Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Philosophy. Psychology. Religion
DOI: 10.21070/acopen.7.2022.5098

Psychological Well-Being A Housewifes Who Have Children with Special Needs


Psychological Well-Being pada Ibu Rumah Tangga yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah SIdoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

housewives Child development Special needs children Qualitative research Psychological well-being

Abstract

Housewives have a big role in the process of child development.  So that mothers must be understand and find out about the conditions and needs of their children, especially in taking care of children with special needs (Special Needs Children).This research is a qualitative research with a phenomenological approach. The data collection technique used is the interview method.  This study uses 3 subjects as sources of information in extracting data, plus 3 secondary subjects. The data collection technique used is the snowball sampling technique which will meet the criteria: 1) housewives who do not work, and 2) aged 30-40 years old. The results of the research that have been obtained state that the three subjects have psychological well-being based on aspects and factors of the psychological well-being. There are other influences that support the psychological well-being of the subject, gratitude, self-adjustment, self-concept, and regulations that exist in the three subjects.

Highlights:

  • The role of housewives in child development, especially for children with special needs.
  • Qualitative research with a phenomenological approach and interview method for data collection.
  • Psychological well-being of housewives, including factors such as gratitude, self-adjustment, self-concept, and regulations.

Keywords: Housewives, Child development, Special needs children, Qualitative research, Psychological well-being

Pendahuluan

Manusia adalah suatu entitas makhluk yang akan selalu berhubungan dengan manusia lain. Manusia layaknya masyarakat yang tidak bisa hidup sendiri, tetapi juga membutuhkan bantuan dan peran dari orang-orang yang berada disekitarnya. Pada kehidupan ini manusia akan selalu saling membutuhkan manusia satu dengan yang lainnya. Sebagai masyarakat, manusia tidak pernah bisa hidup sendiri. Kapanpun dan dimanapun, manusia selalu perlu bekerja sama dengan orang lain. Demi memelihara dan mengembangkan kehidupan, manusia membentuk kelompok sosial dengan sesamanya.

Membesarkan anak merupakan suatu tantangan yang memiliki tanggung jawab besar. Seorang ibu dan juga ayah memiliki peran yang imbang dalam mengasuh anak-anaknya, tugas kedua orang tua harus saling melengkapi satu sama lain guna membantu anak mengembangkan diri dan mendapatkan identitas dirinya. Dengan begitu seorang ibu dan ayah harus bekerja sama dalam bertanggung jawab supaya kelak anaknya dapat menjadi seseorang yang baik dan berguna. Ketika ibu dan ayah dikaruniai untuk dapat merawat dan membesarkan anak yang memiliki kebutuhan secara khusus, pastilah akan mendapati situasi yang sangat jauh berbeda. Banyak dukungan secara moral yang harus diberikan lebih besar, diskusi yang harus rutin dilakukan, kerjasama yang harus terjalin dengan baik, dan harus dapat memberikan rasa kasih sayang yang besar terhadap pasangan juga anak supaya dapat terjalin kehidupan rumah tangga yang harmonis [1].

Menurut Dwijayanti [2] seorang ibu rumah tangga merupakan sosok wanita yang mana telah menghabiskan waktunya untuk dirumah dan mencurahkan seluruh waktunya untuk dapat mengasuh dan mendidik anak-anaknya sesuai dengan model yang ada dalam norma masyarakat. Ibu memiliki anak yang berkebutuhan khusus merupakan seorang perempuan yang telah melahirkan anak-anak dengan keunikan secara fisik maupun mental sehingga membutuhkan pelayanan secara khusus dalam penyampaian dan juga penerimaannya [2].

Memilih menjadi seorang ibu rumah tangga adalah suatu kesenangan tersendiri bagi seseorang tertentu, karena hal tersebut mempunyai banyak sekali dampak positif. Beberapa halnya adalah seperti mempunyai waktu yang jauh lebih banyak didalam rumah sehingga dapat menjadi role model bagi anak-anaknya. Hal tersebut tidak dapat digantikan oleh seorang pembantu atau siaran televisi. Ibu dapat mudah dalam mendampingi bahkan membimbing anak ketika dalam kondisi sulit bagi mereka, seperti menurut pendapat dari U.S. Departement of Human Service seorang anak yang tidak mendapatkan bimbingan atau dampingan dari orang tua dengan jangka waktu yang lama, mereka cenderung lebih mudah mengalami masalah pada perilakunya [3].

Ketika seorang anak terlahir dengan tidak normal seperti anak pada umumnya (anak yang berkebutuhan khusus), dan orang tua tentunya akan sedih karena anaknya terlahir seperti apa yang diharapkan. Geniofam berpendapat bahwa dalam hal ini anak yang berkebutuhan khusus merupakan anak dengan karakter dan watak yang berbeda dari anak biasa, dan tidak selalu menunjukkan cacat mental, emosional atau fisik [4]. Anak-anak yang dapat disebut sebagai anak berkebutuhakn khusus yaitu : tunanetra, tuli, tunawicara, reterdasi mental, cacat fisik, tunagrahita, gangguan perilaku, kesulitan belajar, masalah kesehatan, anak berbakat, ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders) dan autism.

