Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.6.2022.2435

Description of Resilience in Post-Married Adolescent Adolescent in Sidoarjo


Gambaran Resiliensi Pada Remaja Pasca Berhubungan Seksual Pra Nikah di Sidoarjo

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Resiliensi Remaja Berhubungan Seksual Pra Nikah

Abstract

Premarital sexual relations experienced by young women can have a negative psychological impact. To deal with these conditions, it takes skills to restore mental conditions to normal, such as having not been exposed to a problem called resilience. This study aims to determine the description of resilience and the factors that influence resilience in adolescents who have had premarital sex. This study uses a qualitative method with a phenomenological type, using 1 female subject aged between 13 – 23 years who lives in the city of Sidoarjo. Determination of subjects using a non-random sampling technique with purposive sampling strategy, data collection methods in the form of interviews with one primary subject, 2 significant others, and rating scale. The results showed that there was a picture of resilience in adolescent girls who had experienced adversity due to premarital sex. The most dominant aspect is insight, and the aspect that does not appear is humor. As well as showing the factors that influence resilience in adolescent girls in the form of I Have, I Am, I Can.

Pendahuluan

Berhubungan seksual pra nikah mempunyai dampak negatif yang lebih tinggi dibandingkan perilaku seksual lainnya Aisyah & Muis, 2013 [1]. Dampak negatif yang akan dialami dari melakukan hubungan seksual pra nikah apabila di tinjau dari segi kesehatan sangat rentan terinveksi kanker serviks, AIDS, HPV, kehamilan tak di harapkan, dan yang paling parah adalah aborsi atau pengguguran calon bayi.

Dari berbagai dampak yang telah disebutkan, kebanyakan remaja menyepelekannya. Hal itu disebabkan karena kurangnya pemahaman akan akibat dari hubungan seksual pra nikah Bourne, 2010 [2]. Adapun dampak lain yang seringkali dirasakan dalam diri seseorang yaitu dampak psikologis atau kejiwaan. Dampaknya bisa berupa rasa bersalah, perasaan berdosa, dan rasa penyesalan yang akan selalu di ingat di kemudian hari.

Setiap individu memiliki pribadi yang berbeda – beda, dari perbedaan tersebut juga memunculkan tanggapan serta tindakan tindakan yang tidak sama dalam menyikapi akibat dari perbuatannya Demarque, Apostolidis, & Joule, 2013 [3]. Apabila seseorang yang terlanjur melakukan hubungan seksual pra nikah tidak bisa menyikapi masalah yang telah dilakukanya dengan bijak, akan membuat kondisi jiwanya menjadi kian memburuk karena rasa penyesalan. Dari apa yang telah dijelaskan, remaja perlu menyadari bahwa berhubungan seksual pra nikah tidak hanya berbahaya terhadap fisik, melainkan juga dapat memberikan dampak negatif terhadap kejiwaan seseorang.

Hubungan seksual pra nikah yang dilakukan remaja, khusunya remaja wanita yang belum mempunyai kesiapan melakukannya akan memberikan dampak negatif seperti kecemasan dan perasaan bersalah. Terlebih lagi putusnya hubungan setelah melakukan hubungan seksual pra nikah juga bisa dikatakan dapat memberikan dampak negatif seperti trauma. Untuk mengatasi kondisi traumatis dalam hidup dibutuhkan kemampuan resiliensi Riana, Diana 2008 [4].

Setiap orang perlu memiliki kemampuan menyesuaikan keadaan pada kondisi terburuk dalam kehidupannya, itulah yang disebut resiliensi Reivich & Shatte, 2002 [5]. Dalam definisi lain, resiliensi juga berarti keterampilan yang dimiliki oleh individu sebagai tindakan preventif atau pencegahan untuk mengurangi, sekaligus mengatasi konsekuensi yang sedang di hadapi saat ini Grotberg, 1995 [6]. Resiliensi juga merupakan dasar pembentukan semua karakter positif yang berguna untuk membangkitkan semangat dan ketabahan mental seseorang Desmita, 2006 [10].

Resiliensi dibutuhkan tidak hanya sebagai penyelesaian masalah saat ini, namun juga kemampuan berkembang dikemudian hari, resiliensi juga dapat mewujudkan remaja wanita yang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang tidak menyenangkan, melewati keadaan yang tidak menyenangkan tersebut dengan baik Hamidah, 2020 [7].

