Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Environment
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.6625

High Biodiversity and Low Dominance in Insect Species on Marsegu Island: A Case Study


Keanekaragaman Hayati Tinggi dan Dominasi Rendah Spesies Serangga di Pulau Marsegu: Studi Kasus

Fakutas Pertanian Jurusan Kehutanan, Universitas Pattimura Ambon
Indonesia
Fakutas Pertanian Jurusan Kehutanan, Universitas Pattimura Ambon
Indonesia
Fakutas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Pattimura Ambon
Indonesia

(*) Corresponding Author

Insect Diversity Marsegu Island Ecosystem Balance Species Abundance Dominance Index

Abstract

This study aimed to assess the diversity and abundance of insect species in the coastal forest of Marsegu Island in the Western Seram Regency. The data was collected using an exploratory method, which involved direct observation and sampling in the field between October 2020 and the completion of the study. A total of 321 individuals representing 20 species from six orders (Orthoptera, Hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Aranae) were identified, distributed across 20 families. The Diptera family Muscidae was most commonly found. The insect diversity index (H') was 4.371, indicating high species diversity within the region. The evenness index (E) was 0.931, suggesting that no single family dominated the population due to a balanced ecosystem. The dominance index was 0.155, implying low dominance and equitable abundance among species. The findings emphasize the importance of Marsegu Island's ecological balance, which may be threatened by chemical interventions. It is crucial to conserve these diverse and abundant insect communities, which play a significant role in maintaining ecosystem health and complexity.

Highlights:

  • The study revealed a high diversity of insect species (H' index = 4.371) on Marsegu Island, highlighting its rich ecological complexity.
  • The even distribution of insect species (E index = 0.931) underlines the balanced ecosystem, free from chemical interventions.
  • Despite the high diversity, no species dominates the ecosystem, as reflected by a low dominance index (0.155), emphasizing the importance of species equality in maintaining ecosystem health.

Keywords: Insect Diversity, Marsegu Island, Ecosystem Balance, Species Abundance, Dominance Index.

Pendahuluan

Republik Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan, terdiri atas 17.508 pulau dan memiliki garis pantai sejauh 81.791 km. Garis pantai yang luar biasa panjang ini membuat Indonesia menempati peringkat kedua setelah Kanada dalam hal memiliki garis pantai terpanjang [1]. Indonesia juga dikenal dengan keanekaragaman flora dan fauna yang melimpah, dengan hutan yang beragam jenisnya, menjadikan negara ini sebagai negara mega biodiversity ketiga setelah Brazil dan Zaire. Fakta ini didukung oleh prediksi bahwa Indonesia memiliki 90 jenis ekosistem baik di darat maupun di perairan, dengan 15 formasi hutan alam yang memiliki produktivitas tinggi. Hutan alam ini tersebar dari Sabang di ujung barat sampai ujung timur Indonesia, dengan beraneka ragam jenis hewan dan tumbuhan yang hidup di dalamnya [1].

Hutan pantai, salah satu jenis hutan yang penting di Indonesia, tumbuh di sepanjang pesisir dan lahan kering berpasir yang tidak landai, berada di atas garis pasang tertinggi. Dalam konteks ini, hutan pantai, selain hutan mangrove, memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekosistem pesisir. Hutan pantai memiliki tumbuhan khas yang dibagi menjadi dua formasi vegetasi, yaitu pes-caprae dan baringtonia. Formasi pes-caprae biasanya ditemukan dengan tumbuhan menjalar (semai) yang tumbuh rapat atau renggang menutupi pasir pantai di atas garis pasang tertinggi. Sementara itu, formasi baringtonia biasanya terletak di belakang formasi pes-caprae, dengan semak belukar dan pepohonan yang tumbuh di dalamnya. Hutan pantai memiliki banyak manfaat, seperti meredam hempasan gelombang tsunami, mencegah abrasi pantai, melindungi ekosistem darat dari angin dan badai, pengendali erosi, sebagai habitat flora dan fauna, tempat berkembang biak, pengendali pemanasan global, penghasil bahan baku industri kosmetik, biodisel dan obat-obatan serta sebagai penghasil bioenergi [2].

