Abstract
Abortion is generally an act of abortion that is carried out without giving the opportunity to live outside the womb for certain reasons. Abortion committed by rape victims becomes a polemic in the context of criminal law to be held accountable. There are different formulations in the regulations that regulate even though these regulations regulate the same material so that rape victims who have abortions can be criminally charged. The method used is a statutory (normative) approach by using data collection namely laws and secondary sources of material in the form of previous thesis, books, scientific journals, and other literacy. The results of the research obtained are that the perpetrators of abortion victims of rape cannot be held criminally responsible because of the principle of no crime without fault where the perpetrators of abortion of rape victims have abortions which are prohibited by the Criminal Code but in accordance with the provisions of Article 75 paragraph (2) of Law Number 36 of 2009 concerning Health that allows abortion due to rape.Pendahuluan
Kematian akibat aborsi merupakan kematian janin yang belum dilahirkan dengan angka kematian nomor satu selain karena penyakit kanker maupun HIV. Berdasarkan penelitian dan survei Worlddometer, American Library Association (ALA) atau asosiasi pustakawan Amerika yang menyatakan bahwa kematian yang diakibatkan karena aborsi mencapai angka 41,2 juta dalam tahun 2018. Dengan penyebab kematian karena penyakit kanker berada di angka 8,2 juta. Lalu di angka 1,7 juta meninggal karena penyakit HIV/AIDS. Hampir 4,2 juta calon jiwa yang tidak dapat meneruskan generasi. Dilansir oleh tempo.co (12/5/2016) bahwa WHO memberikan data dalam setiap tahunnya ada 56 juta kali aborsi yang dilakukan, dan 2 juta-an lebih kasus aborsi itu tercatat di Indonesia. Jumlah kasus pemerkosaan di Indonesia berada di peringkat kedua setelah pembunuhan. Dimana banyaknya kasus pemerkosaan tersebut berbanding lurus dengan banyaknya kasus aborsi. Sebanyak 30 persen pelaku aborsi tersebut adalah remaja. Hal ini menunjukkan betapa banyak perempuan menjadi korban pemerkosaan dan masih menimnbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat yang tak jarang mengakibatkan timbulnya rasa ingin menggugurkan janin.
Berdasarkan hasil survei, kejadian pengguguran/aborsi banyak terjadi pada mereka yang masih berusia remaja serta berpendidikan rendah, kehamilan tidak direncakan lebih kearah kehamilan dengan keadaan yang belum siap, baik secara usia, tingkatan ekonomi, maupun secara sikologis. Kehamilan tidak direncakan ini juga tidak hanya kedua belah pihak dalam artian pasangan yang merasa tidak siap, melainkan bisa saja hanya satu pihak. Sebanyak 6,1 persen berkeinginan untuk mengentikan kehamilannya dengan cara aborsi karena dirasa tidak menghendaki kehamilan tersebut.[1] Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP mengatur mengenai kejahtan terhadap nyawa, dalam hal ini aborsi dapat dikategorikan merupakan suatu tindakan criminal kejahatan terhadap nyawa. Pengeluaran janin pada usia 20 sampai 24 minggu disebut aborsi atau pengguguran, namun jika lebih dari usia tersebut yang berakibat kematian pada janin disebut pembunuhan bayi (infanticide).[2] Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan seolah tindakan aborsi dilegalkan, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (2) dimana apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan atau kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Adanya kasus WA yang melakukan aborsi hingga dijatuhkan sanksi pidana penjara selama 6 (enam) bulan pada 29 Juli 2019 oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian Jambi. Adanya kondisi traumatis psikologis sebab diperkosa sebanyak Sembilan kali oleh kakak kandungnya dan ancaman pengusiran yang dialami korban mengakibatkan korban memilih untuk melakukan aborsi. Vonis ini sontak menuai protes lantaran korban pemerkosaan yang semestinya mendapat perlindungan malah berujung dijatuhi hukuman pidana. Sarsanto Wibisono Sarwono sebagai Ketua Pengurus Nasional PKBI berpendapat, sebagai perempuan korban pemerkosaan haruslah menjadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukan pemidanaan. Terlebih lagi korban masih dikategorikan anak dibawah umur. Sebelumnya pula pada korban berinisial BL, dinyatakan bersalah dan divonis 18 (delapan belas) bulan pidana penjara karena melakukan aborsi akibat pemerkosaan.[3]
