Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Law
DOI: 10.21070/acopen.8.2023.4146

Legal Ambiguity of the Able Requirement for a Husband to Practice Polygamy in Indonesia


Ketidakjelasan Hukum tentang Persyaratan yang Mampu bagi Seorang Suami untuk Melakukan Poligami di Indonesia

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Polygamy in Indonesia Able requirement Legal ambiguity Law No. 1/1974 on Marriage Normative legal research

Abstract

This study examines the meaning of "mampu" or "ability" in Article 5 Paragraph 1 letter (b) of Law No. 1/1974 on Marriage, which serves as a requirement for a husband to practice polygamy in Indonesia. Through a normative legal research method with a statutory approach, the study finds that "mampu" refers to the husband's ability to provide for the needs of his wives and children, including clothing, shelter, and food, based on his income and monthly expenses during his previous marriage. The research emphasizes that "mampu" is a prerequisite for husbands to practice polygamy, ensuring that they can fulfill the needs of all their wives and children while providing legal protection for their first wife and children.

Highlights:

  • Study analyzes criteria for polygamy in Indonesia.
  • Husband's ability to provide for family is a key factor.
  • Legal research and deductive methods used for analysis.

Keyword: Polygamy in Indonesia, Able requirement, Legal ambiguity, Law No. 1/1974 on Marriage, Normative legal research

Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertera pada Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara hukum (rechtsstaat) secara sederhana dapat diartikan sebagai negara yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan berdasarkan hukum atau aturan yang berlaku. Hukum ini berupa peraturan perundang-undangan dan akan berpuncak di undang-undang dasar sebagai konstitusi yang paling tinggi atau mendasar (grundnorm).[1] Artinya bahwa setiap warga negara Indonesia haruslah mentaati aturan hukum yang ada agar tercapainya tujuan negara, termasuk didalamnya yakni aturan hukum tentang perkawinan. Menurut UU No.1/1974 Pasal 1 disebutkan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, Perkawinan menurut beberapa pendapat ahli fiqih menurut hukum Islam ialah suatu akad (transaksi) yang menghasilkan akibat hukum “kebolehan hubungan seksual”, dengan cara menggunakan kata-kata “nikah”, “ziwaj” atau yang searti dengan lafadh tersebut.[2] Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam Pernikahan dimaknai sebagai akad yang sangat kuat atau miisaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[3]

Pada dasarnya , dalam perkawinan seorang pria hanya diperbolehkan memiliki seorang istri, dan seorang wanita hanya diperbolehkan memiliki seorang suami (asas monogami). Namun adakalanya dalam perkawinan dapat terjadi perkawinan seorang suami yang memiliki dua orang istri karena beberapa alasan tertentu. Yang mana pengadilan bisa memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[4] Salah satu hal yang perlu disoroti oleh pengadilan untuk diperiksa yaitu pada pasal 5 ayat 1 huruf (b) UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka”. Yang menjadi permasalahan adalah kata “mampu” dalam pasal tersebut, dimana tidak dijelaskan lebih lanjut keadaan seperti apa sehingga suami dapat dikatakan mampu dalam memenuhi keperluan-keperluan istri-istri dan anak-anaknya yang disebutkan dalam pasal tersebut.

Menurut Irvan Nirwana,2019 berjudul “Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Permohonan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Samarinda Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Berdasarkan jurnal tersebut menyimpulkan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara permohonan izin poligami dengan berdasarkan dalil-dalil serta bukti-bukti dari pemohon menggunakan dasar hukum dari Al-quran dan Undang-undang.[5] Selanjutnya menurut Wardah Nuroniyah, et all, 2018, berjudul “Persepsi Hakim Mengenai Adil Sebagai Syarat Permoohonan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Kota Cirebon”. Menyimpulkan bahwa Hakim pada Pengadilan Agama Cirebon dalam mengartikan adil dalam poligami adalah adil yang bersifat proposional, yaitu adil yang menyesuaikan dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam artian bahwa suami dalam memberikan nafkah dan lain-lain menyesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap istri. Kemudian juga indikator dikabulkan atau ditolaknya suatu izin poligami pada Pengadilan Agama yaitu berdasarkan hakim memperoleh keyakinan suami akan berlaku adil adalah dengan persangkaan hakim yang didahului dengan pembuktian di depan persidangan.[6] Sedangkan dalam penelitian ini, penulis memiliki tujuan dalam pembahasan untuk mengetahui bagaimana maksud syarat “adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka” terkait dengan pemberian izin poligami yang diajukan seorang suami nantinya.

Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian hukum normative. Penelitian hukum yang dikonsepkan dengan yang telah tertulis pada peraturan perundang-undangan dan hukum norma yang dianggap pantas sebagaimana menjadi pedoman perilaku manusia.[7] sehingga penelitian hukum normative berfokus pada hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum.[8]

B. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach)pendekatan dilakukan dengan mengkaji dan mendalami serta menganalisa semua Undang-Undang dan regulasi yang saling berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani[7] Tujuan memilih pendekatan ini adalah untuk menganalisis terkait perihal kekaburan hukum pada kata mampu dalam pasal 5 ayat (1) huruf b UU No.1/1974 tentang Perkawinan.

C. Bahan hukum

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam menyusul proposal ini adalah menggunakan dua bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan baham hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang dalam hal ini mengikat isu hukum yang sedang ditangani.

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  3. Kompilasi Hukum Islam.
  4. Putusan Nomor 1845/Pdt.G/2014/PA.Sda
  5. Putusan Nomor 576/Pdt.G/2015/PA.Sda
  6. Putusan Nomor 883/Pdt.G/2015/PA.Sda

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang menjadi pelengkap atas bahan hukum primer atau bisa dikatakan sebagai bahan yang digunakan untuk penjelas atas bahan hukum primer yang peneliti kumpulkan berdasarkan kebutuhan, terdiri dari jurnal, buku-buku, tulisan yang terkait dan berita online.

D. Analisa Bahan Hukum

Menggunakan metode deduktif yaitu dengan menggunakan pendekatan pengolahan bahan hukum secara umum dan menganalisis permasalahan hukum dengan fakta-fakta yang ada di lapangan atau lingkup masyakarat kemudian ditarik kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

A. Mampu Sebagai Syarat Bagi Suami Untuk Berpoligami

Bila membahas tentang poligami maka harus dimulai dari pembahasan perkawinan yang mana pada asasnya dalam waktu yang sama seorang suami hanya dapat diikat dalam suatu perkawinan dengan seorang isteri, dan istri dalam waktu yang sama hanya dapat terikat dalam suatu perkawinan dengan seorang suami.[9] Kata “pada asasnya” dapat diartikan bahwa terdapat adanya sebuah kompromi atau suatu penyesuaian bahwa pernikahan monogami bukanlah hal yang mutlak. Tetapi bersifat pengarahan kepada pembentukan perkawinan monogamy dengan cara memberikan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak berpoligami dan bukan menghapuskan system poligami.