Pulau Marsegu, yang merupakan sebuah pulau karang dengan luas 240,20 Ha, terletak di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Pulau ini merupakan bagian dari Kawasan Hutan Lindung dan bagian lautnya merupakan Taman Wisata Alam Laut dengan luas 11.000 Ha. Pulau ini memiliki pantai pasir putih yang panjang sekitar 1720 m dan memiliki terumbu karang yang indah. Pulau ini memiliki vegetasi yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa komunitas, seperti hutan mangrove, hutan pantai, hutan sekunder berkarang dan padang Alang-alang (Imperata cylindrica) [3].

Pulau Marsegu juga memiliki sumberdaya laut yang berlimpah dengan ikan dari berbagai jenis dan ukuran. Keindahan dan keanekaragaman terumbu karangnya membuat pemandangan bawah lautnya sangat menarik, sehingga menjadi kawasan wisata alam laut. Pulau Marsegu merupakan bagian dari kawasan Teluk Kotania, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Teluk Kotania, yang secara astronomis terletak pada posisi 02°58 - 03°06 LS dan 128°00 -128°08 BT, memiliki lima pulau kecil yang tersebar di depan mulut teluk, yaitu Pulau Marsegu, Pulau Osi, Pulau Burung, Pulau Buntal dan Pulau Tatumbu. Dari kelima pulau tersebut, hanya Pulau Osi dan Pulau Buntal yang berpenghuni. Pemukiman di kedua pulau ini didominasi oleh rumah panggung yang dibangun di atas luasan padang lamun dan rataan terumbu karang. Kawasan ini memiliki tiga ekosistem perairan wilayah pesisir yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Perairan Teluk Kotania umumnya merupakan kawasan terumbu, khususnya tipe fringing reef yang melekat ke daratan Pulau Seram. Terumbu ini membentuk rataan terumbu yang luas, sebagiannya adalah daratan pasang surut dan sebagian lainnya adalah perairan dangkal pada waktu surut [4].

Metode

Penelitian ini dilakukan di Hutan Pantai Pulau Marsegu, Seram Bagian Barat, dari Oktober 2020 hingga penyelesaian studi. Beragam alat dan bahan digunakan selama proses pengumpulan data, termasuk perangkap seperti Pitfall trap, Sweep net, dan Bait trap untuk penangkapan serangga. Alat lainnya meliputi mikroskop, pinset, termohygrometer, GPS, botol kaca, kertas papilot, meteran, tali, kertas label, alat tulis, kamera digital, serta buku kunci determinasi serangga. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini mencakup alkohol 70 %, air, detergen, larutan gula, dan ikan kaleng.

Data yang diambil dalam penelitian ini berasal dari dua sumber: data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lapangan dan mencakup jenis-jenis serangga, vegetasi, dan iklim mikro seperti suhu dan kelembaban udara. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari studi literatur dan informasi lapangan dari instansi terkait.

Penelitian ini dilakukan dengan metode penarikan contoh. Untuk pengumpulan data serangga, jalur pengamatan dibuat dengan metode inventarisasi, memiliki lebar 20 meter dan panjang 100 meter, dan jarak antarjalur sebesar 20 meter. Pengambilan data serangga dilakukan secara langsung dan juga melalui pemasangan perangkap pit fall trap pada jarak 10 meter, kemudian dipasangkan jenis perangkap lain pada 10 meter berikutnya dalam jalur tersebut. Untuk setiap jalur pengamatan serangga, dibuat petak berukuran 20m x 20m (figure 1).

Figure 1.Petak Pengamatan

Serangga di kumpulkan dengan 5 teknik pengambilan serangga yakni :

1. Hand collectin g

Metode hand collecting merupakan pengambilan sampel yang di lakukan secara langsung. Setiap jenis serangga yang ditemukan dikoleksi menggunakan tangan atau pinset kemudian dimasukan kedalam botol koleksi yang telah berisi alkohol 70%. Pengamatan terhadap semua jenis serangga yang hidup di sekitar tumbuhan yang rendah, antara bebatuan, permukaan tanah, gundukan tanah dan patahan kayu [5].