Adanya paksaan dari berbagai pihak agar korban melakukan tindakan aborsi diluar keinginan pribadi korban juga seharusnya mendapat perhatian. Mendapatkan pelayanan aborsi yang aman merupakan bagian dari hak perempuan. Dengan dilegalkannya tindakan aborsi seharusnya dapat mengurangi angka kejadian aborsi. Adapun faktor yang mendorong terjadinya aborsi yakni meningkatnya perilaku budaya orang barat dengan melakukan free sex, jika terjadi kehamilan dan tidak kehendaki maka dilakukan tindakan aborsi, lalu kurangnya kontrol sanksi dari masyarakat terutama di daerah perkotaan yang merasa acuh tak acuh terhadap kehamilan diluar pernikahan, ada pula anak dibawah umur yang diperkosa lalu mendapati dirinya hamil dan tidak disadari karena kurangnya pengetahuan hingga takut untuk mengatakan kepada keluarganya lalu mengakibatkan si pelaku memaksa korban untuk melakukan tindakan aborsi.[4] Pada kebanyakan kasus aborsi dalam tindakan membantu proses aborsi yang lakukan, sanksi hukum juga dapat mengancam tenaga kesehatan yang membantu melakukan proses pengangkatan janin tersebut. Bukan dilihat dari sisi lain seperti adanya paksaan atau dorongan dari pihak lain.
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif dengan pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan yang menggunakan undang-undang terkait dengan isu hukum yang diteliti. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis secara deduktif yaitu dengan cara mengolah bahan hukum secara umum dan menganalisis permaslahan hukum berdasarkan fakta yang ada di lapangan sehingga dapat ditarik kesimpulan atas penelitian tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Aborsi Korban Pemerkosaan
Pertanggungjawaban hukum dalam konteks pidana akan timbul karena adanya kesalahan dari orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat dijatuhi hukuman, sehingga hanya dapat dibebankan kepada orang yang dianggap dapat dimintai pertanggungjawaban. Syarat seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum atau kesalahan yang dilakukannya dan ia mampu untuk bertanggungjawab, serta tidak terdapat alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagai alasan penghapus pidana.[5]
Terkait dengan hukum positif di Indonesia, KUHP melarang tindakan aborsi karena menyangkut kejahatan terhadap nyawa, sebagaimana ketentuan Pasal 346 KUHP yang menyatakan “Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun”. Pada pasal tersebut terdapat larangan bagi wanita atu orang lain untuk melakukan aborsi apapun alasannya termasuk hail pemerkosaan. Pada pasal tersebut lebih menitik beratkan kepada wanita hamil atas permintaannya sendiri untuk melakukan aborsi maupun dengan menyuruh orang lain melakukannya.[6]
Disisi lain, dalam Pasal 49 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa setiap wanita memiliki hak untuk menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksinya sendiri serta dijamin dan dilindungi hukum.[7] Secara umum aborsi merupakan tindakan pengakhiran hidup dari janin tanpa diberi adanya kesempatan untuk hidup dan bertumbuh. Kehamilan seseorang kadang kala dapat gugur dengan sendirinya tanpa ada perbuatan yang disengaja. Biasanya keguguran terjadi pada usia kehamilan yang masih muda, kejadian seperti ini disebut keguguran spontan tanpa kesengajaan dan dapat pula karena suatu penyakit. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diharapkan dapat memberi perlindungan kepada wanita hamil yang melakukan aborsi, karena pada peraturan tersebut dianggap melegalkan tindakan aborsi dengan alasan adanya kedaruratan medis dan kehamilan hasil dari pemerkosaan.