Gambaran resiliensi yang diberikan dalam penelitian ini mengacu pada kemunculan atau tidak munculnya aspek resiliensi yang telah digambarkan oleh Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes dan Allen, 2001[8]. Dugaan yang diambil oleh peneliti adalah jika subjek remaja yang pernah melakukan hubungan seksual pra nikah menunjukkan perilaku yang ada pada aspek resiliensi maka remaja tersebut sudah resilien, karena aspek tersebut mewakili ciri dari resiliensi (Masteen & Reed, 2002).

Mengingat masa remaja sama dengan masa peralihan dalam menghadapi tugas perkembangan yang baru, dalam kasus ini resiliensi sangat diperlukan untuk menghadapi akibat buruk dari berhubungan seksual pra nikah bagi remaja wanita. Apabila remaja pasca berhubungan seksual tidak resilien maka dampak negatif yang mereka hadapi akan memunculkan stres. Jika stres tersebut dibiarkan berlarut - larut, maka akan menimbulkan berbagai masalah lain menyerang mental maupun fisik (Hamdi, 2016). Resiliensi juga berkaitan dengan ketekunan dan kemampuan beradaptasi, karena ini adalah kemampuan untuk kembali ke kondisi keseimbangan setelah menghadapi masalah, kekecewaan, keadaan menekan atau bahkan setelah kejadian tertentu yang tidak menyenangkan (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007). Seperti halnya keadaan psikis yang tidak di inginkan akibat dari hubungan seksual pra nikah

Orang yang memiliki resiliensi akan merasa mampu untuk mencapai tujuan dalam situasi sulit dengan tenang mempertimbangkan dengan hati - hati, fokus untuk menangani masalah dan memiliki daya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang mereka hadapi dan memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri. Resiliensi diperlukan tidak hanya untuk menyelesaikan masalah saat ini, melainkan juga berguna dalam proses perkembangan di kemudian hari. Resiliensi dapat menuntun remaja wanita menyesuaikan diri dengan kondisi buruk, mengatasi keadaan yang tidak diinginkan dengan baik dan bahkan mengakui kondisi yang mereka alami sebagai bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, resiliensi adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh remaja khususnya wanita setelah melakukan hubungan seksual pra nikah.

Individu pasca putus hubungan pacaran dengan rentan waktu yang lama dapat lebih mengembangkan resiliensinya daripada yang baru saja putus hubungan pacaran Riana, 2008 [4]. Setiap individu memiliki perbedaan kekuatan karakter untuk menjalani kehidupannya. Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan ataupun permasalahan yang dialami oleh seseorang. Fungsi resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan. Masalah – masalah yang muncul tersebut salah satunya psikologis dan sosial. Bagi remaja yang memiliki resiliensi, dapat terhindarkan dari beberapa gangguan psikis. Dari gambaran tersebut, menumbuhkan keingintahuan yang berlebih pada diri peneliti. Sehingga peneliti melaksanakan penelitian berjudul “Gambaran Resiliensi pada Remaja Pasca Berhubungan Seksual Pra Nikah di Sidoarjo”.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif fenomenologi, bertujuan untuk mengetahui gambaran resiliensi pada remaja pasca berhubungan seksual pra nikah. Subjek dalam penelitian ini yaitu remaja pasca berhubungan seksual pra nikah. Sampel penelitian menggunakan teknik non random sampling purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara subjek primer, significant others, rating scale. Analisis data dengan teknik triangulasi.

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Setelah menjabarkan dengan menuliskan deskripsi penemuan dari hasil wawancara, selanjutnya akan dilakukan analisis dari data subjek C untuk mempermudah melihat keseluruhan.

