Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Language and Literature
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.6594

The Translingual Literacy Movement: Optimizing Multilingual Skills through Literature


Gerakan Literasi Translingual: Mengoptimalkan Kemampuan Multibahasa Melalui Sastra

Universitas Negeri Yogyakarta
Indonesia

(*) Corresponding Author

Translingual Literacy Literature Multilingualism Progressive Education Language Diversity

Abstract

This study addresses the underutilization of multilingual capabilities in Indonesia's educational system by introducing a translingual literacy movement, with literature serving as a principal tool. We utilized a systematic literature review (SLR) methodology, scrutinizing relevant publications from 2012-2022. The investigation drew from 15 sorted articles from international journals focusing on 'sastra', 'literasi', and 'translingual'. With Indonesia's rich cultural diversity, the potential for multilingual learning is significant, yet educational institutions have inadequately integrated language skills, often creating separate barriers for different languages. The translingual approach, rooted in progressivism, was explored to leverage language diversity as a resource rather than an obstacle, enabling students to better communicate and acquire useful knowledge for their self-development. Literature's role in facilitating this multilingual proficiency was emphasized, promoting imaginative and creative learning against traditional and conservative approaches. The implementation of this translingual literacy movement is expected to empower students to effectively use their multilingual abilities, fostering competitiveness in a global context. The study advocates for a reformed language learning approach, highlighting the need for proper literary resources and a conducive ecosystem to realize students' multilingual potential.
Highlights:

  • The importance of the translingual literacy movement in leveraging language diversity and optimizing multilingual abilities in Indonesia.
  • The critical role of literature in fostering imaginative and creative learning, thus facilitating the translingual approach rooted in progressivism.
  • The potential global competitiveness of students enhanced by effective utilization of their multilingual skills via the proposed translingual literacy movement.

Keywords: Translingual Literacy, Literature, Multilingualism, Progressive Education, Language Diversity.

Introduction

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman bahasa yang tertinggi setelah Papua Nugini [1]. Fakta ini ditegaskan pula oleh Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dadang Sunendar, yang mengemukakan bahwa terdapat terhitung sampai Oktober 2017 telah ada 652 bahasa yang selesai diidentifikasi dan divalidasi [2]. Namun, keanekaragaman bahasa di Indonesia ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Tiga tahun kemudian, Pusat Data dan Informasi Kemendikbud menyatakan bahwa pada tahun 2020 terdapat 11 bahasa punah, 5 bahasa kritis, 24 bahasa terancam punah, dan 3 bahasa mengalami kemunduran. Di sisi lain, pada masyarakat multibahasa dengan mobilitas tinggi seperti Indonesia, penggunaan dua bahasa atau lebih dalam kehidupan sehari-hari, baik secara penuh maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya, tidak dapat dihindari [3]. Kondisi kebahasaan ini menunjukkan urgensi dari diperlukannya penetapan kebijakan multibahasa, terutama di bidang pendidikan.

Kebijakan multibahasa diperlukan karena latar belakang Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika yang juga memiliki peran di kancah dunia. Terlebih lagi, kebijakan bahasa multibahasa yang mengakui pluralisme etnis dan bahasa sebagai sumber daya untuk pembangunan bangsa semakin terbukti [4]. Oleh karena itu, pengaturan kebijakan bahasa terutama dalam bidang pendidikan sangat penting agar penutur muda Indonesia dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing sesuai dengan kebutuhannya. Terkait dengan kepentingan tersebut, sebenarnya UU SISDIKNAS Tahun 2003 telah mengatur fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing [5]. Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah ditetapkan sebagai bahasa ibu peserta didik dan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai linguafrancayang penting dalam interaksi dengan dunia internasional.

Jika ditinjau kembali, peran dan fungsi bahasa yang diatur dalam undang undang ini sesungguhnya memiliki dua sisi. Peran ketiga bahasa ini ditentukan secara jelas, sehingga tampaknya dapat berjalan beriringan namun berada pada lajur masing masing secara terpisah. Ada kalanya, salah satu bahasa mendominasi bahasa yang lain. Sebagai contoh, upaya memperkuat persatuan Indonesia yang multikultur mewujud pada setiap baris Sumpah Pemuda ternyata juga membawa efek samping yaitu homogenitas bahasa yang berlangsung tanpa disadari. Di satu sisi, bahasa Indonesia berhasil menjadi bahasa pemersatu dan menjadi standar komunikasi dalam forum-forum resmi. Di sisi yang lain, secara perlahan, situasi ini menggerus peran dan citra bahasa daerah. Ketidaksetaraan ini masih berlanjut karena kekuatan simbolis bahasa Indonesia sendiri ternyata juga masih berada di bawah bahasa asing.

Hirearki bahasa yang telah dipaparkan sebelumnya merupakan gambaran bahwa konstruksi pendidikan bahasa masih belum berpusat pada pembelajaran bahasa yang terintegrasi dan berorientasi pada pengembangan kecakapan peserta didik. Pembelajaran bahasa di tingkat satuan pendidikan belum mampu mengembangkan bakat alami peserta didik sebagai seorang pembelajar multilingual. Kemampuan multilingual ini justru ditekan dengan adanya sekat-sekat fungsi bahasa, sehingga peserta didik cenderung memprioritaskan salah satu bahasa saja dalam kesehariannya.

