Abstract
A single parent is a parent who alone raises their children without the presence, support or responsibility of their spouse. Mothers must play a major role in the growth and development of children, because mothers are the first teachers who can have a very big influence on their children. Being a single parent with teenage children is a great gift entrusted by the creator, having teenage children means having a big responsibility in guiding them to adulthood. This study aims to describe the model of single mother parenting. The subjects in this study consisted of 2 single mothers, the sample in this study used the snowball sampling technique and met the following criteria: 1) single mothers 2) domiciled in Taman, Sidoarjo. This study uses qualitative research methods with a case study approach. The data collection technique used by the researcher is interviews. The results of this study stated that the two subjects applied the democratic parenting model to their teenage children..
Highlights:
- Single-parenting challenges: The study focuses on the unique experiences and challenges faced by single mothers in raising their teenage children alone.
- Democratic parenting: The research highlights the application of the democratic parenting model by single mothers as an effective approach in guiding their teenage children.
- Qualitative case study: The study employs qualitative research methods, using interviews as the primary data collection technique, to gain in-depth insights into the experiences and parenting practices of the single mothers in the sample.
Keywords: single parent, teenage children, democratic parenting, qualitative research, case study
Pendahuluan
Perkawinan dalam islam mempunyai arti dan makna yang sangat religious karena dalam islam perkawinan bukan hanya mnegenai sah atau tidaknya suatu hubungan akan tetapi lebih daripada itu. Perkawinan ialah suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah sah atau halal menjadi sepasang suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga [1]
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang membahas mengenai perkawinan mengatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal, sakinah mawadah warahmah.
Perkawinan bertujuan untuk membina kehidupan manusia secara rukun, tentram dan juga bahagia. Dengan hidup saling mencintai, menyayangi antara suami istri serta anak-anak maka akan tercipta keluarga yang sejahtera. Kerukunan serta keharmonisan dalam rumah tangga sangat dibutuhkan oleh anak-anak. Hal ini disebabkan karena keluarga merupakan satu-satunya lingkungan alami yang dapat dijadikan tempat untuk mendidik anak dengan baik dan benar, baik secara pendidikan jasmani ataupun pendidikan secara rohani [2].
Dalam mencapai keluarga yang bahagia terdapat peran yang dilakukan dari masing-masing anggota keluarga. Namun demikian, banyak sekali keluarga yang gagal dalam menciptakan keharmonisan keluarganya sehingga mengarah pada munculnya perceraian [3]. Dampak dari peceraian sendiri dapat menimbulkan berbagai permasalahan, seperti permasalahan hubungan kekeluargaan menjadi renggang serta kesejahteraan psikologis yang dialami oleh anak-anak [4].
Selama beberapa tahun terakhir, kasus perceraian menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan. Hal tersebut bisa dilihat pada diagram dibawah ini.
Grafik diatas menunjukkan bahwa angka perceraian yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan, kasus perceraian yang paling banyak diperoleh dari kasus cerai gugat atau cerai yang diajukan oleh pihak istri [5].
Peristiwa perceraian yang tinggi di Indonesia tidak hanya terjadi di beberapa provinsi tetapi hampir mencakup keseluruhan provinsi di Indonesia. Tiga provinsi dengan angka perceraian tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah [6].
Berdasarkan data 34 provinsi yang ada di Indonesia, tingkat perceraian Jawa Timur merupakan yang paling tinggi dengan sumbangan sebesar 47% dari total perceraian di Indonesia. Data menunjukkan bahwa Jawa Timur memiliki kasus yang paling tinggi di Indonesia, dari tahun 2012-2016 tercatat sebanyak 91.449, 85.484, 89.406, 87.149, dan 86.491 kasus [7].
Dari banyaknya kasus perceraian yang terjadi maka muncullah orangtua-orangtua tunggal yang mengasuh anak-anak mereka. Berdasarkan penelitian Aprilia menyatakan bahwa orangtua tunggal ialah seseorang yang memegang kendali atau tanggung jawab untuk melindungi, serta merawat anaknya seorang diri. Orangtua tunggal juga turut membimbing anak-anaknya seorang diri tanpa adanya pasangan dalam jangka waktu yang relative lama serta permanen [8].
Pada penelitian yang dilakukan oleh Roini mengatakan bahwa orangtua memiliki peran yang sangat besar terutama bagi seorang ibu. Peran ibu yang sangat besar inilah sangat berpengaruh dalam tumbuh kembang anak-anaknya, karena ibu merupakan madrasah pertama atau guru pertama yang dapat memberi pengaruh sangat besar terhadap anak-anaknya [9].