Gambaran Resiliensi Subjek C
Wawasan Subjek mengelola emosinya dengan cara diam, hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir pembicaraan seputar hal negatif dengan lingkungannya, perilaku tersebut dimunculkan sebagai tindakan preventif mengingat pengalaman buruk yang sudah dilaluinya. Selain itu, subjek juga mampu mengelola reaksi emosinya dengan cara lain yaitu mengajak bicara diri sendiri dengan kata – kata positif untuk mencari hikmah dari sebuah permasalahan, mengerjakan passion yang diminati,mengikuti program yoga, berdiskusi ringan seputar permasalah yang dialami secara global, berkumpul dengan kerabat terdekat, menyaring nasihat dengan bijak, pasrah, dan tidur sebagai dasar kuat untuk menyelesaikan permasalah untuk menemukan jati dirinya.
Independen Subjek mampu memilih jalan hidup dari keputusannya senidiri. Menurut subjek, menentukan jalan hidup berarti juga memutuskan langkah apa yang akan diambilnya. Dalam pengambilan langkah, subjek juga sudah mengetahui jalan mana yang terbaik buat dirinya dan juga mampu memprediksi resiko yang akan dihadapinya dengan segala pertimbangan yang matang. Subjek mampu berpikir demikian, karena subjek mampu memaknai apabila permasalahan datang pada dirinya, subjek juga yang mengerti kondisinya, dan subjek juga yang mengerti bagaimana cara menyelesaikannya.
Kreatif Subjek memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan cara mengkombinasikan beberapa perilaku yang positif seperti berkumpul dengan teman untuk diskusi memecahkan masalah, melakukan meditasi, mengikuti program yoga, produktif dalam kegiatan positif seperti kuliah, olahraga, bekerja, dan juga hal menyenangkan seperti bermain dengan kerabat terdekatnya.
Humor Subjek masih belum bisa memunculkan humor
Inisiatif Subjek mempunyai daya juang untuk memperbaiki diri sendiri dengan cara melakukan meditasi, megikuti program yoga, mencoba hidup positif seperti olahraga, melakukan kegiatan yang disukai, mengajak teman untuk berdiskusi dengan tujuan mencari jalan keluar dari permasalahnnya.
Hubungan Pribadi subjek merupakan pribadi yang aktif dalam sosial seperti bertemu orang banyak dan menajalin komunikasi. Dengan komunikasi yang ia jalin dengan orang sekitarnya memberikan dampak lingakaran pertemenanan yang selalu mendukung dalam hal posisitf
Nilai Dasar Subjek C punya cara tersendiri dalam meminimalisir hal negatif. Beberapa cara tersebut ditunjukan melalui perilaku memfokuskan diri pada prioritas hidupnya seperti kuliah dan organisasi. Subjek C memiliki prinsip tidak bisa menjalankan sesuatu apabila hal tersebut tidak sesuai dengan pribadinya, subjek C juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah atau akan dilakukan sudah ia ketahui resikonya.
Table 1.Gambaran Resiliensi
Faktor - Faktor Resiliensi Subjek C
I Have Subjek C mempunyai lingkungan yang mendukung serta mendorong pribadinya untuk lebih kuat, mandiri dan bisa bangkit dari segala sesuatu yang menjadikan diri subjek terpuruk.
I Am Subjek C memiliki kebiasaan untuk mengevaluasi dirinya setiap hari. Subjek selalu berusaha untuk melakukan semuanya secara mandiri. Selain itu subjek mempunyai pribadi yang suka menolong walaupun hanya sekedar mendengar cerita dan memberi masukan saat teman – temannya membutuhkan dirinya. Dari perilaku tersebut membuat rasa percaya dirinya perlahan muncul dan menyadari akan jati dirinya yang memberikan harapan untuk melangkah maju kearah yang lebih positif daripada sebelumnya.
I Can Subjek mampu berkomunikasi dengan orang sekitarnya seperti biasa. Subjek juga mampu terbuka dalam menyampaikan pendapatnya sehingga membuat orang disekitarnya percaya, bahwa subyek memiliki pribadi yang komunikatif serta positif. Saat menghadapi sebuah permasalahan subjek selalu mempunyai daya juang dan memfokuskan pada pemecahan masalah seperti halnya membiasakan olahraga, menyempatkan meditasi dan mengikuti program yoga untuk membuat pribadinya kembali normal seperti sedia kala.
Table 2.Faktor Resiliensi

Pembahasan

Hubungan seksual pra nikah yang dilakukan remaja, khusunya remaja wanita yang belum mempunyai kesiapan melakukannya akan memberikan dampak negatif seperti kecemasan dan perasaan bersalah. Terlebih lagi putusnya hubungan setelah melakukan hubungan seksual pranikah juga bisa dikatakan dapat memberikan dampak negatif psikologis yang lebih parah.

