Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Law
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.6198

Legal Protections for Disabled Child Victims of Sexual Violence in Sidoarjo, Indonesia


Perlindungan Hukum bagi Anak Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual di Sidoarjo, Indonesia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legal protection Children with disabilities Sexual violence Indonesia Normative juridical approach

Abstract

This study probes the legal safeguards available for children with disabilities subjected to sexual violence in Sidoarjo Regency, Indonesia, adopting a normative juridical approach. Using normative legal research methodologies, the data collection was conducted through document studies and legal document analysis concerning the legal protection of children and people with disabilities. The research unveiled that the Child Protection Law No. 35/2014 provides special regulations for the protection of children with disabilities, yet it does not explicitly address sexual violence. Conversely, the Disability Law No. 8 of 2016 expressly outlines the rights of disabled children against sexual abuse and their entitlement to education. The study also found congruity in the TPKS Law No. 12 of 2022, which stipulates the protection of disabled children subjected to sexual violence during legal proceedings. The results imply the potential for improved preventive measures, such as local regulations in Sidoarjo Regency addressing sexual violence against disabled children, proactive parental supervision, and a call for societal protection of these children. Furthermore, the implementation of strict sanctions as per applicable laws may provide a sense of justice for the victims.
Highlights:

  1. Child Protection Law No. 35/2014 and Disability Law No. 8 of 2016 together address the protection of children with disabilities, albeit without explicit mention of sexual violence in the former.
  2. The TPKS Law No. 12 of 2022 provides a specific legal framework for the protection of disabled children who are victims of sexual violence during court proceedings.
  3. Preventive measures and stringent sanctions, as per these laws, could provide an enhanced sense of justice and security for victims, underscoring the necessity of societal vigilance and parental involvement.

Keywords: Legal protection, Children with disabilities, Sexual violence, Indonesia, Normative juridical approach

Pendahuluan

Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak penyandang disabilitasdi Indonesia menjadi perhatian khalayak ramai. Berbagai peristiwa yang terkait dengan kekerasan seksual pada anak penyandang disabilitas saat ini seringkali beredar pada media cetak, maupun media elektronik serta beberapa temuan bahwa kekerasan seksual terutama pada anak penyandang disabilitas patut mendapat perhatian khusus.

Dapat diketahui anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami keterbelakangan mental maupun fisik yang dialami dalam jangka waktu yang telah lama sudah menghambat interaksi sosial di lingkungan sekitarnya dan mengalami kesulitan dalam hal partisipasi penuh dengan masyarakat lainnya. Sehingga dari rentannya keadaan anak yang menjadi penyandang disabilitas sering mendapat perlakuan tidak adil yang pelakunya kebanyakan orang terdekatnya sendiri.

Maka perlunya perlindungan hukum berupa pemberian jaminan atas keamanan, ketentraman, kenyamanan sebagai wujud kepastian hukum pada anak penyandang disabilitas. Sehingga dapat mencapai suatu keadilan, maka perlu adanya kesamaan hak dimuka hukum sebagai untuk anak kemampuan khusus [1] Pada upaya Pemerintah dalam melindungi anak kemampuan khusus yang dijadikan korban pada kasus seksual ini memiliki berpedoman aturan UU no.35 tahun 2014 namun diketahui pada kenyataannya,masih belum terealisasi sesuai dengan hukum yang ada dan masih terjadi diskriminasi hukum. Seperti pada kasus yang terjadi pada anak penyandang disabilitas di Kabupaten Sidoarjo yakni Seorang anak perempuan penyandang disabilitas berusia 13 tahun yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pelaku yang merupakan tukang ojek yang mengantar dan menjemputnya sekolah dengan cara memaksa korban dan memegang bagian intim korban hingga merasa kesakitan namun korban diancam untuk tidak memberitahukan kejadian tersebut kepada siapapun.

Menariknya, dalam penelitian ini peneliti ingin membahas secara yuridis perlindungan anak penyandang disabilitas sebagai korban dalam kekerasan seksual. Hasil dari penelitian pendahulu sangat berperan penting dalam berlangsungnya penelitian ini. Penelitian tersebut menjadi acuan ataupun bahan perbandingan sehingga penyusunan artikelini masih dalam lingkup pembahasan isu hukum yang ada. Maka penelitian terdahulu yang dipergunakan yakni:

Penelitian pertama yang ditulis oleh Rachel Farakhiyah dengan berjudul “Analisa Kasus pelecehan disabiliitas”, dalam bentuk Jurnal Konsep Hukum dan Peradilan, Vol. 8, No. 1, 2019.Penelitian ini bertujuan menganalisa kasus pelecehan disabiilitas, Metode yang dipergunakan pada penelitian ini ialah normatif. Kesimpulan dari hasil analisa dalam kasus pelecehan disabilitas yang saat ini terjadi peningkatan setiap tahunnya terjadi kenaikan dari angka 29 anak disabilitas yang menjadi korban dari kasus pelecehan seksual meningkat menjadi 35 anak yang menjadi korban kasus pelecehan seksual. Sehingga perlunya perlindungan yakni hukum terhadap pelecehan seksual pada perempuan dan anak.[2] Penelitian kedua ditulis oleh Muh.Yusuf Alfiyanto dengan berjudul “Pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kejahatan seksual pada proses peradilan”. Jurnal konsep hukum dan peradilan Vol. 11 No.8, 2019 Penelitian ini bertujuan mengetahui pemenuhan hak pada korban kejahatan seksual pada proses peradilan. Maka ,hal ini metode normatif disamping metode legal dan konseptual. Dapat ditarik kesimpulan yakni tidak memenuhi keinginan disabilitas dalam proses peradilan seperti pada hak dalam pendampingan dan hak penerjemah serta hak dalam mendapat informasi dalam perkembangan kasus masih belum terindahkan dalam proses peradilan yang seharusnya mendapat perlindungan dan perlakuan khusus dalam proses peradilan.[3]

Hal yan membuat berbeda penelitian dahulu dengan penelitian saya saat ini yakni Penelitian saya membahas mengenai Hukum yang melindungi anak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual di Sidoarjo serta upaya represif dan preventif yang harus dilakukan untuk menekan terjadinya kekerasan seksual pada anak penyandang disabilitas. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberi kontribusi serta menambah ilmu pengetahuan para akademisi terkait pengetahuan mengenai perlindungan hukum kekerasan seksual pada anak anak.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif . Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang – undangan. Bahan hukum primer Undang – Undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Undang - Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang - Undang Tindak Kekerasan Seksual No. 12 Tahun 2022. Sedangkan bahan hukum sekunder digunakan untuk mendukung bahan hukum primer meliputi jurnal, artikel dan buku-buku hukum tentang mata pelajaran yang dipelajari.[5] Setelah mengumpulkan bahan hukum, penulis menganalisisnya dengan argumen deduktif, menghubungkannya dengan teori-teori dari studi sastra. [6]

Pembahasan

Perlindungan hukum merupakan sebuah usaha dalam melindungi oleh pemerintah maupun instansi melalui berbagai peraturan yang ada. Dalam upaya melindungi masyarakat diberlakukannya beberapa peraturan yang ada, setiap orang berhak atas perlindungan hukum sehingga terpenuhi hak-hak yang berasal dari perlindungan hukum itu. Setiap orang berhak untuk merasa nyaman, aman dan terlindungi dari berbagai kejahatan yang terjadi di sekitarnya.[7]

Philipus M. Hadjon menegaskan bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan harkat dan martabat manusia, dan sepakat bahwa badan hukum harus mengakui hak asasi manusia atas dasar ketentuan hukum yang sewenang-wenang. Pasal 28G UUD 1945 menyatakan setiap orang berhak atas keselamatan, kehormatan dan martabat serta kebebasan dari rasa takut melakukan atau tidak melakukan. Menurut CST Kansil, “Perlindungan hukum meliputi segala sarana hukum ini dilakukan tersedia aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman secara mental dan fisik terhadap berbagai ancaman dari masing-masing pihak. Menurut Hetty Hasanah, “perlindungan yakni berbagai upaya yang dapat memberikan kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada yang terkena dampak atau yang melakukan tindakan hukum”. Cara tertentu untuk menjamin kepastian hukum.

Pada KBBI, anak kemampuan khusus yang sebagai orang yang menderita sesuatu, sedangkan anak kemampuan khusus yang merupakan dari bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris diffable dinonaktifkan), merupakan dinonaktifkan.Pendapat John C. Maxwell, manusia yang memiliki disabilitas ialah seseorang yang memiliki penyakit yang terbatas aktivitasnya.

