Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Philosophy. Psychology. Religion
DOI: 10.21070/acopen.7.2022.5389

Social Well-Being and Aggressiveness to Employees


Kesejahteraan Sosial dan Agresivitas pada Karyawan

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Social welfare employee aggressiveness quantitative approach correlation analysis positive work environment

Abstract

This study explores the relationship between social welfare and employee aggressiveness, focusing on oppressive, threatening, and intimidating behaviors that create discomfort among employees. Employing a quantitative approach with correlation analysis, a sample of 100 employees was obtained using a non-probability sampling technique. The social welfare scale, adapted from Keyes, yielded a Cronbach's alpha of 0.952, while the aggressiveness scale, adapted from Ubaidillah, achieved a Cronbach's alpha of 0.926. The findings reveal a significant negative relationship between social welfare and employee aggressiveness. Pearson's product-moment correlation demonstrated a significance of 0.002, indicating that higher levels of social welfare are associated with reduced employee aggressiveness. These results hold implications for organizations seeking to foster positive work environments and mitigate aggressive behaviors, thereby enhancing overall employee well-being and productivity.

Highlights:

  • Relationship between social welfare and employee aggressiveness: This study examines the connection between social welfare and employee aggressiveness, focusing on oppressive behaviors and their impact on employee well-being.
  • Quantitative approach and correlation analysis: The research utilizes a quantitative approach, employing correlation analysis to analyze the data collected from a sample of 100 employees.
  • Importance of positive work environment: The findings highlight the significance of fostering a positive work environment to reduce employee aggressiveness and enhance overall well-being, ultimately leading to improved productivity.

Keywords: Social welfare, employee aggressiveness, quantitative approach, correlation analysis, positive work environment.

Pendahuluan

Pada praktiknya, perusahaan harus mampu berupaya dalam mencukupi kebutuhan dan kesejahteraan karyawan baik secara ekonomi, sosial dan psikologi [1]. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa karyawan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja. Karyawan akan semakin giat dalam menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya, ketika kebutuhannya dapat terpenuhi. Selain itu, karyawan juga akan menjadi lebih agresif jika kebutuhan tidak dapat terpenuhi setelah mereka bekerja dengan maksimal [2].

Agresivitas merupakan perilaku fisik atau verbal yang diniatkan untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi. Agresi dapat muncul karena amarah, benci, iri atau cemburu, dendam dan fanatisme. Agresivitas merupakan suatu reaksi terhadap frustasi atau ketidakmampuan memuaskan kebutuhan psikologis dasar dan bukan naluri. Agresivitas adalah setiap tindakan yang dimaksud untuk menyakiti atau melukai orang lain [3]. Agresivitas individu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kondisi internal (gen, hormon, kimiadaran, instrink, stress, emosi, frustasi dan konsep diri) faktor eksternal (keluarga, peer group, lingkungan sekitar), faktor situsional (efek senjata, alkohol, media, provokasi, konflik antar kelompok) dan faktor stressor lingkungan sekitar (kemacetan, kebisingan, temperatur udara, kualitas udara, dan kualitas lingkungan yang buruk) [4]. Selain itu, agresivitas juga dapat dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan sosial (social well-being) [5].

Agresivitas pada individu dapat berdampak pada rusaknya hubungan sosial yang mengakibatkan munculnya perilaku maladaptif pada diri individu sehingga munculnya perasaan tersakiti yang pada akhirnya akan menjadi kemarahan, kebencian dan membalas dendam hingga terjadi konflik antar individu. Perilaku agresi juga dapat berdampak pada menurunnya prestasi dan kinerja individu. Selain itu, apabila tidak dapat ditangani dengan tepat maka agresivitas akan berujung pada kondisi depresi individu.

