Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
History
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.6069

Navigating Maritime Commerce Histories: Unearthing the Lancang Kuning Legacy


Menggali Sejarah Perdagangan Maritim: Membuka Misteri Warisan Lancang Kuning

State Senior High School 7 Baubau, Sulawesi Tenggara
Indonesia Bio
Universitas Tangerang Raya
Indonesia Bio

(*) Corresponding Author

Buton's maritime culture maritime history Lancang Kuning ship the history of the Butonese people

Abstract

This study underscores the untapped historical significance of the Lancang Kuning, a Pinisi type sailing ship, in the context of maritime trade within the Nusantara archipelago, and the implications it carries for global maritime historiography. By employing a comprehensive historical research methodology—encompassing heuristics, criticism, interpretation, and historiography—we delve into verbal and object sources, followed by rigorous data triangulation. Our findings unearth that the Lancang Kuning, initially named La Suni, was constructed in 1860 by Laode Ntauale in Katilombu, Sampolawa, and later relocated to Riau in 1865 to bolster trade activities in Tanjung Buton. The ship's creation was necessitated by the need for a vessel capable of large-scale commodity transport beyond the Nusantara region. The ship significantly contributed to the prosperity of the creator's family, its crew, and the local community, with the management entrusted to its crew. However, the ship ceased to operate post Laode Ntauale's demise and was subsequently abandoned in Siak, Riau. This study accentuates the Lancang Kuning's pivotal role in regional trade, offering a nuanced understanding of maritime trade history, vital for global maritime scholars and policymakers.

Highlights:

  • Lancang Kuning, a Pinisi type sailing ship built in 1860, played a crucial role in enhancing maritime trade within the Nusantara region.
  • The ship's construction was necessitated by the demand for large-scale commodity transport beyond the Nusantara archipelago.
  • Post the demise of its creator, Laode Ntauale, the ship was abandoned, highlighting the transient nature of maritime trade mechanisms and their dependency on key individuals.

Keywords: Buton's maritime culture, maritime history, Lancang Kuning ship, the history of the Butonese people

 

 

Pendahuluan

Historiografi tentang asal-muasal dan fungsi pokok perahu Lancang Kuning masih kurang memadai. Sebagai warisan tak benda dari kebudayaan bahari dalam masyarakat maritim, aktivitas masa lampau perahu Lancang Kuning seharusnya terdokumentasikan dengan baik melalui sejumlah kajian ilmiah. Berbeda dengan kisah perahu Pinisi yang telah banyak dikaji oleh sejarawan, kisah perahu Lancang Kuning terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya hanya melalui karya sastra, seperti: lagu, dongeng, dan hikayat yang validitas historisnya masih dipertanyakan. Beberapa jejak sastra yang menggambarkan masa lalu perahu Lancang Kuning dapat ditemui dalam cerita rakyat [1], dan syair-syair Melayu berjudul Lancang Kuning dan Laksmana Raja Di Laut.

Penyebab paling dominan atas kurangnya historiografi tersebut adalah tidak adanya manuskrip primer yang menerangkan tentang perahu Lancang Kuning. Akibatnya, sejarawan yang merujuk dokumen sebagai sumber primer tidak pernah berhasil menuliskan sejarah perahu Lancang Kuning dengan baik. Menurut penelitian Kanumoyoso dan Evers & Darit tentang dunia maritim Melayu di Asia Tenggara, penggunaan perahu di perairan laut Jawa, laut Flores, selat Malaka, dan sekitar Sulawesi bagian selatan selalu berorientasi kepada kepentingan ekonomis, bukan diplomatis [2], [3] Sebab itulah para pengguna perahu (termasuk perahu Lancang Kuning) tidak melakukan pencatatan apapun selain pencatatan transaksi jual-beli. Secara metodologis, penelitian ini berusaha mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan sumber lisan dan sumber benda sebagai alternatif sumber sejarah yang memadai [4]

Penelitian ini menggunakan dua sumber tersebut karena penulis pertama memenuhi syarat untuk melakukan penulisan sejarah lokal, yakni memiliki kedekatan emosional dan kedekatan intelektual [5]. Penulis pertama dalam hal ini adalah keturunan langsung (generasi ke-tiga) dari salah satu pembuat perahu Lancang Kuning di Buton, bernama Laode Ntauale. Oleh sebab itu, diungkapnya sejarah perahu Lancang Kuning dalam penelitian ini dapat mengungkap asal-usul dan rekam jejak perahu Lancang Kuning menurut perspektif lain. Informasi perihal itulah yang belum tersedia dan sangat dibutuhkan untuk melengkapi sejarah maritim nusantara.