Di dunia ini, terdapat 3 (tiga) tipe negara yang dalam hal ini mengatur ketentuan tentang poligami, yakni: yang pertama, negara yang melarang adanya poligami, kedua negara yang memperbolehkan adanya poligami dengan membatasinya, dan ketiga negara yang bersikap biasa saja dengan poligami.[10] Tipe negara pertama yaitu dengan tegas melarang adanya poligami. Seseorang akan dipenjara atau didenda jika ia melakukan poligami. Negara yang menganut tipe ini adalah Turki dan Tunisia. Di Tunisia, praktek poligami dilarang keras dan negara ikut serta mengatur hal tersebut yang mana dengan adanya Undang-Undang Perseorangan (The Code Of Personal Status) tahun 1967 pasal 18 yang menyatakan bahwa segala bentuk poligami dengan alasan apapun dinyatakan sebagai hal yang terlarang dan apabila ada yang melakukan poligami maka akan dipenjara selama 1 tahun atau denda 24.000 Francs. Hal ini berpedoman pada Al-Qur’an yang mana adil yang menjadi syarat berpoligami dianggap mustahil bisa dilakukan oleh suami yang akan berpoligami yang pada akhirnya menjadi dasar pertimbangan untuk melarang praktek berpoligami. Tipe negara kedua, memperbolehkan praktek berpoligami akan tetapi juga membatasinya dengan tujuan untuk melindungi dan menjamin hak-hak wanita dan anak-anak. Dengan dibatasinya praktek berpoligami dengan ketat yang mengharuskan seorang suami yang hendak berpoligami untuk memenuhi persyaratan yang dianggap sulit. Dengan begitu praktek berpoligami akan menjadi sulit dilakukan dan diharapkan jarang ada yang mengajukan karena adanya syarat-syarat tersebut. Negara yang termasuk tipe ini adalah Indonesia, Irak, dan Malaysia. Pada negara Malaysia seorang suami yang hendak berpoligami harus dipastikan dapat berlaku adil dan istri istrinya harus dipastikan juga tidak akan mendapatkan bahaya atau mudharat akibat dari adanya poligami. Kemudian di Indonesia, alasan diperbolehkannya seorang suami untuk berpoligami adalah jika istri sebelumnya tidak dapat menghasilkan keturunan, mandul, cacat fisik atau penyakit yang tidak disembuhkan, atau isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya dengan baik. Tentunya juga kemampuan seorang suami dari segi finansial dan sikap adilnya juga akan menjadi pertimbangan untuk diberikannya izin poligami dari pengadilan. Tipe ketiga, negara yang menganggap biasa saja terhadap poligami. Yaitu negara yang tidak melarang ataupun memberikan batasan poligami. Negara ini berpedoman bahwa praktek poligami ini sepatutnya negara tidak ikut campur dan diserahkan sepenuhnya kepada pelaku poligami karena sudah diatur dalam kitab-kitab fiqih. Negara negara tipe ini adalah Saudi Arabia, Qatar, dan Kuwait. Jika dilihat dari ketiga tipe yang ada maka Indonesia termasuk pada tipe yang memperbolehkan adanya poligami dengan aturan yang cukup ketat.

B. Makna Mampu Dalam pasal 5 ayat 1 huruf (b) UU No. 1974 Tentang Perkawinan Sebagai Syarat Bagi Suami Untuk Berpoligami Di Indonesia

a. Menurut Peraturan Perundang-undangan

Salah satu hal yang perlu disoroti oleh pengadilan untuk diperiksa yaitu pada pasal 5 ayat 1 huruf (b) UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka”. Yang menjadi permasalahan adalah kata “mampu” dalam pasal tersebut, dimana tidak dijelaskan lebih lanjut keadaan seperti apa dan sejauhmana sehingga suami dapat dikatakan mampu dalam memenuhi keperluan-keperluan istri-istri dan anak-anaknya yang hendak mengajukan poligami. Mampu sendiri pada umumnya dimaknai sebagai bisa atau kesanggupan seseorang untuk memenuhi suatu hal atau kebutuhannya.

Dalam praktek, selama ini hakim memaknai mampu memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya dalam pasal 5 ayat 1 huruf (b) UU No.1/1974 hanya sebatas memiliki pekerjaan dan berpenghasilan tanpa ada batasan minimal. Sehingga apabila terdapat suami yang hendak mengajukan permohonan izin poligami, maka cukup dengan melampirkan surat keterangan penghasilan atau slip gaji yang nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk melihat kemampuan suami yang mengajukan izin poligami dalam menjamin kebutuhan isteri-istri dan anak-anaknya kelak. Namun berbeda dengan pendapat peneliti yang memaknai mampu sebagai kesanggupan seorang suami untuk menjamin seluruh kebutuhan isteri-istri dan anak-anaknya baik sandang,papan, dan pangan. Dengan tanpa ada batasan sejauh mana seorang suami mampu memenuhi kebutuhan isteri-istri dan anak-anaknya maka dimulai dari kesanggupan seorang suami itu sendiri untuk menjamin kebutuhannya terlebih dahulu. Dengan begitu dapat dihubungkan dengan indikator kebutuhan hidup layak yang mana adalah standar kebutuhan seorang pekerja/buruh lajang untuk hidup layak secara fisik dalam satu bulan. Kemudian menjamin kebutuhan istri dan anak-anaknya dari perkawinan sebelumnya.