Berdasarkan studi pendahuluan melalui wawancara kepada tiga karyawan dengan masing masing jabatan yaitu front liner dan team leader. Perilaku agresiv yang ditunjukkan yaitu adanya tindakan berupa ancaman kepada bawahan jika tidak mendapatkan target yang diharapkan. Dari pihak karyawan mengeluhkan banyaknya target yang dibebankan kepadanya serta adanya ancaman dari atasan membuat mereka frustasi. Selama bekerja karyawan memiliki kesejahteraan sosial yang kurang, karena lingkungan kerja yang tidak nyaman. Berdasarkan studi yang dilakukan Kurnia, Wahyuni dan Susanti perilaku agrevisitas sangat berkaitan erat dengan social well-being[5]. Social well-being menunjukkan pada kondisi di mana individu mampu mengelola masalah sosial, memenuhi kebutuhan sosial dan memperoleh kesempatan sosial untuk maju dan berkembang [7]. Aspek dari social well-being terdiri dari diterima di lingkungan sosial, aktualisasi sosial, kontribusi sosial, hubungan sosial, hubungan sosial dan integrasi sosial. Individu yang memiliki social well-being tinggi akan merasa aman dan bahagia dalam kehidupannya [8], [9]. Hal ini juga berlaku pada karyawan, apabila seorang karyawan memperoleh kesejahteraan sosial tinggi terutama di lingkup pekerjaannya maka pihaknya akan merasakan keamanan dan bahagia dalam kehidupannya. Apabila individu dapat diterima di lingkungan sosial, aktualisasi sosial, kontribusi sosial, hubungan sosial, integrasi sosial maka dianggap memiliki social well-being tinggi. Demikian pula sebaliknya apabila individu tidak dapat diterima di lingkungan sosial, aktualisasi sosial, tidak mampu memberikan kontribusi sosial, tidak memiliki hubungan sosial, integrasi sosial maka dianggap memiliki social well-being rendah. Individu yang memiliki social well-being tinggi maka pihaknya cenderung memiliki perilaku positif karena merasa bahagia dalam lingkungan dan merasa lebih dihargai dalam lingkungan [10]. Apabila individu memiliki social well-being tinggi maka perilaku agresivitas sedapat mungkin dihindari. Selain itu, apabila individu memiliki social well-being tinggi maka akan dapat mampu memenuhi tuntutan situsional dan berhasil dalam menghadapi masalah tekanan hidup. Sebaliknya, apabila individu yang memiliki social well-being rendah biasanya kurang sukses dalam pemenuhan tuntutan hidup dan sering mengalami gangguan sosial atau emosional yang mengarah pada perilaku agresif.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada hubungan antara Social Well-Being dengan Agresivitas pada Karyawan.

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kuantitatif korelational. Metode penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang menggunakan pendekatan dengan menekankan analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika [11]. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu varibel X (social well-being) dan variabel Y (agresivitas). Populasi dalam penelitian ini terdiri dari karyawan PT X devisi leader dan frontliner yang berjumlah 100 orang. Alasan peneliti memiliki divisi leader dan frontliner, karena bagian divisi tersebut pada PT. X menjadi karyawan tetap, sedangkan sisanya karyawan tidak tetap yang dipekerjakan pada saat ada event saja dan bersifat sementara. Skala social well-being dalam penelitian ini diukur dengan Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB) yang diadopsi dari penelitian Kurnia, Wahyuni dan Susanti [5]. Skala disusun berdasarkan aspek-sepek diterima di lingkungan sosial, aktualisasi sosial, kontribusi sosial, hubungan sosial dan integrasi sosial. Agresivitas dalam penelitian ini diukur dengan skala agresivitas mengadopsi penelitan Ubaidillah, yang terdiri dari aspek-aspek physical aggression, verbal aggression, anger dan hostility[12]. Hasil pengujian reliabilitas sekala diperoleh variabel social well-being memperoleh nilai cronbach alpha sebesar 0,952 sedangkan variabel agresivitas memperoleh nilai cronbach alpha sebesar 0,926. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi Product Moment atau Pearson.

Hasil dan Pembahasan

Setelah data terkumpul, peneliti melakukan analisis data untuk menguji hipotesis dalam panelitian ini. Terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang kemudian dilanjutkan dengan uji hipotesis. Uji asumsi penelitian ini adalah uji normalitas dan uji linieritas.

Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Social Well-Being Agresivitas
N 100 100
Normal Parametersa,b Mean 48,7000 89,0800
Std. Deviation 7,41620 8,83597
Most Extreme Differences Absolute ,122 ,121
Positive ,121 ,089
Negative -,122 -,121
Test Statistic ,122 ,121
Asymp. Sig. (2-tailed) ,092c ,097c
Table 1.Hasil Uji Normalitas

Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada tabel di atas, diketahui pada skala social well-being memperoleh nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,092 > 0,05 dan skala agresivitas memperoleh nilai signifikansi atau Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,097 > 0,05. Dengan demikan, dapat disimpulkan data dalam penelitian ini terdistribusi normal.

Uji Linieritas

ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Social Well-Being * Agresivitas Between Groups (Combined) 3590,379 26 138,091 5,435 ,473
Linearity 527,073 1 527,073 20,746 ,002
Deviation from Linearity 3063,306 25 122,532 4,823 ,385
Within Groups 1854,621 73 25,406
Total 5445,000 99
Table 2.Hasil Uji Linieritas

Berdasarkan tabel diatas, dapat diperoleh nilai Deviation from Linierity sebesar 0,385 atau lebih dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang linier antara social well-being dengan agresivitas.

Uji Hipotesis

Correlations
Social Well-Being Agresivitas
Social Well-Being Pearson Correlation 1 -,311**
Sig. (2-tailed) ,002
N 100 100
Agresivitas Pearson Correlation -,311** 1
Sig. (2-tailed) ,002
N 100 100
Table 3.Hasil Uji Hipotesis

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa nilai signifikansi antara social well-being dengan agresivitas sebesar 0,002 atau kurang dari 0,05. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara social well-being dengan agresivitas, sehingga hipotesis diterima.

Uji Kategorisasi

Katagori Kriteria Frekuensi Prosentase
Sangat rendah X ≤ 37,57 11 11%
Rendah 37,57 < X ≤ 44,99 11 11%
Sedang 44,99 < X ≤ 52,41 43 43%
Tinggi 52,41 < X ≤ 59,82 26 26%
Sangat tinggi X ≥ 59,82 9 9%
Jumlah 100 100
Table 4.Hasil Uji Kategorisasi Social Well-being

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh hasil bahwa sebagian besar karyawan memiliki social well-being dalam kategori sedang sebesar 43%.

Katagori Kriteria Frekuensi Prosentase
Sangat rendah X ≤ 75,83 7 7%
Rendah 75,83 < X ≤ 84,66 24 24%
Sedang 84,66 < X ≤ 93,50 45 45%
Tinggi 93,50 < X ≤ 102,33 14 14%
Sangat tinggi X ≥ 102,33 10 10%
Jumlah 100 100
Table 5. Hasil Uji Kategorisasi Agresivitas

Berdasarkan tabel di atas, diketehui bahwa menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan PT. X memiliki agresivitas dalam kategori sedang yaitu sebesar 45%.

Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian product moment pearson diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,002 atau kurang dari 0,05 dengan nilai korelasi negatif. Artinya terdapat hubungan yang signifikan antara social well-being dengan agresivitas, sehingga hipotesis diterima. Dimana karyawan yang merasakan dirinya nyaman dalam bekerja, membuat dirinya lebih fokus dalam bekerja sehingga dapat menyelesaikan pekerjaan sehingga meminimalisir tindakan-tindakan negatif untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Hal ini dapat terjadi akibat adanya persepsi bahwa, tujuan perusahaan adalam tujuan bersama yang harus diselesaikan dengan bersama-sama.

Selaras dengan studi yang dilakukan oleh Kurnia, Wahyuni dan Susanti, social well-being memiliki hubungan dengan agresivitas [5]. Individu yang memiliki social well-being tinggi maka pihaknya ada kecenderungan berperilaku positif karena merasa bahagia didalam lingkungan dan merasa dihargai dalam lingkungan. Terkait demikian, apabila karyawan PT X memiliki social well-being tinggi maka perilaku agresivitas dapat dihindari serta mampu memenuhi tuntutan situsional dan berhasil dalam menghadapi segala tekanan hidup. Sebaliknya, apabila karyawan PT X memiliki social well-being rendah maka pihaknya mengalami kecenderungan untuk kurang sukses dalam pemenuhan tuntutan hidup dan sering mengalami gangguan sosial atau emosional yang mengarah pada perilaku agresif.