Desiningrum et al. mengatakan bahwa ibu dari anak berkebutuhan khusus merupakan sosok yang rentan untuk mengalami stres dan juga depresi [5]. Pada hal ini keluarga adalah lingkungan pertama yang harus dapat memberikan dukungan sosial secara positif terhadap kesejahteraan ibu yang memilikianakberkebutuhankhusus. Kesejahteraan psikologis diperlukan untuk menumbuhkan sikap dan jiwa yang positif untuk dapat mengoptimalkan dalam mengasuh anak-anaknya. Dari para subjek yang diteliti hasilnya adalah faktor pendukung untuk memiliki kesejahteraan psikologis adalah dukungan sosial yang berasal dari keluarga subjek.

Psychological wll-being adalah individu dapat mencapai kondisi tertinggi. Psychological well-being disebut juga suatu ide yang memiliki keberfungsian positif secara optimal [6]. Menurut Ryff , faktor-faktor dan aspek-aspek dari psychological well-being ini ada beberapa, terdapat beberapa faktor yang menjadi pengungkap bagaimana kesejahteraan psikologis dari individu yakni, faktor locus of control, evaluasi terhadap pengalaman hidup, dukungan sosial dan demografis [7].

Menurut Carol D. Ryff Kesejahteraan psikologis merupakan konsep yang dinamis yang mana mencakup dimensi yang subjektif, sosial, psikologis, dan perilaku yang berhubungan dengan kesejahteraan individu [7]. Aspek-aspek yang terdapat didalamnya adalah penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan juga pertumbuhan dan perkembangan dari pribadi seseorang [8].

Semua anak yang lahir pasti memiliki potensi atau kemampuan yang tak serupa. Setiap anak lainnya akan memiliki kecerdasan maupun bakat yang berbeda-beda. Orang tua maupun masyarakat, tidak seharusnya menggeneralisasikan ataupun membandingkan antara satu anak dengan anak yang lainnya. Menurut data yang diperoleh dalam artikel Menurut data yang saya peroleh dalam artikel Flo, disebutkan bahwa di antara anak-anak yang diadopsi oleh Yayasan Sayap Ibu, sekitar 70% adalah anak-anak berkebutuhan khusus, dan orang tua mereka mengabaikan anak-anak ini, mereka sengaja ditinggal oleh orang tuanya [9].

Sejalan dengan data tersebut terdapat kasus pembunuhan anak berkebutuhan khusus oleh ibunya sendiri. Lantaran sang ibu merasa jengkel dengan anaknya yang dianggap susah diatur dan sang ibu sudah beralasan capek mengurus putrinya yang lumpuh dan mengalami gangguan kejiwaan [10]

Berdasarkan artikel yang telah diterbitkan oleh idntimes.com ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus mereka tidak selalu merasa kecil hati atau bahkan kecewa. Ada beberapa dari mereka yang merasakan kebahagiaan, terharu dan bahkan senang jika anaknya dapat mencapai milestone seperti halnya dapat makan sendiri, makan dan sebagainya. Mereka juga menghargai hal simple tetapi memiliki dampak yang positif seperti halnya mendapatkan kecupan dipipi atau pelukan yang telah dilakukan dari anak mereka yang berkebutuhan khusus. Para ibu ini memiliki kesejahteraan psikologis berdasarkan pada aspek penerimaan diri[11].

Sejalan dengan artikel di atas, subjek yang bernama Kartika sebagai ibu dengan 3 anak yang memiliki berkebutuhan, ibu tersebut telah melewati perasaan menangis, menerima, dan sabar, ibu Kartika akan mengingat selalu kalimat yaitu QS. Al Insyirah ayat 5-6, artinya "Di mana ada kesulitan di situ terdapat kemudahan" dan "Sakit itu penggugur dosa". Melihat dari fenomena – fenomena yang ada, ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus ini banyak sekali mendapat tekanan dari lingkungan atau sosialnya. Kemungkinan ibu mengalami stres ataupun merasa malu dengan lingkungan. Tidak dapat menerima diri sendiri dan juga tidak menguasai lingkungan sekitar.

Tidak ingin kehilangan semangat, ibu dengan pengalaman memiliki anak yang berkebutuhan khusus dan mendapatkan dukungan penuh dari sang suami juga keluarga besar. Kartika juga tidak menginginkan ibu-ibu lain diluar sana merasakan kehilangan semangat, dengan begitu ia sering kali mengampanyekan dari pengalaman yang telah ia alami. Bu Kartika juga selalu berbagi ilmu dengan temannya seperti di media sosial yaitu blog dan facebook, hingga ibu Kartika juga membagi pengalamannya di beberapa komunitas [12].

Disisi lain, sebagai orang tua, kita harus memahami kekurangan, keterbatasan, dan keistimewaan anak kecil secara fisik dan psikologis. Hal ini dikarenakan sosok ibu belum mampu menerima bahwa anaknya seorang autis.Novira Faradina mengatakan bahwa seorang ibu sering mengalami konflik pada diri sendiri dan merasakan memikul beban berat sendirian, sedih yang bekepanjangan, bahkan merasa berat dalam menjalani kehidupan [13]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ketiga subjek memiliki penerimaan diri yang berbeda dalam menerima dan menghadapi anak dengan berkebutuhan khusus. Pada subjek AS, memiliki penerimaan diri yang positif karena subjek pasrah dengan keadaan anaknya namun berusaha untuk memahami kondisi anaknya dan tidak malu dengan yang kekurangan yang dimiliki oleh anaknya. Subjek kedua SL memiliki penerimaan diri yang positif karena subjek dapat berusaha untuk ikhlas dan memahami keadaan anaknya serta selalu mendukung segala kegiatan anak termasuk dalam hal sekolah. subjejk ketiga RS memiliki penerimaan diri yang negatif karena subjek merasa kondisi anaknya tidaklah sesuai dengan harapannya dan subjek selalu merasa malu dan takut ketika orang lain mengetahui kondisi anak subjek yang memiliki gangguan perkembangan.

Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan, peneliti dapat mengungkap bagaimana kesejahteraan secara psikologis pada ibu memiliki anak-anak yang telah diciptakan secara istimewa oleh Tuhan melalui aspek-aspek dan faktor-faktor psychological well-being yang ada. Harapan yang dapat dilakukan dalam penelitian ini adalah dapatmengetahui bagaimana kesejahteraan psikologis yang dimiliki oleh ibu rumah tangga dalam mengurus dan membesarkan ABK.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi, dengan tujuan untuk dapat mengetahui kesejahteraan yang dimiliki oleh subjek. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang memiliki ABK. Sampel penelitian menggunakan teknik snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang telah digunakan adalah wawancara bersama subjek primer dan significant others sebagai subjek sekunder dengan pengambilan triangulasi data.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Setelah menjabarkan dengan menuliskan hasil deskripsi temuan pada tahapan sebelumnya. Pada tahap berikutnya akan dilakukan analisis data dari subjek I, subjek II, dan subjek III, maka akan disajikan tabel perbandingan dari ketiga subjek guna mempermudah melihat hasil secara keseluruhan.

Keterangan Subjek I Subjek II Subjek III
Kode wawancara S T U
Jenis kelamin Wanita Wanita Wanita
Status Ibu Rumah Tangga Ibu Rumah Tangga Ibu Rumah Tangga
Usia 38 Tahun 37 Tahun 30 Tahun
Jumlah anak 2 2 1
Table 1.Identitas subjek
Keterangan Subjek I Subjek II Subjek III
Penerimaan Diri Ibu S memiliki penerimaan diri yang baik yang dapat dilihat dari cara dia menerima segala hal yang diberikan kepadanya. Mensyukuri segala hal yang diberikan dengan cara merawat dan menjaga anak-anaknya, menjalani kehidupan dengan peneuh keikhlasan dan menjadikannya sebuah hal yang bermanfaat bagi kehidupan anaknya dan subjek pada ehidupan selanjutnya. Subjek T menerima dengan perasaan legowo apapun keadaan anaknya dan dirinya. Subjek merasa diluar sana masih banyak orang-orang yang memiliki cobaan lebih berat darinya. Subjek mensyukuri atas apa yang telah dikehendaki tuhannya. Subjek merasa bahwa dengan memiliki anak berkebutuhan khusus jadi memiliki pengalaman mengurus anak luar biasa. Subjek bisa mengerti bagaimana kondisi anaknya, serta memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan masing-masing. Subjek U merasa bahwa setiap perjalanan hidup yang telah dipilih pasti memiliki suka dan duka. Subjek mengatakan bahwa harus menerima dan menjalani segala hal yang telah diberikan oleh tuhannya. Dengan ini subjek mengerti bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya masing-masih. Sehingga subjek harus menyayangi anaknya.
Hubungan Positif Subjek memiliki hubungan yang positif dengan keluarga besarnya. Subjek adalah orang yang tenang, tidak mau mencari-cari masalah. Semua keluarga besarnya saling mengerti dan menghrgai bagaimana nilai-nilai kehidupan yang diterapkan oleh keluarga kecil subjek. Keluaga besarnya selalu memberi afirmasi yang positif kepada subjek dan anak-anaknya. Berbeda dengan keluarga besarnya yang mendukung. Justru terdapat beberapa dari tetangganya yang seakan memberikan saran kepada subjek namun terkesan mengejek dan memandang aneh kepada anaknya Aliya. Namun hal tersebut tidak membuat subjek marah atau bahkan menjauhi tetangga tersebut. Karena pada dasarnya subjek adalah orang yang tenang dan tidak ingin ada keributan. Hal tersebut hanya terdapat pada beberapa tetangga saja. Selebihnya para tetangganya adalah tetangga yang rukun dan saling mengerti satu sama lain. Subjek memiliki keluarga kecil yang hangat dan saling mendukung satu sama lain, selain suaminya, adik subjek dan kakak iparnya sangat memperhatikan dan menyayangi anak-anak subjek sebagaimana anak mereka sendiri. Para tetangganyapun sangat baik dan ramah kepada keluarganya. Karena subjek sendiri orang yang mudah bergaul dan ramah kepada semua orang. Jadi semua tetangga dilingkungan sekitar bisa langsung cepat menerima subjek. Subjek memang suka menambah relasi baru dengan banyak orang. Jadi hubungan subjek dengan orang-orang disekitarnya dapat dikatakan positif. Subjek memiliki hubungan yang positif dengan keluarganya sendiri, dengan itu ibu dan adik subjek selalu siap sedia untuk membantu subjek apabila ia membutuhkan bantuan. Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan keluarga dari sang suami yang kurang memberi tanggapan yang baik kepada subjek karena subjek dianggap merebut suami dari istri pertamanya. Bahkan saat subjek memiliki anak berkebutuhan khusus, keluarga besar suami mengatakan bahwa itu adalah karma yang diterima oleh subjek.
Kemandirian Subjek merasa senang bisa sepenuhnya mengurus rumah dan mengawasi serta menjaga anak-anaknya. Sehingga subjek dapat mengawasi tumbuh kembang sang anak. Subjek menyiapkan segala kebutuhan dan keperluan anak-anak dan suaminya sendiri tanpa mengeluh atau bahkan meminta untuk dicarikan asisten rumah tangga. Saat Aliya sebelum memasuki masuk usia sekolah, subjek mencarikan sendiri kelas Terapi untuk membantu memberikan stimulus bagi Aliya. Juga mengurus segala hal keperluan sekolah sang anak. Walau begitu, terkadang subjek masih dibantu oleh sang suami maupun sang ibu untuk mengurus anaknya saat subjek ada keperluan yang tidak memungkinkan untuk membawa anaknya. Menurut subjek menjadi seorang ibu rumah tangga adalah suatu hal yang luar biasa. Karena menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, subjek mengurus segala kebutuhan yang diperlukan oleh anak, mengajarkan hal yang diperlukan sesuai dengan usianya karena perlu pengulangan, memastikan anak mampu melewati tahapan perkembangan sesuai dengan usianya, mencarikan sekolah inklusi yang