Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Philosophy. Psychology. Religion
DOI: 10.21070/acopen.7.2022.5197

Resilience Of Working Mothers with Autistic Spectrum Disorder


Resiliensi Ibu Bekerja yang Memiliki Anak Autistic Spectrum Disorder

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Resilience Working mothers Autism Spectrum Disorder (ASD) Qualitative method Phenomenological approach

Abstract

A mother who has a child with ASD (Autistic Spectrum Disorder) has a heavier responsibility in terms of parenting and will go through a certain process. Handle these conditions, conditions are needed to be able to accept the conditions is resilience. This study aims to determine the description of resilience and the factors that influence resilience in working mothers who have children with ASD. Using qualitative method with a phenomenological type, determining the subject using a purposive sampling technique using 3 subjects working mothers who have children with ASD. Data collection methods in the form of interviews and observations. The results of the third study show that there is a picture of resilience in the three subjects who are able to accept their child's condition and rise from their previous condition to be better. That not all subjects have the seven aspects of resilience, each subject has a different dominance.

Highlights:

  • Resilience in parenting: The study explores the resilience of working mothers raising children with ASD, emphasizing their ability to accept their child's condition and adapt to the challenges they face.

  • Influential factors: The research aims to identify the factors that influence the resilience of these mothers, considering individual differences and unique experiences that shape their responses to the situation.

  • Diverse resilience aspects: The findings reveal that while all subjects displayed resilience, the aspects of resilience varied among them, highlighting that resilience is a multidimensional construct with different dominant factors for each individual.

Keywords: Resilience, Working mothers, Autism Spectrum Disorder (ASD), Qualitative method, Phenomenological approach.

Pendahuluan

Pada umumnya, dalam mendambakan kehadiran seorang anak orangtua berharap anaknya lahir dalam kondisi yang sehat. Namun faktanya tidak semua orangtua ditakdirkan memiliki anak dengan kondisi normal. Seorang anak yang terlahir ASD (Autistic Spectrum Disorder) perkembangannya berbeda dari pada anak normal karena keterbatasannya [1]. Keterbatasan yang dimiliki pada beberapa aspek perkembanganya, anak ASD (Autistic Spectrum Disorder) membutuhkan usaha lebih dalam mencapai perkembangannya. Maka dari itu sangat dibutuhkan peran terutama seorang ibu untuk dapat membantu perkembangan anaknya dengan konsisten[2].

Salah satu gangguan yang paling berat terjadi di masa kanak-kanak adalah ASD (Autistic Spectrum Disorder), yang memiliki tanda defisit pervasive yang terlihat pada kemapuan anak dalam kemampuan komunikasi dengan orang sekitarnya, rentang memiliki minat dalam bersosial terbatas, yang tampak pada usia tiga tahun pertama anak [3]. ASD (Autistic Spectrum Disorder) adalah gangguan pada beberapa proses perkembangan yang dialami seoarang anak akan berdampak pada masa depannya dalam melihat dunianya [1]. Menurut data CDC (Centers for Disease Control and Prevention) 2012, 1 dari 88 anak menderita ASD (Autistic Spectrum Disorder), meningkat 30% pada 2014. Artinya, 1,5% di Amerika Serikat, atau 1 dari 68 anak, menderita ASD (Autistic Spectrum Disorder) [4].

Seorang ibu disamping merawat anak juga memiliki kesibukan diluar rumah dan mendapat penghasilan [5]. Terdapat dua alasan sedikitnya yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam pasar kerja. Pertama adalah sebauh keharuskan kondisi pada perekonomian keluarga, sehingga bekerja untuk meningkatkan perekonomianya. Kedua “memilih” bekerja karena tuntutan kondisi social pada tingkatimenengah menurut pendapat [6].

Terdapat dinamika stres pada ibu yang merawat dan mengasuh anak yang mengidap spektrum ASD (Autistic Spectrum Disorder) pada tingkat berat dan sedang menurut [2]. ibu yang memiliki anak spektrum tingkat berat maka akan berpotensi lebih besar mendapat tekanan pada perilakuyang dimunculkan pada anaknya. Pasangan yang telah dikaruniai anak dengan mengidap spektrum ASD (Autistic Spectrum Disorder) akan memiliki tingkat stres lebih tinggi jika dari orangtua yang memiliki anak normal karena membutuhkan perlakuan dan perhatian khusus [7].

Dalam penerapannya, ibu akan dihadapkan pada tekanan, kondisi sulit secara sering pengasuhan anak Gangguan Spektrum Autisme yang memunculkan stres kemudian lambat laun ibu akan mempelajari stres tersebut sampai akhirnya dapat beradaptasi dan memunculkan mekanisme bertahan [8]. Sejalan dengan pemaparan di atas dengan [9] menyebutkan bahwa konsep stres dan resiliensi memiliki hubungan dimana mekanisme penyelesaian dari stres akan melibatkan faktor dan sumber dari resiliensi, jika terjadi dalam intensitas yang tinggi maka akan terciptanya resiliensi.

Resiliensi sangat berkaitan dengan tindakan seseorang dan sikapnya terhadap suatu masalah. Orang yang tidak resilien akan memutuskan untuk meninggalkan masalah yang dihadapinya, sedangkan orang yang resilien memiliki kemampuan lebih untuk menghadapi setiap masalah dalam hidupnya. Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri dan tetap melakukan perubahan sehubungan dengan ujian yang dialami [10]. Pernyataan lain tentang resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte mengatakan resiliensi kemampuan seseorang dalam mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang dianggap sulit atau berat selain itu masalah yang sedang terjadi pada kehidupannya dalam [11].

