Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education

Mother's Education and Employment Status: Non-Factors in Children's School Readiness


Pendidikan dan Status Pekerjaan Ibu: Bukan Faktor dalam Kesiapan Anak untuk Sekolah Dasar

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

School Readiness Mother's Education Level Working Mother Not Working Mother

Abstract

This study aimed to analyze the influence of mother's education level and employment status on children's readiness for elementary school. Employing a quantitative comparison method, data from 194 children were collected through the NST test and a parental questionnaire. The school readiness, mother's education level, and employment status were assessed. Statistical analysis using SPSS 16.0 and the Anova and t-test techniques revealed that neither the mother's education level (F = 1.139, Sig. = 0.340 > 0.05) nor the employment status (t score = -0.763, Sig. = 0.446 > 0.05) significantly influenced the school readiness of the children. These results suggest that other intervening variables such as parenting styles, socioeconomic status, and child's motivation may be more crucial determinants of a child's preparedness for school. This study offers a novel perspective to parents, educators, and developmental psychologists by challenging conventional assumptions about mother's influence on children's school readiness.

Highlights:

  • A mother's education level doesn't significantly influence a child's readiness for elementary school.
  • A mother's employment status (working or non-working) also doesn't significantly affect a child's school readiness.
  • Other factors like parenting styles, socioeconomic status, and child's motivation could be more influential on a child's preparedness for school.

Keywords : School Readiness, Mother's Education Level, Working Mother, Not Working Mother

Pendahuluan

Pendidikan merupakan proses usaha sadar dan terencana serta dilakukan secara sistematis untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang diharapkan peserta didik dapat mengembangkan potensinya secara aktif. Dalam hal ini, potensi yang dikembangkan adalah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya (pribadi) dan masyarakat. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 17 Tahun 2017 pada pasal 5 menyebutkan bahwa calon peserta didik berumur 7 (tujuh) tahun wajib diterima di tingkat sekolah dasar, sedangkan calon peserta didik yang bisa dipertimbangkan untuk diterima adalah yang berusia paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan. Individu yang berusia 6 (enam) tahun atau 7 (tujuh) tahun telah memasuki periode anak sekolah dasar atau sering disebut dengan periode tengah dan akhir anak-anak [1]

Perkembangan siswa atau yang juga disebut anak Sekolah Dasar menurut Piaget [2] yaitu anak yang memiliki kemampuan dalam mengelompokkan, menyusun, dan mengasosiasikan (menghubungkan/menghitung) angka atau bilangan, dan mampu mengenal maupun menguasai perbendaharaan kata. Perkembangan tersebut diharapkan dapat menyongsong kesiapan anak dalam memasuki Sekolah Dasar. Menurut Mariyati dan Afandi (2016), kesiapan anak masuk Sekolah Dasar merupakan keterampilan yang telah dimiliki anak untuk melaksanakan tugas secara akademik di Sekolah Dasar (usia 6-7 tahun diawal pendidikan dasar). Hal tersebut diperjelas oleh Deliviana (2017) bahwa indikasi dari anak yang telah siap masuk SD bukan hanya ditentukan oleh usia kronologis, namun terdapat aspek-aspek lain seperti perkembangan kognitif, bahasa, motorik, sosioemosi, kemandirian anak, serta dukungan dari lingkungan keluarga dan sekolah.

Sulyatiningsih [3] berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa sangat penting untuk memastikan kesiapan anak untuk bersekolah. Anak yang memiliki kesiapan sekolah akan memperoleh kemajuan serta manfaat dalam perkembangan selanjutnya, sedangkan anak yang tidak memiliki kesiapan akan mengalami frustasi saat dituntut untuk berinteraksi dengan lingkungan akademis. Lebih lanjut [2] menyebutkan bahwa anak-anak yang mendapat kemajuan dalam proses belajarnya memiliki kemungkinan minim dalam mengalami frustrasi di lingkungan akademik dan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, dapat membangun konsep diri yang baik, dan memiliki minat belajar yang tinggi dibandingkan pada anak yang mengalami hambatan dalam proses belajar. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesiapan anak merupakan aspek penting yang mendukung kemampuan berinteraksi dengan lingkungan akademis. Dalam hal ini, terdapat fenomena school refusal atau penolakan sekolah pada anak yang kurang memiliki kesiapan dalam memasuki sekolah dasar. Penolakan sekolah ditandai dengan perasaan cemas, bahkan panik ketika harus berangkat ke sekolah, kurangnya minat pada proses belajar mengajar yang diindikasikan dengan tidur di dalam kelas, sibuk dengan aktivitas pribadi, dan bermain di luar kelas ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung (Pipit, dkk. 2016).