Ibu yang memperlakukan anak dengan baik akan membentuk kesan yang baik pula kepada anak mengenai lingkungannya, selain itu perlakuan positif yang diberikan ibu kepada anak juga dapat berpengaruh terhadap sikap positif yang dimiliki anak. Jika anak memiliki pribadi dan juga sikap yang positif, anak akan mampu mengeksplorasi lingkungan secara optimal. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap perilaku, emosi, sosial, kognitif serta kepribadian anak [10].
Terdapat beberapa penelitian yang mengatakan bahwasanya kehangatan dan afeksi yang diberikan ibu pada anak akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak di periode selanjutnya [10]. Menjadi orangtua tunggal yang memiliki anak usia remaja merupakan sebuah anugrah yang sangat besar yang diberikan oleh sang pencipta kepada hambanya, memiliki anak yang memasuki usia remaja artinya orangtua memiliki tanggung jawab yang besar dalam membimbing anak tersebut menuju masa dewasa.
Menurut Hurlock menjelaskan masa remaja ialah masa yang sangat potensial, akan tetapi pada masa ini juga mengalami masa ketidakpastian karena remaja mengalami perubahan fisik, psikologis dan sosial yang tumbuh dari anak-anak hingga dewasa [11]. Perubahan tersebut dimulai dari rentang usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada usia sekitar 18 hingga 22 tahun [12].
Penelitian yang dilakukan oleh Hidayati mengatakan bahwa pasca perceraian orangtua dampak psikologis yang dialami remaja ialah kesepian, emosi yang tidak stabil seperti mudah marah [13]. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi & Soekandar yang menyatakan meskipun anak remaja telah mampu memahami kondisi perceraian dari orangtuanya, mereka akan tetap akan merasakan frustasi. Tidak sedikit dari anak remaja yang orangtuanya bercerai, akhirnya beralih mengonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang, terlibat kenakalan serta perilaku agresif. Hal tersebut mereka lakukan sebagai bentuk rasa frustasi yang mereka rasakan akibat dari percerain kedua orangtuanya [14]
Pada dasarnya anak yang lahir kedunia pasti membutuhkan pola asuh yang tepat dari kedua orangtuanya, terlepas dari permasalahan yang terjadi pada kedua orangtuanya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wulandari mengatakan terdapat faktor-faktor internal yang mempengaruhi pola asuh orangtua pada anak, seperti pengalaman masa lalu, kepribadian orangtua, nilai-nilai agama yang dianut orangtua serta komunikasi [15]. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hos, Juhardin & Roslan terdapat pula faktor eksternal yang mempengaruhi pola asuh orangtua kepada anak, seperti tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan jumlah anak [16].
Pola asuh ialah sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya untuk menciptakan emosi serta komunikasi antara orangtua dengan anak. Menurut Adawiah pola asuh sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Sikap positif orangtua sangat dibutuhkan bagi tumbuh kembang anak, karena pada dasarnya anak-anak akan melakukan modeling dari lingkungan terdekatnya [17]. Keterbukaan antara orangtua dan anak penting dilakukan agar anak terhindar dari pengaruh buruh di luar lingkungan rumah.
Menurut Wulandari mengatakan terdapat 3 aspek pola asuh orangtua, yaitu warmth (kehangatan), control (pengaturan), dan communication (komunikasi) [15]. Menurut Hurlock pola asuh orangtua dibagi menjadi tiga macam, antara lain pola asuh demokratis, pola asuh otoriter, dan pola asuh permisif[18].
Pola asuh yang diberikan setiap orangtua akan membentuk bagaimana kepribadian seorang anak, dalam pemberian pola asuh nantinya akan menjadi suatu perkembangan psikis pada diri individu untuk membentuk kepribadian yang berkarakter. Pada dasarnya karakter bukanlah genetic seperti kepribadian yang akan tumbuh begitu saja, akan tetapi karakter perlu dibina, di bangun serta dikembangkan dengan baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriana anak yang orangtuanya bercerai akan cenderung memiliki beberapa permasalahan seperti masalah akademik, masalah eksternal yang berkaitan dengan kenakalan remaja, masalah internal serta permasalahan sosial [19] .
Dampak fisik dan psikologis yang terjadi akibat dari perceraian bukan hanya dirasakan oleh kedua belah pihak saja, akan tetapi anak-anak juga akan terkena dampak dari perceraian tersebut. Anak yang berasal dari orangtua bercerai akan memiliki perkembangan yang berbeda dengan anak yang berasal dari orangtuanya tidak bercerai, terlebih lagi jika anak tersebut belum mampu menerima perceraian yang terjadi pada orangtuanya, anak akan cenderung merasa tidak disayangi atau bahkan benci kepada orangtuanya. Dampak dari perceraian juga berpengaruh terhadap kehidupan anak sehari-hari, anak akan menutup diri, pemarah, dll.