2. Perangkap sumuran (Pitt Fal Trap)

Perangkap ini digunakan untuk menangkap serangga yang hidup diatas permukaan tanah. Pemasangan perangkap dilakukan pada tiap jalur pengamatan. Ditempatkan dan ditanam gelas plastik berdiameter ± 15 cm, yang bagian permukaan gelas tersebut ditanam sejajar dengan permukaan tanah dengan jarak antara pitt fal trap 10 m yang diisi dengan air jernih yang telah dicampur dengan detergen sebanyak ± 400 ml. dibiarkan selama 24 jam, diambil besoknya. Serangga yang tertangkap dimasukan kedalam botol sampel.

3. Perangkap jaring (Sweep net)

Perangkap ini terbuat dari bahan ringan dan kuat seperti kain kasa, mudah diayunkan dan serangga yang tertangkap dapat terlihat. Penangkapan serangga dengan jaring dilakukan pada setiap jalur pengamatan yang dibuat. Serangga yang tertangkap kemudian dimasukan kedalam botol plastik.

4. Perangkap umpan (Bait Trap)

Perangkap ini berupa umpan larutan gula dan ikan kaleng yang diletakan di dalam piring plastik. Piring berisi umpan akan diikatkan pada pohon di tiap jarak 10 m pada tiap jalur pengamatan yang dibuat dan ditinggalkan hingga pukul 17.00 WIT.

Serangga yang didapat dilapangan dikelompokan sesuai dengan genus. Serangga yang dikenali spesiesnya didentifikasi langsung di lapangan, sedangkan serangga yang belum dikenal diidentifikasi dengan memperhatikan bentuk luar (morfologi) dengan bantuan mikroskop di laboratorium silvikultur Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura dengan mengacu pada buku kunci determinasi serangga, antara lain Kalshoven [6] dan Borror [7], hingga tingkat spesies.

Serangga-serangga yang telah teridentifikasi akan dikoleksi basah dan koleksi kering melalui proses sebagai berikut:

a). Koleksi basah

  1. Disediakan botol koleksi dari bahan kaca
  2. Disimpan dalam alkohol 70%
  3. Dibuat koleksi sesuai dengan ciri morfologinya masing-masing dan diberi label.

b). Koleksi kering

  1. Diletakan di media koleksi
  2. Diberi label pada media koleksi

Analisis dilakukan secara deskriptif kuantitatif. Pengambilan data menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung dari lokasi pengamatan. Pengolahan data serangga dengan menghitung Indeks Keanekaragaman (H’) dari Shannon Weinner, Indeks Kelimpahan (K) dan Indeks Dominansi (C) dan Indeks Kemerataan [8].

Indeks Keanekaragaman jenis digunakan untuk membandingkan tinggi dan rendahnya keragaman jenis dari pada serangga dan vegetasi. Menggunakan indeks shanon-weiner (H’) dengan rumus pada Figure 2.

Figure 2.Indeks shanon-weiner (H’)

Penentuan jenis serangga yang dominan di dalam kawasan penelitian, ditentukan dengan menggunakan rumus Indeks Dominansi Simpson (figure 3).

Figure 3.Indeks Dominansi Simpson

Kemerataan dapat dihitung dengan rumus pada Figure 4.

Figure 4.Indeks Kemerataan

Hasil dan Pembahasan

Spesies-spesies Serangga yang Ditemukan di Lokasi penelitian

Berdasarkan hasil penelitian keanekaragaman serangga yang dilakukan pada kawasan Pualu Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat pada Bulan Februri 2020 dengan berbagai macam teknik yang dilakukan. Setalah dilakuakn identifikasi berdasarkan cirri-ciri morfologi serangga maka dapat di klasifikasikan seperti tabel 1.

table 1 disini
Lihat lampiran
Table 1.Spesies Serangga yang Ditemukan di Lokasi Penelitian

