Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.6.2022.2195

Well-Being Workplace for Pt X Employees in Sidoarjo


Workplace Well-Being Pada Karyawan Pt X Di Sidoarjo

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Workplace Well-Being Karyawan

Abstract

PT X employees in Sidoarjo still have workplace well-being problems such as being unable to adjust to the work environment, feeling that salaries have not been met to meet their daily needs and lack of appreciation for the achievements that have been given by employees. The purpose of this study was to determine the description of workplace well-being and the factors that affect workplace well-being in PT X employees in a quantitative descriptive manner. The population in this study were employees of PT X Sidoarjo as many as 920 employees. The sample used is 255 employees, based on an error rate of 5% in the table developed by Isaac and Michael. The sampling technique in this study is proportional random sampling. The data collection technique in this study used a psychological scale, namely the workplace well-being scale in the form of a used scale. The results of the validity test were obtained as many as 50 valid items from 52 items compiled. The reliability test showed that it was 0.938. Based on the results of the analysis showed that the workplace well-being in the high category was 58.4%, medium 41.6% and low 0%, meaning that the welfare of PT X Sidoarjo employees in the company was classified as good. Factors that affect workplace well-being are achievement (27.84%), self-evaluation (23.5%), feeling happy when getting support from others (21.18%), getting recognition from others (16 ,47%), and the last one is satisfied in doing work (11%).Keywords - Workplace Well-Being, Employees.

Pendahuluan

Workplace well-being merupakan kesehatan mental karyawan yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan, integrasi sosial, dan kontribusi sosial [1]. Workplace well-being sebagai kesejahteraan yang dirasakan oleh karyawan mendapatkan pengaruh dari adanya kepuasan terhadap aspek-aspek dalam pekerjaannya [2]. Workplace well-being meliputi kepuasan kerja (jobsatisfaction) dan perasaan karyawan secara umum (core affect), serta work values atau dimensi-dimensi penting yang terdapat pada pekerjaannya.

Karyawan yang mempunyai workplacewell-being yang tinggi yaitu karyawan yang ada dalam keadaan emosi positif sehingga menyebabkan karyawan lebih berbahagia dan lebih produktif. Akan tetapi, pada karyawan yang berada pada workplace well-being rendah maka karyawan dapat menjadi kurang produktif, kurang dapat memutuskan hal yang benar dan baik dan mempunyai kemungkinan untuk absesn atau tidak masuk kerja [3].

Workplace well-being pada karyawan yaitu untuk menjaga karyawan supaya bertahan di perusahaan dan tidak beralih ke perusahaan lain, menaikkan motivasi dan semangat kerja, dan menaikan sikap setia atau loyal karyawan terhadap perusahaan. Dalam rangka menjaga karyawan maka sebaiknya diberi lingkungan kerja yang kondusif. Dengan demikian dapat memberikan manfaat guna mencukupi kebutuhan fisik dan psikis karyawan serta keluarganya [4].

Mogok massa merupakan salah satu indikasi adanya ketidakpuasan karyawan yang bekaitan dengan workplace well-being. Ketidakpuasan terhadap kondisi kenyamanan di lingkungan kerja, juga terjadi di perusahaan PT X di Sidoarjodengan indikasi yang memperlihatkan bahwa karyawan belum merasakan workplace well-being, seperti merasa seper ti kurang dapat menyesuaikan diri pada lingkungan kerja, merasa gaji belum terpenuhi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan kurang memperoleh penghargaan atas prestasi yang telah diberikan oleh karyawan. Karyawan juga merasa masih diberikan tindakan yang tidak pantas seperti kata-kata yang kasar. Seharusnya karyawan dengan workplace well-being yang baik mampu dan memiliki pengetahuan mengenai pekerjaannya, sehingga dapat menyesuaikan diri pada lingkungan kerja. Selain itu upah dan penghargaan sebagai individu di tempat kerja juga seharusnya didapatkan oleh seorang karyawan perusahaan. Dengan demikian karyawan tersebut memiliki workplace well-being yang baik sehingga karyawan tersebut puas atas pekerjaan dan apa yang telah dikerjakan untuk perusahaan [2]. Karyawan adalah aset perusahaan, setiap perusahaan akan mencapai target produktifitas jika memiliki sumber daya manusia yang potensial dan berkeahlian. Perkembangan sebuah perusahaan dipengaruhi oleh potensi dan keahlian yang dimilliki oleh karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas maka terdapat alasan mengapa employee well-being merupakan hal yang patut diperhatikan oleh perusahaan karena pengalaman di tempat kerja atau lingkungan sosial secara psikologi akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari individu.