tepat, hingga mencarikan shadow teacher pribadi untuk anaknya. Selain itu subjek berusaha untuk selalu belajar mengenai anaknya dan banyak mencari informasi kepada ibu-ibu yang memiliki pengalaman tentang anak berkebutuhan khusus. Tidak hanya itu, subjek juga membaca buku tumbuh kembang anak, dan juga artikel demi untuk mendapatkan informasi mengenai anak tuna grahita secara mandiri. Subjek memiliki kemandirian dalam mengatur dan mengurus segala kebutuhannya serta kebutuhan anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Sehingga subjek mampu menjalankan hidupnya secara teratur. Subjek mampu memahami bagaimana anaknya dengan cara selalu belajar dan berbagi ilmu dengan ibu-ibu lain yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus. Segala sesuatu hal yang berkaitan dengan rumah dan anaknya, subjek selalu mengurus semuanya sendiri karena suaminya datang ke rumah subjek setiap satu butal atau dua minggu sekali saja pada hari sabtu dan minggu. Kemudian, orang tua dari subjek juga berada di kota lain sehingga subjek tidak bisa meminta bantuan kepada siapapun. Kecuali mengandalkan dirinya sendiri.
Penguasaan Lingkungan Subjek merupakan seorang yang tenang sehingga subjek dapat mengatasi dan mengendalikan lingkungannya. Saat terdapat situasi yang membuatnya tidak nyaman, maka subjek memilih untuk berdiam diri ataupun memilih untuk tidak menanggapi hal-hal yang dirasa tidak nyaman untuknya. Subjek dapat menguasai lingkungannya dengan cara menguasai tumbuh kembang anak tuna grahita sebagaimana yang dialami oleh anaknya. Subjek menilai bahwa semua berhak menilai dirinya, namun subjekpun merasa bahwa ia berhak pula untuk tidak memperdulikan penilaian orang lain. Saat subjek merasa lingkungannya terasa sulit, maka yang dilakukan adalah dengan berdiam diri dirumah atau mungkin keluar rumah untuk mencari suasana baru. Subjek merupakan seorang ibu yang mampu menguasai lingkungannya dimana ia mampu untuk mengendalikan juga memanipulasi lingkungannya agar tetap dapat berpijak dan bertahan dalam keadaanya. Subjek berusaha untuk tidak bertindak suatu hal yang negatif, cukup untuk didengarkan saja. Karena menurut subjek hal tersebut mampu membuat meredakan permasalahan.
Tujuan Hidup Subjek merasa masih banyak yang menyayangi anak-anaknya dan dirinya. Subjek meyakini bahwa segala hal yang telah ditetapkan padanya adalah takdir yang harus dijalani dengan baik dan ikhlas, agar menjadi ladang pahala pada kehidupan selanjutnya. Karena tuhan masih memberinya rahmat kehidupan untuk dapat terus merawat dan menyayangi anak-anaknya. Subjek memiliki keyakinan bahwa anak yang telah dititipkan tuhan kepada kita adalah untuk dirawat dan dididik hingga anak dewasa dan bisa hidup secara mandiri. Untuk itu subjek merasa lega dan bangga dengan pencapaian sang anak karena perkembangannya jauh lebih baik dibandingkan dengan anak reterdasi mental yang seusia dengan anaknya. Subjek merupakan individu yang memiliki makna dalam hidupnya untuk menyayangi dan menjaga anak-anaknya, karena mereka adalah takdir yang telah diberikan oleh Tuhannya yang sepantasnya dan sepatutnya untuk dirawat dan dididik. Selain itu, apabila sebagai orang tua sudah menjaga, menyawangi, merawat anak dengan baik, hal itu akan memberikan hasil yang baik untuk kehidupannya di alam selanjutnya.
Pertumbuhan Pribadi Subjek merasa bahwa semuanya sudah takdir yang harus dijalani. Subjek menyadari bahwa semakin bertambahnya usia semakin dapat memahami bagaimana konsep kehidupan yang selalu berputar. Dari hasil bertukar ilmu dengan ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus pula subjek menyadari bahwa bukan hanya dia yang hidupnya berat, bahkan banyak yang lebih berat dibawahnya. Subjek masih memiliki keinginan-keinginan yang perlu dikejar dan dikerjakan, seperti membesarkan anak-ananya. Dan subjek sangat menyayangi keluarga kecilnya. Subjek menyadari bahwa ia menikah diusia yang sudah cukup matang. Sehingga ia mampu mengatasi emosinya dengan baik. Ditambah lagi subjek mendapatkan motivasi internal dari dirinya sendiri untuk dapat berjuang dan merawat anak-anaknya. Dengan melihat 8 tahun kebelakang subjek bisa tetap bahagia dengan apa yang dijalani dengan ikhlas. Subjek merasa bahwa semakin bertambahnya usia, semakin membuat subjek mampu untuk mengendalikan emosinya. Semakin dewasa, subjek semakin mampu untuk menerima semua keadaan dengan ikhlas. Subjek paham bahwa menanggapi suatu permasalahan dengan emosi adalah suatu hal yang akan memicu permasalahan baru. ssSubjek merasa bahwa semakin tua nanti siapa yang akan merawatnya selain anaknya sendiri, mengingat sang suami sudah tiada.
Table 2.Gambaran aspek-aspek Psychological well-being ibu rumah tangga yang memiliki anak berkebutuhan khusus
Faktor Subjek I Subjek II Subjek III
Dukungan Sosial Subjek mendapatkan dukungan secara moril dari sang suami yang memberikan segala fasilitas maupun kebutuan yang diperlukan oleh subjek. Kasih sayang dan perhatianpun didapatkan dari sang suami yang mau dan selalu sigap membantu subjek saat membtuhkannya. Dukungan dari keluarga besarpun didapatkan dengan memberikan perhatian dan kasih sayang penuh kepada Aliya dan subjek. Subjek merasa dilindungi dalam keluarga. Pada sebagian tetangga banyak yang memberi perhatian dan saling mendukung. Subjek mendapatkan dukungan secara sosial dari pasangan atau suaminya dan juga keluarga besarnya. Subjek merasa bahwa semua keluarganya memberikan perhatian yang luar biasa kepada dirinya dan juga anak-anaknya. Suaminya selalu meminta subjek untuk dapat pergi jalan-jalan sendiri untuk me time dan menyerahkan anaknya untuk diurus oleh sang suami. Subjek memiliki dukungan sosial yang baik dari sang suami. Meskipun suaminya jarang pulang karena harus membagi waktunya untuk kedua istrinya. Namun perhatian dan rasa yang yang diberikan mampu menjadikan subjek merasa mendapatkan dukungan sosial yang baik dari sang suami.