Dampak negatif psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, kesedihan, perasaan malu, bersalah dan berdosa. Emosi – emosi tersebut juga akan bertambah buruk apabila individu tersebut putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual pra nikah, khususnya pada perempuan. Beberapa dampak tersebut telah terbukti dan dirasakan oleh subjek C sebelum resilien.

Untuk mengatasi kondisi traumatis atau dampak negatif dari berhubungan seksual pra nikah, dibutuhkan kemampuan resiliensi Riana, Diana 2008 [4]. Resiliensi merupakan individu atau kelompok yang memiliki kemampuan untuk mencegah, mengurangi, sekaligus mengatasi berbagai macam masalah atau kesulitan pada saat menjalani kehidupan Grotberg, 1995 [6]. Resiliensi juga berarti keterampilan individu dalam beradaptasi atau menyesuaikan diri untuk bertahan pada saat menghadapi peristiwa yang buruk Reivich & Shatte, 2002 [5]. Untuk mencapai kondisi yang resilien dibutuhkan tiga faktor pendukung yang harus dikombinasikan secara utuh, antara lain : I have, I am dan I can Grotberg, 1995 [6].

Faktor pertama yaitu I Have (Aku Memiliki) merupakan perasaan mendapatkan dukungan dari orang lain atau sekitarnya. Efeknya akan memberikan perasaan aman terhadap diri individu. Hal serupa juga muncul dalam proses resilien yang telah dilakukan oleh subjek C, dimana subjek C mempunyai lingkungan yang mampu mendukung pribadinya untuk lebih kuat, mandiri dan bisa bangkit dari segala sesuatu yang menjadikan diri subjek C terpuruk.

Dukungan yang di peroleh dari lingkaran pertemanan subjek C, memberikan efek pada pribadi subjek C untuk lebih percaya diri menyadari potensi kekuatan yang ada pada dirinya (Iam). Adapun indikator perilaku yang dimunculkan oleh subjek C antara lain : memiliki kebiasaan untuk mengevaluasi diri. Dengan kepercayaan diri yang tumbuh dalam dirinya menjadikan subjek C selalu berusaha untuk melakukan segala sesuatu secara mandiri. Dari kemandirian yang dimiliki, membuat subjek C mulai menyadari akan jati dirinya dan memberikan harapan untuk melangkah maju kearah yang lebih positif daripada sebelumnya.

Faktor I am yang mulai terbentuk berdampak langsung pada individu subjek C berupa keluarnya segala potensi kemampuan tersembunyi dari individu subjek C. Apabila potensi tersebut diasah secara terus menerus dampaknya dapat mengantarkan subjek C menjadi pribadi yang resilien (Ican). Adapun potensi yang telah dilakukan oleh subjek C, sebagai berikut : subjek C mampu berkomunikasi dengan sekelilingnya, subjek C juga mampu terbuka dalam menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk penyaluran emosionalnya. Saat menghadapi sebuah permasalahan subyek mempunyai daya juang dan memfokuskan pada pemecahan masalah, dengan tujuan mengarahkan pribadinya sendiri kembali normal seperti sedia kala atau resilien.

Apabila ketiga faktor sudah tersinkronkan dengan konsisten, akan memunculkan beberapa aspek yang menandakan individu termasuk pribadi yang resilien dapat didasarkan pada temuan dari Siebert 2005 [9]. Karakteristik yang dimaksud diklasifikasikan menjadi tujuh aspek Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001[8].

Aspek yang pertama adalah wawasan. Wawasan merupakan kemampuan pemaknaan sebuah peristiwa atau lingkungan sekitar, dengan cara memahami pola komunikasi verbal maupun non verbal. Mampu beradaptasi dalam mengelola reaksi emosi serta mempemroses perasaan pada saat menghadapi masalah atau setelah masalah terjadi. Aspek wawasan dapat terwujud apabila individu memiliki pemahaman mengenai diri sendiri untuk menemukan jati dirinya dan memiliki pemahaman tentang orang lain sebagai dasar untuk memahami lingkungan sekitar sebagai bentuk dari kewaspadaan terbuka, atau bisa dikatakan tindakan preventif Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Hal serupa juga muncul pada subjek C yang ditunjukkan dengan cara mengelola emosinya dengan cara diam, tujuannya untuk meminimalisir pembicaraan seputar hal negatif. Hal tersebut dilakukan subjek C sebagai tindakan preventif mengingat pengalaman buruk yang sudah dilaluinya. Selain itu, subjek juga mampu mengelola reaksi emosinya dengan cara lain yaitu mengajak bicara diri sendiri dengan kata – kata positif untuk mencari hikmah di setiap kejadian, berdiskusi dengan teman sebaya seputar pemecahan masalah, berkumpul dengan kerabat terdekat, menyaring nasihat dengan bijak, dan pasrah sebagai dasar kuat untuk menyelesaikan permasalah pribadinya.