Kesiapan anak memasuki sekolah dasar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang memiliki peran utama dalam mendukung kesiapan anak adalah keluarga. Dalam hal ini terdapat beberapa aspek antara lain praktik pengasuhan orang tua, sosioekonomi keluarga, kerjasama antara orang tua, peran ibu, dan tingkat pendidikan orangtua (Eckerth, Hein, & Hanke, 2013; Magdalena, 2013; Patrick et al., 2016; UNICEF, 2012; World Bank, 2010, dalam Fauziah 2020).

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh ibu melalui pendidikan formal yang dimulai dari tingkat paling rendah hingga tingkat tinggi (SMP, SMA, perguruan tinggi, dan sederajat). Pendidikan merupakan proses yang berlangsung seumur hidup, hal tersebut menjelaskan bahwa semakin seseorang banyak belajar, maka semakin banyak pula pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Dalam hal ini, perbedaan dalam jenjang pendidikan seseorang tanpa disadari akan mempengaruhi seseorang pada caranya berpikir, berkata, dan bertingkah laku sehingga akhirnya setiap orangtua akan memiliki perbedaan cara dalam pengasuhan dan pendidikan anak.

Seiring berkembangnya zaman, stereotip tentang peran wanita agaknya bergeser. Sebuah stereotip tradisional memandang wanita memiliki kewajiban dalam mengurus rumah tangga, sedangkan untuk tanggung jawab mencari nafkah adalah tugas suami. Namun dewasa ini semakin tinggi tingkat kesadaran bagi wanita untuk mengembangkan potensi yang dimiliki baik wanita yang belum maupun sudah berkeluarga. Bagi wanita bekerja yang telah berkeluarga tentunya hal ini menjadikan mereka memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu dan istri untuk keluarganya, sekaligus menjadi pekerja. Ibu adalah seseorang yang memiliki beberapa peran sekaligus di dalam kehidupannya. Peran sebagai istri dan sebagai ibu yang mengandung, melahirkan hingga mengasuh anak-anaknya [4]

Menurut Lerner [5] dalam Encyclopedia of Children’s Health, Ibu bekerja merupakan suatu keadaan ketika seorang ibu melakukan pekerjaan di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping membesarkan anak dan mengurus rumah tangga. Seorang wanita yang bisa dikategorikan sebagai ibu bekerja apabila ia memiliki anak dengan rentang usia 0-18 tahun dan menjadi tenaga kerja. Waktu kerja adalah 7 jam sehari selama 6 hari atau 40 jam seminggu atau 8 jam sehari selama 5 hari atau 40 jam seminggu.

Sedangkan ibu tidak bekerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bisa diartikan sebagai seorang wanita yang sudah berkeluarga yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam tugas atau pekerjaan rumahtangga. Dalam hal ini, ibu tidak bekerja lebih banyak mendedikasikan waktunya untuk mengasuh anak dan mengurus rumah tangga menurut pola asuh yang diberikan oleh masyarakat umum (Junaidi, 2017). Ibu yang tidak bekerja tidak memiliki aktifitas yang secara langsung menghasilkan uang atau barang yang dapat menyumbang penghasilan keluarga dan fokus terhadap urusan rumah tangga.

Ibu bekerja maupun ibu yang tidak bekerja akan memiliki dampak positif dan negatif. Pada ibu bekerja, ia akan menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah sehingga dampak negatif yang terjadi adalah minimnya waktu yang bisa dicurahkan untuk anak, hal tersebut akan berdampak pada minimnya stimulasi yang diberikan. Namun ibu bekerja akan memberikan perhatian lebih terkait asupan gizi dan memastikan kebutuhan gizi dan pangan anak mereka terpenuhi dengan baik [6] Sedangkan Ibu yang tidak bekerja memiliki banyak waktu yang bisa didedikasikan kepada keluarganya. Hal tersebut tentunya bisa menjadikan ibu tidak bekerja lebih fokus untuk memonitor dan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga ia bisa memaksimalkan perkembangan tersebut. Namun dampak negatifnya adalah anak mungkin saja merasa bergantung pada ibu yang nantinya juga akan berpengaruh kepada kemandirian anak.