Resiliensi ibu bekerja yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder) bahwa menjaga keseimbangan kehidupan pekerjaan adalah salah satu faktor signifikan stress dalam mengasuh anak down syndrome sebagian ibu yang bekerja, menjaga keseimbangan antara pekerjaan, keperluan rumah tangga, waktu untuk anak, dan waktu untuk diri mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu tantangan yang berat dalam penelitiannya yang dilakukan oleh [12]. Keseimbangan di dalam tanggung jawab kehidupan keluarga dan pekerjaan oleh seorang ibu yang bekerja cukup sulit dilakukan dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi ibu bekerja yang memiliki anak down syndrome. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan [13] dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitan atau korelasi negatif antara resiliensi dengan stres pengasuhan pada bu dengan anak gangguan spektrum autisme. Semakin tinggi tingkat resiliensi yang dimiliki oleh ibu anak dengan gangguan GSA maka akan semakin rendah tingkat stres pengasuhan yang dialaminya.

Untuk tetap dapat menghadapi masalah dan dapat bertahan serta mampu bangkit dari kondisi negatif secara efektif perlu adanya resiliensi. Individu yang memiliki resiliensi akan mampu menghadapi masalahnya dengan mudah yang sangat berguna untuk dalam proses perkembangan di kemudian hari. Ibu yang memiliki resiliensi akan mampu menyesuaikan diri dari kondisi yang dianggapnya berat, mampu mengatasi keadaan yang diinginkannya menjadi lebih baik dan mampu menghadapi masalahnya hingga usai. Artinya resiliensi merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh ibu bekerja yang memiliki anka ASD (Autistic Spectrum Disorder).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi, bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada ibu bekerja yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder). Subjek dalam penelitian ini yaitu ibu yang bekerja yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder). Sampel penelitian menggunakan teknik non random sampling purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara subjek primer dan significant others. Analisis data dengan teknik triangulasi.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Setelah menjabarkan dengan menuliskan deskripsi penemuan dari hasil wawancara, selanjutnya akan dilakukan analisis dari data ketiga subjek untuk mempermudah melihat keseluruhan

Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Latar Belakang Ibu “R” merupakan seorang ibu bekerja di TPQ desanya, sebelumnya ia pernah bekerja di sebuah perusahaan yakni sebagai karyawati. Ia memutuskan untuk melepaskan pekerjaannya demi mengurus anaknya. subjek memiliki 2 orang anak, anak pertama duduk dibangku SD dan anak kedua laki-laki merupakan anak special ASD (Autistic Spectrum Disorder) yang berusia 4 tahun. Ibu “B” merupakan serang ibu yang bekerja sebagai pengusaha Toko Alat Tulis, sebelumnya subjek merupakan pegawai BUMN yang memutuskan untuk resign karena suaminya menyuruhnya untuk focus merawat anak dan dirinya. Selain itu subjek juga 2 kali mengalami keguguran sehingga kondisi kurang mendukung. Subjek memiliki 1 orang anak pertama laki laki yang didiagnosis ASD (Autistic Spectrum Disorder) yang saat ini berusia 5 tahun. Ibu “Z” merupakan seorang ibu bekerja sebagai guru LBB, subjek resignt dan kemudian Kembali mengajar lagi. Subjek memiliki anak pertama perempuan yang didiagnosa ASD (Autistic Spectrum Disorder), saaat ini berusia 7 tahun.
Riwayat Kasus Ibu “J” memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder). Subjek menyadarinya Ketika anaknnya berusia 1 tahun. Setelah didagnosa ASD (Autistic Spectrum Disorder) subjek merasa sedih dan mengurung diri dikamarnya. Subjek dan suaminya melakukan berbagai usaha dan mencari informasi untuk pengobatan anaknya. subjek memutuskan Kembali bekerja untuk dapat menambah kebutuhan hidupnya. Ibu “F” memiliki seorang anak yang didagnosa ASD (Autistic Spectrum Disorder). Subjek baru menyadarinya diusia ankanya 1,5 tahun. Setelah diketahui subjek merasa sedih dan tidak mau mngajak anaknya di tempat umum, selain itu subjek juga mengurung diri untuk tidak bertemu dengan orang orang. Subjek memutuskan untuk Kembali bekerja yakni untuk mencari kesibukan sehingga dapat men Ibu “Z” memiliki anak yang didagnosa ASD (Autistic Spectrum Disorder). Subjek mengetahui diusia diusianya 1,5 tahun. Setelah mengetahui subjek merasa terpuruk dan mengurung diri, subjek juga membatasi sosialnya dan merasa malu jika bertemu dengan orang baru.
Table 1.Latar Belakang dan Riwayat Kasus Ketiga Subjek
Faktor-Faktor Resiliensi Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
I Have Subjek R berada di lingkungan yang memberikan semangat serta memberikan afirmasi positif sehingga membangkitkan dirinya merasa sulit. Dukungan berasal dari support keluarga dan suaminya. Baginya support dari keluarganya sangat penting dengan dukungan yang diberikan menjadikannya ia tidak merasa sendiri Subjek B mempunyai lingkungan yang mendukung dirinya untuk bangkit dan menjadi dorongan membangkitkan semangatnya sehingga subjek mampu untuk kembali menghadapi segala sesuatu yang dihadapnya. Dukungan yang diperoleh berasal dari keluarga, sahabat dan suport lingkungannya, namun baginya dukungan dari suami sangat berpengaruh baginya untuk lebih menerima dan bangkit dari keterpurukan. Subjek Z mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya, menurut subjek dukungan tersebut sangat berarti baginya karena dengan adanya dukungan yang didapatkan maka membuat subjek menjadi lebih tenang sehingga subjek merasa aman untuk melakukan aktivitas selanjutnya. Dukungan yang didapatkan berasal dari keluarganya dan lingkungan sekitarnya
I Can Subjek R seseorang yang memiliki komunikasi yang lancar, meskipun pada lingkungan yang baru. Subjek mampu dalam menyampaikan pendapatnya dengan baik, dengan komunikasi yang lancar subjek juga merasa bahwa ia mampu menceritakan keluh kesahnya sehingga ia merasa menjadi lebih lega dan mampu menjalani aktivitasnya dengan tenang. Subjek B mampu menjalin komunikasi dengan orang sekitarnya, subjek mampu memiliki komunikasi yang baik dengan suami maupun orang yang berada dirumahnya. Subjek merasa senang dalam menjalani pekerjaan yang dilakukannya dan tidak merasa menjadi beban baginya. Sehingga kegiatan yang dilakukan dapat meningkatkan keterampilannya dalam menjalin relasi dengan lingkungannya menjadi lebih baik. Subjek Z memiliki komunikasi yang cakap dengan lingkungan sekitarnya, baginya komunikasi merupakan suatu hal yang sangat penting untuk bersosial dengan lingkungan sekitarnya. Subjek mampu menyampaikan pendapatnya sehingga akan mempermudah dirinya untuk menyampaikan infomasi yang akan disampaikan. Kemampuannya yang komunikatif mempermudah dirinya untuk menjalin sosial dengan lingkungan sekitarnya.
I Am Subjek rutin dalam mengevaluasi dirinya, selain itu ia melakukan aktivitasnya secara mandiri. Subjek merasa senang dan tidak terbebani dengan aktivitas yang dilakukannya. Selain itu subjek mempunyai pribadi yang memiliki semangat penuh harapan pada dirinya yakni dengan selalu berusaha melakukan mengembangkan energi positifnya setiap aktivitas yang dilakukan. Dari perilaku tersebut membuat subjek lebih mampu melakukan aktivitasnya dengan penuh keyakinan. Subjek selalu berusaha melakukan kegiatannya dengan mandiri, dan memiliki keyakinan tinggi setiap menjalani aktivitasnya. Subjek merasa dengan melihat anaknynya menjadikan energinya perlahan membangkitkan energinya menjadi lebih baik. Subjek memiliki kebiasaan untuk sholat malam. Dengan melakukan sholat malam berdampak pada dirinya menjadi lebih mampu menerima dan menenanngkan dirinya. Selain itu subjek juga perlahan tidak gegabah dalam menentukan masalahnya yakni dengan menenagnkan dirinya sehingga ia melihat permasalahan dari berberapa sudut pandang. Dari perilaku tersebut mebuat subjek menjadi lebih mampu dan yakin pada dirinya
Table 2.Faktor-Faktor Resiliensi Ketiga Subjek
Aspek-aspek resiliensi Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Regulasi emosi Subjek R merupakan seseorang yang mengelola emosinya dengan mengambil air wudhu untuk sholat, hal tersebut dilakukan untuk membuat dirinya lebih membuat hatinya menjadi lebih tenang. Dengan menenangkan dirinya sehingga subjek mampu berpikir dengan tenang sehingga mempermudah dirinya dalam menyelesaikan permasalahannya. Dari perilaku tersebut membuat subjek menjadi lebih tenang dan mampu menghadapi aktivitas selanjutnya dengan lebih baik. Subjek mengelola emosinya dengan cara tidak terlalu memikirkan masalahnya, subjek menenangkan pikirannya terlabih dahulu. Kemudian menyelesaikan aktivitasnya satu persatu, hal ini ia lakukan untuk tidak terlalu memforsir tenaganya sehingga akan lebih optimal dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Selain itu subjek juga pergi ke psikolog sehingga ia mampu menerima diri dan merasa lebih tenang. Subjek mengelola emosinya dengan memilih untuk beristirahat, rutin berlibur ataupun berbelanja. Hal tersebut digunakan untuk meminimalisir emosinya, dengan subjek mampu berisirahat dengan baik akan dapat mengembalikan energinya untuk menambah semangatnya dalam menjalani aktivitas yang akan dihadapinya. Selain itu subjek juga memilih untuk pergi berlibur dengan rutin agar tidak merasa jenuh dirumah.