Untuk dapat mengatasi permasalahan ini, pendekatan translingual merupakan alternatif menarik yang patut dipertimbangkan. Pendekatan translingual tidak menentukan praktik bahasa tertentu, seperti penyatuan kode atau alih kode. Pendekatan ini justru menekankan sikap dan disposisi para pengguna bahasa terkait kode, konteks dan keyakinannya. Semua aspek tersebut disambut dan dihormati dengan pemikiran bahwa bahwa semua bahasa adalah variabel, cair, berubah dan saling berkelindan[6]. Dalam praktiknya, pendekatan translingual menjadikan heterogenitas bahasa dan budaya sebagai kaidah yang digunakan. Bahasa dipandang sebagai sumber daya untuk berkomunikasi daripada hambatan yang harus diatasi. Kebutuhan peserta didik agar bahan literasi dapat sesuai dengan kebutuhan dan bahasa apa yang menjadi minat serta potensinya semestinya mendapat perhatian dalam implementasi gerakan literasi translingual.

Gerakan literasi translingual ini seyogyanya berbasis pada aliran filsafat pendidikan progresivisme yang dikenal memberikan ruang bagi peserta didik untuk bisa mengembangkan dirinya dan berdaya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya kelak. Jika selama ini literasi dipahami secara dangkal sebagai sekedar kemampuan membaca dan menulis, progressivisme dapat memperkaya cara pandang baru untuk dapat melihat literasi sebagai titik tolak perkembangan diri. Kegiatan membaca dan menulis dipacu menjadi kunci dalam meraih demokrasi, perkembangan dan stabilitas ekonomi, keselarasan sosial dan persaingan di pasar global [7].

Berkenaan dengan kebutuhan tersebut, sastra merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi sumber sekaligus sarana gerakan literasi translingual. Sastra memberikan ruang untuk imajinasi dan kreativitas untuk memfasilitasi prinsip progressivisme yang menentang pembelajaran membaca dan menulis yang tradisional dan konservatif. Selain itu, keberagaman jenis karya sastra memberikan banyak pilihan bagi peserta didik. Sebagaimana yang diharapkan oleh progresivisme yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana peran sastra dalam pembelajaran bahasa melalui gerakan literasi translingual berbasis progressivisme.

Metode

Penulisan artikel ini menggunakan metode systematic literature review (SLR). SLR meliputi pengindentifikasian, pengkajian, evaluasi dan penafsiran terhadap semua sumber yang tersedia dan relevan dengan topik permasalahan. Selanjutnya, kriteria sumber informasi yang digunakan dalam artikel ini adalah karya publikasi yang terbit dalam jurnal internasional pada tahun 2012-2022 yang ditelusuri dengan kata kunci ‘sastra’, ‘literasi’, ‘translingual’,. Hasil yang diperoleh kemudian disortir, sehingga didapatkan 15 artikel. Pada bagian pembahasan disajikan dikusi bagaimana peran sastra dalam pembelajaran bahasa melalui gerakan literasi translingual berbasis progressivisme.