Evaluasi Pengalaman Hidup Subjek banyak melakukan aktivitas bersama dengan ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus seperti Aliya anaknya. Semakin bertambahnya usia, subjek merasa bahwa banyak waktu yang bisa ia habiskan untuk mengurus rumah, suami, dan anak-anaknya sehingga ia mengetahui segala permasalahan yang dihadapi. Subje semakin betah dirumah bersama dengan suami dan anak-anaknya. Subjek mengatakan bahwa kehidupan mengurus anak diperlukan kematangan usia sehingga kematangan emosi ini dapat memberikan pengasuhan yang baik untuk anak-anaknya. Subjek menyadari bahwa cara perkembangan setiap anak dan kebutuhannya pasti akan berbeda-beda. Mengurus anak berkebutuhan khusus adalah suatu pengalaman yang luar biasa menurut subjek. Subjek adalah seorang yang ibu rumah tangga yang berusaha untuk selalu belajar dari kesalahan yang dia alami dalam kehidupannya. Walaupun saat usia muda subjek memperlakukan anaknya dengan keras, namun saat ini subjek berusaha untuk selalu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anaknya.
Table 3.Gambaran Faktor-faktor Psychological well-being ibu rumah tangga yang memiliki anak berkebutuhan khusus
Variabel Subjek I Subjek II Subjek III
Kebersyukuran Subjek selalu besyukur dengan menerima semua keadaan yang diberikan oleh Tuhannya. Dan merawat titipan tuhan dengan sebaik mungkin. Subjek memiliki rasa bersyukur atas takdir yang telah ditetapkan Tuhan untuk dapat dijalani dengan ikhlas. Subjek merasa bahwa banyak orang yang tidak seberuntung seperti kehidupannya. Maka dari itu subjek perlu selalu bersyukur atas kehidupannya. Subjek mengatakan bahwa ia bersyukur dapat menjalani kehidupannya dengan baik, dan mendapatkan kesempatan untuk dapat memperbaiki diri juga berusaha untuk menjadi orang yang lebih legowo atas sesuatu yang telah ditetapkan kepada dirinya.
Konsep Diri Subjek memiliki konsep diri untuk tidak mempedulikan hal-hal negatif yang muncul disekitarnya dan memaknai kehidupan ini urusan masing-masing. Dan selalu mendoakan yang terbaik bagi semua orang yang menyayangi Aliya. Subjek beranggapan bahwa orang lain berhak untuk menilai apa saja mengenai dirinya, namun subjekpun merasa berhak untuk tidak mempedulikan tanggapan ataupun omongan orang lain. Asalkan tidak ada yang mengusik keluarganya subjek merasa tidak perlu mempedulikan hal tersebut. Subjek memiliki pandangan terhadap hidupnya mengenai untuk selalu mengerti keadaan. Tidak semua hal bisa dibeli saat itu juga. Subjek juga mengajarkan kepada anaknya untuk selalu membatu orang lain yang sedang kesusahan. Tidak melulu membantu mengenai keuangan, tapi konsep dasar yang diajarkan adalah membantu hal sekecil apapun.
Penyesuaian Diri Subjek berusaha untuk menyesuaikan diri dengan anaknya yang berkebutuhan khusus dengan belajar bagaimana cara menangani Aliya saat ia sedang tantrum ataupun melakukan hal lain. Mempelajari sesuatu yang dapat membantu proses perkembangan sang anak dari kelas terapi yang dijalani anaknya. Subjek berusaha untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan kedua anaknya yang berbeda, kemudian subjek berusaha untuk menyesuaikan antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Karena subjek merasa bahwa dapat menyesuaikan diri adalah suatu keharusan untuk dapat bertahan di lingkungan sosial dan kehidupannya. Subjek dapat menjalankan kehidupannya dengan selalu menyesuaikan dirinya terhadap segala situasi baru yang dialami bersama dengan anaknya. Subjek berusaha untuk dapat memberikan pengertian kepada anaknya dengan menggunakan cara yang baik.
Regulasi Diri Ketika terkadang subjek merasa bosan dengan suasana dan kegiatannya yang monoton, subjek merasa lega dan tenang dengan keluar rumah untuk mendapatkan udara segar. Saat subjek lelah da nada emosi negatif yang ingin terluapkan, subjek langsung menghindar dan menjauh terlebih dahulu dari anak-anaknya. Kemudian dialihkan pada hal lain seperti melakukan pekerjaan rumah atau tidur apabila terlalu lelah. Subjek mampu meregulasikan dirinnya dari suatu hal yang dapat memicu permasalahan mengenai anaknya yaitu dengan cara memberi pengerian kepada setiap orang bahwa anaknya memerlukan pemahaman yang lebih untuk dapat memahami sesuatu, sehingga orang lain mampu memahami karakter dan kondisi anaknya. Apabila ada suatu hal diluar anaknya maka subjek akan lebih banyak diam dan tidak melakukan sesuatu hal. Subjek mampu meregulasi emosinya dengan mampu menahan dan mengontrol emosinya karena subjek mengingat kembali, ia berada di kondisi seperti ini adalah hal yang subjek mau sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun. Maka ia melakukannya dengan senang. Pada masa remaja subjek sudah dilalui dengan menjadi istri muda dan memiliki anak berkebutuhan khusus, saat itu subjek merasa bahwa dirinya belum mampu menahan serta mengatur dirinya untuk mengontrol perilakuknya. Sehingga saat menghadapi suatu permasalahan subjek dengan anaknya selalu menggunakan fisik dan suara yang lantang. Namun saat ini subjek mengontrol perilakunya dengan melakukan hal yang lain dengan cara bersih-bersih rumah dan menjahit sesuatu. Subjek masih belum mampu mengekspresikan emosi negatifnya menjadi suatu hal yang baik. Sehingga dulu subjek mengekspresikan emosi negatifnya dengan perasaan yang negatif pula. Namun, sampai saat ini subjek berusaha untuk selalu diam walaupun ekspresi mimik wajahnya tetap menunjukkan rasa ketidaknyamanan.
Table 4.Gambaran variabel lain yang ada dalam Psychological well-being ibu rumah tangga yang memiliki anak berkebutuhan khusus