Dampak dari tingkat pendidikan ibu, dan peran ibu bekerja dan tidak bekerja terhadap kesiapan anak masuk sekolah dasar diperkuat oleh penelitian [3] dalam yang berjudul “Pengaruh Faktor Keluarga Terhadap Kesiapan Masuk Sekolah Dasar Pada Anak Usia Prasekolah” penelitian tersebut mendapatkan hasil bahwa faktor keluarga yang berpengaruh dalam kesiapan sekolah adalah pendidikan ibu yang lebih tinggi dan ibu yang tidak bekerja. Lebih lanjut [7] dengan penelitian yang berjudul “Starting School at a Disadvantage: The School Readiness of Poor Children” didapatkan hasil bahwa orangtua dengan pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi kesiapan anak dalam memasuki dunia pendidikan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Augustine, Prickett, Sarah, and Crosnoe [8] “Maternal Education and the Link between Birth Timing and Children’s School Readiness” di dapatkan hasil bahwa pendidikan ibu mempengaruhi kesiapan anak dalam memasuki Sekolah Dasar karena ibu yang memiliki pendidikan tinggi lebih menekankan pada pengasuhan yang positif dan melakukan pengasuhan yang baik.

Pada penelitian ini, peneliti akan memfokuskan tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan kesiapan anak masuk Sekolah Dasar ditinjau dari tingkat pendidikan ibu, serta ibu bekerja dan tidak bekerja. Hal tersebut didasarkan pada pentingnya peran ibu dalam mengasuh, dan mendidik anak yang akan berpengaruh pada kesiapan anak dalam memasuki sekolah dasar. Dengan kesiapan sekolah, anak akan mampu beradaptasi dengan lingkungan dan peraturan-peraturan baru yang menyangkut akademik. Dengan tujuan tersebut, maka urgensi dari penelitian ini akan berguna khususnya bagi ibu yang memiliki tanggungjawab dalam mengasuh, membimbing, dan mendidik anak mengenai upaya yang akan dilakukan guna meningkatkan kesiapan Sekolah Dasar pada anak. Berkenaan dengan skema Riset Terapan Institusi, selain memperkuat peta penelitian bagi peneliti, penelitian ini juga didasarkan bidang unggulan UMSIDA berupa model literasi publik khususnya dalam bidang psikologi pendidikan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kuantitatif komparasi. Pada penelitian ini membandingkan dua variabel yang terdiri dari variabel bebas, yaitu tingkat pendidikan ibu serta ibu bekerja atau tidak bekerja, dan satu variabel terikat yaitu kesiapan anak memasuki sekolah dasar. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu siswa MI Swasta di Kota Probolinggo yang berjumlah 194 anak sebagai respondennya. Terdapat 1 teknik pengambilan data yang digunakan, yaitu dokumen hasil tes psikologi. Tes psikologi yang di gunakan yaitu tes NST (Nijmeegse

Schoolbekwaamheids Test) dengan dengan koefisien reliabilitas rxx= 0,851[9]. NST merupakan tes non verbal yang digunakan untuk mengukur aspek-aspek kognitif, penilaian sosial, motorik halus dan kasar, serta emosional anak pada kesiapan masuk Sekolah Dasar. Dalam hal ini, Tes NST digunakan untuk mengukur variabel kesiapan masuk sekolah dasar pada siswa.