Pengendalian impuls Subjek R merupakan seorang yang mampu menahan diri dari keinginan maupun dorongan dalam diri untuk segara memenuhinya. Dalam hal ini subjek masih dalam berusaha belajar tidak memaksa anaknya dan memahami anaknya. Subjek R mengolanya dengan mempertimbangkan kembali tindakan yang akan diambil, hal ini ia lakukan karena mempertimbangkan dampak yang didapat sebelum melakukannya sehingga ia mampu mampu mengontrol dirinya. Subjek B berusaha dapat mengontrol dan menahan dirinya dari keinginannya. Subjek mengontrolnya dengan mengutamakan memberikan batasan pada dirinya dalam melakukan suatu tindakan. Dengan begitu maka subjek dapat mengontrol dirinya serta memiliki emosi yang stabil sehingga dapat merespon dengan tepat masalah yang dihadapinya. Subjek “Z” mampu mengontrol keinginanya. Subjek mengelolahnya dengan mengatur pengeluarannya atau menyisihkan uangnya untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dengan mengatur pengeluarannya tersebut maka subjek mampu menahan dirinya dari dorongan keinginannya. Namun dalam merawat anak subjek selalu membatasi anaknya dalam beraktivitas selain itu ia juga subjek masih mengontrol dirinya untuk tidak membentak atau menggunakan nada tinggi pada anaknya untuk tidak melakukannya.
Optimisme Subjek “R” memiliki semangat untuk memperbaiki dirinya sendiri dengan melakukan kegiatan yang disukai, selain itu subjek juga mengekspresikannya dengan cara memberikan fasilitas yang memadai dan memenuhi kebutuhan anaknya sehingga dapat memunculkan energi keyakinan yang positif pada setiap kegiatan yang dilakukan untuk masa depannya Subjek B memiliki daya juang dalam meningkatkan kualitas dirinya dengan cara mengembangkan keyakinan yang dilakukannya. Dengan cara subjek berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya, dengan melihat perkembangan yang ditunjukkan anaknya menjadikannya lebih bersemangat baru yang muncul pada dirinya. Dengan energi dan keyakinan yang tinggi akan dapat meningkatkan semangatnya untuk melakukan yang lebih baik Subjek “Z” memiliki keyakinan dalam usahanya. Subjek merasa dengan melihat anaknya menjadi sebuah energi tambahan atau semangat baru pada dirinya. Sehingga dapat menumbuhkan keyakinannya menjadi lebih besar dalam melakukan kegiatannya.
Empati Pada subjek R merupakan pribadi yang aktif dalam bersosial meskipun dalam lingkungan baru subjek mampu beradaptasi dengan baik, hal ini terlihat subjek memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya. Baginya memililiki lingkungan yang baik sangat penting, karena dengan memiliki lingkungan sekitar yang baik maka akan mempermudah subjek untuk memperlebar relasinya. Subjek selalu berusaha menjaga relasi yang baik pada lingkungannya sehingga berdampak pada lingkungannya. Subjek B selalu berusaha melakukan kegiatannya secara mandiri, hal ini ia lakukan karena ia tidak ingin membebani orang lain. Dalam lingkungan sekitar subjek masih dalam proses mengembangkan dirinya dengan lingkungan sosialnya. Subjek “Z”memeiliki relasi pada lingkungan yang cukup baik, ia turut berpartisipasi mengikuti kegiatan dilingkungannya. Subjek berusaha menjaga relasi yang baik pada lingkungannya karena baginya dengan menjalin relasi yang baik akan merasa nyaman. Baginya dengan memiliki lingkungan yang rukun maka dapat menjalin hubungan dengan nyaman.
Analisis kausal Subjek mampu mampu memahami suatu permasalahannya. Subjek mengetahui cara terbaik untuk dirinya dalam memprediksi reisko yang akan dihadapinya. Subjek mampu memaknai permasalahan yang sedang terjadi dan mampu menyelesaikannya sendiri. Subjek mampu dalam menyelesaikan sebuah permasalahan dengan melihat sebuah permasalahan dari sebab maupun akibat yang akan diperolehnya. Sehingga setiap akan memutuskan sebuah permasalahan subjek akan mempertimbangkan sebuah keputusannya untuk menyelesaikan permasalhannya. Subjek mampu mengukur dirinya untuk dalam melakukan sebuah keputusan yang akan ditargetkannya. Subjek “Z”mampu menghadapi permasalhan yang dihadapinya dengan berpikir tenang. Dengan sikap tersebut maka subjek mampu mempertimbangkan dan melihat permasalahan yang dihadapnya dari sebab maupun akibat yang akan dihadapi nantinya. Selain itu subjek selalu memperkirakan sebelum menentukan keputusan yang akan ia ambil.
Efikasi diri Subjek R merupakan seorang yang yakin dalam menghadapi suatu permasalahan dengan beljar dari sebelumnya dan juga mempertimbambangkan masalahnya hingga menemukan solusi. Dengan cara tersebut subjek merasa tenang dalam menyelesaikan masalahnya sehingga ia mampu bertanggun jawab dalam menyelesaikan masalahnya Dalam menghadapi sebuah permasalahan yang terjadi subjek B memiliki keyakinan dalam dirinya untuk menyelesaikan dan mengahaapi permasalahan yang ada. subjek mempertimbangkan dampak sebelum melakukan sebuah keputusan yang akan diambilnya, sehingga subjek membuat keputusan dalam sebuah permasalahan dengan yakin. Keyakinan yang dimilikinya menjadikan subjek tidak merasa ragu dalam melahirkan keputusan sehingga bertanggung jawab dengan pilihannya bjek “Z” dalam menghadapi permasalahan yakni dengan menghadapinya dengan penuh keyakinan, subjek berusaha melakukan yang terbaik Ketika menghadapi masalahnya, kemudian subjek menyerahkan kepada allah. Subjek merasa yakin dalam menghadapi suatu permasalahan yang ada hal ini ditunjukkan dengan ia yang tidak ragu dan percaya diri dalam melakukan setiap aktivitas yang ia lakukan. Dengan kepercayaan diri yang tumbuh maka akan berdampak pada memunculkan keyakinan dalam dirinya dalam menghadapi masalahnya sehingga memiliki keyakinan dalam menyelesaikannya.
Reaching Out Subjek R merupakan individu yang mampu menerima, hal ini terlihat bahwa subjek tidak menghindari kegagalan melainkan mampu menghadapi masalah hal ini ditunjukkan subjek dengan cara melihat suatu permasalahan dari sisi positifnya dan memnsyukuri atas kejadian yang telah diberikan. Selain itu, subjek mengambil sisi positif dari permasalahn yang dihadapinya. Subjek B melihat sebuah kejadian dengan mengambil sebuah hikmah yang diperoleh. Subjek dapat belajar dari setiap permasalahan yang telah dilaluinya, hal tersebut dilakukan subjek untuk dapat menjadi pribadi yang mampu mensyukuri atas pemberian allah dan menjadi lebih baik. Subjek “Z” dapat memaknai permasalahn yang terjadi, ia mampu mnegambil sisi positifnya dari permasalahan yang telah dilaluinya. Selain itu ketika dihadapkan pada permasalhan ia memilih untuk berpikir positif hal ini ia lakukan agar mampu mensyukuri atas pemberian dari allah
Table 3.Aspek-Aspek Resiliensi Ketiga Subjek