Menurut I.G.A.K. Wardan adalah anak berkebutuhan khusus yang memiliki sesuatu yang membedakannya dari anak lain seusianya. apa yang bisa dilakukan seorang anak menjadi sesuatu yang Luar biasa, apa yang dimiliki seorang anak bisa menjadi sesuatu yang positif, bisa juga menjadi sesuatu yang negatif. Beberapa definisi penyandang disabilitas yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

  1. Menurut Resolusi PBB No. 61/106 tanggal 13 Desember 2006, “penyandang disabilitas” berarti seseorang yang karena disabilitasnya, tidak dapat memenuhi semua atau sebagian dari kebutuhan anak normal dan/atau masyarakat untuk memenuhi hidup seorang manusia. , baik mampu atau tidak atau segi mental dan fisik.
  2. Menurut UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 seseorang yang telah menjadi penyandang disabilitas itu kelompok masyarakat riskan yang memiliki hak merawat dan melindungi yang lebih besar karena memiliki istimewaannya. Penyandang disabilitas merupakan anggota masyarakat dan memiliki hak untuk tetap tinggal di masyarakat. Penyandang disabilitas perlu dapat dukungan untuk di butuhkan pada pendidikan, perawatan kesehatan, pekerjaan dan layanan sosial. Dari perspektif hak asasi manusia, hak penyandang disabilitas digolongkan sebagai hak khusus dalam masyarakat.

Menurut UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014,Kekeraasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan pada fisik, mental seksual, termasuk ancaman perbuatan melawan hukum, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan.[8] Pendapat WHO, kekerasan seksual mengacu pada setiap tindakan seksual, memperkosa ,menyakiti pada untuk tindakan seksual yang tidak diinginkan atau tidak nyaman yang dipaksakan kepada seseorang. Pendapat UNICEF, kekerasan seksual mengacu pada aktivitas seksual yang diarahkan dengan kekerasan oleh orang dewasa terhadap seorang anak atau seorang anak terhadap anak lain. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi komersial anak atau partisipasi dalam aktivitas seksual, membujuk atau memaksa anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual, partisipasi anak dalam media audiovisual, dan pelacuran anak.

Pendapat WHO, kekerasan seksual berupa:

  1. Pemerkosaan: termasuk pemerkosaan yang dilakukan orang yang tidak dikenal , pemerkosaan menggunakan senjata, pemerkosaan yang dilakukan secara paksa, kekerasan seksual menggunakan benda,
  2. Pelecehan seksual yang menyerang mental atau fisik yang mengarah pada seksual, bercanda dalam konteks seksual, membuat atau merekam video atau foto yang beriisi konten seksual dan pemaksaan pornografi
  3. Pemaksaan aktivitas seksual atau pemerasan untuk mendapatkan keuntungan melalui aktivitas seksual.

Pengaturan Perlindungan anak penyandang disabilitas Dalam UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, penulis menemukan beberapa pasal tentang anak penyandang disabilitas. Pasal 59(2) berisi “perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas”. Menurut Pasal 70, “perlindungan khusus bagi anak penyandang cacat diwujudkan dengan mengupayakan perlakuan yang manusiawi terhadap anak sesuai dengan harkat dan hak anak, dengan memperhatikan kebutuhan khusus, memperlakukan anak lain secara setara, guna mencapai kesetaraan yang setinggi-tingginya. Menurut Pasal 76A (b) "Tidak seorang pun boleh mendiskriminasi anak penyandang cacat. Oleh karena itu, terdapat beberapa pasal yang dapat dijadikan acuan perlindungan anak penyandang disabilitas yang menjadi korban dalam kekerasan seksual.

Pasal 5 (3) menyebutkan bahwa anak penyandang disabilitas berhak: a. Mendapat perlindungan khususnya terhadap diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi serta kekerasan seksual dan tindak pidana, b. Mendapat asuhan dan pengobatan dari keluarga atau orang tua asuh untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal, c. Perlindungan dalam mengambil keputusan, c. Bertingkah laku yang sesuai dengan mansiawi dan martabat dan hak asasi manusia, d. Memenuhi kebutuhan khusus. , e. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan perkembangan individu; f. menerima dukungan atau bantuan sosial. Pasal 126 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak penyandang disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 127 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan perumahan yang mudah diakses oleh perempuan dan anak.