Pada masa kontemporer, informasi tentang perahu Lancang Kuning didominasi oleh selayang pandang bernuansa dongeng dan tidak ditulis dengan mentaati metodologi sejarah. Tulisan-tulisan semacam itu bisa ditemui dengan mudah di internet. Sedangkan tulisan ilmiah, sejauh penelusuran penulis, hanya ada dua judul. Tulisan tersebut merupakan karya Samin & Ismail dan Samin & Khodijah [6], [7]. Itupun membahas perahu Lancang Kuning sebagai entitas kearifan lokal, bukan sebagai artefak sejarah dari kawasan pesisir.

Sementara itu, jika lingkup studi pustaka diperluas kepada topik sejarah perkapalan tradisional Melayu, akan ditemukan hasil penelitian dan yang kesemuanya masih belum memuat informasi tentang perahu Lancang Kuning [8], [9]. Penelitian menerangkan bahwa perahu lancang merupakan jenis kapal tradisional asal Riau dan pulau-pulau kecil di sebelah timur pulau Sumatera. Sedangkan penelitian membahas tradisi pembuatan kapal Pinisi di Bulukumba. Di dalam database Google, ditemukan juga puluhan hasil penelitian tentang kapal Pinisi.

Literatur-literatur di atas mengindikasikan bahwa kebutuhan historiografi tentang perahu Lancang Kuning belum terpenuhi. Terlebih lagi, hasil studi pendahuluan di penelitian ini mengungkap adanya gejala-gejala historis yang mengindikasikan bahwa perahu Lancang Kuning bukan berasal dari Riau, melainkan dari Buton. Mempertimbangkan kesenjangan dan sumber daya yang ada, penelitian ini pada akhirnya dilakukan dengan merujuk kepada dua rumusan masalah spesifik berikut: (a) bagaimana asal-usul perahu Lancang Kuning menurut perspektif keturunan pembuatnya di Buton?, dan (b) bagaimana rekam jejak perahu Lancang Kuning di perairan nusantara menurut perspektif keturunan pembuatnya di Buton?.

Terjawabnya rumusan masalah tersebut dapat melengkapi sejarah maritim nusantara, terutama sejarah yang ada di Buku Besar Maritim Indonesia karya [10] dan catatan sejarah pembuatan perahu dan pelayaran nusantara karya Liebner [11]. Lebih dati itu, historiografi hasil penelitian ini menyumbang peningkatan nilai historis perahu Lancang Kuning, pengakuan afirmatif atas masyarakat Buton sebagai pembuat perahu Lancang Kuning, mempertegas fakta-fakta sejarah yang terselubungi oleh tradisi lisan dalam bentuk dongeng dan hikayat [12] dan sebagai referensi untuk mengembangkan wisata budaya bahari di sekitar pesisir.

Metode

Penelitian ini dilaksanakan mengikuti prosedur riset sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi [13]. Pada fase heuristik, data penelitian diperoleh dari sumber lisan dan sumber benda. Sumber dokumen yang biasa dipakai untuk riset sejarah tidak digunakan karena memang dokumentasi dan literatur primer tentang perahu Lancang Kuning tidak ditemukan. Selain itu, masyarakat Buton dan sekitarnya lebih lekat dengan budaya tutur daripada budaya tulis. Berbeda dengan tokoh nasional, tokoh lokal juga cenderung merekam peristiwa sejarah dalam ingatan, kemudian meneruskannya secara lisan kepada keturunanya [14]. Oleh sebab itu, tradisi lisan yang diperoleh narasumber dari generasi pendahulu (pelaku dan saksi sejarah) merupakan sumber kredibel [15].

