Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Law
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.5014

First Resort: Alternative Dispute Resolution for Breach of Verbal Purchase Agreements


Penyelesaian Sengketa Alternatif: Pilihan Utama untuk Menyelesaikan Pelanggaran Kesepakatan Pembelian Verbal dalam Bisnis

University Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Alternative Dispute Resolution Verbal Purchase Agreements Non-litigation Law No. 30/1999 Evidence Tools

Abstract

Disputes over breach of verbal purchase agreements often occur in society, particularly in the business sector. The purpose of this study is to analyze efforts to resolve such disputes based on Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution. The research method used is normative research. The results of this study show that efforts to resolve disputes over breach of verbal purchase agreements can be carried out through non-litigation based on the selection of Alternative Dispute Resolution methods, such as Negotiation, Mediation, Conciliation, and Arbitration based on Law No. 30/1999. Non-litigation resolution is intended as the first resort and considers the court as a last resort, in addition, the evidence tools as regulated in Article 1866 of the Civil Code need to be presented because the agreement was made verbally.

Highlights :

  • Disputes over breach of verbal purchase agreements are common in the business sector.
  • Alternative Dispute Resolution methods such as negotiation, mediation, conciliation, and arbitration can be used to resolve disputes based on Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.
  • Non-litigation resolution is the preferred approach, with the court being considered as a last resort, and evidence tools as regulated in Article 1866 of the Civil Code need to be presented for verbal agreements.

Keywords: Alternative Dispute Resolution, Verbal Purchase Agreements, Non-litigation, Law No. 30/1999, Evidence Tools

Pendahuluan

Manusia dalam menjalani kehidupan tidak terlepas dari hubungan satu orang dengan orang yang lainnya . Dalam kehidupan bermasyarakat manusia saling membutuhkan satu sama lain ( berkelompok ) dalam pergaulannya atau disebut dengan zoon politicon . [1] Zoon politicon yang telah melekat pada kehidupan bermasyarakat ini mengakibatkan manusia cenderung selalu berhubungan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya . Hubungan antar manusia ini juga disebut sebagai hubungan hukum , dikarenakan seringnya berinteraksi antara satu orang dengan orang yang lain sehingga menimbulkan kerjasama bisnis. Seperti melakukan perbuatan hukum dalam perjanjian jual beli dan perbuatan hukum lainnya.

Jual beli diatur pada Pasal 1457 KUHPerdata, “jual beli ialah suatu perjanjian pihak pertama saling terikat dirinya untuk menyerahkan barang dan pihak kedua untuk bayar biaya harga yang sudah disepakati bersama.[2] Kemudian pada perjanjian jual beli timbul hak dan kewajiban para pihak untuk memenuhi suatu yang diperjanjikannya dalam jual beli. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka dianggap wanprestasi. Wanprestasi biasa terjadi karena salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak melaksanakan dengan baik dengan unsur kesengajaan atau lalai tidak melaksanakan suatu prestasi (kewajiban) yang telah disepakati dalam suatu perjanjian. Terutama dalam perjanjian jual beli lisan,[3] sengketa wanprestasi cenderung dianggap lemah dalam pembuktian.