Aspek yang kedua adalah independen. Independen merupakan kemampuan pengambilan keputusan antara “Ya dan “Tidak” yang diucapkan dengan keteguhan yang kuat. Independen digunakan apabila suatu hal yang tak sesuai dengan pribadi seseorang. Kemampuan tersebut menandakan individu mempunyai pribadi yang mandiri serta pandangan positif untuk masa sekarang dan masa yang akan datang Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Dari hasil penelitian yang telah peneliti analisi, subjek C juga menunjukkan pribadi yang indpenden dengan indikator sebagai berikut : Subjek mampu memilih jalan hidup dari keputusannya sendiri. Menurut subjek, menentukan jalan hidup berarti juga memutuskan langkah apa yang akan diambilnya. Dalam pengambilan langkah subjek juga sudah mengetahui jalan mana yang terbaik buat dirinya dan juga mampu memprediksi resiko yang akan dihadapinya dengan segala pertimbangan yang matang. Subjek mampu berpikir demikian, karena subjek mampu memaknai apabila permasalahan datang pada dirinya, subjek juga yang mengerti kondisinya, dan subyke juga yang mengerti bagaimana cara menyelesaikannya.

Aspek yang ketiga adalah kreativitas. Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan pilihan atau jalan lain saat sedang berhadapan dengan masalah. Saat berhadapan dengan masalah, individu yang resilien hanya berfokus pada pemecahan masalah atau menacari jalan keluar dari kebuntuan yang sedang dihadapi, dan tidak menghindari masalah. Artinya, individu lebih memilih melakukan sesuatu daripada menunggu orang lain membantu dirinya dalam kesulitan Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Hal demikian juga ditunjukkan oleh pribadi subjek C : subjek C memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan cara mengkombinasikan beberapa perilaku yang positif seperti berkumpul dengan teman untuk diskusi memecahkan masalah, melakukan meditasi, mengikuti program yoga, produktif dalam kegiatan positif seperti kuliah, olahraga, bekerja, dan juga hal menyenangkan seperti bermain dengan kerabat terdekatnya.

Aspek selanjutnya adalah humor. Humor merupakan kemampuan seseorang mendapatkan titik terang dari pengalaman hidupnya yang telah lalu, dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai sebuah candaan atau lelucon. Aspek humor juga dapat dikatakan kemampuan untuk menemukan kesenangan atau menertawakan kejadian buruk yang telah dilaluinya dimasa lampau. Mereka juga menganggap bahwasannya kejadian lalu yang sempat mereka sedihkan terdapat hikmah yang dapat di petik dimasa sekarang dan sangat berefek baik bagi kehidupan yang mereka jalani sekarang Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Dalam aspek humor subjek C masih belum memunculkan indikasi yang signifikan.

Aspek selanjutnya adalah inisiatif. Inisiatif merupakan tindakan yang muncul berdasar pada tekad untuk mengendalikan pemikiran maupun sikap dirinya sendiri. Individu resilien memiliki pikiran sadar untuk memutuskan sikap seperti apa yang akan dilakukan untuk bertahan dari situasi sulit dan berupaya keluar dari situasi tersebut. Dengan inisiatif, individu memiliki daya juang untuk berusaha memperbaiki dirinya sendiri serta lingkungan sekitarnya. Selain itu, individu dengan inisiatif mampu mengutarakan apa sedang di rasakan untuk membentuk kepercayaan diri dan perasaan yang positif dimana hal itu sangat dibutuhkan untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Individu dengan inisiatif selalu berupaya mengatasi hal - hal yang tidak dapat diubah atau yang dianggap orang pada umumnya sebagai sesuatu yang mustahil. Individu dengan inisiatif melihat segala persoalan kehidupan sebagai tantangan yang harus diselesaikan Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Inisiatif juga terdapat pada subjek C dengan indikator perilaku : perbaikan diri dengan cara melakukan meditasi, megikuti program yoga, mencoba hidup positif seperti olahraga, melakukan kegiatan yang disukai, mengajak teman untuk berdiskusi, tujuannya untuk mencari jalan keluar dari permasalahnnya.