Penulis pertama, dalam hal ini, adalah salah satu keturunan langsung dari salah satu pembuat perahu Lancang Kuning (Laode Ntauale). Sebagai usaha memvalidasi data hasil penuturan Laode Ntauale kepada penulis pertama, penelitian ini mengkritisi data melalui triangulasi kepada data yang diperoleh dari narasumber lain, yaitu Waode Amna (65 tahun), Laode Ramli (64 tahun), dan Laode Tarima (64 tahun). Prosedur itu ditempuh untuk menghilangkan subjektivitas dan meraih objektivitas, sehingga diperoleh fakta sejarah [16]. Sumber-sumber benda yang berhubungan dengan perahu Lancang Kuning juga dikritisi untuk mengafirmasi data narasumber dan memperkuat fakta sejarah [17]. Fakta yang telah diperoleh melalui kritik sumber selanjutnya diiinterpretasi dan dirangkai secara kronologis dan tematik berdasarkan pengetahuan tentang unit spasial dan temporal atas perahu Lancang Kuning.

Hasil dan Pembahasan

Latar Belakang Masyarakat Buton

Salah satu literatur paling rinci dengan analisis yang berimbang tentang sejarah kerajaan Buton adalah hasil riset Berdasarkan sumber lisan yang mendapatkan informasi masa lampau melalui budaya tutur (bukan dengan studi dokumen, karena dokumen tertulis tidak ditemukan), mereka menjelaskan bahwa kerajaan Buton dimulai ± tahun 1332, dan baru mengubah sistem pemerintahannya menjadi kesultanan pada 1538 karena adanya pengaruh imigran muslim. Penggunaan transportasi perkapalan kesultanan Buton semakin intens seiring interaksinya dengan kerajaan Ternate, Gowa, Bone, dan perjanjian-perjanjian dengan VOC.

Menurut , moda transportasi kapal tetap dominan digunakan dalam perdagangan antara kesultanan Buton dengan berbagai kerajaan atau kesultanan kecil di sekitarnya, terutama ketika kesultanan Buton masuk ke dalam kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1824-1906. Selama periode tersebut, pada tahun 1860-an sebagai unit temporal yang dibahas dalam penelitian ini terdapat “prestasi” membanggakan yang diperoleh Sultan Muhammad Isa, yang berglar Sultan Kaimuddin II [18]. Tahun 1858, di kesultanan Buton telah dibangun satu gudang batu bara. Ini merupakan suatu pencapaian yang saat itu sangat sulit diraih, karena banyaknya kandidat lokasi pembangunan gudang batu bara, seperti di Teluk Bima, Teluk Kwandung, Gorontalo, dan Natuna [19].

Situasi di atas menandakan bahwa komoditas yang paling diandalkan masyarakat Buton bukan merupakan hasil agraria, melainkan hasil penambangan. Sebagai konsekuensinya, masyarakat (dan kesultanan) harus melakukan perdagangan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal itu diperkuat dengan kondisi geografis daratan kepulauan Buton yang berstruktur batu-batuan dan berlapis kapur. Dengan demikian, tentu tingkat kesuburannya berbeda dengan daerah lain seperti Ternate, Gowa, Riau, dan kawasan lain. Sedangkan jika ditinjau dari karakteristik masyarakatnya, penduduk Buton adalah masyarakat etnis Melayu yang sangat adaptif.