Pembahasan

Memiliki seorang anak yang berbeda ASD (Autistic Spectrum Disorder) akan merasa terpukul, sedih, kebingungan, kaget, bahkan dapat mengalami stres saat mengetahui anaknya terdiagnosis gangguan ASD (Autistic Spectrum Disorder) dan mereka juga merasa tidak percaya atas realita yang ada [1]. Peran perempuan sebagai seorang ibu merupakan sumber stres itu sendiri dan stres itu akan semakin besar jika ibu memiliki anak penyandang cacat [14].

Untuk mampu menerima diri sebagai orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus ASD (Autistic Spectrum Disorder) membutuhkan kemampuan untuk bertahan pada situasi yang sulit. Mendefinisikan resiliensi sebagai kualitas yang dimiliki individu untuk bertahan, beradaptasi, dan berkembang ketika menghadapi keadaan yang sulit [10]. Sejalan dengan itu [15] mengartikan kemampuan untuk menghadapi, mengatasi, belajar, bahkan dapat berubah dari keadaan yang sulit yang pernah menimpa kehidupannya disebut dengan resiliensi. Untuk mampu menjadi kondisi yang resilien dibutuhkan tiga faktor pendukung yakni: I have, I am dan I can [15].

Faktor I have adalah perasaan mendapatkan dukungan dari orang sekitarnya. Seseorang yang memiliki I have maka efeknya akan memberikan perasaan aman pada dirinya. Hal tersebut terjadi pada ketiga subjek yang dipengaruhi dari dukungan keluarga dan lingkungan sekitar. Bagi subjek peratma dukungan yang diberikan oleh lingkungannya berpengaruh sehingga mampu menguatkan dirinya. Subjek kedua yang merasakan bahwa dukungan dari keluarganya membangkitkan dirinya dari keterpurukannya. Hal tersebut juga dirasakan dukungan sekitarnya dapat menenangkan dirinya dan membangkitkan energinya. Penerimaan juga terwujud dari dukungan kerabat intim, seperti keluarga dan pasangan hidup (suami atau istri).

Faktor kedua adalah sendiri. Hal serupa juga ditunjukkan pada ketiga subjek yang mendukung dirinya. Subjek R melakukan aktivitasnya dengan mandiri. Kemandiriannya mendorong diri subjek R menjadi mampu melakukan aktivitasnya dengan penuh keyakinan sehingga subjek mampu melangkahkan dirinya menjadi lebih baik. Subjek B seseorang mandiri dan merasa yakin setiap menjalani aktivitasnya, sehingga dapat meningkatkan energi positifnya. Sedangkan subjek Z memiliki kebiasaan untuk sholat malam umtuk menerima dan menenanngkan dirinya sehingga subjek lebih mampu dan meyakini pada dirinya dalam melakukan aktivitasnya.

Faktor I am akan terbentuk dan berdampak langsung pada ketiga subjek berupa kemampuan yang tersembunyi dari individu masing masing subjek. Apabila potensi tersebut terasah maka akan berdampak untuk mengantarkan menjadi seseorang yang resilien I Can. Potensi yang telah dilakukan oleh subjek R yakni mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, selain itu subjek mampu terbuka dalam menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk penyaluran emosinya. Hal serupa ditunjukkan pada subjek B juga memiliki komunikasi yang baik, sehingga meningkatkan keterampilannya dalam menjalin relasi dengan lingkungannya. Sedangkan subjek Z mampu menyampaikan pendapatnya sehingga akan mempermudah dirinya untuk menyampaikan infomasinya. Kemampuannya yang komunikatif mempermudah dirinya untuk menjalin sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Apabila tiga faktor tersebut dimiliki dengan konsisten, maka akan muncul beberapa aspek individu tersebut menjadi resiliensi. Proses regulasi emosi meliputi aspek memonitoring, mengevaluasi dan memodifikasi emosi [16]. Ketiga subjek memonitoring emosi dan menyadari perasaan masing-masing saat mengetahui kondisi anak, lalu mengelola dan memodifikasi emosi tersebut. Subjek I dan II mengelola emosi dibantu dengan sholat, sedangkan subjek 2 meminimalisir emosinya dengan tidak terlalu memikirkan masalah dan menghadapi satu persatu masalahnya dan subjek III meminimalisir emosinya dengan memilih rutin berlibur.