Peneliti Judul Hasil Penelitian Keterangan
Baranova, T.A., Kobicheva, A.M., Tokareva, E.Y., & Vorontsova, E. (2021). Application of translinguism in teaching foreign languages to students (specialty “Ecology”). Penerapan eksplorasi konsep translinguisme dan penerapannya di lingkungan pendidikan secara umum menunjukkan peningkatan kualitas keseluruhan pengetahuan bahasa Spanyol siswa. Menurut hasil deskriptif, siswa mengembangkan kompetensi translingual mereka secara signifikan. [8] E3S Web of Conferences.
Canagarajah, A. S. (2013). Negotiating Translingual Literacy : An Enactment . Pemahaman tentang menulis sebagai translingual membutuhkan pergeseran ke orientasi yang berbeda ke literasi—yaitu, dari otonom dan situasional menjadi negosiasi. Studi ini mengidentifikasi empat jenis strategi negosiasi yang diadopsi oleh penulis untuk menjalin kode dan pembaca untuk menafsirkan teks: envoicing, rekontekstualisasi, interaksi, dan entekstualisasi..[9] Research in theTeachingofEnglish, 48(1), 40–67.
Coronel-Molina, S.M., & Samuelson, B.L. (2017). Language contact and translingual literacies. Keragaman linguistik dan budaya masyarakat global memastikan bahwa kebutuhan akan kesadaran translingual dan fleksibilitas komunikasi tidak terbatas pada individu dari latar belakang multibahasa atau siswa bahasa dunia. [10] Journal of Multilingual and Multicultural Development, 38, 379 - 389.
de los Ríos, C.V. (2020). Translingual Youth Podcasts as Acoustic Allies: Writing and Negotiating Identities at the Intersection of Literacies, Melalui bingkai translanguaging dan translingual, artikel ini menunjukkan bagaimana kaum muda Latinx menentang narasi rasis, mengklaim kembali siapa mereka, dan menciptakan ruang baru untuk solidaritas. Temuan merinci cara siswa menggunakan podcast sebagai alat untuk mempromosikan kreativitas dan ekspresi diri, dan untuk menghubungkan pengalaman pribadi dengan wacana mendesak yang lebih luas tentang imigrasi, bahasa, proses rasialisasi, dan perlawanan.[11] Language and Racialization. Journal of Language, Identity & Education, 21, 378 - 392.
Hina Ashraf (2018) Translingual practices and monoglot policy aspirations: a case study of Pakistan’s plurilingual classrooms, Temuan dari makalah ini menunjukkan perlunya orientasi terhadap kebijakan pendidikan bahasa yang tidak mengisolasi bahasa, tetapi mengakomodasi repertoar plurilingual dan kesadaran metalinguistik. [12] Current Issues in Language Planning, 19:1, 1-21,
Hornberger, N.H., & Link, H. (2012). Translanguaging and transnational literacies in multilingual classrooms: a biliteracy lens. Rangkaian lensa biliterasi menunjukkan bahwa penyambutan literasi translingual dan transnasional di ruang kelas tidak hanya diperlukan tetapi praktik pendidikan yang diinginkan. [13] International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, 15, 261 - 278.
Kellman, S.G. (2019). Literary Translingualism: What and Why? Polylinguality and Transcultural Practices. Artikel ini menunjukkan mekanisme interaksi antar budaya dan translasi elemen linguistik dan ekstralinguistik bekerja dalam setiap kasus individu. Teori translingualisme memperkaya siklus humaniora (dari linguistik hingga studi budaya, dari kritik sastra hingga filsafat) dengan episteme populer baru.[14] Vol.16, Bo.3, 337-346.
Kim, K.M., & Park, G. (2020). “It Is More Expressive for Me”: A Translingual Approach to Meaningful Literacy Instruction Through Sijo Poetry. Penelitian ini menjelaskan proses berkelanjutan dimana praktik translingual ini beroperasi sebagai negosiasi rekursif antara bahasa dan makna dan antara dua bahasa dalam batasan format sijo. Negosiasi translingual tersebut menjadi alat sadar untuk ekspresi diri serta alat berharga untuk perkembangan bahasa. [15] TESOL Quarterly.
Kleyn, T. & García, O. (2019). Translanguaging as anactoftransformation: Restructuringteachingandlearningforemergentbilinguals. Cara memberlakukan translanguaging sebagai sikap dan pedagogi dapat merestrukturisasi ruang ESL untuk menyertakan praktik bahasa siswa dwibahasa yang muncul sekaligus mendukung pembelajaran bahasa Inggris mereka.[16] In. Luciana de Oliveira (Ed.) The Handbook of TESOL in K-12 (pp. 69-82). Wiley Blackwell.
Lebedeva, E., & Proshina, Z.G. (2020). Translingualism and transculturalism beyond fiction works (based on articles and book reviews by Olga Grushin). Penelitian ini mengungkapkan bahwa perubahan translingual dan transkultural yang dialami pengarang tidak hanya tercermin dalam fiksinya, tetapi juga dalam genre lain di mana kreativitas dan imajinasi pengarang mungkin agak dibatasi. Translingualisme Grushin terbukti pada tingkat leksikal, mencakup kata-kata yang dipinjam dari bahasa Rusia. [17] Philological Sciences. Scientific Essays of Higher Education, 2, 273-279.
Lu, M., & Horner, B. (2013). TranslingualLiteracy, LanguageDifference, andMattersofAgency. Pendekatan translingual menjadi kebutuhan untuk mempertimbangkan cara, alasan dan apa yang dapat dilakukan dengan bahasa terkait hubungannya dengan praktik, konvensi, dan konteks yang muncul dan saling konstitutif. Pendekatan ini melawan konseptualisasi ideologis monolingualis yang dominan tentang bahasa, perbedaan bahasa, dan agensi penulis yang telah menghambat upaya untuk memerangi diskriminasi bahasa, menghormati upaya siswa, dan terlibat dengan siswa dalam pengerjaan tugasnya. [18] College English, 75(6), 582-607.
Pacheco, M.B., & Miller, M.E. (2016). Making Meaning Through Translanguaging in the Literacy Classroom. . Tulisan ini membagikan tiga kegiatan literasi untuk guru yang berkaitan dengan proses bilingual yang muncul. Kegiatan ini memanfaatkan bahasa warisan siswa dalam pengajaran memiliki peluang yang kaya untuk pencapaian keaksaraan. Pedagogi translingual mendorong munculnya kondisi bilingual sehingga seluruh repertoar linguistik harus digunakan saat membuat makna di dalam kelas.[19] The Reading Teacher, 69, 533-537
Machado, E., & Gonzales, G.C. (2020). “I Can Write in My Language and Switch Back and Forth?”: Elementary Teacher Candidates Experiencing and Enacting Translanguaging Pedagogies in a Literacy Methods Course. Guru bereksperimen dengan bahasa di dalam kelas universitas kami, memanfaatkan repertoar linguistik lengkap mereka dalam tugas kursus dan melawan dominasi bahasa Inggris dalam kegiatan pelatihan. Studi ini menawarkan wawasan tentang potensi memberlakukan pedagogi translingual dalam pendidikan guru literasi prajabatan untuk pendidik bahasa Inggris-menengah dan pengajar dwibahasa.[20] Literacy Research: Theory, Method, and Practice, 69, 211 - 229.
Wawire, B.A., & Barnes-Story, A. (2022). Translanguaging for multiliteracy development: pedagogical approaches for classroom practitioners. International Guru dapat menggunakan strategi penerjemahan untuk mengenali dan membangun praktik multibahasa sambil menawarkan kesempatan kepada semua siswa untuk menyuarakan pendapat mereka. [21] Journal of Bilingual Education and Bilingualism, 26, 173 - 188.
Williams, H. (2020). Translingualism as Creative Revolt: Rewriting Dominant Narratives of Translingual Literature. Para penulis menggunakan translingualisme sebagai alat ekspresi identitas yang diperlukan, menolak untuk membentuk kembali diri mereka sendiri ke standar kemurnian budaya monolingual. Dengan mengutamakan suara hibrid mereka sendiri, penulis translingual memberikan tanggung jawab pemahaman kepada pembacanya, meninggalkan paradigma monolingualisme dengan menolak akses mudah ke pembaca monolingual. [22] The Forum: University of Edinburgh Postgraduate Journal of Culture & the Arts, 30, 2-12.
Table 1.Hasil review

Hasil dan Pembahasan

Literasi Translingual

Pendekatan translingual memandang proses pendidikan bahasa bukan lagi sekedar permasalahan tentang pembelajaran seputar bentuk dan makna yang standar. Pembelajaran bahasa dipandang sebagai kebutuhan untuk mempertimbangkan bagaimana, mengapa dan apa yang akan dilakukan dengan bahasa dengan memperhatikan aspek relasi bahasa, praktik, konvensi dan konteks yang mengiringinya [18]. Orientasi translingual menggerakkan literasi melampaui produk ke proses dan praktik hubungan lintas bahasa [9].