Dalam penyelesaian sengketa wanprestasi, biasa dilakukan dengan dua cara yakni melalui litigasi (peradilan) maupun non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi bersifat formal, menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang atau kalah, cenderung lambat dan memakan biaya yang tidak sedikit. Keadaan ini mengakibatkan masyarakat mencari alternatif penyelesaian sengketa lain diluar proses peradilan atau non litigasi.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu sebagai upaya dalam menemukan suatu perbandingan kemudian setelahnya mendapatkan sebuah gagasan pemikiran atau insipirasi baru untuk melakukan penelitian atau menganalisis penelitian selanjutnya. Penelitian pertama berjudul Upaya Penyelesaian Wanprestasi Yang Dialakukan Pelanggan Terhadap PT. MENSANA dalam Perjanjian Jual Beli Obat Ternak di PT. MENSANA. Dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini bahwa penyelesaian wanprestasi dilakukan melalui non litigasi dengan negosiasi dan mediasi. Penelitian Kedua yang berjudul PenyelesaianWanprestasiDalamPerjanjain Jasa Perjalanan Antara PT. Adinda Tour and Traveling DenganAlsa Local Chapter Universitas Jember. Hasil kesimpulan dari penelitian ini, sengketa wanprestasi antara PT. Adinda Tour and Traveling dengan Alsa Local Chapter Universitas Jember penyelesaian yang dapat dilakukan oleh Alsa Local Chapter Universitas Jember ialah melakukan peringatan atau somasi baik secara tertulis maupun lisan, apabila tidak ditanggapi maka upaya penyelesaian yang dapat dilakukan ialah menyelesaikan melalui non litigasi atau biasa disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui negosiasi atau mediasi. Penelitian ketiga yang berjudul Wanprestasi Dalam Perjanjian Ekspor Impor Kopi Antara Koperasi Pedagang Kopi (KOPEPI) Ketiara dengan Royal Coffee (suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Tengah). Bisa disimpulkan bahwasannya penelitian ini merupakan bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh royal coffe ialah terkadang terlambat melakukan pembayaran setelah barang yang dipesan dikirimkan, sedangkan bentuk wanprestasi dilaksanakan oleh pengekspor kopi ialah terlambat melakukan pengiriman barang. Penyelesaian sengketa antara para pihaknya dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan negosiasi.

Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian sebelumnya terfokuskan pada penyelesaian sengketa wanprestasi antara para pihak. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan secara umum, tidak terfokus pada suatu pihak tertentu dan menjelaskan skema penyelesaian suatu sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Setelah mengkaji dan mengamati latar belakang diatas, penelitian ini penting untuk dilakukan penulis sebagai referensi atau langkah yang tepat untuk dilakukan bagi masyarakat kedepannya apabila mengalami permasalahan yang serupa. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis Alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian nomatif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah statute approach, pendekatan ini dilakukan dengan mengkaji suatu undang-undang atau suatu peraturan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis. Bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yang meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Mahkammah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi di Pengadilan. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa jurnal hukum, buku ilmu hukum maupun literature yang relevan dengan penelitian penulis. Analasia bahan hukum dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis deduktif.

Hasil dan Pembahasan

Alternatif Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Lisan.

Alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan Apabila Debitur tidak memenuhi prestasi Melalui Alternatif penyelesaian sengketa

Menurut Erman Rajagukguk, [4] masyarakat terutama para pebisnis lebih menyukai penyelesaian sengketa dilakukan diluar pengadilan. Bagi kalangan pelaku bisnis ditunjukkan dalam Pengadilan bukan merupakan suatu Lembaga Peneyelesaian Sengketa seacara pasti dan akurat. Pengadilan dianggap memiliki kekurangan serta menyebabkan kekecewaan tinggi pada warga. Tidak terpenuhinya keinginan warga pada Pengadilan sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa dan akhirnya terbitlah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan.[5] Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwasannya “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.[6] Alternatif Penyelesaian Sengketa dimaksudkan sebagai tindakan awal (primum remedium atau first resort) dan menganggap jalur pengadilan merupakan upaya akhir (ultimumremidium atau the last resort) pada penyelesaian suatu permasalahan.

Dalam hal debitur tidak memenuhi prestasi seperti yang diperjanjikan dalam perjanjian jual beli lisan sehingga terjadi wanprestasi, maka alternatif penyelesaian yang dapat dilakukan oleh kreditur yakni secara non litigasi melalui tahapan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut :

a. Negoisasi

Dalam ilmu hukum, negosiasi dikonsepsikan sebagai bagian dari alternatif dispute resolution (ADR) selain konsultasi, mediasi dan konsiliasi. Konsep tersebut semakin diakui dengan adanya Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa Negosiasi adalah “Penyelesaian atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana yang dimaksud ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh pihak yang saling bersengketa dalam waktu paling lama 14 hari dan hasil dari pertemuan dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis”, kata pertemuan langsung oleh para pihak yang bersengketa ini dimaksudkan sebagai negosiasi. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan 1864 KUHPer, dimana dalam Pasal 1851 KUHPer perdamaian itu adalah kesepakatan bersama dengan satu tujuan antara semua pihak yang terlibat, memberikan, memberi janji dan mengambil barang, menyelesaikan permasalahan yang saling berkaitan atau mencegah timbulnya suatu perkara.[2] Negosiasi dikonsepsikan sebagai tahap awal penyelesaian sengketa dengan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa untuk saling berdiskusi sehingga mencapai kesepakatan.