Dengan situasi politik dan geografis pada masa itu, masyarakat Buton memiliki dua kecenderungan, yaitu melakukan pelayaran untuk: (a) berdagang ke pulau-pulau lain di nusantara, dan (b) melakukan transmigrasi ke luar Buton, bahkan ke luar nusantara. Transmigrasi itu pun pada awalnya juga dilatarbelakangi oleh kepentingan perniagaan. Bagi masyarakat Buton pada periode itu (1860-an), kegiatan pelayaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka seolah “terjebak” dalam pepatah bahasa yang berbunyi “hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri”. Oleh sebab itu, mereka tersebar di beberapa daerah, terutama daerah yang semula menjadi tujuan perdagangan. Bahkan menurut sumber lisan, pada periode 1860-an terdapat warga Buton yang pada akhirnya menetap di California sebelah utara bernama Laode Sabara, dan warga Buton yang menetap di Belanda bernama Laode Nurdin yang mendirikan Kampung Wali di sana. Tahun 1992 lalu, keturunan Laode Sabara di California sebelah utara mendatangi Buton untuk ziarah kubur ke makam nenek moyangnya.

Dalam rangka transmigrasi, penjelajahan pertama kali dilakukan oleh laki-laki. Jika di wilayah yang didatangi memungkinkan untuk hidup bersama keluarga, maka ia akan membawa serta semua anggota keluarga. Tren ini berlaku bagi laki-laki yang sudah berkeluarga maupun belum. Bagi laki-laki yang belum berkeluarga, perpindahan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup (bekerja) yang amat sukar dipenuhi selama di Buton. Dalam lingkup regional, orang-orang Buton banyak menempati beberapa pulau-pulau di nusantara seperti Sumatera, kepulauan Riau, Jawa, Nusa Tenggara, Flores, Kalimatan (sebelah timur), Maluku, Ternate, Tidore, Halmahera, Papua dan pulau lain yang lazim menjadi tujuan peradangan dan transmigrasi pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan masyarakat yang mau “mendapatkan hujan batu di negeri sendiri”, mereka tetap bertahan di Buton untuk bekerja di bidang pertanian (meski tanahnya tidak subur), peternakan, pertambangan, dan perikanan. Cara bertahan hidup dalam berbagai bidang inilah yang menjadikan masyarakat Buton memiliki karakter pekerja keras dan menguasai berbagai keterampilan bertahan hidup. Namun dari sekian keterampilan yang mereka kuasai, penelitian ini menyoroti keterampilan mereka dalam bidang pelayaran.

Sejak mereka dipaksa keadaan untuk melakukan pelayaran dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan, mereka banyak dikenal sebagai pelaut yang gigih dan handal oleh orang-orang di luar Buton. Selama berlayar, mereka biasa menggunakan semacam minuman fermentasi untuk menghangatkan tubuh dan menambah stamina (Gambar 1). Mereka bukan hanya ahli dalam menangkap ikan, melainkan juga sangat mahir dalam membuat kapal tradisional. Kapal buatan mereka sendiri itulah yang digunakan untuk berdagang dan bertransmigrasi.

Figure 1.Botol kaca dan kotak peralatan melaut

Profil Singkat Laode Ntauale

Salah seorang warga Buton yang menonjol dalam usahanya di bidang pelayaran dan perdagangan adalah Waode Wau. Ia memiliki 300 unit perahu. Ia berkontribusi terhadap pembangunan Bank Swiss di Hong Kong dan membantu mendanai pembangunan benteng kesultanan Buton. Namun selain Waode Wau, terdapat individu pembuat kapal, pedagang, sekaligus pelaut bernama Laode Ntauale. Salah satu perahu buatannya yang terbaik dinamai La Suni. Di antara daerah yang pernah didatangi perahu tersebut adalah daerah Riau. Menurut Waode Ndulu pada tahun 1974, perahu La Suni pernah berlabuh dari Buton ke sebuah tanjung di Riau sekitar tahun 1860. Tanjung tersebut selanjutnya dinamai sebagai tanjung Buton. Kini, tanjung itu menjadi sebuah pelabuhan bernama Pelabuhan Tanjung Buton.

Salah satu masyarakat Buton yang berpola pikir untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup dengan cara melakukan pelayaran adalah Laode Ntauale. Ia lahir sekitar tahun 1830 di Katilombu, Buton, Sulawesi Tenggara. Ayahnya bernama Laode Yinu. Ia adalah salah seorang pelaut yang berhasil dalam pelayaran dan perdagangan, baik antara pulau-pulau di nusantara maupun di luar nusantara.