b. Menurut Putusan Nomor 1845/Pdt.G/2014/PA.Sda, Putusan Nomor 576/Pdt.G/2015/PA.Sda dan Putusan Nomor 883/Pdt.G/2015/PA.Sda

1. Menurut Putusan Nomor 1845/Pdt.G/2014/PA.Sda

  1. Posisi Kasus

Perkara ini terjadi antara sepasang suami istri yang telah menikah pada tanggal 21 September 1994 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk dengan mendapatkan Kutipan Akta Nikah Nomor: XXX/49/IX/1994. Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dalam perkara nomor 1845/Pdt.G/2014/PA.Sda, Pengadilan Agama Sidoarjo telah menjatuhkan putusan dalam perkara ini yang diajukan oleh Pemohon, dimana para pihaknya adalah:

a.Pemohon, umur umur 43 tahun, agama islam, pekerjaan karyawan PT. Integra Indo Kabinet, alamat Sedati Kabupaten Sidoarjo;

b.Termohon, umur 43 tahun, pekerjaan Karyawan PT. Integra Indo Kabinet, alamat Sedati Kabupaten Sidoarjo;

c.Calon istri Pemohon, umur 46 tahun, pekerjaan peracang toko, alamat Sedati Kabupaten Sidoarjo;

Setelah melangsungkan pernikahan, Pemohon dan Termohon telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang berusia 18 tahun dan 12 tahun. Pemohon akan menikah lagi dikarenakan Termohon tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, karena termohon mempunyai sakit kista sehingga apabila dibuat hubungan isteri merasa sakit dan Pemohon juga mau menolong calon isteri karena berstatus janda. Menurut Pemohon, Pemohon dengan calon istri tidak ada hubungan nasab apapun tetapi orang lain dan juga telah menjalin hubungan selama tiga tahun. demikian pula status calon istri tidak terikat dengan laki-laki lain karena berstatus janda. Pemohon juga menyatakan bahwa termohon siap dimadu. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon mengajukan permohonan izin poligami. Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan tersebut.

Pada perkara ini, dasar-dasar yang digunakan hakim untuk memutus perkara yaitu berpedoman pada Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) dan Kompilasi Hukum Islam. Dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan perkara tersebut antara lain Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 41 (b) (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 55 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan poligami. Pertimbangan hakim lainnya dalam mengabulkan izin poligami pemohon yakni melihat kehendak pemohon untuk melakukan poligami yang akan menanggung mudharat (resiko) bahkan dampak negative yang dihadapi oleh pemohon dan termohon lebih besar jika pemohon tidak diizinkan melakukan poligami yang mana hal itu sesuai dengan kaidah fikih dalam kitab al-Asbah An-Nadzair Juz I halaman 188. Dengan dasar-dasar yang telah dicantum diatas, oleh karena itu majelis hakim mengabulkan permohonan poligami dalam perkara nomor: 1845/Pdt.G/2014/PA.Sda.

2. Menurut Putusan Nomor 576/Pdt.G/2015/PA.Sda

  1. Posisi Kasus

Perkara ini terjadi antara suami isteri yang telah menikah pada tanggal 8 Januari 1994 dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, dengan mendapatkan Kutipan Akta Nikah Nomor: XXXXXXXX.

Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dalam perkara nomor 576/Pdt.G/2015/PA.Sda, Pengadilan Agama Sidoarjo telah menjatuhkan putusan dalam perkara ini yang diajukan oleh Pemohon, dimana para pihaknya adalah:

a.Pemohon, umur 43 Tahun, agama Islam, pekerjaan jual beli burung, tempat kediaman di Kabupaten Sidoarjo.

b.Termohon, umur 43 Tahun, agama Islam, Pekerjaan karyawati pabrik udang, tempat kediaman di Kabupaten Sidoarjo.

c.Calon istri Pemohon, umur 39 Tahun, agama Islam, pekerjaan karyawati pabrik UBM, tempat tinggal di Kabupaten Sidoarjo.

Pemohon dan Termohon setelah melangsungkan pernikahan, telah dikaruniai 2 (dua) orang anak yang masing-masing berusia 21 tahun dan 15 tahun. Pemohon hendak menikah lagi dengan calon isteri pemohon dikarenakan termohon tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri secara maksimal. Menurut pemohon, Bahwa antara Pemohon, Termohon dan calon istri kedua Pemohon (Calon Istri Pemohon) tidak terdapat larangan yang dapat menghalangi sahnya pernikahan baik menurut syariat Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dan calon istri pemohon sedang hamil 8 bulan dan bersepakat untuk melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan yang sah. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon mengajukan permohonan izin poligami. Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan tersebut.

Pada perkara ini, dasar-dasar yang digunakan hakim untuk memutus perkara yaitu berpedoman pada Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) dan Kompilasi Hukum Islam. Dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan perkara tersebut antara lain Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 41 (b) (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 55 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan poligami. Pertimbangan hakim lainnya dalam mengabulkan izin poligami pemohon yakni bahwa pemohon dan Calon Isteri Pemohon telah menjalin hubungan selama 3 tahun dan saat ini tengah hamil 8 bulan. Dengan dasar-dasar yang tercantum diatas, dengan begitu majelis hakim mengabulkan permohonan izin poligami dalam perkara nomor: 576/Pdt.G/2015/PA.Sda.

3. Menurut Putusan Nomor 883/Pdt.G/2015/PA.Sda

  1. Posisi Kasus

Perkara ini terjadi antara sepasang suami isteri yang telah menikah pada tanggal 2 September 2004 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah kecamatan Ngoro, Kabupaten Sidoarjo dengan mendapatkan kutipan Akta Nikah Nomor: XXXXXXXXXXX.

Berdasarkan salinan putusan Pengadilan Agama Sidoarjo dalam perkara nomor 883/Pdt.G/2015/PA/Sda, Pengadilan Agama Sidoarjo telah menjatuhkan putusan dalam perkara ini yang diajukan oleh pemohon dimana para pihaknya adalah:

a. Pemohon, 31 Tahun, Agama Islam, Pekerjaan peternak itik, alamat di kabupaten Sidoarjo;

b.Termohon, umur 30 tahun, Agama Islam, Pekerjaan ibu rumah tangga, alamat di kabupaten Sidoarjo;

c.Calon istri Pemohon, umur 20 tahun, pekerjaan karyawan pabrik sepatu, alamat kabupaten Pasuruan;

Setelah melangsungkan pernikahan, Pemohon dan termohon telah dikaruniai seorang anak yang berusia 4 tahun. Pemohon akan menikah lagi dikarenakan Termohon mendapat cacat badan dan penyakit lupus yang tidak dapat disembuhkan. Menurut Pemohon, pemohon dengan calon istri pemohon tidak ada larangan yang dapat menghalangi sahnya pernikahan baik menurut syariat Islam maupun peraturan perundang-undangan dan juga telah menjalin hubungan selama sepuluh bulan. Demikian pula status calon istri pemohon tidak terikat dengan laki-laki lain karena berstatus janda. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemohon mengajukan permohonan izin poligami. Berdasarkan alasan-alasan yang telah dijelaskan tersebut.