Sejalan dengan pendapat Witono, dimana Social well-being mengarah pada suatu kondisi sosial [7]. Social well-being dapat tercapai apabila keluarga, komunitas dan masyarakat mengalami dalam tingkatan sejahtera yang tinggi. Social well-being menunjukkan pada kondisi di mana individu mampu mengelola masalah sosial, memenuhi kebutuhan sosial dan memperoleh kesempatan sosial untuk maju dan berkembang. Individu yang mengalami social well-being rendah, jika tidak didukung dengan kontrol diri yang baik, akan memicu tindakan-tindakan yang dapat merugikan orang lain.

Didukung dengan hasil studi yang dilakukan Nidianti dan Desiningrum, yang membuktikan bahwa social well-being memiliki kontribusi negatif terhadap perilaku agresif individu [13]. Social well-being dapat tumbuh akibat lingkungan yang mendukung setiap aktivitas yang dilakukan, seperti fasilitas, sarana dan prasarana yang lengkap. Lingkungan yang kondusif juga ditunjang dengan kondisi fisik yang memadai sehingga dapat meningkatkan kepuasan dalam diri individu. Kesejahteraan individu akan meningkat seiring dengan kondisi lingkungan yang kondusif, sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan yang merugikan [14].

Berdasarkan hasil kategorisasi, diketahui bahwa sebagian besar karyawan memiliki social well-being dalam kategori sedang sebesar 43%. Social well-being karyawan dapat terbentuk adanya hubungan sosial dalam lingkungan kerja yang baik, sehingga dapat saling suport satu dengan yang lain. Adanya hubungan sosial yang baik seperti adanya saling kepedulian antar karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan, akan membuat karyawan tersebut mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya [15]. Dimana individu yang memiliki integrasi sosial akan merasa bahwa pihaknya menjadi bagian dari lingkungan sekitar dan memiliki pikiran bahwa pihaknya memiliki, merasa didukung dan berbagi kebersamaan dengan lingkungan sekitar.

Individu yang memiliki social well-being tinggi akan merasa aman dan bahagia dalam kehidupannya [16], [17]. Hal ini juga berlaku pada karyawan, apabila seorang karyawan memperoleh kesejahteraan sosial tinggi terutama di lingkup pekerjaannya maka pihaknya akan merasakan keamanan dan bahagia dalam kehidupannya. Apabila individu dapat diterima di lingkungan sosial, aktualisasi sosial, kontribusi sosial, hubungan sosial, integrasi sosial maka dianggap memiliki social well-being tinggi [18]. Demikian pula sebaliknya apabila individu tidak dapat diterima di lingkungan sosial, aktualisasi sosial, tidak mampu memberikan kontribusi sosial, tidak memiliki hubungan sosial, integrasi sosial maka dianggap memiliki social well-being rendah [7].

Berdasarkan hasil kategorisasi, diketahui bahwa sebagian besar karyawan PT. X memiliki agresivitas dalam kategori sedang yaitu sebesar 45%. Agresivitas karyawan dapat dilihat dari masih adanya beberapa karyawan yang sering membicarakan karyawan lain. Selain itu, masih ada beberapa karyawan yang memiliki sifat tidak mau tau dengan lingkungan sekitar dan hanya fokus pada pekerjaan yang dilakukan. Kondisi seperti ini serting terjadi pada karyawan yang sedang dalam menghadapi masalah, seperti tidak enak badan, masalah keluarga dan lain sebagainya [19], [20].

Individu yang memiliki social well-being tinggi maka perilaku agresivitas dapat dihindari. Selain itu, apabila individu memiliki social well-being tinggi maka akan lebih mampu memenuhi tuntutan situsional dan berhasil dalam menghadapi berbagai tekanan hidup. Sebaliknya, apabila individu yang memiliki social well-being rendah biasanya kurang sukses atau kurang berhasil dalam memenuhi tuntutan hidup dan sering mengalami gangguan sosial atau emosional yang mengarah pada perilaku agresif [5]. Kontribusi social well-being pada perilaku agresiv masih rendah. Masih ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku agresiv dalam bekerja, seperti konflik peran ganda, stres kerja, self control dan dukungan sosial [21]–[23].