Hasil dan Pembahasan

Analisa penelitian yang pertama membuktikan hipotesa tentang adanya perbedaan kesiapan anak masuk sekolah dasar ditinjau dari tingkat pendidikan ibu dengan diujikan menggunakan teknik ANOVA dengan program SPSS 16.0 for windows dan diperoleh skor nilai F = 1.139 (Sig. = 0.340 > 0.05). Hasilnya hipotesa ditolak, yang artinya tidak ada perbedaan kesiapan sekolah siswa ditinjau dari tingkat pendidikan ibu. Hasil Analisa dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini:

ANOVA - nst
Cases Sum of Squares df Mean Square F p
Ibu 462.295 4 115.574 1.139 0.340
Residuals 19.180.948 189 101.486 0 0
Note. Type III Sum of Squares
Table 1. Hasil Analisa Hipotesa 1
Descriptives - nst
Ibu Mean SD N
Diploma 47.641 10.602 39
S1 44.656 10.088 93
S2 45.188 9.064 16
SMA 47.865 10.462 37
SMP 43.556 6.839 9
Table 2.

Analisa penelitian yang kedua membuktikan hipotesa tentang adanya perbedaan kesiapan anak masuk sekolah dasar antara ibu yang bekerja dan tidak bekerja dengan diujikan menggunakan teknik T-Test dengan program SPSS 16.0 for windows dan diperoleh skor nilai t score = -0.763 (Sig. = 0.446 > 0.05). Hasilnya hipotesa ditolak, yang artinya Tidak ada perbedaan kesiapan sekolah siswa ditinjau dari Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja. Namun deskriptif statistik menunjukkan bahwa siswa yang memiliki Ibu tidak bekerja cenderung memiliki rerata lebih tinggi (46.913) jika dibandingkan dengan Ibu bekerja (45.612). Hasil analisa dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Independent Samples T-Test
nst t df p
0.763 191 0.446
Note. Student's t-test.
Table 3.Hasil Analisa Hipotesa 2
Group Descriptives
nst Group N Mean SD SE
Bekerja 147 45.612 10.204 0.842
Tidak Bekerja 46 46.913 9.709 1.431
Table 4.

Hasil analisis data ke-1 di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesiapan anak masuk Sekolah Dasar ditinjau dari tingkat pendidikan ibu Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan anak masuk Sekolah Dasar tidak dipengaruhi oleh pendidikan ibu, mulai dari pendidikan SMP sampai Strata 2. Dengan kata lain, bahwa tingkat pendidikan ibu tidak secara otomatis mempengaruhi kesiapan anak masuk Sekolah Dasar.

Hasil analisis data ke-2 juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesiapan anak masuk sekolah dasar ditinjau dari ibu bekerja dan tidak bekerja. Hasil ini menunjukkan kesiapan anak masuk sekolah dasar tidak dipengaruhi apakah ibunya bekerja atau tidak (sebagai ibu rumah tangga), artinya bahwa seorang ibu bekerja atau tidak bekerja (hanya sebagai ibu rumah tangga tidak serta merta menentukan seorang anak siap masuk sekolah dasar atau tidak.

Peneliti melihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan penelitian ini tidak dapat membuktikan dua hipotesis yang telah dibuat peneliti bisa diterima. Pertama, tingkat pendidikan ibu pada dasarnya tidak menentukan apakah seorang anak siap memasuki sekolah dasar atau tidak. Kedua, seorang ibu yang bekerja atau tidak bekerja juga tidak menentukan secara langsung apakah seorang anak siap atau tidak memasuki sekolah dasar. Terdapat variabel intervening yang sama yang mempengaruhi hasil penelitian komparasi ini.

Variabel intervening yang dianggap memiliki pengaruh terhadap hasil penelitian ini meliputi: (1) variabel pola asuh yang diterapkan oleh ibu sebagai orang tua yang berperan mengasuh anak. Soetjiningsih [10] menyebutkan bahwa dengan pendidikan yang baik, orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatannya, termasuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya. Pendapat Soetjiningsih menunjukkan bahwa kita tidak bisa memastikan apakah ibu dengan tingkat pendidikan tinggi pasti menerapkan pola asuh tertentu yang lebih baik, atau ibu dengan tingkat pendidikan rendah pasti menerapkan pola asuh yang kurang baik. Seperti diketahui ada beberapa bentuk pola asuh yang umum diterapkan ibu, seperti pola asuh otoritatif, otoritarian, permisif, dan acuh tak acuh. Dalam penerapannya tidak ada orang tua yang menggunakan satu bentuk pola asuh, melainkan gabungan bentuk pola asuh [11].