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan metode wawancara bersama subjek dan subjek sekunder ditemukan bahwa ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami kesejahteraan psikologis. Adapun hal yang dialami yakni dengan penerimaan diri, dari ketiga subjek memiliki penerimaan yang baik atas dirinya dan juga lingkungannya walaupun pada tahun-tahun awal merasa berat da nada rasa kecewa juga malu, namun perasaan tersebut pada akhirnya dikalahkan dengan terus berjalannya waktu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Tumanggor bahwa proses penerimaan diri pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus memanglah suatu hal yang sangat memukul dan menimbulkan perasaan sedih, kecewa, bingung, hingga subjek mengalami stress. Walaupun pada akhirnya semua subjek dapat menerima keadaan yang dialaminya [14].

Kemudian selanjutnya para subjek memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, terutama dengan keluarga dan tetangga yang ada di lingkungan sekitarnya. Satu dari ketiga subjek memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga besarnya terutama dari keluarga suaminya. Namun meski begitu subjek mengakui bahwa memang terdapat suatu kesalahan yang memang tidak bisa untuk dimaafkan. Hal ini sesuai dengan pengertian dari hubungan positif yang mengatakan kemampuan individu dalam menjalin hubungan antar pribadi secara hangat dan juga saling mempercayai, serta dapat membangun hubungan pertemanan dengan orang lain dalam lingkungannya.

Ketiga subjek memiliki kemandirian dalam mengatur diri dan mengurus segala kebutuhan keluarganya. Karena memang ketiga subjek adalah seorang ibu rumah tangga yang notabenenya merawat dan mengurus segala kebutuhan rumah termasuk kebutuhan anak dan suaminya. Dari ketiga subjek tidak ada yang membutuhkan bantuan orang lain untuk membantu mengurus kebutuhan kaluarganya, terutama dalam hal mengurus segala kebutuhan anaknya yang berkebutuhan khusus. Dalam aspek penguasaan lingkungan, para subjek memiliki kemampuan untuk dapat bertahan dengan cara menguasai lingkungannya dari dalam dirinya. Para subjek mampu mengatasi dan mengendalikan keadaan yang dialami dalam lingkungannya.