Urgensi dari workplace well-being karyawan ini bisa ditunjukkan oleh hasil riset yang dijalankan Wanda menyatakan bahwa pada karyawan produksi, workplace well-being kurang mendapatkan perhatian perusahaan. Perusahaan lebih memperhatikan masalah mesin, dan kurang peduli terhadap aspek lain. Dengan taraf workplace well-being yang minimal dan tugas yang monoton maka karyawan yang bertugas di bagian operator mesin ini termasuk dalam kategori rentan menghadapi stres. workplace well-being mampu mempengaruhi kondisi fisik yang akan mennyebabkan penampilan seseorang. Rendahnya workplace well-being biasanya disebabkan oleh beban kerja, tekanan waktu, kualitas pengawasan, dan perasaan tidak aman.

Permasalahan workplace well-being yang kerap timbul ialah soal kompensasi yang kurang memadai dengan kebutuhan hidup [2]. Persoalan finansial yang membuat stres umumnya berasal dari penghasilan yang tidak memadai, besarnya tunggakan, serta banyaknya kebutuhan hidup. Permasalahan itu sering menyebabkan karyawan tidak bersemangat ketika menjalankan pekerjaan sehingga kinerjanya menurun. Dengan demikian minimnya kompensasi yang tidak memadai dibandingkan dengan beban kerja menjadikan sebab munculnya stres kerja. Berdasarkan hasil riset Hartanti menyatakan bahwa kepribadian yang fit dengan tuntutan pekerjaan dan budaya organisasi akan dapat menaikkan workplace well-being pekerja [3].

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan PT X Sidoarjo yang berjumlah 920 karyawan. sampel dalam penelitian ini berjumlah 255 karyawan, adapun teknik sampling yang digunakan non probability sampling dengan teknik yang diambil yaitu proportionate random sampling.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala terpakai, yaitu uji coba yang hanya digunakan dalam satu kali penyebaran sesuai dengan hipotesa penelitian. Hasil pengujian reliabilitas skalaworkplace well-being memperlihatkan koefisien reliabilitas senilai 0,938. Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data skala workplace well-being. Skala workplace well-being didasarkan pada aspek-aspek workplace well-being yaitu, aspek workplace well-being dibagi menjadi dua yakni intrinsik serta ekstrinsik. Intrinsik mencakup tanggung jawab, arti pekerjaan, kemandirian, penggunaan kompetensi, perasaan berprestasi. Ekstrinsik mencakup, penggunaan waktu, kondisi kerja, pengawasan, kesempatan promosi, pengakuan, penghargaan, upah, keamanan [2].

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistic deskriptif dengan bantuan program SPSS 16.0 for windows. Dalam metode ini pengajiannya digambarkan melalui tabel, grafik, dan perhitungan persentase yang akan dijelaskan menggunakan kalimat deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Gambaran Workplace Well-bein g Karyawan PT X Sidoarjo

N Minimum Maksimum Mean Std. Deviation
Rata-rata Intrinsik 255 2,15 3,60 30,394 ,37674
Rata-rata Ekstrinsik 255 2,52 3,70 30,587 ,31958
Rata-rata Workplace Well-being 255 2,42 3,64 30,530 ,33476
Table 1.Deskriptif StatistikHasil Olah Data SPSS, 2020