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah penelitian dilakukan dengan menggunakan try out terpakai, seharunya untuk memperoleh data yang lebih akurat dilakukan uji coba terlebih dahulu. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala secara online dengan menggunakan google form, dikarenakan masih dalam kondisi pandemi dan lokasi subjek yang tidak ada dalam satu kota dengan peneliti. Hal ini menyebabkan peneliti tidak mengetahui secara pasti apakah subjek dalam penelitian ini betul-betul mengisi skala sesuai dengan kondisi yang dialami.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara social well-being dengan perilaku agresif karyawan pada PT. X. Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan, maka hasil uji analisis data berdasarkan uji asumsi dapat diperoleh bahwa data social well-being dan perilaku agresif sudah memenuhi asumsi normalitas dan linieritas. Hasil pengujian hipotesis dengan product moment pearson diperoleh signifikansi sebesar 0,002 atau kurang dari 0,05 dengan nilai korelasi negatif. Dengan demikian, hipotesis dalam penelitian ini diterima yaitu ada hubungan negatif yang signifikan antara social well-being dengan agresivitas pada karyawan PT X. Pengaruh social well-being terhadap agresivitas sebesar 9,7%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian.

Hasil penelitian ini disarankan bagi karyawan untuk lebih intensif dalam menjalin komunikasi dengan rekan kerja maupun dengan pimpinan, karyawan harus menjaga kondisi kesehatan dan lebih mengembangkan praktik bersyukur serta lebih menjadi individu yang lebih aktif. Selain itu, pimpinan juga harus lebih insentif dalam berkomunikasi dengan karyawan dengan tujuan untuk mengetahui masalah yang dihadapi karyawan. Bagi perusahaan, disarankan untuk terus menumbuhkan terciptanya social well-being dalam diri karyawan, guna terciptanya situasi yang aman, tertib dan saling mendukung satu dengan yang lain. Upaya yang dapat dilakukan pihak manajemen yaitu dengan memenuhi setiap hak karyawan dan memberikan suatu wadah untuk saling berdiskusi atau menyampaikan argumen terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik melakukan penelitian dengan tema serupa bisa digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi penelitian, serta diharapkan untuk memperluas cakupan populasi sehingga sampel yang digunakan bisa lebih banyak, dan juga memperkaya variabel yang memungkinkan dan berkaitan dengan agresivitas, seperti konflik peran ganda, dukungan sosial dan self control.