Bagi pelaku yang melakukan pengguguran terhadap janin yang dikandung wanita hamil tanpa persetujuan si wanita tersebut dapat diancam sesuai Pasal 347 Ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Sedangkan pada Pasal 348 Ayat (1) KUHP mengatur ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan aborsi dengan persetujuan wanita yang mengandung. Dengan demikian, ketentuan Pasal 347 KUHP dan 348 KUHP tersebut mengancam bagi para pelaku yang melakukan aborsi dengan atau tanpa persetujuan dari si wanita yang hamil, misalnya ayah dari janin atau pelaku pemerkosa, orang tua dari wanita tersebut, orang tua pelaku pemerkosa, tukang obat/jamu, atau tukang pijat yang membantu proses aborsi. Pada pasal tersebut lebih menekankan bahwa adanya penambahan ancaman hukuman sebagai akibat hukum dari tindakan aborsi bagi dokter, bidan atau juru obat yang membantu dalam proses pengguguran kandungan (aborsi).
Dalam KUHP Pasal 63 ayat (2) menjelaskan tentang adanya asas lex specialis derogate legi generalis yang mana aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada Pasal 75 ayat (2) yang melegalkan aborsi dengan ketentuan atas kedaruratan medis dan akibat pemerkosaan berarti berlakunya asas lex specialis derogate legi generalis ketentuan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan mengenai pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengesampingkan ketentuan pada KUHP.
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Tentang Larangan dan Pengecualian dalam Melakukan Aborsi
Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur adanya larangan melakukan aborsi, namun disisi lain pada ayat (2) ketentuan tersebut terdapat pengecualian untuk melakukan aborsi, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- Kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Untuk melakukan aborsi, sesuai dengan ketentuan tersebut diatas harus terlebih dahulu melakukan konseling sebagai bentuk pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan dengan konselor yang kompeten dan berwenang dalam bidangnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 75 ayat (3).
Pada hakikatnya dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengatur
larangan untuk melakukan aborsi kecuali terdapat indikasi darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan yang dimungkinkan dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan. Untuk melakukan aborsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan harus memenuhi beberapa syarat,yaitu:
- Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis;
- Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
- Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
- Dengan izin suami, kecuali korban pemerkosaan;
- Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Adanya aturan mengenai pembatasan usia kandungan empat puluh hari atau enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir itulah yang akan melemahkan posisi si ibu sebagai pelaku aborsi korban pemerkosaan. Tak jarang pada kasus pemerkosaan mengakibatkan si ibu harus terjerat pidana penjara karena melakukan pengguguran pada janin yang dikandung. Aborsi yang dilakukan harus berdasarkan kedaruratan medis, dalam penilaian kedaruratan medis disini meliputi apa saja yang dapat dijadikan indikator penilaian dan yang berwenang untuk menilai kedaruratan medis yang dimaksud pun tidak diperjelas.[8]
Aborstus provocatus legal bila dilakukan oleh tenaga medis yang berkompeten berdasarkan kedaruratan medis dan kehamilan akibat pemerkosaan, Abortus provocatus illegal dilakukan dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku dengan alasan belum mampu secara ekonomi untuk memiliki anak ataupun malu pada lingkungan sekitar, selain karena alasan tersebut aborsi yang dilakukan secara illegal tanpa peran tenaga medis dengan cara meminum jamu atau obat-obatan penggugur hingga mendatangi dukun pijat.[9] Ketika terjadi tindak pidana pemerkosaan yang mengakibatkan korban mengalami kehamilan, hal tersebut dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan, karena korban telah mengalami kekerasan seksual serta menanggung resiko kehamilan. Dengan karena kehamilan yang tidak dikehendaki akibat dari pemerkosaan, dapat menimbulkan trauma psikologis bagi wanita yang mengalaminya, hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan kedaruratan medis atau daya paksa dalam melakukan tindakan aborsi. Dimana alasan tersebut perlu dijadikan sebagai pertimbangan dalam penerapan sanksi pidana terhadap korban pemerkosaan yang melakukan aborsi.