Karakteristik dari negosiasi antara lain :

  1. Adanya para pihak yang bersengketa;
  2. Adanya konflik atau sengketa;
  3. Adanya cara-cara pertukaran sesuatu baik berupa tawar menawar maupun tukar menukar kesepakatan;
  4. Adanya pertemuan langsung para pihak;
  5. Menyangkutkan hal-hal di masa depan atau sesuatu yang belum terjadi dan diinginkan terjadi.[7]

Adapun skema mekanisme Negosiasi Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut:

Figure 1.Bagan prosedur negosiasi menurut UU Nomor 30 Tahun 1999.

Gambar 3.1 diatas merupakan skema mekanisme negosiasi menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut skema diatas, dalam melakukan negosiasi diperlukan kehadiran pihak yang bersangkutan saling bersepakat untuk melakukan negosiasi sehingga kemudian dalam suatu pertemuan para pihak untuk saling bernegosiasi atau berunding terhadap penyelesaian suatu sengketa yang dihadapi. Apabila dalam suatu perundingan antara kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat maka kesepakatan tersebut dituangkan pada suatu perjanjian tertulis yang kemudian akta kesepakatan tertulis tersebut di daftarkan pada Pengadilan Negeri untuk dilaksanakan oleh para pihaknya. Dan apabila dalam proses bernegosiasi antara kedua belah pihak telah dilakukan namun tidak mencapai kata sepakat, maka pemilihan alternatif penyelesaian yang akan dilaksanakan selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (3) tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah para pihak dapat menempuh mediasi.

Dalam proses negosiasi, apabila terjadi kesepakatan perdamaian hal tersebut dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan wajib mendaftarkan di Pengadilan Negeri sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (7) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi : “Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Namun, apabila proses negosiasi tidak mencapai kata sepakat maka tahapan yang dapat dilakukan selanjutnya ialah mediasi sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator”.[6] Negosiasi dianggap berakhir apabila terpengaruhi suatu kondisi yaitu Ke- Satu negosiasi berhasil membuat kesepakatan secara tertulis oleh para pihak. Ke - Dua, negosiasi tidak berhasil sehingga belum terlaksanakan capaian suatu kesepakatan tertulis oleh para pihak.

b. Mediasi

Peraturan Mahkammah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 dalam Pasal 1 Angka 1 mendefinisikan,[8] mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Penyelesaian melalui mediasi dengan adanya keterlibatan pihak ketiga selaku mediator dapat mempercepat suatu pemeriksaan dalam perkaranya, dikarenakan mediator sebagai pihak ketiga tersebut memiliki peran untuk memberikan bantuan dengan memberi pendapat yang diminta oleh para pihak dalam sengketanya, bersikap netral, tidak berpihak pada salah satu pihak dan tidak memiliki kepentingan pribadi dalam suatu sengketa tersebut. Untuk dapat menjadi seorang mediator harus memenuhi syarat-syarat antara lain :

  1. Cakap melaksanakan tindakan hukum;
  2. Memiliki umur minimal 30 tahun;
  3. Mempunyai pengalaman dan pintar memahami kinerja tertentu yang sesuai permasalahan sengketa;
  4. Tidak ada keberatan pada semua pihak;
  5. Tidak mempunyai relasi kerja sesama saudara pada pihak yang bersengketa;
  6. Tidak mempunyai relasi kerja pada salah satu pihak yang bersengketa;
  7. Tidak memiliki kepentingan terhadap perundingan maupun proses dan hasil dari perundingan.[9]
  8. Apabila menggunakan lembaga Mediator, maka mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkammah Agung atau lembaga yang memeperoleh akreditasi dari Mahkammah Agung (PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 13 ayat 1).