Dari permasalahan yang terjadi pada subjek dan beberapa hasil yang telah ditemukan dari penelitian sebelumnya, peneliti akhirnya memilih untuk mengangkat judul mengenai “Analisis Pola Asuh Ibu tunggal”.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, bertujuan untuk mengetahui model pola asuh yang digunakan oleh ibu tunggal. Subjek dalam penelitian ini ialah ibu tunggal yang disebabkan karena perceraian yang berdomisili di kecamatan taman, kabupatenn Sidoarjo. Sampel penelitian pada penelitian ini menggunakan teknik sampling snowball. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara subjek primer, significant others, dengan teknik triangulasi.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Setelah menjabarkan dengan menuliskan deskripsi penemuan dari hasil wawancara, selanjutnya peneliti akan melakukan analisis data dari kedua subjek untuk mempermudah melihat hasil penelitian secara keseluruhan.
Faktor Internal Pola Asuh Ibu Tunggal | Subjek I | Subjek II |
Pengalaman Masa Lalu | Pola asuh yang diberikan subjek kepada anak-anaknya berbeda dengan pola asuh yang ia dapatkan dari ibunya, meskipun ibu subjek memiliki background single mother sama seperti dirinya tetapi tidak ada persamaan dalam pemberian pola asuh antara subjek dengan orangtua subjek. | Pola asuh yang subjek berikan kepada anak-anaknya memiliki kesamaan dengan pola asuh yang ia dapatkan dari kedua orangtuanya. Orangtua subjek mendidik subjek dengan cara tegas begitu juga dengan pola asuh yang subjek berikan kepada anak-anaknya yaitu memberikan pola asuh dengan tegas. Hanya saja dalam pemberian pola asuh orangtua laki subjek (bapak) lebih keras dalam mendidik anak-anaknya |
Kepribadian | Ketika subjek dihadapkan pada permasalahan ia tetap berusaha menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya dan ia selalu menayakan mengenai penyebabnya terlebih dahulu sebelum anak-anaknya bercerita, karna subjek selalu mengatakan kepada anak-anaknya jika memiliki masalah untuk bercerita kepada keluarga. Ketika subjek dihadapkan pada permasalahan contohnya kasus perceraiannya, subjek awalnya akan menyimpan sendiri namun ketika masalah tersebut sudah ia lewati subjek akan bercerita kepada orang-orang terdekatnya. | Ketika subjek dihadapakan pada permasalahan yang sifatnya privasi atau masalah mengenai pribadinya subjek cenderung tertutup dan tidak bercerita kepada siapapun, namun apabila ia dihadapkan dengan permasalahan yang sifatnya pantas untuk diceritakan ia akan bercerita kepada anak-anaknya dan juga orang terdekatnya. Subjek juga selalu meminta waktu untuk sendiri ketika ia sedang dihadapkan pada permasalahan |
Nilai-Nilai Agama Yang Dianut Orangtua | Subjek mengatakan bahwa agama merupakan hal nomer1 yang harus ditanamkan kepada anak-anaknya, cara sujek agar anak-anaknya agama lebih dalam ialah dengan cara memondokkan anak-anaknya. Subjek juga selalu mengajarkan kepada anaknya bahwa segala sesuatu harus melibatkan ALLAH, sehingga ketika kita mendapatkan apa yang tidak sesuai dengan keinginan kita tidak kecewa dan selalu berfikit positif bahwa hal tersebut memang bukan rezekinya | Subjek mengatakan bahwa agama merupakan hal nomer 1 yang harus ditanamkan kepada anak-anaknya, karena agama merupakan modal dasar anak-anak nantinya menjalani hidup. |
Waktu Komunikasi | Subjek selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul dengan anak-anaknya dengan cara-cara yang sederhana seperti melihat tv bersama, tidur-tiduran sambil cerita-cerita | Waktu yang subjek miliki selain untuk berjualan juga full untung anak-anak, biasanya ketika anak-anaknya sedang santai di dalam kamar subjek berusaha untuk masuk dan berkumpul dengan anak-anak sekedar untuk bertanya bagaimana hari ini dan cerita-cerita santai |
Faktor Eksternal Pola Asuh Ibu Tunggal | Subjek I | Subjek II |