Bila dikaitkan dengan Pasal 48 KUHP tentang daya paksa (overmacht), yaitu “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”. Sebenarnya Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang pengecualian melakukan aborsi terhadap kehamilan akibat pemerkosaan, mengakui adanya daya paksa bagi ibu hamil karena pemerkosaan untuk melakukan aborsi karena dapat menyebabkan trauma psikologis.[10] Daya paksa merupakan suatu paksaan atau tekanan yang tidak dapat dihindari, paksaan tersebut dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan suatu ancaman yang dapat membahayakan apabila seseorang tersebut menolak.
Tata cara penyelenggaraan aborsi diatur lebih jauh dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang menjadi legalitas aborsi tindak pemerkosaan menurut Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah:
- Indikasi kedaruratan medis; atau
- Kehamilan akibat pemerkosaan
Adanya ketentuan bahwa aborsi hanya dilakukan sebelum kehamilan berusia 40 hari dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi merupakan suatu diskriminasi dan kerap menjerat korban pemerkosaan menjadi terjerat pidana kasus aborsi. Dalam waktu empat puluh hari usia kehamilan dianggap tidak semua wanita hamil dapat menyadari dirinya hamil, dan usia kehamilan itu dinilai terlalu dini untuk disadari. Di Indonesia perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut, apakah perbuatan tersebut perlu dilakukan untuk menolong nyawa sang ibu mengandung dengan alasan adanya indikasi medis atau hanya untuk menutupi aib keluarga. Aborsi yang dibenarkan menurut hukum positif Indonesia apabila merupakan tergolong dalam abortus provocatus medicalis.[11]
Aborsi menjadi sebuah dilema bagi wanita terutama bagi wanita korban pemerkosaan. Pada prinsipnya negara melarang dilakukannya aborsi dan memberikan ancaman pidana bagi pelanggarnya dengan ancaman pidana sesuai ketentuan Pasal 346 KUHP sampai Pasal 349 KUHP. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang prinsipnya sejalan dengan ketentuan dalam KUHP, yakni melarang tindakan aborsi, namun memberikan pengecualian apabila terdapat indikasi medis atau sebagai akibat pemerkosaan.[12]
Meskipun pada dasarnya menghilangkan nyawa janin yang belum dilahirkan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Namun dengan alasan adanya trauma psikologis akibat pemerkosaan maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alasan untuk dilakukannya aborsi.
Pada kasus aborsi yang dilarang (abortus provocatus criminalis) yang diancam pidanabiasanya pelakunya adalah pasangan diluar pernikahan maupun pekerja seks komersial. Sedangkan kasus aborsi yang dilegalkan (abortus provocatus medicinalis) diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dilakukan karena adanya kedaruratan medis demi menyelamatkan nyawa wanita yang mengandung, dianggap perlu bila bayi yang dikandung dapat membahayakan sang ibu atau bayi tersebut tidak dapat bertumbuh dengan baik bila tetap dipertahankan dan juga dalam hal adanya trauma psikologis akibat pemerkosaan.
Trauma psiokologis para korban pemerkosaan tersebut atau justru menimbulkan dampak trauma yang lain, karena pada dasarnya alasan adanya trauma psikologis merupakan alasan yang tidak pasti. Meskipun dengan adanya aturan Pasal 75 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mensyaratkan tindakan konseling sebelum dan sesudah dilakukannya aborsi pada korban pemerkosaan, serta syarat pelaksanaan aborsi yang hanya dapat dilaksanakan sebelum usia kehamilan 40 (empat puluh) hari dari hari pertama haid terakhir. Dalam hal dengan berdasar alasan trauma psikologis konselor mengalami kesulitan untuk benar-benar menentukan bahwa korban pemerkosaan benar-benar mengalami trauma psikologis, sebelum usia kandungan empat puluh hari dari hari pertama terakhir haid. Sedangkan proses diagnosa ini membutuhkan waktu yang tidak singkat yang harus mengikuti tahap demi tahap prosedur pemeriksaan medis dari tes fisiologis pengamatan (observasi), wawancara dan tes psikologis.[13]
Aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan masih menjadi perbincangan yang menuai kontroversi, disatu sisi Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memperbolehkan aborsi dilakukan dengan alasan kedaruratan medis dan hasil dari pemerkosaan, serta alasan mengutamakan hak ibu dalam mendapatkan hak untuk menentukan reproduksinya sendiri sebagaimana ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan pada sisi lainnya hak anak atau janin untuk hidup harusnya tetap diutamakan. Legitimasi aborsi disuatu negara sangat bergantung pada hukum yang berlaku, di Indonesia KUHP menyatakan larangan dilakukannya aborsi apapun alasannya dan merupakan suatu tindak pidana. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pula sesungguhnya melarang aborsi kecuali karena adanya kedarutatan medisdan hasil dari pemerkosaan hingga pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yangmelegalkan aborsi hasil korban pemerkosaan dengan adanya trauma psikologis pada korban sah untuk dilakukan secara hukum nasional.[14]
Dalam KUHP Pasal 63 ayat (2) menjelaskan tentang adanya asas lex specialis derogate legi generalis yang mana aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada Pasal 75 ayat (2) yang melegalkan aborsi dengan ketentuan atas kedaruratan medis dan akibat pemerkosaan berarti berlakunya asas lex specialis derogate legi generalis ketentuan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan peraturan mengenai pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi mengesampingkan ketentuan pada KUHP.