Kepandaian dan keterampilan Laode Ntauale dalam pelayaran dan perdagangan diperoleh dari kerja kerasnya selama mendampingi ayahnya ketika berlayar dan berdagang. Dengan keahlian itu, Laode Ntauale dan ayahnya mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan, masyarakat di sekitar rumahnya juga terbantu dengan dibukanya pekerjaan sebagai anak buah kapal (ABK). Menurut Waode Ndulu pada 1974, di Katilombu sempat dibangun gudang penyimpanan hasil perdagangan dan pelayaran yang dikelola oleh Laode Yinu dan Laode Ntauale. Gudang itu dibangun tahun 1855. Keberhasilan inilah yang diwariskan secara lisan dan praktik (bukan melalui pencatatan) kepada generasi berikutnya.

Pada perkembangan berikutnya, ketika Laode Ntauale merasa cukup berpengalaman dalam berlayar dan berdagang, ia melakukan aktivitas perniagaan secara mandiri. Selama periode itu, mata uang yang digunakan untuk bertransaksi di lingkup nusantara adalah mata uang terbitan Pemerintah Hindia Belanda (Gambar 2). Pada usia remaja akhir, ia telah mampu membuat perahu sope-sope. Bermodal perahu sope-sope itu, ia mulai melakukan pelayaran dan perdagangan menelusuri pulau-pulau terdekat. Karena perahu sope-sope yang dirasa kurang memadai untuk menunjang kebutuhan perdagangan, ia membuat lima perahu sope-sope tambahan. Dari unit yang ada, Laode Ntauale membagi wilayah kerja masing-masing perahu ke wilayah Sulawesi Tenggara. Perkembangan bisnis yang baik kemudian membuka peluang bagi Laode Ntauale untuk mengekspansi wilayah perdagangannya ke pulau-pulau lain, seperti Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara. Ia kemudian membuat perahu dengan tipe lain, yaitu perahu tipe boat untuk diedarkan di sekitar kepulauan Maluku. Perkembangan usaha dagangnya terus meningkat sampai Laode Ntauale menambah armada perahu boat-nya menjadi 6 unit.

Figure 2.Koin keluaran tahun 1841 sebagai alat pembayaran yang sah

Historiografi Perahu Lancang Kuning

Secara lebih rinci, pembagian wilayah kerja atas perahu-perahu milik Laode Ntauale adalah sebagai berikut. 5 unit perahu sope-sope memiliki wilayah kerja di sekitar pulau-pulau di daerah Sulawesi. Sedangkan 6 unit perahu boat dibagi ke dalam tiga wilayah kerja (masing-masing 2 unit perahu boat: 2 unit di kawasan Indonesia bagian Barat, 2 unit di kawasan Indonesia bagian Tengah, dan 2 unit untuk Indonesia bagian Timur. Hasil operasi perahu-perahunya tersebut dikelola di bawah manajemen Laode Ntauale dengan membangun gudang penyimpanan tahun 1855 di kampung Katilombu, Sampolawa. Gudang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ABK, dan masyarakat miskin yang ada sekitar Katilombu (Waode Ndulu, Januari 1974).

Berbekal pengalaman bidang perdagangan dan pelayaran, serta adanya tuntutan untuk mengelola usaha dagang dengan lebih efektif dan efisien, Laode Ntauale membuat perahu yang lebih besar bertipe Pinisi pada 1860. Perahu itu dibuat di Katilombu, Sampolawa (Gambar 3). Sebagaimana para pembuat perahu Pinisi di Bulukumba, pembuatan perahu tipe Pinisi yang dibuat Laode Ntauale tidak didasarkan kepada gambar teknik, melainkan didasarkan kepada keterampilan yang diperoleh dari pengalaman membuat perahu bersama ayahnya, Laode Yinu. Perahu tipe Pinisi itu dinamai sebagai perahu La Suni. Melalui perahunya ini, Laode Ntauale memperluas usahanya ke luar nusantara, seperti Johor, Singapura, dan Malaysia.

