUU-VII/2009 kembali dimasukkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2007.

Tindak lanjut Putusan MK Pengujian Undang-Undang dalam bentuk instrumen hukum selain Undang-Undang beberapa putusan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut ini adalah sebuah bentuk ketidakpatuhan, karena idealnya adalah melalui revisi Undang-Undang atau pembentukan Undang-Undang baru yang secara hierarki peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan yang sederajat.

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurutUU PPP Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) diatur bahwa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Badan memiliki kedudukan lebih rendah daripada Undang-Undang. Sedangkan Surat Edaran bukanlah jenis peraturan perundang-undangan dan sifatnya hanya untuk kalangan internal lembaga tersebut.

Sebuah peraturan perundang-undangan hanya dapat diubah, dicabut, atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi atau sederajat. Konsep ini diilhami dari teori hierarki peraturan perundang-undangan yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen melalui Stufenbau Theory. Dalam menjalankan atau menggantikan ketentuan sebuah peraturan perundang-undangan harus menggunakan instrumen hukum yang berkedudukan sederajat atau lebih.

Apabila tindak lanjut putusan MK Pengujian Undang-Undang diwujudkan melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Badan yang secara hierarki memiliki kedudukan lebih rendah daripada Undang-Undang maka ditinjau dari segi normatif, hal ini adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK. Apalagi melalui Surat Edaran yang bukan merupakan jenis peraturan perundang-undangan (regeling) dan bersifat untuk internal untuk lembaga tersebut.

  1. Belum Dilakukan Revisi Undang-Undang
  2. Instrumen Hukum Selain Undang-Undang
  3. Tidak Diterapkan Dalam Peraturan dan Proses Peradilan

Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) bukan termasuk jenis peraturan perundang-undangan. SEMA adalah bentuk peraturan kebijakan pimpinan MA yang berisi petunjuk dalam penyelenggaraan pengadilan. Kewenangan MA membentuk SEMA diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 79.

Beberapa putusan MK ditindaklanjuti oleh MA melalui penerbitan SEMA. Namun substansi dalam beberapa SEMA ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK. Ketentuan dalam beberapa SEMA tersebut mengatur dan menghidupkan ketentuan Pasal dan ayat sebuah Undang-Undang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Beberapa SEMA merevisi ketentuan SEMA pada tahun sebelumnya yang malah sesuai dengan putusan MK. Ditinjau dari segi normatif, ini adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK.

No Nomor Putusan SEMA Substansi Ketidakpatuhan
1 012/PUU-I/2003 Nomor 03 Tahun 2015sub Rumusan Hukum Kamar Perdata nomor 2 huruf e Ketentuan PHK karena alasan kesalahan berat dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap
2 37/PUU-IX/2011 Nomor 03 Tahun 2015sub Rumusan Hukum Kamar Perdata nomor 2 huruf f Ketentuan kewajiban pengusaha membayar upah proses dibatasi selama 6 bulan dan tidak perlu diberikan hingga putusan berkekuatan hukum tetap
3 100/PUU-X/2012 SEMA Nomor 4 Tahun Ketentuan kadaluarsa dalam mengajukan gugatan PHI Perselisihan Hak ditentukan selama 2 tahun
Table 2.Surat Edaran Mahkamah Agung yang Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Dengan alasan prinsip kebebasan hakim dan kedudukan MA setara dengan MK, para hakim menjadikan Surat Edaran Mahkamah Agung yang memuat ketentuan terkait Pasal dan ayat sebuah Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 sebagai rujukan utama bagi para hakim dalam memutus perkara. Sebagaimana diuraikan penulis dalam uraian dinamika tindak lanjut putusan MK sebelumnya. Ditinjau dari segi praksis, ini adalah bentuk ketidakpatuhan terhadap Putusan MK.

Dari segi kepastian hukum, permasalahan atas ketidakpatuhan terhadap Putusan MK adalah sebuah problem fundamental. Pelaksanaan prinsip check and balances sebagai bagian dari kewenangan konstitusional melalui Pengujian Undang-Undang atau judicial review yang dimiliki MK bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang seimbang dan terkontrol. Putusan MK yang bersifat final serta mengikat semua pihak seharusnya dilaksanakan secara konsekuen oleh semua pihak, karena hal tersebut merupakan cerminan tegaknya supremasi konstitusi dan tegaknya negara hukum. Selain itu kepatuhan atas Putusan MK menjadi salah satu indikator terlaksananya prinsip check and balances antara lembaga negara. Kepatuhan dalam implementasi putusan MK itu dapat pula menjadi ukuran apakah UUD NRI 1945 yang menjadi hukum tertinggi dalam negara sungguh-sungguh menjadi hukum yang hidup. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah solusi ketatanegaraan untuk mengatasi problem fundamental tersebut.