UU No. 12 Tahun 2022 memuat ketentuan bagi penyandang disabilitas terkait kekerasan seksual sebagai berikut: Dalam Pasal 25(4), keterangan saksi dan/atau korban yang menyandang cacat mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keterangan saksi dan/atau korban yang tidak cacat, keterangan saksi dan/atau korban pada ayat (5). a) harus didukung oleh penilaian pribadi sesuai dengan undang-undang dan peraturan tentang persetujuan yang tepat dari penyandang disabilitas dalam proses hukum. Menurut Pasal 27(1), saksi dan/atau korban yang cacat dapat didampingi oleh orang tua, wali sah dan/atau pendampingnya. Berdasarkan Bagian 66, korban penyandang disabilitas berhak atas aksesibilitas dan akomodasi yang wajar untuk menggunakan hak mereka berdasarkan ketentuan undang- undang, kecuali undang-undang menentukan lain. Pasal 70f menetapkan hak korban atas pemulihan, penyediaan aksesibilitas yang wajar dan akomodasi bagi korban disabilitas.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual diharapkan mampu mengimbangi keseriusan pemerintah dalam menangani masalah kekerasan seksual yang terus berkembang di Indonesia. UU TPKS merupakan reformasi legislasi yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk kekerasan seksual serta melindungi dan menyelamatkan korban kekerasan seksual. Reformasi legislatif Pemerintah menginginkan:

  1. Pencegahan pelecehan seksual
  2. Perawatan, perlindungan dan pemulihan korban
  3. Penuntutan terhadap pelaku kesalahan
  4. Penciptaan kondisi lingkungan yang damai tanpa kekerasan seksual,
  5. Adanya jaminan bahwa kekerasan seksual tidak akan terulang kembali. [9]

Suatu sistem hukum agar berfungsi optimal harus terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan dan saling melengkapi.[10] Komponen hukum yang sangat berpengaruh dalam sistem hukum adalah budaya hukum, muatan hukum dan struktur hukum.[11] Budaya hukum pada hakekatnya adalah bagaimana orang berperilaku ketika berhadapan dengan hukum. Respon masyarakat terhadap supremasi hukum dapat dipengaruhi oleh paradigma, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Masyarakat umumnya permisif atau menganggap kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas jarang terjadi.[12] Namun kenyataannya banyak terjadi kekerasan seksual terhadap anak disabel saat ini. substansi hukum berupa aturan tertulis dan tidak tertulis yang membantu menjelaskan pelanggaran hukum.[13] Muatan hukum berupa undang-undang substantif meliputi pengaturan tentang perbuatan, pelaku dan sanksi untuk digolongkan sebagai delik ringan atau delik pidana. Pada kasus yang terjadi pada anak penyandang disabilitas di Kabupaten Sidoarjo yakni Seorang anak perempuan penyandang disabilitas berusia 13 tahun yang mengalami kekerasan seksual yang dilakukan pelaku yang merupakan tukang ojek yang mengantar dan menjemputnya sekolah dengan cara memaksa korban dan memegang secara keras bagian vital korban hingga merasa kesakitan namun korban diancam untuk tidak memberitahukan kejadian tersebut kepada siapapun. Dengan adanya UU Perlindungan Anak No. 35/2014 memuat ketentuan dalam beberapa pasal perlindungan anak penyandang anak kemampuan khusus namun tidak secara khusus menyebutkan kekerasan seksual.

Sebaliknya, Undang - Undang No. 8 tahun 2016 tentang Disabilitas memuat beberapa pasal yang secara khusus mengatur penyandang disabilitas terhadap diskriminasi, penelantaran, pelecehan, pelecehan dan kekerasan dan kejahatan seksual, serta hak anak penyandang disabilitas atas kekerasan seksual. Dan UUTPKS kompatibel karena mengatur perlindungan anak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual di pengadilan.[14] Agar UUTPKS dapat mengatur secara khusus perlindungan anak disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual dalam proses peradilan, diharapkan UUTPKS anak yang menyandang disabilitas dapat terlindungi dan hak anak disabilitas dapat terwujud.[15] Dan diketahui penyebab lain kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas bersumber dari kurangnya pengawasan orang tua, viktimisasi dan faktor yang membuat anak disabilitas terlihat lemah. Oleh karena itu, peran pemerintah dan orang tua dalam pengasuhan khusus anak cacat sangat diperlukan. Sehingga perlunya peran pemerintah kabupaten Sidoarjo untuk membuat Peraturan daerah khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap kekerasan seksual dan terkhusus bagi anak, perempuan penyandang disabilitas. Salah satu bentuk perlindungan preventif membuat Peraturan daerah yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas dan mensosialisasikan kepada orang tua agar lebih mengontrol anaknya dan tentang anak penyandang mengimbau masyarakat untuk saling melindungi anak khususnya anak penyandang disabilitas dan sebagai upaya represif yaitu penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberi rasa keadilan terhadap korban. Berdasarkan keterangan dari UPTD PPA kasus yang terjadi antara tahun 2020-2023 ada 3 kasus terhadap disabilitas yaitu pelecehan seksual dan perkosaan. Yang dilakukan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak yaitu melakukan assessment awal dan melakukan pendampingan hukum mulai dari pemeriksaan di kepolisian kemudian pendampingan saat sidang di Pengadilan Negeri Sidoarjo.