Tingkat Sosial Ekonomi | Pasca perceraian dampak yang terjadi secara signifikan ialah mengenai finansial, menjelang perceraina subjek sudah mulai berjualan dan terus dilanjutkan sampai pasca perceriana terjadi, hanya saja pasca perceraian subjek juga merangkap menjdi ART di 3 rumah. Subjek juga mengatakan bahwa ia pernah sampai tidak bisa mencukupi apa yang diinginkan anak-anaknya | Dampak yang terjadi pada subjek secara signifikan salah satunya ialah mengenai ekonomi atau finansial. Pasca perceraian terjadi subjek harus berjualan dengan cara membuat kue lalu menitipkan pada toko-toko, selain itu subjek juga membuka catering di rumah orangtuanya. Subjek mengatakan bahwa ia tidak pernah sampai tidak bisa memenuhi apa yang diinginkan anak-anaknya, karena subjek terbantu dengan SPP sekolah anak-anaknya yang saat itu gratis sehingga hasil ia berjualan hanya digunakan untuk kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya |
Tingkat Pendidikan | Tingkat pendidikan subjek adalah lulusan SMA | Tingkat pendidikan subjek adalah lulusan SMA |
Jumlah Anak | 2 orang, 1 perempuan dan 1 laki-laki | 2 orang perempuan |
Jenis Pola Asuh Ibu Tunggal | Subjek I | Subjek II |
Pola Asuh Otoriter | Subjek berusaha untuk tidak main tangan ketika ada masalah dengan anak-anaknya, salah satu alasan subjek tidak mau melakukan itu dikarenakan penyebab terjadinya perceraiannya ialah KDRT sehingga subjek tidak ingin apabila anak-anaknya memilik trauma. Akan tetapi subjek pernah mengunci anaknya di dalam kamar mandi ketika anaknya berbohong | Subjek mengatakan bahwa ia tidak pernah mendidik anak-anaknya dengan cara memukul, menurut subjek dengan diberi pengertian insyaallah anak akan menurut |
Pola Asuh Demokratis | Subjek mendidik anak-anaknya dengan cara tegas dan lembut. Ia selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya tetapi tetap dalam pantauannya, subjek juga mengatakan bahwa ia tidak pernah memaksa sang anak untuk mengikuti apa yang diinginkannya, subjek selalu mengajak anak diskusi dan mengembalikan kepada anaknya selama hal-hal yang dilakukan oleh anak-anaknya positif subjek akan selalu mendukung. Subjek juga mengatakan ketika sang anak telah memilih atau membuat keputusan, ia harus menyelesaikannya sampai tuntas dan harus menerima apapun konsekuensi yang terjadi | Subjek mendidik anak-anaknya dengan cara nyantai dan tegas, subjek juga memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk melakukan apapun yang diinginkannya selama hal tersebut baik untuk anaknya dan juga subjek. Subjek berusaha untuk selalu mendengarkan apapun yang anak-anak ceritakan kepadanya, serta subjek juga mengatakan bahwa meskipun ia telah menjadi single mother ia tetap berusaha untuk tetap memberikan kasih sayang selayaknya rumah tangga yang masih utuh kepada anak-anaknya. Selain itu subjek selalu mengajak anak-anaknya untuk berdiskusi apapun itu, selain permasalahan pribadinya |
Pola Asuh Permisif |
Aspek Pola Asuh Ibu Tunggal | Subjek I | Subjek II |
Warmth (Kehangatan) | Subjek mengatakan bahwa ia selalu terlibat dengan anak-anaknya, ia juga tidak jarang memberikan sentuhan kasih sayang fisik serta memuji ketika anak-anaknya berhasil melakukan sesuatu. Subjek juga menyuruh anak-anaknya untuk selalu bercerita kepadanya ketika sedang dihadapkan permasalahan, maka dari itu ketika anak-anaknya bercerita kepada subjek, subjek berusaha untuk selalu menjadi pendengar yang baik bagi anak-anaknya. Ketika anak-anak berhasil melakukan sesuatu subjek selalu memberikan pujian serta semangat dan mengatakan untuk mengembalikan segala sesuatunya ke ALLAH | Subjek berusaha untuk dekat dengan anak-anaknya dengan cara selalu menyempatkan waktu unuk sekedar mengobrol dengan anak-anaknya dan mendengarkan cerita anak-anaknya. Subjek juga mengatakan bahwa sebagai single mother ia harus tetap memberikan kasih sayang full kepada anak-anak dengan anak-anak sehingga anak-anak tidak merasa kekurangan mendapatkan kasih sayang. Selain itu subjek juga selalu memberikan sentuhan fisik kepada anaknya terutama ketika hendak membangunkan tidur, ketika anak-anak berhasil melakukan sesuatu atau mendapatkan prestasi, subjek memberikan pujian dan memberikan semangat untuk terus sukses dan jangan menjadikan perceraian orangtua menjadi penghambat kesuksesan |