Literasi tentu saja merupakan kemampuan yang menjadi modal utama serta memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk kompetensi 4.0 yang dibutuhkan peserta didik. Dewasa ini, kemampuan literasi secara umum dipahami sebagai kemampuan untuk memproses dan memahami informasi dalam kegiatan membaca dan menulis. Oleh karena itu, pendekatan translingual memiliki potensi yang lebih besar dalam mengembangkan kemampuan multilingual peserta didik sebagai proses dengan kondisi spesifik, proses yang dinamis, dan dapat dinegosiasi [9]. Secara lebih spesifik, pendekatan translingual untuk pengajaran menulis menyediakan peluang untuk melihat perbedaan dalam bahasa bukan sebagai hambatan untuk diatasi atau sebagai masalah untuk dikelola, tetapi sebagai sumber untuk menghasilkan makna dalam menulis, berbicara, membaca, dan mendengarkan [23].

Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat kekhawatiran terhadap pendekatan translingual yang menggunakan berbagai bahasa dalam komunikasi. Namun, perlu diperhatikan bahwa bahasa sesungguhnya adalah sebuah praktik sosial yang senantiasa berkembang, berproses dan dibentuk kembali secara terus-menerus secara temporal maupun spasial [18]. Konsep ini telah diambil dan diperluas oleh banyak akademisi untuk merujuk pada penggunaan bahasa bukan sebagai suatu sistem dengan batas-batas yang ditentukan secara sosial dan politik, tetapi sebagai repertoar linguistik yang dinamis dan cair [24]. Praktik translingual bukan hanya sekedar kemampuan alih kode (code switching), melainkan bagaimana peserta didik mampu memilih secara strategis untuk berkomunikasi dengan efektif dari sebuah repertoar linguistik dari beragam bahasa yang dikuasai. [25].

Kemampuan literasi ini dapat diasah dengan adanya gerakan literasi yang dapat diinisiasi pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah sebagai suatu intitusi formal memiliki posisi strategis untuk mengembangkan potensi kemampuan literasi dengan pendekatan translingual peserta didik. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan penyediaan sumber-sumber literasi dan ketersediaan ekosistem yang mendukung proses pengolahan kemampuan berbahasa. Gerakan literasi ini diperlukan agar peserta didik dapat mengombinasikan dan mengoneksikan pengetahuan linguistik yang didapat secara terpisah dalam jam-jam pelajaran.

Gerakan literasi ini memiliki potensi yang luar biasa untuk membangun kecakapan berkomunikasi siswa. Akan tetapi sejauh ini, gerakan literasi yang seringkali ditemui hanya sekedar program membaca bersama. Oleh karena itu, kurasi buku-buku sumber bacaan yang tersedia juga perlu mendapat perhatian khusus. Setelah kegiatan membaca yang bersifat reseptif ini, semestinya peserta didik juga difasilitasi untuk memproduksi sesuatu yang dapat berupa tulisan maupun karya lainnya yang dapat memfalisitasi pengembangan kemampuan produktifnya baik berbicara maupun menulis. Dengan demikian, peserta didik mampu menjadi seorang translingual yakni pengguna bahasa yang menunjukkan kemampuan untuk menggunakan kemampuan bahasa yang dimiliki dalam lintas kaidah dan kode untuk merespon tujuan dan konteks tertentu secara spesifik [9].

Progressivisme dalam Pendidikan

Progressivisme adalah teori yang lahir dari reaksi penekanan pada cara pembelajaran formal yang kerap ditemui pada pendidikan tradisional. Aliran pendidikan ini menentang metode pembelajaran yang esensialisme dan perenialisme cenderung konservatif dan tradisional karena menekankan metode pembelajaran ekstructional, mental learningdan mengutamakan kemampuan baca tulis peserta didik. adalah pembelajaran yang diitentang progresivisme [26]. Progressivisme hadir untuk mereformasi metode-metode pendidikan tradisional. John Dewey sendiri mendefinisikan progesivisme sebagai sebuah aliran filsafat yang menempatkan peserta didik sebagai salah satu subjek pendidikan dengan bekal dan potensi untuk mengembangkan diri dan berdaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi [27].

Pendidikan progresif juga dapat dianggap sebagai manifestasi dari pragmatisme filosofis. Pendidik progresif, khususnya progresivis pedagogis, berfokus pada anak-anak dan kebutuhan mereka menjadi terkait dengan gagasan kurikulum "berpusat pada anak" oleh Dewey (Reese, 2001). Menurut Dewey, sekolah tidak hanya sebagai tempat belajar materi pelajaran tetapi juga tempat belajar bagaimana memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan menyeluruh dari filosofi pragmatis adalah menghubungkan pengetahuan dan pengalaman anak. Demikian pula, pendukung pendidikan progresif percaya bahwa anak-anak belajar paling baik bukan melalui buku tetapi melalui pengalaman dan contoh dari dunia nyata (yaitu, pengajaran objek) [28]. Sejatinya, pendidikan progressiv berdasar pada gagasan bahwa anak adalah individu yang kompleks (fisik, emosi, intelektual, dan spiritual) dengan kebutuhan, kekuatan dan kelemahan tertentu.