Mediasi mempunyai karakteristik yang membedakan cara penyelesaian sengketa alternatif. Karakteristik mediasi sebagai berikut :

  1. Mediasi merupakan kesepakatan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation);
  2. Melibatkan pihak ketiga yaitu mediator;
  3. Mediator bersifat pasif dan hanya berfungsi sebagai fasilitator yang bertugas membantu menyelesaikan;
  4. Mediator tidak berwenang mengambil keputusan. Pengambilan keputusan tetap berada ditangan para pihak yang bersengketa;
  5. Mediasi bertujuan untuk mencapai kesepakatan tertulis yang dapat diterima para pihak yang bersengketa.[4]

Skema alur tahapan dalam Mediasi menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai berikut :

Figure 2.Skema tahapan mediasi menurut UU No 30 Tahun 1999

Pada gambar 3.2 merupakan skema dari tahapan mediasi menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam melakukan mediasi, tentunya melibatkan kehadiran para pihak yang bersengketa untuk melakukan mediasi. Proses mediasi dibantu oleh pihak ketiga atau yang disebut dengan mediator. Untuk dapat menjadi mediator dapat merupakan perorangan yang memiliki kedudukam lebih tinggi dari pihak lawan ataupun dapat melalui lembaga mediasi. Apabila dalam proses mediasi tersebut mencapai kata sepakat, maka kesepakatan final tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri untuk dilaksanakan. Namun, apabila proses mediasi belum adanya kesepakatan maka alternatif penyelesaian sengketa yang bisa terlaksanakan yakni melalui konsiliasi atau arbitrase.

Akhir dari mediasi terpengaruhi oleh suatu kondisi yakni Ke - satu, mediasi berhasil dan membuat kesepakatan secara tertulis sebagai bukti perdamaian antar para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999. Ke - dua, mediasi tidak berhasil sehingga belum ada capaian kesepakatan secara tertulis sebagai bukti perdamaian. Artinya, belum ada capaian kesepakatan secara tertulis menjadi bukti berhasil atau tidaknya suatu proses mediasi. Ketidakberhasilan proses mediasi mempengaruhi pihak-pihak yang bersengketa melakukan upaya lainnya.

c. Konsiliasi

Menurut Jimmy Yoses Sembiring, konsiliasi ialah lanjutan dari mediasi, di sini mediator berubah fungsi menjadi konsiliator.[10] Dengan demikian, konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan melibatkan pihak ketiga memiliki sikap netral, tidak memihak, bersifat aktif dan diterima oleh semua pihak yang bersangkutan dalam permasalahan sengketa. Pihak ketiga sering dijuluki sebagai konsiliator tidak hanya bertugas sebagai fasilitator seperti mediator. Tugas dari konsiliator yakni:

  1. Menyampaikan pendapat tentang duduk persoalan;
  2. Memberikan saran-saran yang meliputi keuntungan dan kerugian para pihak yang bersengketa;
  3. Mengupayakan tercapainya kesepakatan kepada pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan atau mengakhiri persengketaannya.[4]

Namun konsiliator tidak memiliki wewenang untuk memberi sebuah keputusan. Pengambilan keputusan tetap ada pada semua pihak yang bersangkutan bukan di tangan konsiliator.[11] Pada konsiliasi, konsiliator dalam hal ini lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya memberi penawaran kepada semua pihak yang bersengketa. Ketika semua pihak yang bersengketa belum bisa memberi rumusan dalam suatu kesepakatan, maka pihak ketiga akan memberikan usulan untuk solusi dari sengketa. Meskipun posisi konsiliator tidak berwenang memberi putusan, melainkan hanya berwenang membuat rekomendasi dalam pelaksanaan sangat bergantung dari itikad baik semua pihak yang bersengketa. Adapun yang menjadi karakteristik konsiliasi diantaranya adalah:

  1. Konsiliasi adalah salah satu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan;
  2. Konsiliator adalah pihak ketiga yang netral (neutral), tidak memihak (impartiality), bersifat aktif dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam perundingan;
  3. Konsiliator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan tertulis;
  4. Konsiliator mempunyai kewenangan mengusulkan pendapat, memberi saran-saran meliputi keuntungan dan kerugiannya serta merancang syarat-syarat kesepakatan di antara para pihak;
  5. Konsiliator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan.[4]