Control (Pengaturan) | Aturan yang dibuat oleh subjek untuk anak-anaknya ialah mengenai batas jam pulang ketika anak-anaknya sedang berada diluar rumah, aturan tersebut ia buat tanpa adanya dikusi antara ia dengan anak-anaknya. Hanya saja subjek mengatakan bahwa aturan tersebut tidak terlalu konsisten, subjek melihat dulu kepentingan keluarnya karna apa, jika anaknya keluar untuk bermain maka sebelum jam 9 harus sudah dirumah tetapi apabila urusan kampus boleh melebihi jam | Subjek mengatakan bahwa ia membuat aturan mengenai jam pulang ketika anak-anaknya sedang berada di luar rumah, aturan tersebut dilaksanakan sangat konsisten dan tidak ada negosiasi mengenai kelonggaran jam pulang. Apabila sudah melewati jam pulang dan anak-anaknya belum pulang, maka tidak jarang subjek langsung menjemputnya |
Communication (Komunikasi) | Subjek memberikan kebebasan kepada ank-anaknya dalam memutuskan suatu hal, akan tetapi subjek tetap memberikan konsekuensi untuk menyelesaikan apa yang telah dipilih, subjek juga selalu melakukan komunikasi ketika anak-anaknya berbuat kesalahan, subjek berusaha untuk tetap mendengar apapun yang dikatakan anak meskipun anak salah. Subjek juga menekankan kepada anak-anaknya untuk selalu bercerita kepada keluarga apabila sedang memiliki masalah | Subjek memiliki komunikasi yang baik dengan anak, ia juga kerap memberikan perhatian kepada anak-anaknya melalui pelukan serta ciuman, dan juga memberikan kebebasan kepada anaknya agar mereka dapat mengaktualisasikan diri anak. |
Pembahasan
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa gambaran model pola asuh yang diterapkan oleh kedua subjek ialah menggunakan model pola asuh demokratis. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani & Aprianti bahwa pola pengasuhan yang paling banyak digunakan oleh ibu tunggal adalah pola pengasuhan demokratis, dimana dalam pengasuhan ini ibu tunggal mengajarkan untuk mandiri dan bertanggung jawab, ibu mengikut sertakan anak dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan anak, memberi dukungan penuh kepada anak dan anak tidak mendapatkan hukuman, melainkan dinasehati [20].
Penelitian yang dilakukan oleh Faizah & Zaini mengatakan bahwa pola asuh demokratis berperan sangat penting bagi perkembangan remaja terkhusus dalam perkembangan kebribadian yang akan membentuk seorang remaja untuk menemukan jati dirinya. Pentingnya orang tua memahami pola asuh adalah agar dalam masa perkembangan dari masa anak - anak hingga remaja diharapkan mampu membentuk anak menjadi pribadi yang positif, bertanggung jawab serta penuh dengan kehangatan[22].
Bentuk-bentuk pola asuh demokratis yang digunakan oleh kedua subjek ialah dengan tetap memberikan kebebasan kepada anak-anaknya tetapi tetap dalam pantauan orangtua. Kedua subjek selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya terutama hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan anak seperti keputusan untuk memilih sekolah, kegiatan yang akan yang diikuti anak, dsb.
Kedua subjek mengizinkan anak-anaknya untuk memilih apapun yang diinginkannya selama hal tersebut baik untuk anak serta untuk subjek, meskipun anak-anak dibebaskan untuk memilih apapun yang diinginkannya, subjek tetap memberikan tanggung jawab kepada anak-anaknya untuk menyelesaikan hingga selesai apapun yang menjadi pilihan anak serta menerima konsekuensi apapun yang terjadi.
Selain itu kedua subjek selalu melibatkan anak-anaknya untuk berdiskusi mengenai apapun permasalahan yang terjadi pada subjek, sifat subjek yang selalu hangat kepada anak-anaknya ini juga membuat anak-anak selalu bercerita kepada subjek ketika anak-anak sedang dihadapkan pada permasalahan. Dalam pemberian pola asuh, kedua subjek tidak pernah sampai main tangan ataupun memberikan hukuman baik secara fisik maupun verbal kepada anak-anaknya. Hal tersebut dikarenakan background permasalahan KDRT yang terjadi pada kedua subjek sehingga mengakibatkan perceraian terjadi.
Pendekatan berdasarkan tinjauan dari teori psikoanalisis ialah salah satu reaksi umum yang terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi stress ialah kemarahan yang memungkinkan akan menimbulkan agresi. Apabila background permasalahan KDRT tersebut dikaitkan dengan pola asuh yang akan diberikan oleh ibu kepada anak, ibu cenderung akan menggunakan pola asuh otoriter, hal tersebut dikarenakan perilaku kekerasan yang diberikan suami kepada istri akan menjadikan istri stress.