Oleh karena itu, pendidikan anak seharusnya didesain dan dikembangkan dengan tatanan yang dapat memfasilitasi setiap aspek dari anak tersebut. Progressivisme mengemukakan bahwa para pendidik sudah seharusnya mendapatkan peningkatan kesejahteraan agar dapat fokus mengenali kemampuan setiap peserta didiknya masing-masing dan berhenti untuk menyamaratakan kemampuan peserta didik.Pembelajaran berdeferensiasi merupakan praktik utama dalam pendidikan beraliran progressivisme. Jika ditinjau dari aspek psikologis, pendidik dalam hal ini guru semestinya mengetahui potensi dan kemampuan peserta didik agar dapat dikembangkan. Hal ini penting agar pendidik mampu memilih cara yang tepat dan landasan apa yang akan digunakan dalam pembelajaran [29].

Progressivisme memandang pendidikan sebagai sebuah sarana atau alat untuk dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk dapat menghadapi segala tantangan dan permasalahan hidup yang akan dihadapi. Masa depan yang akan dihadapi peserta didik tidak akan sama dengan masalah yang dihadapi oleh pendidiknya. Oleh karena itu, peserta didik harus belajar sesuai dengan kebutuhannya sesuai dengan zaman yang dijalaninya [30]. Peserta didik diarahkan untuk dapat mengembangkan kemampuan berdasarkan pengalamannya. Terkait dengan hal tersebut, peningkatan kemampuan melalui pengalaman dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) meningkatkan makna untuk mengetahui bagaimana pengalaman dan pembelajaran yang terjadi secara berkelanjutan memiliki peran yang penting dalam proses perkembangan; b) Proses pendidikan dapat menjadi kekuatan dengan adanya pengalaman atau menjadi kendali dalam pembelajaran selanjutnya [27].

Peran Sastra dalam Gerakan Literasi Translingual Berbasis Progressivisme

Gerakan literasi dengan pendekatan translingual mendefinisikan agensi peserta didik yang beroperasi dalam hal kebutuhan dan kemampuan peseta didik secara individu untuk memetakan dan mengatur, memetakan kembali dan menyusun ulang kondisi dan hubungan dalam penerapan dan praktik kebahasaan mereka [18]. Peserta didik akan mampu mengatasi perbedaan potensial antara yang resmi dan praktis, daripada hanya berfokus pada apa yang dominan telah didefinisikan sebagai ‘konteks’ yang mendesak, layak, tepat, dan stabil. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu diperlukan sumber yang berfungsi untuk memberikan informasi, menjadi rujukan sekaligus memantik motivasi peserta didik dalam mereproduksi hasil pembacaannya.

Sastra dapat menjadi jawaban atas kebutuhan akan sumber sekaligus sarana gerakan literasi translingual. Prinsip progressivisme yang menentang pembelajaran membaca dan menulis yang tradisional dan konservatif dapat difasilitasi dengan sastra karena mampu memberikan ruang untuk imajinasi dan kreativitas bagi peserta didik. Dengan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, sastra mampu menyajikan beragam pilihan yang dapat disesuaikan dengan minat dan potensi peserta didik. Penggunaan sastra sebagai sumber mengacu pada sastra sebagai bahan untuk pempromosikan kegiatan bahasa yang menarik [31]. Mulai dari pilihan genre, bahasa hingga tema yang melimpah dan kontekstual.

Dalam pemilihan bahan bacaan yang bersumber dari sastra, guru dapat menjadi fasilitator sebagaimana yang diarahkan dalam aliran progressivisme. Guru dapat memandu para siswa untuk menentukan jenis karya sastra apa yang sesaui dengan kebutuhannya. Dalam tahap awal guru dapat mengajak siswa untuk bercakap-cakap tentang kebiasaan dan hal-hal yang disukainya. Hal ini berfungsi sebagai tahap pengidentifikasian minat dan potensi peserta didik.

Selanjutnya, dari hasil identifikasi ini, guru dapat menyajikan referensi jenis maupun judul karya sastra dari beragam bahasa yang dapat diakses oleh peserta didik. Progressivisme menyatakan bahwa peserta didik sesungguhnya memiliki kecenderungan alami terntu yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar. Jika dikaitkan, ketersediaan beragam karya sastra, yang sudah melalui kurasi guru, akan memberikan kesempatan peserta didik untuk dapat mengenali minatnya sendiri tentang apa yang ingin dikembangkan dan dipelajari.

Salah satu genre karya sastra yang menarik untuk disajikan bagi para peserta didik adalah sastra perjalanan. Genre ini meliputi representasi tekstual dari perjalanan nyata maupun yang fiktif [32]. Genre ini mencakup panduan perjalanan dan karya perjalanan ilmiah yang berupa buku harian penelitian, novel, cerita pendek, esai, sampai puisi. Tiga prinsip utama karya sastra perjalanan yang meliputi pelaporan dunia, pengungkapan diri, dan representasi liyan [33]. Tiga komponen ini memungkinkan adanya penggunaan beragam bahasa karena biasanya terdapat upaya untuk mengungkap budaya ’yang lain’ di tempat yang dikunjunginya, sehingga tampak bagaimana keterkaitan erat antara bahasa dan budaya (34]). Tanpa pemahaman konteks budaya yang memadai, maka bahasa tidak berfungsi [35].

Di samping pengenalan terhadap budaya sebagai bagian dari pengembangan kompetensi interkultural, peserta didik dapat mengembangkan efikasi dirinya dengan memilih karya sastra yang sesuai dengan minatnya. Efikasi diri yang dirasakan berkaitan dengan keyakinan peserta didik dalam kapasitasnya untuk mengatur dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk menghasilkan hasil yang diinginkan [36]. Keyakinan ini akan mempengaruhi pilihan, usaha dan ketekunan siswa dalam menghadapi kesulitan dan terbukti memprediksi prestasi akademik siswa di berbagai domain [37]. Kemudian penentuan karya sastra ini secara bertahap dapat diserahkan sepenuhnya pada peserta didik. Dengan demikian, otonomi peserta didik untuk tumbuh secara alami dapat diimplementasikan.