Untuk menjadi konsiliator boleh setiap orang, lembaga maupun sebuah negara yang disepakati semua pihak terkait bila melakukan konsiliasi antar negara. Konsiliator sendiri harus memiliki sifat netral agar konsiliasi dapat dilakukan secara efektif dan konsiliator yang terpilih dari semua pihak mempunyai wewenang untuk memberikan pendapat perihal perbedaan yang terjadi antara semua pihak yang bersangkutan. Apabila dilihat dari isi Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka skema tahapan atau mekanisme konsiliasi adalah sebagai berikut:

Figure 3.Mekanisme Konsiliasi menurut UU No 30 Tahun 1999.

Gambar 3.3 diatas merupakan skema mekanisme konsiliasi menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Pada konsiliasi ini, para pihak dalam mengambil keputusan dibantu oleh pihak ketiga atau konsiliator yang bersifat aktif untuk mengusulkan pendapat agar terselesaikannya suatu sengketa. Pada pokoknya, konsiliasi dan mediasi merupakan penyelesaian yang sama-sama dibantu oleh pihak ketiga. Apabila terjadi kesepakatan perdamaian, hal tersebut tetap harus di daftarkan pada Pengadilan Negeri, dan jika tidak terjadi kesepakatan maka dapat dilakukan alternatif penyelesaian melalui arbitrase. Dalam hal berakhirnya konsiliasi juga tidak ada perbedaan yang prinsipil dengan berakhirnya proses mediasi. Artinya, proses konsiliasi berakhir apabila pertama, konsiliasi berhasil membuat kesepakatan secara tertulis sebagai bukti perdamaian untuk semua pihak; kedua, konsiliasi berakhir karena tidak berhasil sehingga belum memiliki capaian kesepakatan secara tertulis sebagai bukti perdamaian.

Pada Pasal 6 ayat (9) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi “Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui Lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc”. Dengan merujuk pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, maka tahapan upaya melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak terselesaikan atau tidak terjadi kesepakatan, maka tahapan yang dapat dilakukan selanjutnya yakni adalah Arbitrase.

d. Arbitrase

Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase merupakan cara penyelesaian pada sengketa perdata di luar pengadilan umum berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh semua pihak yang bersangkutan. Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase pada hakekatnya secara umum tidak jauh berbeda pada proses pemeriksaan perkara di Pengadilan. Karena baik arbitrase maupun litigasi sama-sama merupakan mekanisme adjudikatif, yaitu pihak ketiga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa memiliki wewenang untuk memberi putusan sengketa tersebut. Arbitrase termasuk adjudikatif privat sedangkan litigasi termasuk adjudikatif public. Sehingga baik arbitrase maupun litigasi sama-sama bersifat win-lose solution.[12]

Pihak ketiga yang dimaksudkan dalam arbitrase ialah disebut arbiter. Arbiter ialah seorang atau lebih yang ditunjuk oleh semua pihak yang bersangkutan atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk membuat putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. Syarat-syarat menjadi arbiter diatur pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut:

  1. Cakap melakukan tindakan hukum;
  2. Berumur paling rendah 35 tahun;
  3. Tidak memiliki relasi kerja sesama saudara pada pihak yang bersengketa;
  4. Tidak memiliki kepentingan finansial atas putusan arbitrase; dan
  5. Mempunyai pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Mengenai Mekanisme skema tahapan arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa :

Figure 4.Mekanisme arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999

Pada gambar 3.4 diatas, merupakan skema mekanisme arbitrase berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999. Dalam proses arbitrase, diperlukan kehadiran para pihak yang saling bersengketa dan memilih penyelesaian melalui arbitrase. Sebelum proses lebih lanjut, terlebih dahulu terdapat tahapan pemeriksaan mengenai pemeriksaan perkara, proses pembuktian dan sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter yang berlangsung selama tiga puluh hari. Lembaga arbitrase institusional atau Adhocdalampelaksanaan pemeriksaan dipimpin oleh arbiter ataupun majelis arbiter yang berlangsung dalam kurun waktu tiga puluh hari. Sebagaimana pendapat atau putusan yang telah disampaikan oleh arbiter atau mejelis arbiter wajib untuk dilaksanakan oleh para pihak. Apabila tidak dapat dilaksanakan oleh para pihaknya, maka akan dilakukan eksekusi berdasarkan perintah pengadilan negeri.