Ketiga subjek memiliki aspek tujuan hidup masing masing, untuk subjek I meyakini bahwa apa yang sudah ditetapkan oleh tuhannya maka itulah takdir yang harus dijalani oleh subjek sehingga dapat menjadi ladang pahala untuknya. Subjek II memiliki keyakinan bahwa anak yang telah dititipkan tuhan kepada kita adalah untuk dirawat dan dididik hingga anak dewasa dan bisa hidup secara mandiri. Kemudian pada subjek III memiliki makna dalam hidupnya untuk menyayangi dan menjaga anak-anaknya, karena mereka adalah takdir yang telah diberikan oleh Tuhannya yang sepantasnya dan sepatutnya untuk dirawat dan dididik. Selain itu, apabila sebagai orang tua sudah menjaga, menyawangi, merawat anak dengan baik, hal itu akan memberikan hasil yang baik pula terhadap hal yang lainnya.

Selanjutnya adalah pertumbuhan pribadi yang ada pada ketiga subjek adalah kemampuan subjek yang dapat tumbuh dengan perubahan diri secara berlanjut dari waktu ke waktu sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki para subjek. Hal ini terlihat pada subjek I dan II menyadari bahwa semakin bertambahnya usia semakin dapat memahami bagaimana konsep kehidupan yang selalu berputar. Dari hasil bertukar ilmu dengan ibu-ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus pula subjek menyadari bahwa bukan hanya dia yang hidupnya berat, bahkan banyak yang lebih berat dibawahnya. Pada subjek III merasa bahwa semakin bertambahnya usia, semakin membuat subjek mampu untuk mengendalikan emosinya. Semakin dewasa, subjek semakin mampu untuk menerima semua keadaan dengan ikhlas. Subjek paham bahwa menanggapi suatu permasalahan dengan emosi adalah suatu hal yang akan memicu permasalahan baru.

Dukungan sosial terbesar dan terkuat yang didapatkan oleh para subjek adalah dukungan dari pasangannya yaitu suami mereka. Para subjek merasa mendapatkan perhatian kasih sayang yang lebih dari suami mereka. Para suamipun memahami dan mengerti bagaimana tekanan menjadi ibu rumah tangga dan merawat membesarkan anak-anak berkebutuhan khusus.

Evaluasi terhadap pengalaman hidup para subjek ini mengatakan bahwa pertambahan usia menjadikan mereka lebih matang dan dewasa dalam menghadapi segala permasalahan yang ada dihidup. Mereka semua pada akhirnya mampu menerima dan tangguh menjalani kehidupan dengan adanya pengalaman hidup yang dijalani.

Penelitian ini tidak luput dari sejumlah keterbatasan yang diketahui melalui pengamatan dalam sepanjang jalannya penelitian. Ada beberapa faktor yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini yaitu, hanya menggunakan pengambilan data berupa wawancara dari subjek primer dan significant other yang terbatas, belum menggunakan penambahan data lainnya yang dapat diperoleh dari media sosial. Dikarenakan subyek dalam penelitian ini tidak menggunakan media sosial secara aktif jadi peneliti memutuskan untuk tidak mengambil data dari media sosial tersebut. Kriteria penentuan subjek penelitian kurang spesifik.

Selain itu terdapat variabel lain yang muncul dalam penelitian ini yaitu, Ketiga subjek memiliki kebersyukuran (gratitude) dengan kehidupan yang dijalani sebgaai ibu rumah tangga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Subjek I dan subjek II memiliki rasa syukur dengan pemberian Tuhan bagaimanapun keadaan anaknya, kemudian pada subjek III mendapatkan proses pengalaman hidup yang lebih baik karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nura & Sari yang mengatakan bahwa keempat responden yang telah diwawancarainya memiliki kebersyukuran dengan kehadran anaknya yang memiliki kebutuhan khusus. Bentuk kebersyukuran yang diungkapkan adalah dengan menerima kehadiran sang anak sebagai suatu anugrah yang luar biasa, bersyukur atas prestasi yang dimiliki oleh anaknya, dengan adanya sang anak membuat subjek dapat belajar mengenai kehidupan dalam pandangan yang lebih positif dan juga menganggap semua perkembangan yang muncul pada anaknya adalah sumber kebersyukurannya [15].

Konsep diri yang muncul pada para subjek mengenai pandangan atau perspektif dalam dirinya menjadikan format penilaian diri pada lingkungannya secara positif. Subjek I tidak mempedulikan segala hal yang muncul secara negatif dalam kehidupannya dan juga setiap orang hanya perlu mengurusi kehidupannya masing-masing. Jika pada subjek II beranggapan bahwa semua orang berhak menilai bagaimana dirinya, namun dirinya sendiri berhak untuk tidak mempedulikan tanggapan orang lain terutama hal yang negatif. Namun jika pada subjek III mengatakan bahwa dalam prosesnya untuk menerima dan menjadi orang yang lebih baik adalah dengan selalu mengerti keadaan sehingga segala hal tidak dapat dibeli dengan uang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Farah et al., menyatakan bahwa konsep diri yang positif mampu memunculkan pribadi yang lebih positif pula, sehingga mampu memiliki regulasi diri yang baik bagi para subjeknya [16].