Selain itu, variabel intervening kedua adalah parent-child relationship. Hasil penelitian MConnell & Prinz (2002) tentang Impact of Childcare and Parent–Child Interactions on School Readiness and Social Skills Development menunjukkan bahwa interaksi orang tua-anak yang terstruktur dan responsif terhadap kebutuhan dan emosi anak secara positif terkait dengan kesiapan sekolah, keterampilan sosial, dan pengembangan keterampilan komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa setinggi apa tingkat pendidikan seorang ibu asal menerapkan interaksi yang terstruktur dan responsif terhadap kebutuhan dan emosi anak akan berpengaruh positif pada kesiapan sekolah anak. Hal ini diperkuat penelitian [12]. tentang Parent-Child Relationship, Home Learning Environment, and School Readiness. Hasilnya menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam “hubungan orang tua-anak” memiliki efek positif pada kesiapan sekolah, selain lingkungan belajar di rumah. Hal ini berarti tidak semua ibu yang bekerja tidak memiliki waktu dalam membangun keterlibatan dengan anak atau tidak semua ibu yang tidak bekerja dapat membangun keterlibatan diri dengan anak. Seorang ibu yang bekerja tetapi menunjukkan dirinya “terlibat” dalam hubungannya dengan anak akan berdampak pada kesiapan anak masuk sekolah, termasuk masuk Sekolah Dasar. Pada ibu yang tidak bekerja tetapi menunjukkan dirinya “terlibat” dalam hubungannya dengan anak akan berefek negatif pada kesiapan anak untuk masuk sekolah. Menurut Fitri (2018), kesiapan anak sekolah meliputi kemampuan akademik, keterlibatan dalam belajar, kemampuan sosial dan emosional serta kesiapan fisik motorik. Keterlibatan orang tua (ibu) meliputi usaha ibu agar anak memiliki kemampuan yang dibutuhkan saat bersekolah di sekolah yang akan dimasuki (misal masuk sekolah dasar), seperti kematangan dalam aspek kognitif, bahasa dan kemandirian siswa [13].

Variabel intervening ketiga adalah Socioeconomic, Family, and Health Factors. Studi longitudinal menunjukkan bahwa faktor ekonomi sangat terkait dengan kesulitan psikososial dan menunjukkan hasil kognitif yang lebih rendah dari balita hingga kelas 3. Hal ini disebabkan karena faktor status sosial ekonomi akan berdampak pada lingkungan rumah dan kualitas pengasuhan anak [14]. Anak-anak dengan status sosial ekonomi yang baik lebih mungkin tiba di taman kanak-kanak dengan keterampilan kognitif, keterampilan sosial dan membaca yang lebih baik. Variabel sosial ekonomi yang terkait diantaranya adalah pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan. 2) Struktur keluarga, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan struktur keluarga menjadi terganggu, diantaranya perceraian, yang dapat berdampak pada perkembangan anak. [15]menyatakan bahwa dampak dari keluarga yang tidak utuh adalah hiperaktif dan kesulitan sekolah. Penelitian menunjukkan secara konsisten bahwa gangguan struktur keluarga menghasilkan hasil yang lebih buruk untuk anak laki-laki daripada anak perempuan. 3) Kesehatan anak dan orang tua juga berdampak pada tahun-tahun awal sekolah. Barlow & Ellard mengatakan bahwa meskipun hanya sebagian kecil anak dengan penyakit kronis yang mengalami gejala klinis, mereka memiliki peningkatan risiko masalah perilaku. Beberapa penyakit, seperti asma, mengharuskan anak-anak untuk tinggal di rumah dari sekolah dan mengakibatkan partisipasi yang lebih rendah dalam aktivitas sehingga berdampak pada kompetensi akademik dan social[8] . Kesehatan orang tua, terutama ibu, dapat mempengaruhi perkembangan anak kecil. Kesehatan ibu sangat penting karena pengaruhnya pada periode prenatal. Lieberman menyatakan bahwa anak-anak prasekolah dan usia sekolah dari orang tua yang menyalahgunakan alkohol berada pada peningkatan risiko yang nyata untuk masalah perilaku dan perkembangan kemampuan kognitif yang tertund [16]. Ibu yang merokok dikaitkan dengan masalah perilaku pada anak-anak serta defisit kognitif. Paparan terhadap lingkungan merokok tembakau tidak hanya berdampak pada perkembangan emosional dan kognitif anak-anak tetapi juga status kesehatan mereka secara umum. Bayi dari ibu dengan skizofrenia dan gangguan afektif lainnya mengalami tonggak perkembangan yang tertunda dalam 4 tahun pertama kehidupan[17].