Tabel 1 Menunjukan bahwa pada lokasi penelitian dari keseluruhan jalur yang di buat untuk pengambilan sampel ditemukan jenis-jenis serangga yang hidup sebanyak 20 spesies yang terbagi dalam 6 ordo yaitu Orthoptera, Hemiptera, Lepidoptera, coleoptera, Diptera, Aranae dalam 20 famili yaitu : Acrididae, Tetigoniidae, Notonectidae, Corixidae, Berytidae, Veliidae, Nymphalidae, Hesperiidae, Pieridae, Scolytidae, Silphidae, Nitidulidae, Passalidae, Megachilidae, Muscidae, Anthomyiidae, Culicidae, Agromyzidae, Araneidae, Noctuidae. Dengan total individu pada keseluruhan jalur 321 spesies. Dengan spesies yang ditemukan terbanyak dari Ordo Diptera famili Muscidae dan spesies yang paling sedikit yang ditemukan yaitu dari Ordo Diptera Famili Anthomyiidae Famili Culicidae Ordo Lepidoptera Famili Noctuidae, Ordo Hemiptera famili Veliidae, Ordo Orthoptera f amily Tetigoniidae dan Ordo Aranea, familiAranaide.

Ini berkaitan dengan klasifikasi taksonomi ordo dan famili serangga yang dikenal sebagai Diptera. Keluarga Muscidae adalah kelompok taksonomi yang biasa ditemui dalam berbagai pengaturan penelitian. Ordo Diptera, yang terdiri dari lalat, menunjukkan hubungan yang erat dengan pemukiman manusia dan lahan pertanian. Sifat lalat yang ada di mana-mana membuat mereka hadir di mana-mana di berbagai lingkungan. Prevalensi lalat yang tinggi di alam dapat dikaitkan dengan kemampuan mereka untuk menempuh jarak yang sangat jauh, masa hidup mereka yang pendek, dan kebiasaan makan mereka, yang melibatkan makan pada organisme omnivora. Selain itu, arthropoda khusus ini menunjukkan potensi reproduksi yang relatif tinggi dan mengalami banyak siklus generasi dalam satu periode tahunan karena multivoltinismenya. Untuk mempertahankan fungsi fisiologisnya, lalat memerlukan konsumsi air dan gula. Selain itu, pengendapan telur oleh lalat membutuhkan asupan protein. Makanan lalat bergantung pada konsumsi gula dan air. Asupan protein yang tidak mencukupi dalam makanan lalat dapat menghambat pematangan indung telurnya, meskipun konsumsi gulanya mencapai 20%. Ukuran tubuh lalat menunjukkan variasi yang cukup besar di seluruh spesies, mulai dari kecil hingga besar. Ciri anatomi lalat terdiri dari mata majemuk, satu set antena, dan sepasang sayap depan. Selain itu, sayap belakang lalat telah mengalami transformasi, menghasilkan perkembangan struktur berbentuk halter yang berfungsi sebagai alat untuk menjaga keseimbangan di permukaan punggung. Lalat memiliki bagian mulut yang mampu menyedot dan menyedot atau menusuk dan menyedot. Dalam sebagian besar kasus, lalat betina menunjukkan ukuran tubuh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan lalat jantan. Anggota dewasa ordo Diptera memiliki sayap dan menunjukkan tingkat mobilitas yang tinggi. Sebaliknya, larva lalat ini mengalami perkembangan hanya dalam substrat lingkungan yang ditentukan, seperti bahan organik yang membusuk atau zat yang membusuk. Sayap lalat dewasa memfasilitasi gerakan aktif mereka. Respon penerbangan langsung dari lalat dewasa setelah keluar dari tempat perkembangbiakannya bergantung pada banyak faktor. Biasanya, penyebaran terjauh lalat dari tempat kelahirannya dibatasi hingga jarak lima puluh meter. Terlepas dari ketersediaan rezeki, tingkat kelembaban, dan keberadaan tempat terlindung untuk oviposisi, variabel kecepatan udara, isyarat penciuman, dan luminositas memberikan pengaruh penting pada kapasitas volant serangga dipteran. Meskipun lalat dewasa dapat menimbulkan masalah yang signifikan, larva lalat diketahui sangat bermanfaat bagi ekosistem karena kemampuannya memfasilitasi dekomposisi bahan organik mati [9]. Dipteran dewasa relatif lebih merepotkan. Mengenai berbagai faktor yang berkontribusi terhadap deteksi banyak spesies, dapat dikaitkan dengan penerapan perangkap berumpan selama proses pengambilan sampel, khususnya teknik perangkap lubang dan penggunaan umpan. Anggota ordo taksonomi Diptera.