Sejak memilikinya, Laode Ntauale menggunakan perahu La Suni dalam setiap aktivitas pelayarannya. Ketika perahu itu berlabuh di sebuah tanjung di Riau, masyarakat Riau menyebutnya sebagai perahu Lancang Kuning. Lancang artinya melaju (kencang), sedangkan Kuning diidentikan dengan warna emas yang menyimbolkan kasta raja, kemakmuran, dan kekayaan. Sejak saat itu, perahu La Suni (atau disebut perahu Lancang Kuning) populer di kalangan masyarakat Riau dan sekitarnya. Kemasyhuran perahu Lancang Kuning juga diidentikan oleh masyarakat Riau sebagai kapal yang hanya layak ditumpangi oleh raja, bangsawan, atau petinggi kerajaan.

Figure 3.Bekas lokasi pembuatan perahu Lancang Kuning di Katilombu, Sampolawa

Selama pembuatannya, Laode Ntauale menghabiskan penghasilan dari 11 perahu sope-sope dan perahu boat yang dimiliki. Bahan yang ia gunakan adalah kayu Wola yang didapat dari kebun Kakawondu miliknya. Karena ia ingin perahu buatannya memiliki ciri khas dibanding perahu lain yang juga sering berlabuh di tanjung Riau, maka pembuatannya pun dilakukan dengan sangat rapi dan hati-hati. Bodi perahu yang sudah selesai dikonstruksi didempul dengan adonan kapur, kunyit dan minyak kelapa. Aplikasi dari adonan dempul ini menyebabkan bodi perahu berwarna kuning. Namun demikian, penamaan perahu tersebut menjadi perahu La Suni maupun perahu Lancang Kuning sebenarnya merujuk kepada makna harfiah. Pemberian nama La merujuk kepada kalimat Asyhadu anlaa ilaaha illallah. Sedangkan pemberian nama Suni diambil dari nama umbi-umbian dalam bahasa daerah.

Perahu La Suni selesai dikerjakan sekitar tahun 1865. Karena keinginan pemilik (Laode Ntauale), perahu itu kemudian secepatnya dibawa ke pelabuhan/tanjung di Riau dengan alasan agar perahu tersebut dapat segera digunakan untuk keperluan perdagangan. Ia memutuskan untuk membawa perahu La Suni beserta ABK-nya ke Riau tahun itu juga, dan sengaja mengoperasikan perahu itu di sana agar Laode Ntauale lebih mudah menjangkau perdagangan ke luar nusantara. Laode Tarima menuturkan, perahu La Suni di bawa ke perairan Riau melalui rute perairan pulau Buton menuju daerah perairan pulau Selayar dan perairan pulau Masalima, kemudian menuju perairan Karimunjawa hingga sampai ke Riau melalui Siak. Tanjung tempat berlabuh di Siak itu dinamai Tanjung Buton (kini menjadi Pelabuhan Tanjung Buton).

Kehadiran perahu La Suni disambut baik oleh masyarakat Siak dan Riau secara umum. Mereka yang tidak begitu mengenal bahwa perahu itu telah memiliki nama La Suni menamainya dengan merujuk kepada ciri atau karakteristik visual yang melekat pada perahu La Suni. Ketika perahu La Suni meninggalkan tanjung Buton dengan membawa kopi dan rempah untuk diperdagangkan di selat Malaka dan sekitar nusantara, masyarakat Siak menyebutnya perahu Lancang Kuning karena dapat melaju kencang dan berciri khas warna kuning.

Karena Laode Ntauale memiliki lebih dari satu perahu yang berlabuh di Tanjung Buton, ia sekali waktu mengunjungi keluarganya di Buton. Pekerjaannya di Tanjung Buton didelegsikan kepada ABK yang ia percaya. Sekembalinya ke Buton inilah Laode Ntauale menceritakan kepada keluarga dan kerabatnya tentang betapa hangat dan seremonialnya penyambutan masyarakat Siak sampai-sampai mereka memiliki nama sendiri untuk perahu La Suni. Penamaan perahu La Suni menjadi perahu Lancang Kuning ini sangat disimak baik oleh anak kedua dari tujuh anak Laode Ntauale, yaitu Waode Ndulu.