Selain 3 variabel intervening di atas, juga terdapat variabel intervening yang berasal dari anak yakni kemandirian anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Deliviana, [18] mengatakan kemandirian merupakan faktor yang mempengaruhi kesiapan sekolah karena sekolah baru menuntut anak untuk dapat menghadapi situasi ataupun menyelesaikan suatu tugas tanpa bergantung kepada orang lain. Seorang anak yang mandiri berarti ia sudah siap menghadapi suatu situasi tanpa bergantung kepada orang lain. Variabel intervening lainnya adalah variabel latar belakang pendidikan anak yang pernah mengikuti pendidikan TK. Beberapa penelitian menunjukkan kalau variabel ini berperan penting dalam kesiapan anak memasuki sekolah dasar. Pada anak-anak yang mengikuti Pendidikan di TK telah mendapatkan stimulus dan latihan terstruktur/sistematis sesuai dengan mempertimbangkan perkembangan anak dibandingkan anak-anak yang tidak mengikuti Pendidikan TK [19]. Terakhir variabel intervening yang berasal dari anak adalah motivasi belajar. Anak-anak yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi memiliki kesiapan bersekolah yang lebih baik dibanding anak yang tidak memiliki motivasi belajar, khususnya motivasi internal, seperti adanya minat untuk bersekolah, menyukai hal-hal baru dan tantangan, tidak mudah putus asa, mempunyai hobi/bakat yang berkaitan dengan materi pelajaran tertentu dan perhatian terhadap lingkungan sekitar [20].

Simpulan

Berdasarkan hasil analisa data dalam penenelitian pertama mendapatkan hasil skor nilai f = 1.139 (Sig. = 0.340 > 0.05), yang artinya hipotesis ditolak. Pada penelitian dikatakan bahwa tidak tidak ada perbedaan kesiapan sekolah siswa ditinjau dari Pendidikan Ibu. Sedangkan hasil penelitian dari data kedua juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesiapan anak masuk Sekolah Dasar antara ibu bekerja dan tidak bekerja. Hal tersebut dapat diketahui dari skor nilai t score = -0.763 (Sig. = 0.446 > 0.05), yang menunjukkan bahwa hipotesis di tolak. Kesimpulannya bahwa tingkat Pendidikan dan ibu bekerja atau tidak bekerja tidak bisa dijadikan prediktor dalam kesiapan anak masuk Sekolah Dasar, karena adanya beberapa variabel intervening seperti pola asuh, keterlibatan ibu dalam hubungannya dengan anak, stasus sosial ekonomi, struktur keluarga, kesehatan orang tua dan anak kemandirian anak, latar belakang pendidikan anak yang pernah mengikuti pendidikan TK, dan motivasi belajar anak.

Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis dapat menambah warna keilmuan dibidang psikologi khususnya Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Sedangkan manfaat praktis diperuntukkan kepada orang tua sebagai bahan masukan tentang keterkaitan antara demografi ibu khususnya latar belakang tingkat pendidikan ibu bekerja dan tidak bekerja yang tidak memiliki sumbangan secara konsisten dalam mempersiapkan kesiapan anak. Sedangkan untuk guru, sekolah, pemerhati dan praktisi peduli anak adalah dapat digunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut dan dalam mengambil kebijakan khususnya dalam menyusun kegiatan parenting, seminar dan lain sebagainya.