Sastra juga dapat berfungsi dalam ketrampilan reseptif dan produktif dalam proses pengembangan kemampuan literasi translingual. Pada tahap reseptif, sastra dapat menjadi bahan referensi, dokumentasi dan informasi bagi peserta didik. Sastra anak misalnya dapat menjadi pilihan dalam membudayakan pengembangan kemampuan literasi peserta didik, karena memperhatikan unsur perkembangan peserta didik sesuai dengan usianya [38]. Dengan pertimbangan ini,sastra anak tentu menyajikan komponen linguistik maupun konten literer yang sesuai dengan aspek kognitif dan psikologisnya. Selain itu, kekayaan khasanah sastra anak juga beragam, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sehingga gerakan literasi dengan pendekatan translingual dapat diterapkan.

Peserta didik dapat mengolah potensi kemampuan literasi translingualnya sejak tahapan reseptif hingga produktif. Dalam keterampilan berbahasa produktif, peserta didik dapat membentuk efikasi dirinya dengan mengombinasikan segala pengetahuan bahasa yang telah dimiliki. Pengembangan keterampilan berbahasa yang translingual dengan berlandaskan progresivisme ini akan meningkatkan kemampuan literasi yang aktual dan kontekstual.

Guru dapat menjadi mentor agar anak tidak ragu untuk mengombinasikan bahasa daerah yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi pertamanya dengan bahasa Indonesia maupun bahasa asing yang telah dipelajari di sekolah. Sekolah pun memiliki peranan penting untuk menyediakan ekosistem belajar yang dapat mengembangkan potensi peserta didik. Terlebih lagi, dengan diselenggarakannya asesmen nasional yang menjadikan kemampuan literasi sebagai salah satu indikator yang diukur. Gerakan literasi translingual ini dapat membuka jalan untuk peningkatan kualitas lulusan.

Pendidikan bertujuan untuk membekali peserta didik dengan pengalaman yang luas dalam memecahkan masalah yang dihadapi di lingkungan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, segala elemen yang terlibat dalam pendidikan semestinya mampu menyediakan peluang bagi peserta didik untuk belajar memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan. Tujuan pendidikan progresif harus memberikan keterampilan dan keterampilan pemecahan masalah yang dapat digunakan oleh individu untuk mengidentifikasi, menganalisis dan memecahkan masalah.

Sebagai ilustrasi untuk implementasi gerakan literasi ini, peserta didik dapat diberi stimulus untuk membaca cerpen-cerpen yang berwawasan lingkungan. Kemudian guru mengajak para siswa untuk mengamati kondisi alam tempat tinggalnya. Setelah itu, siswa mengolah hasil pengamatan dan pengetahuan kisah lokal dari kekayaan budaya bahasa daerah dengan menuliskannya menjadi sebuah puisi atau cerpen. Orientasi translingual menggerakkan literasi melampaui produk ke proses dan praktik hubungan lintas bahasa beriringan dengan sastra menempatkan siswa pada tema yang kompleks dan penggunaan bahasa yang segar dan tidak terduga [9],[31]. Proses semacam ini dapat memantik siswa untuk berpikir kritis, berani berkreasi, mengembangkan imajinasi dan melatih kemampuan berkomunikasi. Lebih jauh lagi, karya sastra ciptaan para siswa ini dapat memberikan pengalaman nyata dan berkontribusi dalam isu-isu kehidupan, misalnya kepedulian terhadap alam dan lingkungan.

Sastra tidak hanya menyajikan kesempatan bagi bahasa untuk memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi tetapi juga memberikan fungsi imajinasi. Misalnya, sastra anak merupakan sastra yang berangkat dari fakta konkret yang dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak serta dapat diimajinasikan secara emosional psikologis. Sastra menyajikan kemungkinan bagi peserta didik untuk dapat menghayati perbedaan peran dan fungsi bahasa-bahasa yang dipelajarinya.

Proses ini akan memberikan kesempatan bagi peserta didik dalam memetakan, menyusun ulang dan mengasah potensi kemampuan multilingual mereka. Dengan demikian, agensi peserta didik mendapat rekognisi dan dapat ditingkatkan. Peserta didik bukan target pasif dari pengaruh lingkungan tetapi memiliki hak pilihan mereka sendiri, menciptakan nilai baru, membuat pilihan sendiri serta menciptakan lingkungan perkembangan dan jalan kehidupan masa depan mereka [39].

Selanjutnya, sastra dalam konteks literasi translingual dapat mengasah kepekaan bagaimana peserta didik menggunakan bahasa-bahasa tersebut untuk saling mendukung kebutuhannya sebagai individu. Tujuan yang ingin dicapai di masa depan adalah peserta didik nantinya dapat menggunakan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa Indonesia secara luwes dan efektif untuk dapat bersaing di pasar global yang terus berkembang.

Dengan keanekaragaman budaya di Indonesia, sesungguhnya peserta didik memiliki potensi yang besar sebagai pembelajar multilingual. Namun, pembelajaran di institusi pendidikan belum mampu mengintegrasikan dan mengoptimalkan kemampuan berbahasa peserta didik, bahkan cenderung memberikan sekat terpisah pada bahasa-bahasa yang dipelajari peserta didik. Hal ini menimbulkan sejumlah permasalahan seperti kemampuan berkomunikasi yang didominasi salah satu bahasa saja. Padahal, dengan kemampuan multibahasa, peserta didik semestinya mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang berguna bagi pengembangan dirinya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengoptimalkan gerakan literasi di sekolah. Penyediaan sumber-sumber literasi dan ketersediaan ekosistem yang sesuai untuk belajar akan meningkatkan proses pengolahan kemampuan berbahasa. Melalui gerakan literasi ini peserta didik dapat mengolah ilmu kebahasaan yang didapat secara terpisah dalam proses pembelajaran di kelas. Namun, diperlukan gerakan literasi dengan pendekatan khusus agar kegiatan membaca dan menulis ini dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik.