Selain respon masyarakat Riau dan perubahan nama yang mereka lakukan, Laode Ntauale juga bercerita tentang aktivitas perkebunan yang sesekali waktu ia dan ABK-nya lakukan di sebuah pulau kecil di dekat perbatasan Singapura. Ketika dua perahu boat milik Laoed Ntauale yang beroperasi di wilayah nusantara bagian barat mengalami cuaca buruk, mereka berlabuh di pulau tersebut dan menanam kelapa. Pulau tersebut adalah Karimunjawa, yang kini vegetasi kelapanya sangat banyak dan menjadi ciri khas pulau Karimunjawa.

Selama di Buton dan pasca melayarkan perahu La Suni di perairan Riau, perahu boat dan perahu sope-sope milik Laode Ntauale tetap beroperasi di wilayah kerjanya masing-masing. Dalam kondisi tertentu, komoditi yang dibawa oleh perahu boat juga dipindahkan ke perahu La Suni untuk diperdagangkan di luar nusantara. Pada periode itu, Laode Ntauale sudah tidak lagi ikut berlayar. Ia memberikan kepercayaan kepada ABK-nya untuk mengelola manajemen perdagangan dan pelayaran di Riau menggunakan perahu Lancang Kuning. Menurut Waode Ndulu pada 1974, usaha dagang dan pelayaran Laode Ntuale mengalami penurunan karena terbakarnya gudang penyimpanan sekaligus rumah tinggalnya pada 1880-an. Laode Natuale wafat karena sakit dan meninggalkan anak-anaknya yang saat itu masih belum berusian remaja. Sementara perahu Lancang Kuning ditinggalkan tidak terurus di Siak atau sekitar Riau. Saat ini, bangkai kapal Lancang Kuning bisa ditemui di Teluk Sebung, Bintan [20].

Simpulan

Analisis dalam penelitian ini mengarah kepada simpulan bahwa perahu Lancang Kuning dibuat pertama kali tahun 1860 oleh Laode Ntauale di kampung Katilombu. Perahu itu merupakan perahu layar bertipe Pinisi yang semula bernama La Suni. Sejak selesai dibuat pada tahun 1865, perahu itu langsung dibawa ke Riau (sekarang menjadi pelabuhan tanjung Buton) agar bisa segera difungsikan sebagai moda transportasi perdagangan di kawasan nusantara dan kawasan luar nusantara. Oleh karena sudah ditetapkan/diputuskan oleh Laode Ntauale sebagai instrumen perdagangan, maka perahu La Suni tidak dipindah ke tempat lain (tetap difungsikan di pelabuhan Tanjung Buton, Riau).

Pembuatan perahu ini pada awalnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan armada perahu yang dapat membawa komoditas perdagangan dalam jumlah besar, terutama komoditas yang tidak bisa dibawa oleh perahu sope-sope dan perahu boat untuk di jual di luar nusantara. Ketika perahu Lancang Kuning telah banyak membantu Laode Ntauale mensejahterakan keluarga, ABK, dan masyarakat Katilombu, perahu Lancang Kuning beserta manajemen perdagangan dipercayakan kepada ABK-nya untuk tetap dioperasikan di perairan Riau dan sekityarnya. Perahu itu tidak lagi aktif pasca terjadi kebakaran rumah tinggal dan gudang penyimpanan milik Laode Ntauale, ditambah lagi Laode Ntauale wafat tidak lama setelah terjadi kebakaran. Perahu La Suni kemudian ditinggalkan tidak terurus di Siak, Riau. Masyarakat Riau mengenal perahu itu sebagai perahu Lancang Kuning.

Ucapan Terima Kasih

Ungkapan terima kasih peneliti sampaikan yang tak terhingga kepada seluruh narasumber yang turut memberikan data untuk penelitian ini. Meski selama wawancara banyak mengundang pilu karena harus mengingat-ingat tragedi di masa lampau, narasumber telah banyak memberi data yang teramat penting sebagai petunjuk untuk menemukan fakta sejarah tentang perahu Lancang Kuning.