Familli Muscidae (figure 5) yang ditemukan pada lokasi penelitian sebanyak 1 spesies yang tersebar dalam setiap jalur pengamatan.

Figure 5.Famili Muscidae (Musca domestica)

Di dalam wilayah yang diteliti, ordo Lepidoptera dibedakan dengan memiliki jumlah spesies berbeda yang sangat sedikit. Kupu-kupu bertindak sebagai indikator ekologis yang penting, yang memungkinkan mereka memainkan peran penting karena pentingnya bagi lingkungan. Kupu-kupu sangat penting untuk pemeliharaan keseimbangan halus yang ada dalam suatu ekosistem. Fungsi utamanya adalah bertindak sebagai penyerbuk selama proses penyerbukan bunga, yang memudahkan tanaman untuk memperbanyak diri secara alami.

Oleh karena itu, keberadaan kupu-kupu secara intrinsik terkait dengan kondisi lingkungan habitatnya yang menjamin nutrisinya [10]. Tanaman inang memainkan peran penting dalam proses mempertahankan hidup kupu-kupu. Kehadiran semak dan pohon dewasa, selain aliran atau pasokan air bergerak lainnya, merupakan komponen penting dari lingkungan yang ideal untuk populasi kupu-kupu. Kupu-kupu hanya dapat tumbuh subur di lingkungan yang terdapat pepohonan dan flora, karena mereka menghabiskan sebagian besar waktunya mencari perlindungan di tempat teduh yang disediakan oleh pepohonan. Mereka dapat ditemukan tergantung di bawah daun atau hinggap di kulit kayu, dengan beberapa spesies bahkan menghuni daun bagian bawah itu sendiri. Penggunaan jaring serangga, seperti jaring sapu, diperlukan untuk berhasil mengumpulkan spesies ini. [11] Lokasi penelitian menghasilkan empat spesies dari ordo Lepidoptera. Kupu-kupu ini milik empat keluarga yang berbeda: Nymphalidae, Hesperiidae, Pieridae, dan Noctuidae (seperti yang ditunjukkan pada Figure 6).

Figure 6.Ordo Lepidoptera (a) Nymphalidae (b) Hesperiidae(c) Pieridae(d) Noctuidae

Salah satu spesies dari Ordo Hemiptera Famili Veliidae (figure 7) adalah serangga spesies kedua yang sedikit ditemukan pada lokasi penelitian ,dengan teknik pearangkap jatuh (Fit Fall Trap) Ciri khas utama serangga Hemiptera adalah bangun mulutnya yang ada bangun seperti jarum. Mereka memakai bangun mulut ini untuk menusuk jaringan dari makananya dan kemudian menghisap air di dalamnya. Hemiptera sendiri adalah omnivora yang berfaedah mereka mengonsumsi hampir segala jenis makanan mulai dari air tumbuhan, biji-bijian, serangga lain, sampai hewan-hewan kecil-kecil [12].