Pada perkara ini, dasar-dasar yang digunakan hakim untuk memutus perkara yaitu berpedoman pada Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) dan Kompilasi Hukum Islam. Dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan perkara tersebut antara lain Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 41 (b) (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, dan Pasal 55 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan poligami. Pertimbangan hakim lainnya dalam mengabulkan izin poligami pemohon yakni melihat kehendak pemohon untuk melakukan poligami yang akan menanggung mudharat (resiko) bahkan dampak negative yang dihadapi oleh pemohon dan termohon lebih besar jika pemohon tidak diizinkan melakukan poligami yang mana hal itu sesuai dengan kaidah fikih dalam kitab al-Asbah An-Nadzair Juz I halaman 188. Dengan dasar-dasar yang telah dicantum diatas, oleh karena itu majelis hakim mengabulkan permohonan poligami dalam perkara nomor; 883/Pdt.G/2015/PA.Sda.

Indikator Perbandingan Nomor Putusan
1845 / Pdt.G / 2014 / PA.Sda 576 / Pdt.G / 2015 / PA.Sda 883 / Pdt.G / 2015 / PA.Sda
Jenis perkara Permohonan izin poligami Permohonan izin poligami Permohonan izin poligami
Jumlah Persoon dalam keluarga Pemohon (kepala keluarga)Termohon (istri Pemohon)2 orang anak dari Pemohon dan Termohon (18 tahun, 12 tahun)Calon istri Pemohon∑ 5 Persoon Pemohon (kepala keluarga)Termohon (istri Pemohon)2 orang anak dari Pemohon dan Termohon(21 Tahun, 15 tahun)Calon istri Pemohon∑ 5 Persoon Pemohon (kepala keluarga)Termohon (istri Pemohon)1 orang anak dari Pemohon dan TermohonCalon istri Pemohon∑ 4 Persoon
Pekerjaan Pemohon: swasta (karyawan PT Integra Indo Kabinet) Pemohon: Jual Beli Burung Pemohon: Peternak Itik
Penghasilan Rp 4.000.000,- per bulan Rp 1.000.000,- per bulan ±Rp 5.000.000,- per bulan
Alasan diajukannya poligami Pemohon sudah mengenal calon isteri Pemohon 3 tahun yang lalu dan mau menolong calon isteriTermohon tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri karena termohon mempunyai sakit kista apabila dibuat hubungan isteri merasa sakitTermohon menyatakan tidak keberatan mengenai pernikahan kedua antara Pemohon dengan calon istri PemohonPemohon sanggup memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anak PemohonPemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istri Pemohon Pemohon sudah mengenal calon istri Pemohon 3 tahun yang lalu, dan Calon isteri pemohon telah hamil 8 bulanTermohon tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri secara maksimalTermohon merasa tidak keberatan mengenai pernikahan kedua antara Pemohon dengan calon istri PemohonPemohon sanggup memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak Pemohon kelak Termohon mendapat cacat badan dan penyakit lupus yang tidak dapat disembuhkanPemohon mampu memenuhi kebutuhan istri-istri beserta anak-anaknyaPemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istri PemohonTermohon menyatakan tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon istri Pemohon tersebut
Dasar hukum pertimbangan hakim Pasal 4 (2), Pasal 5 (1), Pasal 9, dan Pasal 39 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Pasal 40, Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58 (1), dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam Pasal 4 (2), dan Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Pasal 55 (2), Pasal 57, dan Pasal 58 (1) Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Pasal 41 (b) (c) PP Nomor 9 Tahun 1975Pasal 55 (2), 58 (1) Kompilasi Hukum Islam
Gugatan Mengabulkan permohonan PemohonMemberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon istri PemohonMenetapkan bahwa harta sebagaimana terurai dalam posita angka 5 a s/d 5b adalah harta bersama Pemohon dan TermohonMembebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sesuai dengan peraturan yang berlaku Mengabulkan permohonan PemohonMemberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon istri PemohonMenetapkan bahwa harta sebagaimana dalam posita angka 10 adalah harta bersama Pemohon dan TermohonMembebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara ini sesuai dengan peraturan yang berlaku Mengabulkan Permohonan PemohonMemberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan calon istri kedua PemohonMenetapkan bahwa harta sebagaimana terurai dalam posita angka 10 adalah harta bersama Pemohon dan TemohonMembebankan pemohon untuk membayar biaya perkara ini sesuai dengan peraturan yang berlaku
Putusan Hakim Mengabulkan permohonan PemohonMenetapkan, Memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami)Menetapkan harta-harta tersebut sebagai herta bersama antara Pemohon dengan TermohonMembebankan pemohon untuk membayar biaya perkara Mengabulkan permohonan PemohonMenetapkan, Memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami)Menetapkan harta-harta tersebut sebagai herta bersama antara Pemohon dengan TermohonMembebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara Mengabulkan permohonan PemohonMenetapkan, Memberi izin kepada Pemohon untuk menikah lagi dengan calon istri keduaMenetapkan herta-harta tersebut sebagai harta bersama Pemohon dan TermohonMembebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara
Table 1.Perbandingan Putusan