Beberapa konsep yang perlu diterapkan terkait mekanisme agar Putusan MK menjadi lebih implementatif adalah sebagai berikut :

Selain mewajibkan pencantuman putusan MK melalui Lembaran Negara dalam waktu 30 hari pasca putusan dibacakan, MK perlu memberikan limitasi waktu pelaksanaan Putusan MK. Tanpa adanya lembaga instrumen pelengkap yang bertugas sebagai eksekutor yang bisa memastikan pelaksanaan Putusan MK, maka tidak mudah untuk memastikan pelaksanaan Putusan MK kalau hanya mengandalkan pada hubungan baik dan kerjasama (self respect) antara MK dengan lembaga pembentuk undang-undang.

Teknis pemberian limitasi waktu ini dapat diwujudkan melalui penundaan keberlakuan putusan (judicial deferral) dengan batasan waktu. Praktek penundaan keberlakuan putusan MK ini telah dilakukan oleh beberapa negara Eropa seperti Austria, Jerman, Italia serta beberapa di benua lain seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Kanada, dan Kolombia. Pemberian tenggat waktu tertentu melalui penundaan pemberlakuan putusan kiranya dibutuhkan pada putusan MK tertentu yang harus ditindaklanjuti oleh lembaga pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan (legislative review) Namun hal tersebut tentunya dilakukan setelah atas dasar pragmatis dan pertimbangan lain yang lebih strategis, sesuai dengan pendapat Dixon dan Issachroff. [11]

Di Indonesia, penundaan keberlakuan putusan ini bukanlah hal yang baru. Salah satunya adalah Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang merupakan hasil pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) Pasal 53.Penundaan keberlakuan ini berimplikasi positif untuk mengurangi biaya-biaya politik yang diakibatkan berubahnya rezim hukum serta untuk menghindarkan terjadinya pertentangan politik antar cabang kekuasaan negara.

Tujuan lain yang tidak kalah penting yaitu pemberian litimasi waktu adalah agar sifat mengikat putusan MK tidak hanya berimplikasi pada kewajiban untuk ditindaklanjuti, namun juga memiliki daya ikat batas waktu kapan harus ditindaklanjuti. Hal ini terkait dengan kebutuhan tindak lanjut putusan MK berupa sebuah Undang-Undang. Dalam proses pembentukan Undang-Undang harus melalui tahapan yang berkarakter formal prosedural dan membutuhkan waktu.

Atas beberapa pandangan tersebut, penulis berpendapat bahwa konsep pemberian limitasi waktu melalui penundaan keberlakuan putusan MK perlu diterapkan pada putusan-putusan MK yang akan datang demi terjaminnya pelaksanaan putusan MK terkait pengujian undang-undang yang tentunya didasari pertimbangan pragmatis dan strategis. Tanpa adanya batasan waktu maka akan terjadi ketidakpastian batas pelaksanaan Putusan MK.

Oleh karena itu mekanisme pemberian limitasi harus dicantumkan MK dalam amar putusannya. Konsekuensi atas konsep ini tentunya harus lebih dulu diformulasikan dalam norma-norma dasar yang terkait dengan kewajiban pelaksanaan putusan MK, dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), MK memiliki tanggung jawab besar karena putusannya sebagai produk hukum akan berpengaruh pada seluruh elemen bangsa (erga omnes). Dengan begitu dibutuhkan konsep pendukung untuk menjamin kepatuhan para adressat putusan. Salah satunya adalah pemberian kewenangan judicial order. Judicial order dapat diartikan sebagai sebuah perintah secara paksa untuk melaksanakan putusan MK. Judicial order diperlukan agar para adressat segera mengambil langkah-langkah konstitusional.