Berakhirnya tugas arbiter dalam membantu menyelesaikan sebuah sengketa apabila :[6]

  1. Putusan mengenai sengketa telah diambil;
  2. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau
  3. Para pihak sepakat menarik kembali penunjukan arbiter.
  4. Arbiter meninggal dunia.

Dari beberapa pemamparan diatas, mengenai penjabaran pada tahapan mana Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) digunakan, maka alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan apabila debitur tidak memenuhi prestasi dapat dilakukan upaya penyelesaian dengan skema sebagai berikut:

Figure 5.Skema penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan apabila debitur tidak memenuhi prestasi

Setelah melihat beberapa skema alternatif penyelesaian sengketa diatas, maka pada gambar 3.5 dijelaskan skema alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjajian jual beli lisan apabila debitur tidak memenuhi prestasi, yang dapat dilakukan oleh para pihak yakni para pihak saling bertemu untuk menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi. Pada tahap awal, pemilihin alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui negosiasi, apabila dalam pertemuan tersebut apabila proses negosiasi berhasil mencapai kata sepakat maka kesepakatan tertulis wajib didaftarkan pada Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dan apabila belum tercapai kesepakatan maka pemilihan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan selanjutnya melalui mediasi yang difasilitasi pertemuan oleh pihak ketiga yang disebut dengan mediator. Untuk dapat menjadi mediator, dapat dilakukan oleh perorangan yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pihak lawan ataupun mediator yang ditunjuk pada lembaga mediasi. Apabila tidak mencapai kata sepakat maka pemilihan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan selanjutnya ialah konsiliasi yang dibantu oleh konsiliator sebagai pihak yang bersikap netral dan bantu semua pihak untuk merumuskan suatu permasalahan yang dihadapi dan mendapatkan solusi yang menguntungkan bagi para pihaknya. Namun apabila dalam proses konsiliasi tidak tercapai kata sepakat, maka alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan ialah arbitrase. Dalam mekanisme arbitrase, dibantu oleh pihak ketiga yang disebut arbiter. Setiap terjadi kesepakatan, hal tersebut wajib dituangkan dalam kesepakatan tertulis dan wajib didaftarkan pada Pengadilan Negeri sebagai kekuatan eksekutorial para pihaknya.

Alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan apabila salah satu pihak menganggap tidak pernah ada perjanjian jual beli lisan

Dasar di setiap perjanjian sudah terbuat dan telah disetujui bersama oleh semua pihak harus melaksanakan isi perjanjian dengan itikad baik. Di prakteknya sering dijumpai fakta semua pihak yang bersangkutan baik debitur maupun kreditur banyak yang tidak penuhi isi perjanjian dalam berbagai alasan, terutama dalam perjanjian jual beli lisan. Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam pasal 1338 KUHPerdata tidak menitikberatkan perjanjian harus dilakukan secara tertulis ataupun tidak tertulis (lisan), yang artinya perjanjian lisan pun dianggap sah apabila dalam perjanjian terpenuhinya unsur syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam hal apabila salah satu pihak menganggap atau tidak mengakui pernah melakukan perjanjian lisan dengan rekan bisnisnya meskipun perjanjian tersebut benar adanya, terdapat beberapa upaya penyelesaian yang dapat dilakukan dengan menggunakan non litigasi melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan skema sebagai berikut :

Figure 6.Skema alternatif penyelesaian sengket wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan apabila salah satu pihak menganggap perjanjian jual beli lisan tidak pernah ada menurut UU No 30 Tahun 1999