Apabila istri tidak mampu mengekspresikan stress atau agresivitas yang ia dapatkan dari suami, maka istri akan melakukan displacement atau memindahkan objek stress dari suami kepada anaknya. Selain pola asuh otoriter ada kecenderungan ibu juga menggunakan pola asuh permisif, hal tersebut dikarenakan perilaku yang didapatkan dari suami membuat ibu memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya [23].
Jika dilihat dari hasil penelitian, kedua subjek tidak memilih kedua pola asuh tersebut, melainkan memilih pola asuh demokratis. Nilai spiritual dan pendidikan yang dimiliki kedua subjek menjadi penyebab kedua subjek menerapkan pola asuh demokratis kepada anak-anaknya. Penelitian yang dilakukan oleh Rosmarin, Krumrei&Andersson menjelaskan bahwa ketika agama menjadi salah satu aspek yang penting dalam hidup serta memiliki keyakinan dasar yang positif maka mereka akan jarang khawatir, jarang cemas serta memiliki gejala stres yang rendah [12].
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rohim mengatakan bahwa spiritualitas memiliki hubungan dengan menajamen stress, hal tersebut dikarenakan ketika seseorang memiliki nilai spritualitas yang baik dalam hidupnya maka ia akan memiliki cara yang baik pula dalam mengontrol dirinya serta akan memandang permasalahan yang terjadi menjadi suatu hal yang berfungsi sebagai bahan dalam introspeksi diri guna memperbaiki kehidupan mereka kearah yang lebih baik [24]. Hal tersebut yang menyebabkan kedua subjek menerapkan pola asuh demokratis kepada anak-anaknya.
Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi kedua subjek dalam pemberian pola asuh, antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang nampak pada kedua subjek ialah ialah pengalaman masa lalu, kepribadian, nilai agama serta waktu komunikasi. Perlakuan atau didikan yang subjek dapatkan dari orangtua membuat subjek memberikan pola asuh yang serupa kepada anak-anaknya,
Penjelasan diatas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari yang mengatakan bahwa perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya mencerminkan perlakuan yang mereka dapatkan dari kedua orangtuanya dahulu [15]. Ketika subjek dihadapkan pada permasalahan subjek selalu menceritakan kepada orang-orang terdekatnya termasuk anak-anaknya, subjek juga mengatakan kepada anak-anaknya untuk selalu bercerita kepadanya apabila sedang dihadapkan dengan permasalahan. Kedua subjek selalu menyediakan waktu yang ia miliki untuk sekedar berkumpul dan cerita-cerita dengan anak-anaknya. Hal tersebut ia lakukan karena ia ingin anak-anaknya tetap dalam pantauannya, selain menyediakan waktu untuk anak-anaknya. Kedua subjek mengatakan bahwa mereka sangat mengedepankan penanaman nilai-nilai agama pada anak.
Sedangkan faktor eksternal yang nampak pada kedua subjek tingkat sosial ekonomi serta pendidikan yang dimiliki. Kedua subjek mengatakan bahwa pasca perceraian mereka harus berjualan agar tetap mampu mencukupi kebutuhannya serta kebutuhan anak-anak.
Penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa faktor internal dan faktor eksternal memiliki pengearuh dalam pemberian pola asuh orangtua keoada anak. Selain itu dari penjelasan diatas terlihat bahwa kedua subjek dapat menjadi sistem pendukung yang baik bagi anak-anaknya dengan cara selalu menyediakan waktu untuk berkomunikasi dan menjadi pendengar yang baik untuk anak.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adawiah yang mengatakan bahwa keterbukaan antara orangtua dan anak menjadi hal penting agar dapat terhindar dari pengaruh negatif yang ada di luar lingkungan keluarga [17]. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian pola asuh terdapat 3 aspek pola asuh ibu tunggal. Menurut Wulandari terdapat 3 aspek pola asuh ibu tunggal, yaitu: warmth (Kehangatan), control (pengaturan) dan communication (komunikasi) [15]. Warmth (kehangatan) ditandai dengan adanya kasih sayang dan keterlibatan emosi antara orangtua dengan anak Selain itu memberi dukungan yang ditunjukan dengan keterlibatan diri pada anak dan mendengarkan anak.
Pada kedua subjek terlihat bahwa ia memiliki keterlibatan emosi yang baik kepada anak ia selalu mendengarkan apapun yang anak sampaikan. Sentuhan fisik yang selalu subjek berikan kepada anak-anaknya membuat hubungan antara ia dengan anak-anaknya sangat hangat, meskipun telah menjadi single mother hal tersebut tidak menjadi alasan berkurangnya kasih sayang yang ia berikan kepada anak-anaknya.