Aspek selanjutnya adalah Hubungan. Hubungan memiliki definisi menjalin ikatan dan komunikasi dengan kelompok atau individu lainnya. Individu resilien mampu menjalin hubungan dengan orang sekitarnya dengan kualitas yang baik dan sehat. Kejujuran dan saling mendukung saat menjalin hubungan merupakan karakteristik individu yang resilien. Hubungan yang sinergis, yakni nyaman bekerjasama dengan orang lain dapat mempengaruhi kualitas hidup Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Aspek hubungan juga muncul pada subjek C : Pribadi subjek merupakan pribadi yang aktif dalam sosial seperti bertemu orang banyak dan menajalin komunikasi. Dengan komunikasi yang ia jalin dengan orang sekitarnya memberikan dampak lingakaran pertemenanan yang selalu mendukung dalam hal positif.

Aspek yang terakhir adalah nilai dasar. Nilai dasar merupakan kemampuan individu dalam menilai hal baik dan buruk bagi dirinya sendiri, termasuk keinginan untuk hidup positif dan produktif Wolin dan Wolin, 1993, dalam Hurtes & Allen, 2001 [8]. Aspek nilai dasar juga ada pada subjek C : subjek C punya cara tersendiri dalam meminimalisir hal negatif. Beberapa cara tersebut ditunjukan melalui perilaku memfokuskan diri pada prioritas hidupnya seperti kuliah dan organisasi. Subjek C memiliki prinsip tidak bisa menjalankan sesuatu apabila hal tersebut tidak sesuai dengan pribadinya, subjek C juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah atau akan dilakukan sudah ia ketahui resikonya.

Dari pembahasan yang telah peneliti susun, gambaran umum resiliensi pada subjek C sebagai berikut : subjek C mempunyai (I Have) yaitu teman - temannyayang menuntun pribadi subjek C untuk lebih percaya diri dan menyadari akan jati dirinya (I Am). Kondisi tersebut dapat memberikan kekuatan serta harapan pada subjek C untuk melangkah maju kearah yang lebih positif daripada sebelumnya, proses tersebut juga dapat membuat subjek C mampu mengembalikan pribadinya dalam keadaan normal seperti sedia kala (I Can).

Adapun dinamika yang ia tunjukkan saat sedang menghadapi sebuah masalah. Subjek C mempunyai daya juang dalam menyelesaikan masalahnya. Ia punya cara tersendiri untuk meminimalisir hal negatif dengan mengkombinasikan beberapa perilaku positif. Perilaku yang ditunjukkan antara lain : meditasi, kuliah, berorganisasi, olahraga, bekerja, dan melakukan hal menyenangkan seperti bermain dengan orang terdekatnya.

Simpulan

Subjek C juga memiliki prinsip tidak akan menjalankan sesuatu apabila hal tersebut tidak sesuai dengan pribadinya, subjek C juga mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah atau akan dilakukan sudah ia ketahui resikonya. Ketika terjadi masalah, ia mengelola emosinya dengan cara diam. Hal tersebut ia lakukan untuk meminimalisir pembicaraan seputar hal negatif tentang dirinya dengan lingkungannya, perilaku tersebut dimunculkan sebagai tindakan preventif mengingat pengalaman buruk yang pernah dilaluinya. Selain itu, subjek juga mampu mengelola reaksi emosinya dengan cara lain, seperti mengajak bicara diri sendiri dengan kata – kata positif untuk mencari hikmah dari kejadian yang ia alami.