Figure 7.Ordo Hemiptera (Famili Veliidae)

Ordo Araneae Araneidae yang diwakili oleh figure 8 menempati urutan ketiga dalam hal frekuensi kejadian di lokasi penelitian saat menggunakan teknik jaring sapuan. Ordo ini milik Filum Arthropoda dan menunjukkan kemampuan beradaptasi yang luar biasa terhadap kondisi lingkungan yang beragam. Arakhnida dari ordo Araneae, umumnya dikenal sebagai laba-laba, menunjukkan distribusi kosmopolitan dan diketahui menghuni beragam habitat termasuk pemukiman manusia, sawah, pekarangan, dan kebun. Organisme ini juga diketahui membuat jaring yang rumit pada ketinggian yang tinggi di dalam vegetasi yang kompleks. Spesies laba-laba menunjukkan respons kepekaan terhadap rangsangan lingkungan dan perubahan dalam struktur vegetasi, karena keragaman relung dan strukturnya yang mencakup dimensi spasial dan temporal. Kehadiran dan distribusi laba-laba sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, termasuk suhu, kelembaban, angin, intensitas cahaya, serta faktor biologis seperti jenis vegetasi, ketersediaan makanan, dan persaingan dari spesies lain. Menurut penelitian, laba-laba memiliki kemampuan untuk bertahan dalam jangka waktu dua hingga tiga minggu tanpa perlawanan dan menahan efek merugikan dari kerusakan jaring [13]. Laba-laba diakui sebagai agen kontrol biologis yang berharga karena sifat polifagnya, yang memungkinkan mereka menjadi predator yang efektif untuk berbagai hama serangga. Akibatnya, laba-laba memiliki potensi untuk berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang dalam ekosistem alami dan buatan. Banyak arakhnida diamati terlibat dalam pemangsaan berbagai arthropoda kecil, termasuk tetapi tidak terbatas pada wereng, wereng, penggerek batang padi, lalat, dan serangga kecil lainnya.

Figure 8.Ordo Araneae (Famili Araneidae)

Spesies dari Ordo ini cukup banyak ditemukan pada lokasi penelitian hampir di keseluruhan jalur pengamatan dengan teknik (hand collecting), Coleoptera dewasa ditemukan hampir disemua tempat, terdapat melimpah pada berbagai spesies tanaman, di bawah batu, kulit kayu, dalam tanah dan jamur. Sedikit yang hidup di air. Larva Coleoptera (figure 9) secara umum ada yang ditemukan di tanah, bagian tanaman, biji atau bahan lainnya. Coleoptera berinteraksi dengan ekosistem dalam beberapa cara diantaranya Coleoptera sering memakan beberapa bagian tumbuhan, jamur, dan bahkan ada yang memakan hewan-hewan lainnya. Spesies Coleoptera yang memiliki moncong biasanya menggunakan moncongnya untuk membantu dalam mencari makan dan meletakkan telur [14]. Warna badan kumbang ini ada yang berwarna merah, kuning, coklat, hitam, atau kelabu. Ada warna badan yang mengkilap dan ada yang redup, biasanya bercak- bercak. Ada yang menyebut kumbang ini dengan sebutan lembing.

Figure 9.Ordo Coleoptera Famili (Scolytidae)

Hasil pengukuran Faktor Iklim pada Lokasi Penelitian

Iklim dan Tanah
Jalur Suhu udara Kelembaban Udara PH Kelembaban Tanah
1 27,6 ºC 72,0 % 6 55 %
2 25,4 ºC 30,5 % 6 55 %
3 25,2 ºC 31, % 6,5 50 %
4 18,7 ºC 67,1 % 5,5 50 %
5 22,4 ºC 47 % 6,1 54 %
Table 2.Hasil Pengukuran Faktor Iklim Mikro dan Tanah pada Lokasi Penelitian

Berdasarkan tabel 2, bisa dilihat faktor iklim memiliki peran yang penting yaitu sebagai mikrohabitat dan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk dijadikan tempat hidup bagi mahluk hidup. Faktor iklim yang diukur pada penelitian ini meliputi kelembaban tanah, pH tanah, kelembaban udara, dan suhu udara. Faktor suhu tersebut diukur untuk mengetahui pengaruhnya terhadap keanekaragaman serangga, karena setiap jenis serangga memiliki kemampuan yang khusus untuk mentolelir faktor iklim dari suatu lingkungan, sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman dan kelimpahan jenis serangga pada suatu kawasan.

Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis, kemerataan jenis dan dominansi jenis serangga pada Kawasan Pulau Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat adalah seperti pada Tabel 3.