Dari tabel diatas, dengan begitu dapat disimpulkan bahwa makna mampu memenuhi kebutuhan isteri-istri dan anak-anak mereka menurut hakim dalam putusan nomor 1845/Pdt.G/2014/PA.Sda, 576/Pdt.G/2015/PA.Sda, dan 883/Pdt.G/2015/PA.Sda adalah dengan adanya bukti seorang suami memiliki pekerjaan dan berpenghasilan tanpa dibatasi besaran nominal penghasilannya serta pengakuan istri dengan tidak keberatan akan hal itu hakim menilai dalam pertimbangannya, Pemohon telah dianggap mampu untuk menjamin dan memenuhi kebutuhan istri-isteri dan anak-anaknya, yang kemudian pemohon dianggap memenuhi syarat untuk poligami.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian ini, bahwa makna mampu dalam pasal 5 ayat 1 huruf (b) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai syarat bagi suami untuk berpoligami adalah kesanggupan seorang suami untuk menjamin seluruh kebutuhan isteri-istri dan anak-anaknya baik sandang,papan, dan pangan dengan melihat besaran penghasilan yang dimilikinya dan pengeluaran tiap bulan selama terjadinya perkawinan sebelumnya. dengan adanya bukti seorang suami memiliki pekerjaan dan berpenghasilan serta pengakuan istri dengan tidak keberatan akan hal itu. Mampu merupakan syarat bagi suami untuk berpoligami. Yang artinya bahwa Pengadilan hanya bisa memberi izin poligami kepada seorang suami apabila hal tersebut sudah terpenuhi. Hal ini karena mampu berhubungan dengan adanya kepastian seorang suami dapat menjamin kebutuhan dan istri-istri dan anak-anaknya kelak dan juga perlindungan hukum bagi isteri pertama dan anak-anaknya.

References

  1. J. Asshiddiqie, "Gagasan Negara Hukum Indonesia," no. 1, 2002.
  2. A. Al-aziri, "Fiq Ala Madzahibil Arba’ah," Maktabah Tijriyah Kubro, 1969.
  3. Departemen Agama RI., "Kompilasi Hukum Islam Pasal 3."
  4. T.T. Tutik, "Pengantar Hukum Perdata di Indonesia," Prestasi Pustaka Publisher, 2006, pp. 124.
  5. I. Nirwana, "Syarat Yang Harus Dipenuhi Dalam Permohonan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Samarinda Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan," J. Law, vol. 1, no. 1, 2019.
  6. W. Nuroniyah et al., "Persepsi Hakim Mengenai Adil Sebagai Syarat Permoohonan Izin Poligami Di Pengadilan Agama Kota Cirebon," J. Kajian Hukum Islam, vol. 3, no. 2, 2018.
  7. A. Asikin and H. Zainal, "Metode Penelitian Hukum," Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
  8. A. Muhammad, "Hukum dan Penelitian Hukum," Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004.
  9. J. Prins, "Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia," Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1982, pp. 32.
  10. A. Trigyatno, "Poligami dan Pengaturannya di Beberapa Negeri Muslim," Available: https://fizali.wordpress.com/2010/10/26/poligami-di-bebrbagi-negara-muslim/. [Accessed: Aug. 1, 2021].