Subjek C memiliki keaktifan dalam menjalin komunikasi sosial, seperti berdiskusi ringan, berkumpul dengan kerabat terdekat, menyaring nasehat dengan bijak untuk menemukan jati dirinya. Selain itu, subjek juga mampu memilih jalan hidup dari keputusannya sendiri. Menurut subjek, menentukan jalan hidup berarti juga memutuskan langkah apa yang akan diambilnya. Dalam pengambilan langkah, subjek juga sudah mengetahui jalan mana yang terbaik buat dirinya dan juga mampu memprediksi resiko yang akan dihadapinya dengan segala pertimbangan yang matang. Subjek mampu berpikir demikian, karena subjek mampu memaknai apabila permasalahan datang pada dirinya, subjek juga yang mengerti kondisinya, dan subjek juga yang mengerti bagaimana cara menyelesaikannya.

Subjek C dalam penelitian ini mampu kembali pada keadaan semula. Aspek yang paling dominan adalah wawasan, dan aspek yang tidak muncul adalah humor.

Untuk mencapai pribadi yang resilien dengan segala aspeknya. Dibutuhkan sinkronisasi dari ketiga faktor dalam proses pemunculan kondisi resilien pada individu subjek C yang pernah melakukan seks sebelum nikah dan sempat mengalami dampak negatif dari perilaku tersebut, diantaranya yaitu I have yang merupakan lingkungan pendukung yang dimiliki subjek C untuk mengarahkan pada kondisi menemukan jati diri serta kepercayaan dirinya (I am). Setelah itu munculah potensi – potensi terpendam dan kemampuan pengimplementasian (I can) yang mengantarkan subjek C untuk mencapai aspek – aspek resiliensi dengan tujuan menjadi pribadi yang resilien.

Saran

Bagi Remaja

Dengan adanya penelitian ini, diharapakan remaja yang pernah mengalami dampak negatif dari hubungan seksual pra nikah mampu mempelajari faktor – faktor resiliensi seperti I Have, I Am, I Can serta menghubungkan ketiganya dan terintegrasi. Hal tersebut dilakukan untuk memunculkan aspek – aspek resiliensi yang berfungsi mengembalikan kondisi psikologis menjadi normal.

Bagi Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti berikutnya yang ingin mengangkat topik resiliensidapat dijadikan sebagai referensi. Untuk penggalian informasi dapat dilakukan dengan teknik pengumpulan data yang lebih bervariasi, yang belum digunakan dalam penelitian ini. Agar dapat memberikan hasil penelitian yang lebih detail, sehingga bermanfaat bagi semua pihak.

References

  1. Aisyah, R. A., & Muis, T. (2013). Perilaku seksual remaja pada mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya. Jurnal BK UNESA, 03(01), 364–372.
  2. Bourne, P. A. (2010). Factor differentials in contraceptive use and demographic profile among females who had their first coital activity at most 16 years versus those at 16+ years old in a developing nation. International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine and Public Health, 2(11), 378–402. https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2- s2.0-78649910370&partnerID=40&md5=a2a6e4bf0109695385214f3f14392237
  3. Demarque, C., Apostolidis, T., & Joule, R. V. (2013). Consideration of future consequences and pro-environmental decision making in the context of persuasion and binding commitment. Journal of Environmental Psychology, 36, 214–220. https://doi.org/ 10.1016/j.jenvp.2013.07.019
  4. Riana, Diana (2008). Gambaran resiliensi pada perempuan yang putus hubungan setelah melakukan hubungan seksual premarital. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Skripsi.
  5. Reivich, K., & Shatte, A., (2002). The resilience factor: 7 Keys to finding your inner strength and overcoming life’s hurdles. New York: Broadway Books.
  6. Grotberg, E. (1995). A guide to promoting resilience in children: Strengthening the human spirit. Washington DC, America: Bernard van Leer Foundation.
  7. Hamidah , Fairuz Tazkiyah Nur (2020). Gambaran Resiliensi pada Remaja dengan Riwayat Kehamilan Pranikah. Universitas Airlangga.
  8. Hurtes, K.P., & Allen, L.R. (2001). Measuring resiliency in youth: The resiliency attitudes and skills profile. Therapeutic Recreation Journal, 35, 333-347. Diunduh dari https://static1.squarespace.com/static/51abe64ee4b0a1344208e98a/t/51d3c f15e4b0fc82c7b8ebd5/1372835605044/RASP+%28Hurtes+%26+Allen% 2C+2001%29.pdf
  9. Siebert, A. (2005). The resiliency advantage: master change, thrive under pressure, and bounce back from setbacks. San Fransisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.
  10. Desmita. (2006). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.