Nilai Indeks
Keanekaragaman jenis(H’) Indeks kemerataan (E) Dominansi (D)
4,371 0,931 0.155
Table 3.Hasil Perhitungan Indeks Keanekaragaman Jenis, Kemerataan Jenis Dan Dominansi Jenis Serangga

Dari Tabel 3 menunjukan bawah indeks keanekaragaman serangga adalah 4,371 tergolong sangat tinggi, nilai indeks keanekaragaman tersebut merupakan indikator kelimpahan atau banyak sedikinya jenis serangga pada daerah tertentu. Banyak sedikitnya jenis menunjukan tinggi rendahnya tingkat keanekaragaman serangga tersebut. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi atau H’ maksimal dinyatakan dalam ln S. Nilai H’ maksimal pada penelitian ini adalah 4,371. Indeks kemerataan yang diperoleh 0,931 tergolong sedang dan indeks dominansi yang diperoleh 0,155 yang tergolong rendah. Nilai indeks keanekaragaman serangga pada kawasan Pulau Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat yaitu sebesar 4,371 yang masuk dalam katagori tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur kriteria indeks keanekaragaman sebagai berikut: H > 3 = Tinggi, 1< H < 3= Sedang, H < 1= Rendah Lingkungan yang stabil secara fisik merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari banyak jenis, sedangkan lingkungan yang tidak stabil hanya dihuni oleh spesies yang relatif sedikit jumlahnya. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi, karena dalam komunitas itu terjadi interaksi spesies yang tinggi pula. Jadi dalam suatu komunitas yang mempunyai keanekaragaman yang tinggi akan terjadi interaksi spesies yang melibatkan transfer energy (jarring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih kompleks.

Ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman jenis yaitu [15]:

a. Waktu, Keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua yang sudah lama berkembang lebih banyak terdapat organisme dari komunitas muda yang belum berkembang waktu dapat berjalan dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.

b. Heterogenitas ruang semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi keragaman jenisnya.

c. Kompetisi terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang sama yang ketersediannya yang kurang atau walaupun ketersediaannya cukup, namunpersaingannya tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan sumber tersebut yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.

d. Pemangsaan yang mempertahankan komunitas populasi dari jenis yang bersaing yang berbeda dibawah daya dukung masing-masing selain memperbesar kemungkinan hidupnya berdampingan sehingga mempertinggi keragaman, apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan keragaman jenis.

e. Kestabilan iklim, makin stabil keadaan suhu, kelembapan,salinitas, PH dalam suatu lingkungan tersebut, maka semakin banyak jenis dalam lingkungan tersebut.Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan keberlansungan evolusi.

f. Produktifitas juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.

Nilai indeks kemeratan jenis serangga pada Kawasan Pulau Marsegu Kabupaten Seram Bagian Barat tergolong sedang dengan nilai indeks 0,931 yang berarti lebih mendekati nilai 1 sehingga masuk kategori seimbang. Semakin kecil nilai E atau mendekati nol, maka semakin tidak merata penyebaran organisme dalam komunitas tersebut yang didominasi oleh jenis tertentu. Nilai kemerataan menunjukkan pola sebaran suatu jenis dalam komunitas, semakin besar nilainya maka semakin seimbang pola suatu spesies dalam komunitas dan sebaliknya. Nilai kemerataan akan cenderung tinggi bila jumlah populasi dalam suatu famili tidak mendominasi populasi famili lainnya sebaliknya kemerataan cenderung rendah bila suatu famili memiliki jumlah populasi yang mendominasi jumlah populasi lain. Pada Kawasan Pulau Marsegu ini diperoleh indeks kemerataan yang sedang itu artinya suatu famili tidak mendominasi populasi famili lainnya, terdapat kelimpahan yang sama atau hampir sama dikarenakan ekosistem yang seimbang diasumsikan disebabkan tidak adanya pemberian pengendalian kimiawi. Pestisida secara berlebihan dapat menimbulakan resistensi dan timbulnya hama kedua, serta berkurangnya musuh alami dan kematian serangga lain.