Aspek pengendalian impuls terlihat pada subjek R merupakan seorang yang mampu menahan diri dari keinginan maupun dorongan dalam diri untuk segara memenuhinya. Pada subjek B dapat mengontrol dan menahan dirinya dari keinginannya. Subjek mengontrolnya dengan mengutamakan memberikan batasan pada dirinya dalam melakukan suatu tindakan. Sedangkan Subjek “Z” mampu mengontrol keinginanya. Subjek mengelolahnya dengan mengatur pengeluarannya atau menyisihkan uangnya untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

Aspek ketiga yakni optimis, Individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada kegagalan, dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba kembali bila gagal. Seperti halnya pada subjek Subjek R memiliki daya juang dalam memperbaiki dirinya dengan melakukan kegiatan yang disukai, selain itu subjek juga mengekspresikannya dengan cara memberikan fasilitas yang memadai dan memenuhi kebutuhan anaknya. Hal serupa ditunjukkan juga pada subjek B memiliki daya juang dalam meningkatkan kualitas dirinya dengan mengembangkan keyakinan yang dilakukannya dan berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya. Sedangkan subjek Z juga memiliki daya juang yakni melakukan rutin mendatangi tempat terapi subjek memiliki harapan untuk kesembuhan anaknya. selain itu baginya dengan melihat anaknya menjadi sebuah energi tambahan atau semangat baru pada dirinya.

Individu yang memiliki empati, akan lebih terampil dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh serta mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain [14]. Hal ini tampak pada Pada subjek R dan Z merupakan pribadi yang aktif dan komunikatif dalam bersosial meskipun dalam lingkungan baru subjek mampu beradaptasi dengan baik. Namun pada Subjek B berusaha dalam mengembangkan relasinya, namun subjek dalam melakukan aktivitasnya selalu berusaha melakukan kegiatannya secara mandiri, hal ini ia lakukan karena ia tidak ingin membebani orang lain. Oleh karena itu, empati membantu untuk terciptanya hubungan sosial dan relasi yang lebih positif, sukses dan kompeten pada pertemanan remaja [16].

Efikasi diri merupakan pandangan seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengelola dan melakukan tindakan untuk mencapai keberhasilan [17]. Ketiga subjek memiliki keyakinan dalam menghadapi masalahnya, sehingga masing masing subjek memiliki daya juang yang tinggi dalam menghadapi masalhanya. Hal ini terlihat pada subjek pertama dan kedua yang selalu berusaha menghadapi permasalahannya dengan mempertimbangkan keputusannya hingga menemukn solusinya. Sedangkan subjek ketiga berusaha memberikan performa yang terbaik hngga terselesaikan masalah yang dihadapinya dan menyerahkan hasilya pada allah.

Aspek analisis kausal pada ketiga subjek mampu dalam menyelesaikan dan menghadapi masalah dengan memahami jalan yang terbaik untuk dirinya serta mampi memprediksi resiko uang akan dihadapinya dengan pertimbangan yang matang, sehngga hal ini dapat meningkatkan dirinya dari dan mampu menyelesaikan masalahanya dengan tepat. Ketiga subjek ini tidak pernah menyalahkan siapapun atas kondisi anak yang mereka terima. Mereka sudah berserah diri kepada Allah SWT atas apa yang dialami. Mereka percaya bahwa apa yang menjadi kehendak Allah SWT dalam keluarga kecilnya menjadikan mereka untuk percaya dan mampu menjaga anak mereka, karena Allah SWT memberi ujian kepada hambanya sesuai kemampuan.

Aspek reaching out pada ditunjukkan pada masing masing subjek yakni pada subjek R merupakan individu yang mampu menerima, hal ini terlihat bahwa subjek tidak menghindari kegagalan melainkan mampu menghadapi masalahnya. Subjek B melihat sebuah kejadian dengan mengambil sebuah hikmah yang diperoleh dan subjek dapat belajar dari setiap permasalahan yang telah dilaluinya. Subjek “Z” dapat memaknai permasalahn yang terjadi, ia mampu mnegambil sisi positifnya dari permasalahan yang telah dilaluinya. Ketiga subjek mampu menerima dan mengambil sebuah hikmah dari masalah yang telah dihadapi, selain itu ketiga subjek juga mampu mengambil dan melihat suatu permasalahan yang sedang terjadi dengan berpikir positif. Masing masing subjek mampu belajar dari permasalahan yang telah ia hadapinya sehingga dapat menjadi pribadi yang mampu mensyukuri atas pemberian allah.

Berdasarkan hasil pembahasan menunjukkan bahwa peran ibu yang juga bekerja tidak menghalangi ketiga subjek mampu mengurus rumah dan anaknya. ketiga subjek tidak merasa terbebani dalam proses baik mengurus anak maupun penerimaan dirinya sebagai ibu yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder), hal ini berkat dukungan keluarganya yang selalu membantunya dalam proses merawat anak. ibu bekerja yang optimis akan merasa yakin mampu menyelesaikan tuntutan perannya di ranah domestik dan publik, masalah yang terjadi dalam menjalankan satu perannya tidak mempengaruhi aktivitas peran lainnya, memandang positif bahwa setiap kesulitan bersifat sementara, sehingga ia tetap merasa tenang, tidak merasa terbebani, serta mampu menjalani tuntutan-tuntutan perannya dengan seimbang dan nyaman [18].