References

  1. N. Hermita, M. Alpusari, J. A. Alim, and E. Suanto, "Extracting Indigenous Riau-Malays’ Scientific Literacy Through Lancang Kuning Folklore with Thematic Learning in the Primary School Context," JETL (Journal of Education, Teaching and Learning), vol. 5, no. 1, pp. 59-66, 2020. doi: 10.26737/jetl.v5i1.959.
  2. B. Kanumoyoso, "Malay Maritime World in Southeast Asia," Journal of Maritime Studies and National Integration, vol. 2, no. 1, pp. 16-22, 2018. doi: 10.14710/jmsni.v2i1.2861.
  3. H. D. Evers and S. Darit, "Malaysian Maritime Potential and the Straits of Malacca," Annuals of Marine Sociology, vol. 20, no. 12, pp. 49-53, 2011.
  4. J. Topolski, Theory and Methodology of Historical Knowledge: An Anthology. Poznan: Adam Mickiewicz University, 2022.
  5. S. Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
  6. R. Samin and K. Ismail, "The Local Wisdom of the Shipping Industry of Bintan Society, Riau Archipelago (The Study of Lancang Kuning Boat)," International Journal of Latest Research in Humanities and Social Science, vol. 02, no. 02, pp. 20-23, 2010.
  7. R. Samin and Khodijah, "Perahu Lancang Kuning Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Bintan Kepulauan Riau," Jurnal Ilmu Administrasi Negara, vol. 6, no. 2, pp. 9-13, 2018.
  8. H. Musa, R. C. Rodi, and S. J. N. Muhammad, "Sejarah Ringkas Warisan Perkapalan Tradisional Melayu," International Journal of the Malay World and Civilization, vol. 2, no. 3, pp. 31-42, 2014.
  9. F. N. Madani, "Local Genius Tradisi Pembuatan Perahu Masyarakat Bontobahari Terhadap Spirit Kebudayaan Maritim Nusantara," Jurnal Masyarakat dan Budaya, vol. 23, no. 3, pp. 367-378, 2021. doi: 10.14203/jmb.v23i3.1160.
  10. S. Widjaja and Kadarusman, Buku Besar Maritim Indonesia: Seri Buku 4 - Sosial Budaya Masyarakat Maritim. Jakarta: Amafrad Press, 2019.
  11. H. H. Liebner, "Beberapa Catatan Akan Sejarah Pembuatan Perahu dan Pelayaran Nusantara," in Proceedings of the National History Conference X Volume II Subtheme II, Jakarta, Indonesia, 2016, pp. 1-83.
  12. J. Vansina, Oral Tradition as History. Madison, WI, USA: The University of Wisconsin Press, 2007.
  13. Kuntowijoyo, Introduction to History. Yogyakarta, Indonesia: Tiara Wacana, 2013.
  14. T. W. M. Irsyam, Local History. Jakarta, Indonesia: Directorate General of Culture, Ministry of Education and Culture, 2018.
  15. B. Kanumoyoso, History Method. Jakarta, Indonesia: Directorate General of Culture, Ministry of Education and Culture, 2018.
  16. S. Byrskog, Story as History - History as Story. Leiden, The Netherlands: Brill Academic Publishers, 2002.
  17. K. Harvey, History and Material Culture: A Student’s Guide to Approaching Alternative Sources. London, UK: Routledge, 2009.
  18. S. Zuhdi, G. A. Ohorella, and M. Said, Traditional Kingdoms of Southeast Sulawesi: Buton Sultanate. Jakarta, Indonesia: Department of Education and Culture, Republic of Indonesia, 1996.
  19. A. M. Zahari, History and Adat Fiy Darul Butuni (Buton). Jakarta, Indonesia: Department of Education and Culture, Republic of Indonesia, 1977.
  20. R. Samin and K. Khodijah, "Design of Lancang Kuning Boat Prototype (A Case Study in Bintan, Riau Islands Province)," in Proceedings of the 3rd International Conference on Multidisciplinary Research, 2020, pp. 75-82.