Nilai indeks dominansi jenis serangga pada lokasi penelitian sebesar 0,155 tergolong rendah rendahnya angka indeks dominansi jenis menunjukan bawah kelimpahan individu dari spesies serangga tidak ada yang mendominasi sehinggah indeks dominansi menjadi rendah. kondisi ini menunjukan bawah keadaan habitat pada lokasi penelitian memiliki ketersediaan sumber hidup sperti pakan, tanaman inang, tempat berlindung dan berkembangbiak yang cukup bervariasi atau heterogen bagi serangga.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:Spesies serangga yang ditemukan dalam kawasan hutan pantai taman laut pulau marsegu sebanyak 20 spesies, dengan total individu 321 dalam 6 ordo yaitu Orthoper, Hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Aranae, yang tersebar dalam 20 family yaitu: Nymphlidae, Hesperiidae, Pieridae, Scolytidae, Silphidae, Nitidulidae, Passalidae, Megachilidae, Muscidae, Anthomyiidae, Culicidae, Agromyzidae, Araneidae, Noctuidae.Nilai indeks keanekaragaman serangga (H’) yaitu 4,371 nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman jenis serangga berada pada kategori tinggi. Nilai indeks dominansi (D) 0.155 nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai dominansi jenis serangga berada pada kategori rendah dan menunjukkan bahwa kelimpahan individu spesies tidak ada yang mendominasi.

References

  1. J. Supriatna, "Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia," Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.
  2. S. Dilliarosta, "Pemahaman Pemahaman Masyarakat Pantai Gajah Kelurahan Air Tawar Barat terhadap Pemanfaatan Pohon Waru," SEMESTA: Journal of Science Education and Teaching, vol. 3, no. 1, pp. 1-6, 2020.
  3. I. S. Hut, "Ekologi Pulau Marsegu Seram Bagian Barat," Pattimura University Press, 2017.
  4. I. Aswandy, "Sumberdaya Hayati Di Kawasan Pesisir Teluk Kwandang, Sulawesi Utara," Oseana, vol. 32, no. 3, pp. 9-20, 2008.
  5. F. Latumahina, "Penyebaran Semut dalam Kawasan Hutan di Pulau Saparua, Propinsi Maluku," Jurnal Ilmu Kehutanan, vol. 14, no. 2, pp. 154-166, 2020.
  6. L. G. E. Kalshoven, Pests of Crops in Indonesia, Jakarta, P. T. Ichtiar Baru –Van Hoeve, 1981.
  7. D. J. Borror and R. E. White, A Field Guide to Insects: America North of Mexico, vol. 19, Boston, Houghton Mifflin Harcourt, 1970.
  8. C. J. Keylock, "Simpson Diversity and the Shannon–Wiener Index as Special Cases of a Generalized Entropy," Oikos, vol. 109, no. 1, pp. 203-207, 2005.
  9. A. S. Leksono, Ekologi Arthropoda, Malang, Universitas Brawijaya Press, 2017.
  10. J. Supriatna, "Konservasi Biodiversitas: Teori dan Praktik di Indonesia," Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.
  11. A. Meilin, "Serangga dan Peranannya dalam Bidang Pertanian dan Kehidupan," Jurnal Media Pertanian, vol. 1, no. 1, pp. 18-28, 2016.
  12. D. Forero, "The Systematics of the Hemiptera," Revista Colombiana de Entomología, vol. 34, no. 1, pp. 1-21, 2008.
  13. A. Dentici, "Contribution to the Knowledge of Sicilian Spider Fauna (Arachnida Araneae)," Biodiversity Journal, vol. 8, pp. 861-864, 2017.
  14. G. A. Rahayu et al., "Keanekaragaman dan Peran Fungsional Serangga Ordo Coleoptera di Area Reklamasi Pascatambang Batubara di Berau, Kalimantan Timur," Jurnal Entomologi Indonesia, vol. 14, no. 2, pp. 97-106, 2017.
  15. A. Z. Siregar, "Perhitungan Keanekaragaman Serangga," 2015.