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan gambaran umum pada subjek R mempunyai lingkungan yang mendukung yang berasal dari lingkungan keluarganya ( I Have) dukungan yang diberikan menuntun subjek menjadi percaya diri dan meningkatkan semangat penuh harapannya ( I Am). Kondisi tersebut memberikan kekuatan dan harapan pada diri subjek R untuk mampu melangkah maju daripada sebelumnya, sehingga subjek R mampu mengasah dirinya menjadi mampu bangkit dari keterpurukannya (I Can).

Dinamika yang ditunjukkan subjek R dalam menghadapi permasalahan dan menyelesaikan masalah yakni meminimalisir perkataan dan perilaku negatif. Dalam membuat keputusan subjek memahami jalan terbaik untuk dirinya dan juga mampu memprediksi resiko yang akan dihadapinya dengan pertimbangannya yang matang.

Sedangkan pada subjek B mempunyai I have atau dukungan juga berasalah dari suport sistem keluarga dekat dan pasangannya yang berpengaruh pada diri dalam melakukan aktivitasnya lebih mandiri I am. Hal tersebut membuat subjek mampu menjadi pribadi perlahan untuk menjalin relasi dengan lingkungan sekitarnya (I Can).

Dalam menghadapi sebuah permasalahan yang terjadi subjek B memiliki keyakinan dalam dirinya untuk menyelesaikan dan mengahaapi permasalahan yang ada. subjek mempertimbangkan dampak sebelum melakukan sebuah keputusan yang akan diambilnya, sehingga subjek membuat keputusan dalam sebuah permasalahan dengan yakin. Subjek mampu mengukur dirinya untuk dalam melakukan sebuah keputusan yang akan ditargetkannya. Keyakinan yang dimilikinya menjadikan subjek tidak merasa ragu dalam melahirkan keputusan sehingga bertanggung jawab dengan pilihannya sehingga mampu menjalani aktivitasnya dan menerima masalah yang dihadapinya.

Subjek Z mempunyai I have atau dukungan juga berasalah dari keluarga dekat yang berpengaruh pada diri subjek menjadi tenang, subjek juga melakukan sholat malam hal ini mampu menengkan dirinya dan membangkitkannya dalam menghadapi masalah mampu dari sudut pandang lainnya (I am). Hal tersebut membuat subjek mampu menjadi pribadi perlahan untuk membangkitkan dirinya dari keterpurukannya sehingga mampu menjalin reasi dengan lingkungan sekitarnya (I Can).

Subjek “Z” dapat memaknai permasalahn yang terjadi, ia mampu mnegambil sisi positifnya dari permasalahan yang telah dilaluinya. Selain itu ketika dihadapkan pada permasalhan ia memilih untuk berpikir positif hal ini ia lakukan agar mampu mensyukuri atas pemberian dari allah. Dengan sikap tersebut menunjukkan bahwa subjek mampu dan menerima kondisinya saat ini.

Simpulan

Ketiga subjek mampu menerima kondisi anaknya. Berdasarkan temuan lapangan yang diperoleh bahwa ketiga subjek mampu dan bangkit dari kondisi sebelumnya menjadi lebih baik. Bahwa tidak semua subjek memiliki ketujuh aspek pada resiliensi, masing masing subjek memiliki dominansi yang berbeda. Hal ini karena adanya dukungan ataupun kemampuan proses penerimaan diri masih masing individu.

Subjek pertama R mampu menjadi pribadi yang resilien, yang mana ditunjukkan pada aspek yang mendominasi pada diri subjek diantaranya regulasi diri, optimis, empati, analisis kausal dan reaching out, namun aspek yang masih dikembangkan yakni efikasi diri. Dalam mencapai individu yang resilien dari segala aspek, dibutuhkan keterkaitan dari ketiga faktor dalam pemrosesan resiliensi pada subjek R yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder)salahsatunya yakni I have adalah dukungan yangdidaptkan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya yang dimiliki subjek R untuk meningkatkan kepercayaan diri dan penuh harapan (I am). Sehingga muncul potensi yang terpendam dan kemampuannya mengimplementasikan (I can) yang mengarahkan subjek R untuk mencapai tujuan menjadi pribadi yang resilien.

Sedangkan pada subjek kedua B aspek dominan yakni regulasi emosi, analisis kausal, efikasi diri, optimis dan reaching out. Namun terdapat aspek masih dikembangkan yakni pengendalian impuls dan empati.Dalam proses menjadi pribadi yang resilien, terdapat keterkaitan dari ketiga faktor dalam resiliensi yang terjadi pada subjek B I have atau dukungan juga berasal dari support system keluarga dekat dan pasangannya yang berpengaruh pada diri dalam melakukan aktivitasnya lebih mandiri I am. Hal tersebut membuat subjek mampu menjadi pribadi perlahan untuk menjalin relasi dengan lingkungan sekitarnya (I Can) sehingga mengantarkan subjek bertujuan menjadi pribadi yang resilien.