Pada gambar 3.6 dijelaskan skema alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi didalam perjanjian jual beli lisan apabila pihak pertama menganggap perjanjian jual beli lisan tidak pernah ada menurut Undang-undang nomor 30 Tahun 1999. Para pihak bertemu untuk bernegosiasi, apabila negosiasi mencapai kata sepakat hal tersebut wajib didaftarkan pada Pengadilan Negeri, apabila tidak sepakat maka dapat dilakukan mediasi dengan melibatkan pihak mempunyai pran yang lebih tinggi dari pihak lawan sebagai mediator. Disamping itu, dikarenakan perjanjian jual beli dilakukan secara lisan maka alat-alat bukti wajib dimunculkan sebagai pembuktian. Sebagaimana Pasal 1865 KUHPer dan 163 H.I.R. yang mengatur mengenai diwajibkannya membuktikan adanya suatu peristiwa guna meneguhkan haknya sendiri ataupun membantah suatu hak orang lain. Macam-macam alat-alat bukti diatur dalam Pasal 164 H.I.R [13] dan Pasal 1866 KUHPer yang menyebutkan alat-alat bukti ialah, sebagai berikut:

  1. Bukti tulisan;
  2. Bukti dengan saksi-saksi;
  3. Persangkaan-persangkaan;
  4. Pengakuan;
  5. Sumpah.

Apabila dengan menunjukkan alat-alat bukti diatas tetap tidak mecapai kata sepakat, maka pemilihan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan selanjutnya adalah konsiliasi.

Perbandingan Melakukan Alternatif Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Lisan Melalui Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tentu memiliki keunggulan dan kelemahan, diantaranya sebagai berikut :

N Penyelesaian Keunggulan Kelemahan
o1. Negosiasi Tidak bersifat formalAdanya kesempatan meguta-rakan keinginan sehingga di dengar pihak lawan Berupaya menemukan solusi terbaik kedua pihak (win-win solution)Penyelesaian sengketa secara bersama-sama Tidak ada jaminan para pihak melakukan kewajiban yang telah disepakati apabila kesepakatan belum didaftarkan pada PengadilanTidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan kedua pihakSulit berjalan apabila kekuatan para pihak tidak seimbang
2. Mediasi Efisiensi waktu dan biayaBersifat rahasiaHasil kesepakatan memuaskan para pihakHubungan tetap terjaga dengan baikPara pihak memiliki kebebasan memilih mediator yang ditunjuk Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketaKesepakatan yang dicapai tidak memiliki kekuatan hukum eksekutorial sebelum didaftarkan pada Pengadilan
3. Konsiliasi Efisiensi waktu dan biaya murahDijelaskan oleh konsilator mengenai keuntungan dan kerugian apabila pengambilan suatu keputusanTidak seformal sidang di Pengadilan Putusan tidak mengikat sehingga tergantung sepenuhnya pada pihak yang bersengketa
4. Arbitrase Adanya kerahasiaan para pihakProses pemeriksaan fleksibel dan tidak formalLebih cepat dan hemat biayaAdanya kebebasan para pihak memilih arbiterTidak prosedural dan tidak administartif Arbitrase belum dikenal luas oleh masyarakatKetergantungan pada itikad baik para pihakArbitrase tidak memiliki kekuatan eksekutorial karen putusannya masih harus di daftarkan pada Pengadilan.
Table 1.Perbandingan penyelesaian melalui Alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase

Pada tabel 3.1 diatas merupakan tabel perbandingan penyelesaian melalui Alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase. Penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan berdasarkan undang-undang nomor 30 Tahun 1999 dapat dilakukan menggunakan proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Disamping itu, dari berbagai proses diatas tentunya terdapat keunggulan dan kelemahan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi disukai masyarakat dikarenakan memiliki banyak keunggulan diantaranya tidak bersifat formal dan menemukan win-win solution, namun kelemahan menggunakan negosiasi ialah sulit berjalan apabila kekuatan para pihak tidak seimbang sehingga tidak dapat mencapai kesepakatan bersama. Dalam proses mediasi, keunggulan yang didapatkan oleh masyarakat yakni lebih efisien waktu dan biaya dibandingkan proses litigasi. Kelemahan dari proses mediasi ini sangat digantungkan oleh itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketa, karena apabila tidak terdapat itikad baik dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi maka tidak akan terjadi kesepakatan. Alternatif penyelesaian sengketa melalui konsiliasi juga memiliki kelebihan pada efisiensi waktu dan biaya yang terbilang murah, terdapat pihak ketiga yang akan menjadi penengah yang juga menjelaskan keuntungan dan kerugian para pihak terhadap suatu keputusan yang akan diambil. Namun disamping keunggulan tersebut, konsiliasi juga memiliki kelemahan diantaranya yakni suatu putusan kesepakatan bersama tersebut tidak mengikat sehingga tergantung pada pihak yang bersengketa apabila kesepakatan bersama tersebut tidak didaftarkan pada Pengadilan Negeri. Pemilihan penyelesaian melalui arbitrase memiliki beberapa keunggulan diantaranya terjaminnya kerahasiaan para pihak yang mana tentunya hal ini berbeda apabila penyelesaian sengketa dilakukan melalui litigasi dan para pihak memiliki kebebasan untuk menunjuk arbiter yang akan membantu memutuskan suatu sengketa. Disamping itu, kelemahan arbitrse salah satunya adalah arbitrase belum dikenal luas oleh masyarakat, sehingga tidak banyak masyarkat yang memilih alternatif penyelesain sengketa melalui arbitrase.

Simpulan

Alternatif penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian jual beli lisan bisa dilaksanakan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (non litigasi) dengan negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Terkait dengan pemilihan penyelesaian melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, perlu ditinjau berdasarkan variabel atau jenis sengketa yang ada. Terlebih karena perjanjian tersebut dilakukan secara lisan, dan bukti-bukti pendukung belum mencukupi untuk dilakukan upaya hukum lebih lanjut, maka mediasi dan konsilasi merupakan langkah yang lebih tepat digunakan, karena untuk mencapai kesepakatan akan dibantu oleh pihak ketiga yang bersikap netral yang akan memfasilitasi pertemuan semua pihak dan merumuskan terkait penyelesaian suatu sengketa yang akan saling menguntungkan para pihak. Dan apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 KUHPer terpenuhi ataupun bukti yang menguatkan lainnya, maka para pihak dapat menyelesaikan melalui Arbitrase, hal ini menjadi tepat karena bukti-bukti yang dimiliki para pihak mempermudah arbiter menentukan keputusan yang bersifat final. Apabila hanya terdapat bukti pengakuan, baik pengakuan dari para pihak yang bersengketa maka Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tepat untuk digunakan ialah negosiasi dimana kedua pihak yang bersengketa saling berdiskusi untuk menyelesaikan secara perdamaian yang didasarkan dengan kesepakatan yang disepakati oleh para pihaknya.

References

  1. Muhamad Sadi Is, 2017, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, h. 79.
  2. Kitab Undang Undang Hukum Perdata
  3. I Made Aditia Warmadewa and I Made Udiana, “Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Baku” Kertha Semaya : Journal Ilmu Hukum; Vol 5 No 2 (2017). 2016.
  4. Erman Rajaguguk. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. (Jakarta: Chandra Pratama. 2001) hlm. 30.
  5. Ariani, Nevey Varida (2012). “Alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan”, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. 1(2): 278.
  6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
  7. Endrik Saifudin, S.H.I., M.H. 2018. Alternatif Penyelesaian Sengketa Dan Arbitrase. Cetakan Pertama. Malang. Intrans Publishing.
  8. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
  9. Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2006, hlm. 133-134.
  10. Susialawetty. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diTinjau dalam Perspektif Perundang-Undangan. Gramatika Publishing. Bekasi. 2013. Hlm. 27.
  11. Alethia Rabbani. 2020. Pengertian Konsiliasi, Karakteristik, Tujuan, Tahapan, Keuntungan dan Contohnya. https://www.sosiologi79.com/2020/05/pengertian-konsiliasi-karakteristik.htm?/m=1. Diakses pada 08 Agustus 2022. Pukul 23.10
  12. Dewi Tuti Muryanti, B. Rini Heryanti. Pengaturan Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi Di Bidang Perdagangan. Jurnal Dinamika Sosbud. Vol.13 No.1. Juni 2011. Hlm.62.
  13. Herzien Inlandsch Reglement.