Control (pengaturan) ditandai dengan orangtua menerapkan cara disiplin kepada anak yang dilakukan secara konsisten. Dalam hal ini untuk mentaati aturan sosial dengan memberikan penjelasan mengapa prilaku tertentu tidak diharapkan atau tidak diinginkan bahkan diperbolehkan. Pada kedua subjek mereka membuat aturan mengenai jam pulang ketika anak-anak sedang berada di luar rumah. Pada kedua subjek aspek Control (pengaturan) yang tampak ialah mengenai aturam jam pulang ketika anak-anaknya sedang berada diluar rumah, aturan tersebut subjek buat dengan sepihak yang artinya tidak mendiskusikan terlebih dahulu kepada anak-anaknya.
Pada aspek Communication (komunikasi) ditandai dengan orangtua memberikan penjelasan kepada anak mengenai standar atau aturan serta reward atau punish yang dilakukan kepada anak. Dalam hal ini orangtua diharapkan mampu untuk menumbuhkan kepercayaan diri kepada anak dengan memahami kemampuanya dan mengupayakan mengembangkan diri mereka. Aspek communication (komunikasi) yang tampak pada kedua subjek ialah kedua subjek memiliki komunikasi yang sangat baik dengan anak-anaknya, hal tersebut terlihat ketika subjek selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam mengambil keputusan dan memberikan tanggung jawab kepada anaknya ketika telah memilih keputusan.
Penelitian ini tidak terlepas dari sejumlah keterbatasan yang diketahui melalui pengamatan dalam sepanjang jalannya penelitian. Ada beberapa factor yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini yaitu, hanya menggunakan pengambilan data berupa wawancara dari subjek primer dan significant other yang minim, belum menggunakan penambahan data lainnya yang dapat diperoleh dari media sosial. Dikarenakan subyek dalam penelitian ini tidak menggunakan media sosial secara aktif jadi peneliti memutuskan untuk tidak mengambil data dari media sosial tersebut. Kriteria penentuan subyek penelitian kurang spesifik, semestinya menggunakan pertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan makan peneliti dapat memberikan kesimpulan sebagai. Model pola asuh yang digunakan oleh ibu tunggal yang memiliki anak usia remaja ialah pola asuh demokratis. Bentuk pola asuh demokratis yang dilakukan subjek ialah, subjek selalu melibatkan anak dalam segala hal baik yang berkenaan dengan anak maupun dengan keluarga, subjek memberikan kebebasan kepada anak sesuai dengan keinginannya tetapi tetap dalam pengawasan orangtua, memberikan dukungan penuh kepada anak dengan selalu menyediakan waktu untuk anak.
Faktor internal yang berpengaruh pada subyek penelitian ini ialah pengalaman masa lalu, kepribadian orangtua, nilai agama yang dianut dan waktu komunikasi. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh pada subjek penelitian ini yaitu tingkat sosial ekonomi serta tingkat pendidikan. Terdapat 3 aspek pola asuh ibu tunggal yang turut mendasari pemberian pola asuh ibu tunggal kepada anak, yaitu aspek warmth (kehangatan), control (pengaturan) serta communication (komunikasi). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa model pola asuh ibu tunggal yang memiliki anak usia remaja ialah model pola asuh demokratis.
References
- M. Junaidi and N. . Syahida, “Fenomena Pernikahan Dini di Desa Loloan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara,” JIAP (Jurnal Ilmu Adm. Publik), vol. 7, no. 1, pp. 34–43, 2019.
- M. Yusuf, “Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Anak,” JJurnal Al-Bayan, vol. 20, no. 29, pp. 33–44, 2014, doi: 10.29303/juridiksiam.v5i1.74.
- D. Astuti, “Keterlibatan Pengasuhan Ayah Sebagai Orang Tua Tunggal Dengan Anak Perempuannya Setelah Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Komunikasi Antarpribadi di Desa Kwangsan, Kecamatan Jumapolo),” Komuniti J. Komun. dan Teknol. Inf., vol. 8, no. 1, pp. 19–34, 2016, doi: 10.23917/komuniti.v8i1.2930.
- A. Matondang, “Faktor-faktor Yang Mengakibatkan Perceraian Dalam Perkawinan,” J. Ilmu Pemerintah. dan Sos. Polit., vol. 2, no. 2, pp. 141–150, 2014, [Online]. Available: http://ojs.uma.ac.id/index.php/jppum
- N. S. Manna, S. Doriza, and M. Oktaviani, “Cerai Gugat: Telaah Penyebab Perceraian Pada Keluarga di Indonesia,” J. Al-AZHAR Indones. SERI Hum., vol. 6, no. 1, p. 11, 2021, doi: 10.36722/sh.v6i1.443.