Sedangkan pada subjek kedua B aspek dominan yakni regulasi emosi, analisis kausal, optimis dan reaching out. Namun terdapat aspek yang masih dikembangkan yakni pengendalian impuls. Dalam proses untuk mampu menjadi seorang yang resilien. Dibutuhkan keterkaitan faktor resiliensi pada subjek Z mempunyai I have atau dukungan juga berasalah dari keluarga dekat yang berpengaruh pada diri subjek menjadi tenang, subjek juga melakukan sholat malam hal ini mampu menengkan dirinya dan membangkitkannya dalam menghadapi masalah mampu dari sudut pandang lainnya (I am). Hal tersebut membuat subjek mampu menjadi pribadi perlahan untuk membangkitkan dirinya dari keterpurukannya sehingga mampu menjadi pribadi yang resilien (I Can).

Saran untuk orangtua yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder) terutama ibu yakni agar mampu mengembangkan dan menjalin hubungan kedekatan diri dengan anak. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi kebutuhan perkembangan anak ASD (Autistic Spectrum Disorder), serta dapat meningkatkan penerimaan diri terhadap kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki sehingga dapat menciptakan hubungan interpersonal yang positif pada ibu dengan anak ASD (Autistic Spectrum Disorder).

Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya diharapkan mampu mengemabangkan dan mampu memperlebar dan mendalami metode kualitatid atau kuantitatif sehingga mampu mengetahui resiliensi ibu bekerja yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder) tidak hanya berfokus pada faktor dan aspek dalam pembentukan resiliensi. Diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih detail dan terperinci, sehingga dapat memberikan manfaat pada semua pihak.

References

  1. B. Edyta and E. Damayanti, “Gambaran Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Autis Di Taman Pelatihan Harapan Makassar,” J. Biotek, vol. 4, no. 2, pp. 211–230, 2016, doi: 10.24252/jbiotek.v4n2a2016.211-230.
  2. A. F. Sari, “Dinamika stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis,” 2019.
  3. C. P. D. C. Dewi and P. N. Widiasavitri, “Resiliensi ibu dengan anak autisme,” J. Psikol. Udayana, vol. 6, no. 01, p. 193, 2019, doi: 10.24843/jpu.2019.v06.i01.p19.
  4. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, “Hari Peduli Autisme Sedunia: Kenali Gejalanya, Pahami Keadaannya,” Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak, 2021. https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1682/hari-peduli-autisme-sedunia-kenali-gejalanya-pahami-keadaannya (accessed Sep. 19, 2021).
  5. P. Limilia and D. Prasanti, “Representasi Ibu Bekerja Vs Ibu Rumah Tangga Di Media Online: Analisis Wacana pada Situs Kompasiana.Com,” Kafa`ah J. Gend. Stud., vol. 6, no. 2, p. 133, 2016, doi: 10.15548/jk.v6i2.140.
  6. J. Rizky and M. B. Santoso, “Faktor Pendorong Ibu Bekerja Sebagai K3l Unpad,” pp. 158–164, 2018.
  7. E. H. Rizky, “Proses Pembentukan Resiliensi Pada Ibu Yang Memiliki Anak Penyandang Down Syndrome,” Universitas Pendidikan Indonesia, 2016.
  8. N. R. (2018) Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, “No Title,” . Proses Menjadi Tangguh Bagi Ibu yang Memiliki Anak dengan Gangguan Spektrum Autis. Humanit., p. 15, 2018.
  9. W. Hendriani, “No Title,” Resiliensi psikologis sebuah pengantar, 2018, [Online]. Available: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26975693/.
  10. N. Hermawati, “Resiliensi Orang Tua Sunda yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus,” J. Psikol. Islam dan Budaya, vol. 1, no. 1, pp. 67–74, 2018, doi: 10.15575/jpib.v1i1.2345.
  11. V. Missasi and I. D. C. Izzati, “Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi,” Pros. Semin. Nas. Magister Psikol. Univ. Ahmad Dahlan, no. 2019, pp. 433–441, 2019.
  12. M. S. Rahma and E. S. Indrawati, “Pengalaman Pengasuhan Anak Down Syndrome ( Studi Kualitatif Fenomenologis Pada Ibu Yang Bekerja ),” vol. 7, no. Nomor 3, pp. 223–232, 2017.
  13. N. Ali and A. D. Ariana, “No Title,” Hub. antara Resiliensi dan Stress Pengasuhan pada Ibu dengan Anak GSA (Gangguan Spektrum Autism) di UPTD Anak Berkebutuhan Khusus Sidoarjo NIHAYAH, no. 1995, 2021.
  14. N. Astria and I. Setyawan, “Studi Fenomenologi Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Dengan Autisme,” Empati, vol. 9, no. 1, pp. 27–46, 2019.
  15. E. Grotberg, “A guide to promoting resilience in children: Strengthening the human spirit. Washington DC, America: Bernard van Leer Foundation,” 1995.
  16. S. Halimah and Farida Hidayati, “Regulasi Emosi Peran Ibu Dari Anak Sindrom Down : Penelitian Kualitatif Fenomenologis pada Ibu dari Anak dengan Sindrom Down,” vol. 4, no. 1, pp. 161–167, 2015.
  17. Y. M. Solihati, “Hubungan Efikasi Diri Pengasuhan Terhadap Kecemasan Orangtua Anak Dengan Autisme,” vol. 14, no. 1, pp. 40–44, 2021.
  18. C. Marisa, E. Fitriyanti, and S. Utami, “Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Motivasi Belajar Remaja,” J. Konseling dan Pendidik., vol. 6, no. 1, p. 25, 2018, doi: 10.29210/118700.