Pendekatan translingual merupakan satu dari sekian banyak pilihan yang menarik untuk dipertimbangkan. Pendekatan ini menjadikan keberagaman bahasa dan budaya sebagai acuan yang digunakan. Bukan lagi sebagai hambatan yang harus diatasi, keragaman bahasa yang dikuasai justru dipandang sebagai sumber daya untuk berinteraksi. Oleh karena itu, pemilihan sumber dan saran literasi semestinya berdasar pada kebutuhan dan potensi bahasa apa saja dimiliki peserta didik. Gerakan literasi translingual juga perlu dipahami bukan sekedar kegiatan membaca dan menulis. Dengan mengambil aliran filsafat pendidikan progresivisme sebagai landasannya, gerakan literasi dengan pendekatan translingual dapat menjadi langkah awal dalam mengembangkan diri peserta didik. Sebuah aktivitas pembelajaran yang menyediakan ruang bagi peserta didik untuk bisa mengembangkan dirinya dan berdaya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya kelak.

Simpulan

Berkenaan dengan kebutuhan tersebut, sastra menjadi pilihan yang tepat sebagai sumber sekaligus sarana gerakan literasi translingual. Melalui sastra, imajinasi dan kreativitas mendapat ruang untuk berkembang sesuai dengan prinsip progressivisme yang menentang pembelajaran membaca dan menulis yang tradisional dan konservatif. Dalam konteks literasi translingual, sastra dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memilih bahasa apa saja yang dapat digunakannya secara efektif untuk mendukung kebutuhannya sebagai individu. Harapannya, peserta didik kelak mampu menggunakan bahasa Indonesia, bahasa asing, dan bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan berkomunikasi dalam persaingan global.