Kesimpulan
Pertanggungjawaban pidana korban pemerkosaan yang melakukan aborsi dapat hilang dikarenakan adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan dimana pelaku aborsi korban pemerkosaan melakukan aborsi yang dilarang oleh KUHP namun sesuai ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memperbolekan tindakan aborsi karena akibat pemerkosaan, tidak dapat dipidana karena ketiadaan kesalahan dalam perbuatan tersebut. Sebagaimana ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 31 Ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi aborsi dapat dilakukan dan dibenarkan oleh hukum apabila dilakukan dengan mengikuti segala aturan yang ada dalam peraturan tersebut. Dengan adanya alasan ini maka korban pemerkosaan tidak dapat dijatuhkan pidana apabila melakukan aborsi dengan cara dan syarat yang telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
References
- S. Pranata, “KEJADIAN KEGUGURAN, KEHAMILAN TIDAK DIRENCANAKAN DAN PENGGUGURAN DI INDONESIA,” Bul. Penelit. Sist. Kesehat., vol. 15, no. 2, p. 13.
- S. Andalangi, “TINDAKAN ABORSI DENGAN INDIKASI MEDIS KARENA TERJADINYA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN,” no. 8, p. 9.
- “Korban Pemerkosaan Divonis Bersalah Karena Aborsi, Pegiat HAM Protes,” BBC Indonesia.
- H. Ibnu and H. Arianto, “ABORTUS DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA,” p. 15, 2005.
- “RAMA_74201_02011381419302_0018096509_0003117704_01_front_ref.pdf.” .
- M. F. Saada, “TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN SESEORANG YANG BELUM MENIKAH MENURUT KUHP,” no. 6, p. 9.
- . Eldawaty, A. Widanti, and Y. Fristikawati, “PERLINDUNGAN HAK REPRODUKSI PEREMPUAN UNTUK BER KBDIHUBUNGKAN DENGAN PROGRAM JAMINAN PERSALINAN (PERMENKES NO.2562/MENKES/PER/XII/2011),” SOEPRA, vol. 3, no. 2, p. 185, Jan. 2018, doi: 10.24167/shk.v3i2.780.
- M. C. Laduri, “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAKAN ABORSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009,” no. 5, p. 8.
- A. M. W. Setyowati and M. Seran, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis. Makassar: CV Mandar Maju, 2010.
- C. A. Onibala, “TINDAKAN ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER DENGAN ALASAN MEDIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009,” no. 4, p. 8.
- B. D. Putri, Aborsi Dalam Perspektif Lintas Agama. Yogyakarta: PSKK Universitas Gadjah Mada, 2005.
- M. U. Anshor, Fiksi Aborsi Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.
- Y. S. OFM, Kesehatan Mental 3, 3rd ed. Yogyakarta: Kanisius Anggota IKAPI, 2006.
- M. A. A. Khairi, “FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG,” p. 13.