- A. Tristanto, “Perceraian Di Masa Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif Ilmu Sosial,” Sosio Inf., vol. 6, no. 3, pp. 292–304, 2020, doi: 10.33007/inf.v6i3.2417.
- Badan Pusat Statistik, “Jumlah Nikah, Talak dan Cerai, Serta Rujuk Tahun 2012-2015,” Badan Pusat Statistik, 2017.
- W. Aprilia, “Resiliensi dan Dukungan Sosial Pada Orang Tua Tunggal (Studi Kasus Pada Ibu Tunggal di Samarinda),” Psikoborneo, vol. 1, no. 3, pp. 157–163, 2013, [Online]. Available: ejournal.psikologi.fisip-unmul.org
- S. Roini, “Peran Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pembentukan Karakter Pada Anak,” J. Pendidik. Luar Sekol., vol. 12, no. 1, p. 21, 2018, doi: 10.32832/jpls.v12i1.2906.
- S. L. Sari, R. Devianti, and N. SAFITRI, “Kelekatan orangtua untuk pembentukan karakter anak,” Educ. Guid. Couns. Dev. J., vol. 1, no. 1, p. 16, 2018, doi: 10.24014/egcdj.v1i1.4947.
- E. B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan Edisi Kelima. 1997.
- J. W. Santrock, Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Edisi Ketigabelas Jilid I. 2012.
- D. S. Hidayati, “Family Functioning dan Loneliness Pada Remaja Dengan Orang Tua Yunggal,” Ilm. Psikol. Terap., vol. 06, no. 1, pp. 54–62, 2018.
- K. S. Dewi and A. Soekandar, “Kesejahteraan Anak dan Remaja Pada Keluarga Bercerai di Indonesia: Reviu Naratif,” vol. 11, no. 1, pp. 42–78, 2019.
- S. Wulandari, “Pola Asuh Ayah Sebagai Orang Tua Tunggal (Studi Kasus di Desa Pematang Bango Kecamatan Pagar Alam Utara).” 2021. [Online]. Available: http://repository.iainbengkulu.ac.id/id/eprint/5648
- H. . Hos, Juhardin and S. Roslan, “Dampak Pola Asuh Orang Tua Terhadap Perilaku Anak,” J. Chem. Inf. Model., pp. 148–160, 2016.
- R. Adawiah, “Pola Asuh Orangtua dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Anak (Studi Pada Masyarakat Dayak di kecamatan Halong Kabupaten Balangan),” Palapa J. Stud. Keislam. dan Ilmu Pendidik., vol. 7, no. 1, pp. 33–48, 2017, doi: 10.36088/palapa.v3i1.755.
- E. B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Rentang Kehidupan (terjemahan). 2012.
- N. R. Fitriana, S. Fitriana, and D. Primaningrum, “Dampak Perceraian Terhadap Regulasi Emosi Siswa SMK,” Pros. Semin. Nas. Konstelasi Ilm. Mhs. UNISSULA Klaster Hum., pp. 343–355, 2020.
- N. Oktaviani and A. Aprianti, “Pola Pengasuhan Ibu Dalam Pembentukan Karakter Remaja Dari Keluarga Bercerai,” vol. 7, no. 2, pp. 1–28, 2020, [Online]. Available: http://etd.eprints.ums.ac.id/14871/%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.cell.2017.12.025%0Ahttp://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf%0Ahttp://www.who.int/about/licensing/%0Ahttp://jukeunila.com/wp-content/uploads/2016/12/Dea
- I. Faizah and A. A. Zaini, “Pola Asuh Orang Tua Tunggal ( Single Parent ) Dalam Membentuk Perkembangan Kepribadian Remaja di Desa Banyutengah Panceng Gresik,” vol. 02, no. 02, pp. 83–91, 2021.
- F. Faizah, U. Rahma, Y. P. Dara, and C. L. Gunawan, “School Well-Being Siswa Sekolah Dasar dan Siswa Sekolah Menengah Pertama Pengguna Sistem Full-Day School di Indonesia,” J. Kaji. Bimbing. dan Konseling, vol. 5, no. 1, pp. 34–41, 2020, doi: 10.17977/um001v5i12020p034.
- J. . Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
- R. Rohim, “Hubungan Antara Spiritualitas Dan Manajemen Stres Pada Individu Paruh Baya,” Universitas Muhammadiyah Malang, 2016.