Penyesuaian diri yang dimiliki oleh ketiga subjek, diketahui bahwa para subjek mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya meskipun memiliki anak yang berkebutuhan khusus meskipun mengalami proses awal yang kurang dapat memunculkan penyesuaian dirinya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayuningsih & Andriani penyesuain diri membutuhkan proses sehingga para subjek mampu untuk menyesuaikan diri dengan anaknya yang berkebutuhan khusus. Penyesuaian diri ini akan dapat efektif apabila adanya dukungan sosial yang positif dari orang disekitarnya[17].

Kemampuan para subjek dalam regulasi diri adalah dengan mengalihkan dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menenangkan dirnya bahkan dengan kegiatan yang lebih positif dan juga lebih baik diam apabila masih berada dalam lingkungan yang membuat munculnya emosi negatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Alfidha et al. yang mengatakan bahwa para subjek mampu melakukan pengendalian diri dengan mengendalikan emosi dan juga perilakunya sehingga para subjek mampu membangun hubungan sosial yang positif dengan orang lain. Meskipun membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama karena hal tersebut dapat berubah atas dasar bertambahnya usia, pengalaman yang dimilikinya dan juga dukungan sosial yang didapatkan [18].

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan makan peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa gambaran kesejahteraan psikologis (psychological well-being) berdasarkan aspek pada ketiga subjek yang dijadikan dalam penelitian ini adalah Penerimaan Diri, dari ketiga subjek dikatakan mampu dan menyadari untuk menerima dirinya sesuai dengan takdir tuhan, Hubungan Positif dengan Orang Lain, satu dari ketiga subjek memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga sang suami. Namun dua diantaranya memiliki hubungan yang baik dengan keluarga besar dan juga para tetangga. Kemandirian, ketiga subjek terlihat sangat mandiri untuk mengurus diri dan bahkan suami dan juga anaknya, tanpa bantuan dari orang lain. Penguasaan Lingkungan, ketiga subjek cenderung mengabaikan hal-hal yang mengakibatkan dampak negatif. Dan mampu menguasai lingkungan dimanapun subjek berada. Tujuan Hidup, ketiga subjek memiliki tujuan hidup untuk dapat menjaga, merawat, mendidik, serta membesarkan anak-anaknya. Pertumbuhan Pribadi, secara umum ketiga subjek menganganggap pengalaman secara waktu ke waktu (bertambahnya usia) dapat membuat para subjek belajar dan menjadi lebih matang dalam berpikir dan bertindak. Sehingga para ibu rumah tangga yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki kesejahteraan psikologis yang baik dan mampu bertahan dalam mengurus anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK).

Faktor-faktor yang menjadi pendukung dalam proses subjek mendapatkan kesejahteraan secara psikologis ini adalah dengan adanya dukungan sosial terutama dari para suami, dan juga evaluasi terhadap pengalaman hidup yang telah dilalui. Pada akhirnya para ibu mampu untuk menerima anak-anaknya karena merasa bahwa anak-anak adalah anugrah tuhan yang harus dirawat dan disayangi sebagaimana anak-anak yang semestinya.

References

  1. Rahmitha, "Orang Tua dengan Anak yang Berkebutuhan Khusus," Rahmitha, Ed. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm. 5–8.
  2. OSYVIGH Pongoh and L. Alfons, "Peran Ibu Rumah Tangga Dalam Meningkatkan Status Sosial Keluarga Di Kelurahan Karombasan Selatan Kota Manado," Acta Diurna Komun., hlm. 1–11, 2017. [Online]. Tersedia: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurnakomunikasi/article/view/16572
  3. NLK Apsaryanthi dan MD Lestari, "Perbedaan Tingkat Kesejahteraan Psikologis Pada Ibu Rumah Tangga Dengan Ibu Bekerja Di Kabupaten Gianyar," J. Psikol. Udayana, vol. 4, tidak. 1, hlm. 110–117, 2017, doi: 10.24843/jpu.2017.v04.i01.p12.
  4. Geniofam, "Mengasuh & Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus," 2nd ed. Yogyakarta: Gerai Ilmu, 2010.
  5. DR Desiningrum, DR Suminar, dan ER Surjaningrum, "Kesejahteraan psikologis ibu dari anak dengan gangguan spektrum autisme: Peran fungsi keluarga," Humanit. Indonesia. Psikol. J., vol. 16, tidak. 2, hal. 106, 2019, doi: 10.26555/humanitas.v16i2.10981.
  6. K. Pelzer et al., "No vol. 2, no. 1." 2017. [Online]. Tersedia: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0167273817305726%0Ahttp://dx.doi.org/10.1038/s41467-017-01772-1%0Ahttp://www.ing.unitn.it/ ~luttero/laboratoriomateriali/RietveldRefinements.pdf%0Ahttp://www.intechopen.com/books/spectroscopic-analyses-developme
  7. CD Ryff, "Kesejahteraan Psikologis dalam Kehidupan Dewasa." Jakarta: Airlangga, 1989.
  8. U. Latifah, "KESEJAHTERAAN PSIKOLOGI PADA IBU RUMAH TANGGA YANG BERPROFESI SEBAGAI GURU DI PESANTREN," J. Psikol., hlm. 33–34, 2017.
  9. E. Flo, "Sekitar 70 Persen Anak Berkebutuhan Khusus Ditampung Yayasan Sayap Ibu," merahputih.com, 2018. [Online]. Tersedia: https://merahputih.com/
  10. MF Hakim, "Kasus Ibu Bunuh Anak di Kediri: Korban Berkebutuhan Khusus, Ibu Alami Gangguan Kejiwaan," Kompas.com, 2019.