References

  1. J. W. Santrock, Psikologi Pendidikan. Salemba Humanika, 2014.
  2. W. J. Santrock, Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup) Jilid I. Jakarta : Erlangga, 2012.
  3. N. W. Zaly, “Pengaruh Faktor Keluarga Terhadap Kesiapan Masuk Sekolah Dasar Pada Anak Usia Prasekolah,” J. Persada Husada Indones., vol. 4, no. 12, pp. 6–10, 2017.
  4. A. Susilo et al., “Coronavirus disease 2019: review of current literatures,” 2020.
  5. R. Geofanny, “Perbedaan Kemandirian Anak Usia Dini Ditinjau Dari Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja,” Psikoborneo J. Ilm. Psikol., vol. 4, no. 4, pp. 464–470, 2016, doi: 10.30872/psikoborneo.v4i4.4230.
  6. M. P. ., Luh Suardani, ., Drs. Ketut Pudjawan, M.Pd, ., Luh Ayu Tirtayani, S.Psi., Perbedaan Tingkat Kemandirian Anak Usia 5-6 Tahun Dilihat Dari Status Pekerjaan Ibu di Kelurahan Banyuning. Universitas Pendidikan Ganesha, 2016.
  7. J. Isaacs, “The Social Genome Project. School at a Disadvantage: The School Readiness of Poor Children,” Cent. Child. Fam. Brookings, no. MARCH, pp. 1–22, 2012.
  8. J. Augustine, K. C. Prickett, S. Kendig, and R. Crosnoe, “Maternal Education and the Link between Birth Timing and Children’s School Readiness.,” Soc. Sci. Q., vol. 96, no. 4, pp. 970–984, Dec. 2015, doi: 10.1111/ssqu.12150.
  9. L. I. Mariyati, G. R. Affandi, and R. Afandi, “School Readiness and Achievement Motivation as Academic Achievement Predictors in Elementary School Students,” Int. J. Psychosoc. Rehabil., vol. 24, no. 9, pp. 989–997, 2020.
  10. S. N. Hakim and N. Mustamiroh, “Kesiapan Anak Memasuki Sekolah Dasar Ditinjau dari Tingkat Pendidikan Orang Tua,” J. Early Child. Incl. Educ., vol. 1, no. 1, pp. 9–20, 2017, doi: 10.31537/jecie.v1i1.26.
  11. J. Ormrod, “Psi_Pendidikan_Membantu_SIswa.pdf.” 2008.
  12. F. L. Parker, A. Y. Boak, K. W. Griffin, C. Ripple, and L. Peay, “Parent-Child Relationship, Home Learning Environment, and School Readiness,” School Psych. Rev., vol. 28, no. 3, pp. 413–425, 1999, doi: 10.1080/02796015.1999.12085974.
  13. W. Utami, D. Maulina, and H. I. Indriastuti, “Hubungan pola asuh orang tua (ibu) yang bekerja dan tidak bekerja dengan perkembangan psikososial anak usia pra sekolah di TK Aisyiyah III Kebumen,” 10th Univ. Res. Colloqium, pp. 80–87, 2019, [Online]. Available: http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/586
  14. H. Fauziah, D. Hastuti, and L. N. Yuliati, “Parenting Practice, Parental Involvement in School, Child’s Self Concept and School Readiness,” J. Ilmu Kel. dan Konsum., vol. 13, no. 1, pp. 61–74, 2020, doi: 10.24156/jikk.2020.13.1.61.
  15. J. B. Kerr, M. Millar, S. Maddocks, and R. M. Sharpe, “Stage-dependent changes in spermatogenesis and Sertoli cells in relation to the onset of spermatogenic failure following withdrawal of testosterone.,” Anat. Rec., vol. 235, no. 4, pp. 547–559, Apr. 1993, doi: 10.1002/ar.1092350407.
  16. S. Azwar, Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2016.
  17. S. Azwar, Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
  18. E. Deliviana, “Mempersiapkan Anak Masuk Sekolah Dasar,” J. Din. Pendidik., vol. 10, no. 2, pp. 119–133, 2017, [Online]. Available: http://ejournal.uki.ac.id/index.php/jdp/article/view/611
  19. R. Indriati and U. P. Puspitasari, “Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Psikososial Anak Pra Sekolah Di Tk Al-Abidin Banyuanyar Surakarta,” KOSALA J. Ilmu Kesehat., vol. 4, no. 2, pp. 187–195, 2016, doi: 10.37831/jik.v4i2.106.
  20. K. Damayanti, Andia, “Kesiapan anak masuk sekolah dasar ditinjau dari dukungan orangtua dan motivasi belajar,” Psikovidya, vol. 20, no. 1, pp. 16–25, 2016.