Secara implisit MK sudah pernah menerapkan konsep ini dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 102/PUU-VII/2009 yang menguji Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam putusan yang membutuhkan tindak lanjut oleh lembaga lain (non-self executing) ini MK memberi perintah kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menindaklanjuti putusan ini. Putusan ini ditindaklanjuti seluruhnya oleh KPU melalui Surat Edaran Nomor 1232/KPU/VII/2009 dan lembaga pembentuk undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Putusan ini dapat ditindaklanjuti seluruhnya berkat pelaksanaan kewenangan judicial order dan kerjasama yang baik antar lembaga terkait.

Menurut Ahmad Syahrizal,[12] judicial order dapat dilakukan dengan mengarahkan pada perorangan maupun lembaga. Perlu dipahami, terhadap putusan Pengujian Undang-Undang, MK boleh meminta mayoritas DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang yang telah dinyatakan inkonstitusional (corrective revision). Revisi itu harus tetap dikawal dan tetap selaras dengan MK. Masalah utamanya adalah implementasi final belum diatur secara formal, sehingga diperlukan kerjasama yang baik antar lembaga.

Dengan demikian, konsep judicial order perlu diterapkan pada putusan yang bersifat non-self executing agar putusan MK lebih implementatif secara normatif maupun praksis.

  1. Judicial Defferal
  2. Judicial Order
  3. Sanksi

Agar menjamin terlaksananya kepatuhan terhadap putusan MK perlu kiranya mempertimbangkan untuk menerapkan sanksi atas ketidakpatuhan terhadap putusan MK sebagai sebuah alternatif. Hal ini mengingat pentingnya pelaksanaan Putusan MK karena tanpa adanya kepatuhan maka akan terjadi penundaan keadilan serta kekosongan hukum. Penerapan konsep ini dapat diwujudkan melalui dua alternatif :

Contempt of Court tidak hanya berupa tindakan membuat kegaduhan, tindakan kekerasan dalam sebuah proses peradilan, namun diperluas pada tindakan tidak mematuhi putusan pengadilan dalam hal ini adalah Putusan MK.

  1. Perluasan makna pemidanaan contempt of court yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 217.
  2. Konsep perbuatan melawan hukum sebagai akibat tidak dilaksanakannya Putusan MK oleh lembaga pembentuk undang-undang.

Apabila melakukan sebuah perbuatan yang didasari sebuah Undang-Undang yang telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berakibat kerugian finansial, maka aparat lembaga negara tersebut harus menanggung akibat yang bersifat pribadi.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan oleh penulis beberapa hal-hal sebagai berikut:

  1. Bentuk ketidakpatuhan terhadap Putusan MK Pengujian Undang-Undang terkait Ketenagakerjaan adalah : Belum dilakukan revisi Undang-Undang; instrumen hukum selain Undang-Undang berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Peraturan Lembaga, danSurat Edaran Menteri Tenaga Kerja; dan penerbitan Surat Edaran dan penerapan praktik peradilan oleh Mahkamah Agung yang substansinya menghidupkan kembali Pasal dan ayat Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945.
  2. Solusi ketatanegaraan yang berpotensi perlu diwujudkan atas ketidakpatuhan terhadap Putusan MK adalah pelaksanaan konsep judicial order, judicial defferal, serta pemberlakuan sanksi.

References

  1. A. F. Hadjar, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003.
  2. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
  3. T. Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Jakarta: Cerdas Pustaka, 2008.
  4. I. Samsul, “Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi,” Jakarta, 2009.
  5. F. Laksono, W. Wijayanti, A. Triningsih, and N. Mardiya, “Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012 Tentang SBI atau RSBI,” J. Konstitusi, vol. 10, no. 4, pp. 731–760, 2013.
  6. J. Asshiddiqie and M. A. Safa’at, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum, 1st ed. Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, 2006.
  7. M. Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius, 2007.
  8. B. Manan, Teori dan Politik Konstitusi, 2nd ed. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
  9. Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, “Laporan Tahunan MK RI Tahun 2019,” Jakarta, 2020.
  10. T. Sulistyowati, M. I. Nasef, and A. Ridho, “Constitutional Compliance atas Putusan MK oleh Lembaga Negara,” Jakarta, 2019.
  11. Bisariyadi, “Politik Penundaan Pelaksanaan Putusan Atas Nama Demokrasi,” Majalah Konstitusi, Jakarta, 2017.
  12. A. Syahrizal, “Problem Implementasi Putusan MK,” J. Konstitusi, vol. 4, no. 1, 2007.