References

  1. J. T. Collins, "Global Eras and Language Diversity in Indonesia: Transdisciplinary Projects Towards Language Maintenance and Revitalization," Paradigma: Jurnal Kajian Budaya, vol. 9, no. 2, Oct. 2019.
  2. T. H. Suwarta, "Lestarikan Bahasa Daerah," Media Indonesia, Feb. 2018.
  3. Zulfitriyani, "Multilingual as Movement of Globalization in The National Language Policy," in Proceedings of The 4th International Seminar on Linguistics (ISOL-4), Dec. 2019, pp. 284-291.
  4. N. H. Hornberger, "Multilingual language policies and the continua of biliteracy: An ecological approach," Language Policy, vol. 1, no. 1, pp. 27–51, 2002.
  5. Depdiknas, "Undang-Undang RI No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional," Depdiknas, Jakarta, 2003.
  6. B. L. Samuelson, "Literacy as translingual practice: between communities and classrooms," Journal of Multilingual and Multicultural Development, 2016.
  7. J. Kalman, "Beyond Definition: Central Concepts for Understanding Literacy," International Review of Education / Internationale Zeitschrift Für Erziehungswissenschaft/ Revue Internationale de l’Education, vol. 54, no. 5/6, pp. 523–538, 2008.
  8. T. A. Baranova, A. M. Kobicheva, E. Y. Tokareva, & E. Vorontsova, "Application of translinguism in teaching foreign languages to students (specialty “Ecology”)," E3S Web of Conferences, 2021.
  9. A. S. Canagarajah, "Negotiating Translingual Literacy: An Enactment," Research in the Teaching of English, vol. 48, no. 1, pp. 40–67, 2013.
  10. S. M. Coronel-Molina & B. L. Samuelson, "Language contact and translingual literacies," Journal of Multilingual and Multicultural Development, vol. 38, pp. 379 - 389, 2017.
  11. C. V. de los Ríos, "Translingual Youth Podcasts as Acoustic Allies: Writing and Negotiating Identities at the Intersection of Literacies, Language and Racialization," Journal of Language, Identity & Education, 2020.
  12. A. Hina, "Translingual practices and monoglot policy aspirations: a case study of Pakistan’s plurilingual classrooms," Current Issues in Language Planning, vol. 19, no. 1, pp. 1-21, 2018.
  13. N. H. Hornberger & H. Link, "Translanguaging and transnational literacies in multilingual classrooms: a biliteracy lens," International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, vol. 15, pp. 261 - 278, 2012.
  14. S. G. Kellman, "Literary Translingualism: What and Why?" Polylinguality and Transcultural Practices, vol. 16, no. 3, pp. 337-346, 2019.
  15. K. M. Kim and G. Park, "It Is More Expressive for Me": A Translingual Approach to Meaningful Literacy Instruction Through Sijo Poetry," TESOL Quarterly, 2020. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/tesq.545. [Accessed: 22 Feb. 2023].
  16. T. Kleyn and O. García, "Translanguaging as an Act of Transformation: Restructuring Teaching and Learning for Emergent Bilinguals," in The Handbook of TESOL in K-12, L. de Oliveira, Ed. Wiley Blackwell, 2019, pp. 69-82. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/9781119421702.ch6. [Accessed: 24 Feb. 2023].
  17. E. Lebedeva and Z. G. Proshina, "Translingualism and Transculturalism Beyond Fiction Works (Based on Articles and Book Reviews by Olga Grushin)," Philological Sciences. Scientific Essays of Higher Education, vol. 2, pp. 273-279, 2020. [Online]. Available: https://doi.org/10.20339/phs.6-20.273. [Accessed: 24 Feb. 2023].
  18. M. Lu and B. Horner, "Translingual Literacy, Language Difference, and Matters of Agency," College English, vol. 75, no. 6, pp. 582-607, 2013. [Online]. Available: https://ir.library.louisville.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1064&context=faculty. [Accessed: 22 Feb. 2023].
  19. M. B. Pacheco and M. E. Miller, "Making Meaning Through Translanguaging in the Literacy Classroom," The Reading Teacher, vol. 69, pp. 533-537, 2016. [Online]. Available: https://doi.org/10.1002/TRTR.1390. [Accessed: 2 March. 2023].
  20. E. Machado and G. C. Gonzales, "I Can Write in My Language and Switch Back and Forth?": Elementary Teacher Candidates Experiencing and Enacting Translanguaging Pedagogies in a Literacy Methods Course," Literacy Research: Theory, Method, and Practice, vol. 69, pp. 211 - 229, 2020. [Online]. Available: https://doi.org/10.1177/2381336920937256. [Accessed: 2 March. 2023].
  21. B. A. Wawire and A. Barnes-Story, "Translanguaging for Multiliteracy Development: Pedagogical Approaches for Classroom Practitioners," International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, vol. 26, pp. 173 - 188, 2022. [Online]. Available: https://doi.org/10.1080/13670050.2022.2094702. [Accessed: 2 March. 2023].
  22. H. Williams, "Translingualism as Creative Revolt: Rewriting Dominant Narratives of Translingual Literature," The Forum: University of Edinburgh Postgraduate Journal of Culture & the Arts, vol. 30, pp. 2-12, 2020. [Online]. Available: https://doi.org/10.2218/forum.30.4474. [Accessed: 2 March. 2023].
  23. B. Horner, M. Z. Lu, J. J. Royster, and J. Trimbur, "Language Difference in Writing: Toward a Translingual Approach," College English, vol. 73, no. 3, pp. 303–321, 2011. [Online]. Available: http://www.jstor.org/stable/25790477. [Accessed: 12 May. 2023].
  24. T. Kleyn and O. García, "Translanguaging as an Act of Transformation: Restructuring Teaching and Learning for Emergent Bilinguals," in The Handbook of TESOL in K-12, L. de Oliveira, Ed. Wiley Blackwell, 2019, pp. 69-82.
  25. C. Celic and K. Seltzer, Translanguaging: A CUNY-NYSIEB Guide for Educators, CUNY Graduate Center, 2012.
  26. Ruslan, "Perspektif Aliran Filsafat Progresivisme Tentang Perkembangan Peserta Didik," JISIP, vol. 2, no. 2, 2018. [Accessed: 12 May. 2023].
  27. T. Wulandari, "Teori Progresivisme John Dewey dan Pendidikan Partisipatif Dalam Pendidikan Islam," At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam, vol.5, no.1, pp. -, Jan-Jun, 2020. [Accessed: 12 May. 2023].
  28. W. J. Reese, "The Origins of Progressive Education," History of Education Quarterly, vol. 41, no. 1, pp. 1-24, 2001.
  29. H. A. Yunus, "Telaah Aliran Pendidikan Progresivisme Dan Esensialisme Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan," Jurnal Cakrawala Pendas, vol. 2, no. 1, pp. 29-39, 2016.
  30. Ikhsanudin, "Filsafat Pendidikan Progresivisme dan Pendidikan Bahasa," Jurnal Cakrawala Kependidikan, vol. 7, no. 1, Mar, 2009. [Accessed: 12 May. 2023].
  31. G. Lazar, Literature and Language Teaching: A Guide for Teachers and Trainers, Cambridge University Press, 1993.
  32. M. Holdenried, A. Honold, and S. Hermes, "Reiseliteratur der Moderne und Postmoderne. Zur Einführung," in Reiseliteratur der Moderne und Postmoderne, A. H. Michaela Holdenried, Ed. Berlin: Erich Schmidt Verlag GmbH, pp. 9-18, 2017.
  33. C. Thomson, Travel Writing, London: Routledge, 2011.
  34. D. Thanasoulas, "Motivation and Motivating in the Foreign Language Classroom," 2002. [Online]. Available: http://iteslj.org/Articles/Thanasoulas-Motivation.html. [Accessed: 12 May. 2023].
  35. K. Byram and C. Kramsch, "Why is it So Difficult to Teach Language as Culture?" The German Quarterly, vol. 81, no. 1, pp. 20-34, 2008. https://doi.org/10.1111/j.1756-1183.2008.00005.x. [Accessed: 13 January. 2023].
  36. A. Bandura, "Adolescent Development from an Agentic Perspective," in Self-Efficacy Beliefs of Adolescents, T. Urdan and F. Pajares, Eds. Charlotte, NC: Information Age, pp. 1-43, 2006.
  37. F. Pajares, "Self-Efficacy During Childhood and Adolescence. Implications for Teachers and Parents," in Self-Efficacy Beliefs of Adolescents, F. Pajares and T. C. Urdan, Eds. Greenwich: Information Age Publishing, pp. 339–367, 2006.
  38. B. Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Dunia Anak, Yogyakarta: UGM Press, 2012.
  39. K. Salmela-Aro, "Personal Goals and Well-Being During Critical Life Transitions: The Four C’s—Channelling, Choice, Co-Agency, and Compensation," Advances in Life Course Research, vol. 14, no. 1-2, pp. 63–73, 2009. doi:10.1016/j.alcr.2009.03.003. [Accessed: 13 January. 2023].