Simpulan

Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 memuat ketentuan mengatur perlindungan anak kebutuhan khusus yang dalam beberapa pasal, namun tidak secara eksplisit menyebutkan kekerasan seksual. Di sisi lain, Undang-Undang Disabilitas No. 8 Tahun 2016 memuat beberapa pasal yang secara khusus mengatur anak penyandang disabilitas yang mendapat perlakuan yang menyimpang secara seksual serta hak anak penyandang disabilitas atas pendidikan. Ada kesesuaian dalam UUTPKS karena mengatur perlindungan anak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual di pengadilan, UUTPKS secara khusus mengatur perlindungan anak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual di pengadilan. Salah satu bentuk perlindungan preventif yang dapat dilakukan yaitu membuat Peraturan daerah di Kabupaten Sidoarjo yang mengatur tentang kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas dan mensosialisasikan kepada orang tua agar lebih mengontrol anaknya dan tentang anak penyandang mengimbau masyarakat untuk saling melindungi anak khususnya anak penyandang disabilitas dan sebagai upaya represif yaitu penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga memberi rasa keadilan terhadap korban..

References

  1. A. Halim, "Equality of Rights for Persons with Disabilities to Obtain Work Reviewed from Law Number 8 of 2016 Concerning Persons with Disabilities," Fenomena, vol. 19, no. 2, pp. 222-245, 2021.
  2. R. Farakhiyah, "Case Analysis of Disability Harassment," Journal of Legal Concepts and Justice, vol. 8, no. 1, pp. 1-13, 2019.
  3. M. Y. Alfiyanto, "Fulfillment of the Rights of Disabled Victims of Sexual Crimes in the Judicial Process," Universitas Islam Indonesia, 2018.
  4. A. Sodiqin, "Ambiguity of Legal Protection for Persons with Disabilities in Legislation in Indonesia," Indonesian Legislation Journal, vol. 18, no. 1, pp. 31-44, 2021.
  5. P. S. Wijayanti, "Profile of Students' Deductive Reasoning Abilities on Vector Space Material," Inspiramatika: Journal of Innovation in Mathematics Education and Learning, vol. 3, no. 2, pp. 75-82, 2017.
  6. A. Arham, A. Firmansyah, and A. M. E. Nor, "Transfer Pricing Research in Indonesia: A Literature Study," Journal of Online Insa Accountant, vol. 5, no. 1, pp. 57-72, 2020. doi: 10.51211/joia.v5i1.1318.
  7. A. A. Al Fiqry and Y. Widowaty, "Analysis of the Causes and Protection of Rape Crimes Against Disabled Children," Indonesian Journal of Criminal Law and Criminology, vol. 2, no. 2, pp. 103-114, 2021. doi: 10.18196/ijclc.v2i2.12312.
  8. N. Y. Simbolon, R. S. Devi, A. Hamonangan, and M. Yasid, "Criminological Review of Power Relation and Gender Relation Inequalities in Sexual Violence Cases," PKM Maju UDA, vol. 3, no. 3, pp. 1-10, 2022.
  9. E. Rosnawati, "Legal Protection for Women Victims of Sexual Harassment Performed in Public Spaces," Marketing Journal, vol. 15, no. 2, pp. 96-103, 2022.
  10. M. D. Lewokeda, "Criminal Liability for Crimes Related to Delegation of Authority," Mimb. Justice, vol. 14, no. 28, 2018.
  11. R. Farakhiyah, S. T. Raharjo, and N. C. Apsari, "Sexual Behavior of Teenagers with Mental Disabilities," Share Social Work Journal, vol. 8, no. 1, pp. 114-126, 2018.
  12. E. Nurhayati, "Legal Protection for Disabled Children Victims of Sexual Violence in Indonesia," Journal of Law Studies and Community Dynamics, vol. 6, no. 1, 2020.
  13. R. P. Sari, and S. Wahyuni, "Legal Protection for Disabled Children as Victims of Sexual Violence in Indonesia," Journal of Legal Renewal, vol. 7, no. 2, 2020.
  14. F. Ekaputri, "Legal Protection for Persons with Disabilities as Victims of Sexual Violence," Official Law Journal, vol. 1, no. 1, 2019.
  15. A. Yuliati, "Legal Protection for Persons with Disabilities in Sexual Violence Acts," Journal of Law and Development, vol. 48, no. 2, 2018.