References

  1. Tsuroyya and P. A. R. Dewi, Introduction to Public Relations: Theories and Practical Usage. Klaten: Lakeisha, 2021.
  2. Z. Solehudin, L. Widawati, and A. Tuty, “Studi Kontribusi Stres Kerja terhadap Agresivitas Anggota Satpol PP Kota X,” Pros. Psikol., vol. 6, no. 2, pp. 404–408, 2021.
  3. Karyanti, Dance Counseling. Yogyakarta: Deepublish, 2018.
  4. B. Susantyo, “Faktor-Faktor Determinan Penyebab Perilaku Agresif Remaja Di Permukiman Kumuh Di Kota Bandung,” Sosio Konsepsia, vol. 6, no. 1, pp. 1–17, Dec. 2016, doi: 10.33007/ska.v6i1.381.
  5. K. D. Kurnia, E. N. Wahyuni, and R. H. Susanti, “Pengaruh Kesejahteraan Sosial Terhadap Agresivitas Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kepanjen,” J. Konseling Indones., vol. 2, no. 2, 2017.
  6. S.- Hapsah and A.- Muslim, “Perilaku Agresi Verbal Dan Perilaku Agresi Relasional Pada Remaja Perempuan,” J. Konseling Komprehensif Kaji. Teor. dan Prakt. Bimbing. dan Konseling, vol. 8, no. 1, pp. 60–70, 2021, doi: 10.36706/jkk.v8i1.15103.
  7. T. Witono, “Pembangunan Sosial, Kesejahteraan Sosial, dan Pekerjaan Sosial,” Quantum J. Ilm. Kesejaht. Sos., vol. 16, no. 2, 2020.
  8. E. S. Kim, R. Tkatch, D. Martin, S. MacLeod, L. Sandy, and C. Yeh, “Resilient Aging: Psychological Well-Being and Social Well-Being as Targets for the Promotion of Healthy Aging,” Gerontol. Geriatr. Med., vol. 7, 2021, doi: 10.1177/23337214211002951.
  9. F. Kong, K. Yang, S. Sajjad, W. Yan, X. Li, and J. Zhao, “Neural correlates of social well-being: Gray matter density in the orbitofrontal cortex predicts social well-being in emerging adulthood,” Soc. Cogn. Affect. Neurosci., vol. 14, no. 3, 2019, doi: 10.1093/scan/nsz008.
  10. M. Sharafatmandrad and A. Khosravi Mashizi, “Linking Ecosystem Services to Social Well-Being: An Approach to Assess Land Degradation,” Front. Ecol. Evol., vol. 9, 2021, doi: 10.3389/fevo.2021.654560.
  11. Djaali, Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2020.
  12. M. A. Ubaidillah, “Hubungan Kontrol Diri dengn Agresivitas Santri Baru Pondok Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari Malang,” Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2017.
  13. W. E. Nidianti and D. R. Desiningrum, “Hubungan Antara School Well-Being Dengan Agresivitas,” Empati J. Karya Ilm. S1 Undip, vol. 4, no. 1, 2015.
  14. R. Yu, A. Topiwala, R. Jacoby, and S. Fazel, “Aggressive Behaviors in Alzheimer Disease and Mild Cognitive Impairment: Systematic Review and Meta-Analysis,” Am. J. Geriatr. Psychiatry, vol. 27, no. 3, 2019, doi: 10.1016/j.jagp.2018.10.008.
  15. S. Tuzovic and S. Kabadayi, “The influence of social distancing on employee well-being: a conceptual framework and research agenda,” J. Serv. Manag., vol. 32, no. 2, 2021, doi: 10.1108/JOSM-05-2020-0140.
  16. V. López, J. Torres-Vallejos, P. Ascorra, L. González, S. Ortiz, and M. Bilbao, “Contributions of Individual, Family, and School Characteristics to Chilean Students’ Social Well-Being at School,” Front. Psychol., vol. 12, 2021, doi: 10.3389/fpsyg.2021.620895.
  17. M. Mackay, B. D. Hardesty, and C. Wilcox, “The Intersection Between Illegal Fishing, Crimes at Sea, and Social Well-Being,” Frontiers in Marine Science, vol. 7. 2020. doi: 10.3389/fmars.2020.589000.
  18. L. L. Laursen, K. B. Madsen, C. Obel, and L. Hohwü, “Family dissolution and children’s social well-being at school: A historic cohort study,” BMC Pediatr., vol. 19, no. 1, 2019, doi: 10.1186/s12887-019-1821-z.
  19. F. van den Boogert et al., “Sensory processing and aggressive behavior in adults with autism spectrum disorder,” Brain Sci., vol. 11, no. 1, 2021, doi: 10.3390/brainsci11010095.
  20. R. D. Suryaningrat, F. M. Mangunsong, and C. D. Riantoputra, “Teachers’ aggressive behaviors: what is considered acceptable and why?,” Heliyon, vol. 6, no. 10, 2020, doi: 10.1016/j.heliyon.2020.e05082.
  21. V. K. Ramadani, Yusmansyah, and R. Widiastuti, “Hubungan antara Self Control dengan Perilaku Agresif pada Siswa Kelas XI IPS,” ALIBKIN (Jurnal Bimbing. Konseling), vol. 6, no. 3, 2018.
  22. N. Z. Situmorang, Y. Pratiwi, and D. P. Agung R., “Peran Ayah Dan Kontrol Diri Sebagai Preditor Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja,” J. Muara Ilmu Sos. Humaniora, dan Seni, vol. 2, no. 1, 2018, doi: 10.24912/jmishumsen.v2i1.1839.
  23. A. A. Tulloh and I. N. Alfian, “Hubungan antara Self-control dan Dukungan Sosial terhadap Agresivitas Remaja di Kota Surabaya,” Bul. Ris. Psikol. dan Kesehat. Ment., vol. 1, no. 1, 2021, doi: 10.20473/brpkm.v1i1.24792.