Berdasarkan rata-rata skor workplace well-being memiliki nilai 3,05 sehingga secara keseluruhan workplace well-being yang dimiliki oleh subjek berkategori tinggi yaitu berada di rentang 3,00-4,00 artinya secara keseluruhan karyawan PT X Sidoarjo memiliki workplace well-being yang baik. Jika dilihat dari dimensi workplace well-being maka dapat diketahui bahwa rata-rata skor dimensi intrinsik subjek dan dimensi ektrinsik subjek memiliki nilai yang hampir sama yaitu rata-rata skor dimensi intrinsik (3,04) sedangkan rata-rata skor dimensi ekstrinsik (3,06) artinya kedua dimensi tersebut dimiliki oleh karyawan PT X Sidoarjo dengan porsi yang hampir sama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa workplace well-beingpada karyawan PT X Sidoarjo dalam kategori tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki workplace well-beingdalam kategoritinggi mendapat prosentase 58.4%, karyawan yang memiliki workplace well-beingdalam kategorisedang mendapat prosentase 41.6% dan karyawan yang memiliki workplace well-being dalam kategori rendah mendapat prosentase 0%.

Gambar 1

Gambaran Workplace Well-being

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 255 subjek yang berkategori Workplace Well-being tinggi sebanyak 149 orang (58,4%), yang berkategori Workplace Well-being sedang sejumlah 106 orang (41,6 %). Dengan demikian, sebagian besar subjek penelitian ini memiliki Workplace Well-being tinggi. Mengacu pada penelitian sebelumnya, Well-being yang tinggi akan memiliki dampak bagi keinginan karyawan untuk keluar (turnover intention). Restika dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan workplace well-being dan work locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur. Hal ini menunjukkan bahwa semakin internal kecenderungan locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur, maka semakin tinggi pula tingkat workplace well-being nya. Sebaliknya, semakin eksternal kecenderungan locus of control pada karyawan perusahaan manufaktur, maka semakin rendah pula tingkat workplace well-being[3].

Bryson, Forth, dan Stokes menyatakan bahwa taraf workplace well-being individukemungkinan akan mendapat pengaruh dari karakteristik pribadi yang dibawa [5]. Karakteristik pribadi yang dibawa terdiri atas jenis kelamin, usia, kepribadian, genetik dan kompetensi. Banyak dari karakteristik sesorang yang jelas berhubungan satu dengan yang lainnya.

Gambar 2

Tabulasi Silang Rata-rata Workplace Well- Being d an Jenis Kelamin

Menurut Bryson, Forth, dan Stokes [5] Workplace Well-being salah satunya dipengaruhi oleh jenis kelamin. Siti Fatimatuz Zahro [6] pada penelitiannya yang dilakukan di PT Gressboard Mojokerto menunjukkan bahwa workplace well-being tinggi terdapat pada karyawan laki-laki. Hal ini berarti bahwa seorang karyawan laki-laki cenderung mengalami Workplace Well-being lebih tinggi dibanding karyawan perempuan. Seorang laki-laki cenderung merasakan kebahagiaan (kenyamanan) dibanding karyawan perempuan. Hal ini dapat dipahami mengingat secara tanggung jawab laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menafkahi keluarga, sehingga dengan bekerja laki-laki merasa lebih berharga.

Gambar 3

Tabulasi Silang Rata-rata Wor k place Well-being dan Usia

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada subjek berdasarkan usia diketahui bahwa karyawan yang berusia 26-35 tahun cenderung memiliki Workplace Well-beinglebihtinggijika dibanding dengan usia yang lain. Rustanti menyatakan bahwa Workplace Well-being salah satunya dipengaruhi oleh usia dimana diketahui semakin bertambahnya usia seseorang dapat mempengaruhi workplace well-being karyawan [6]. Pada peneltiannya yang dilakukan di PT Gressboard Mojokerto workplace well-being tinggi pada terdapat pada usia 29 tahun [6]. Keyes, Shmotkin, dan Ryff [7] bahwa semakin tua usia pekerja maka akan mempengaruhi workplace well-being yang mereka peroleh.

Gambar 4

Tabulasi Silang Rata-rata Wor k place Well-being dan Jabatan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada subjek berdasarkan jabatan diketahui bahwa tingkat workplace well-being paling banyak dialami oleh karyawan yang menjabat sebagai SPV dan Kepala Divisi. Bryson, Forth, dan Stokes [5] menjelaskan bahwa Workplace Well-being dipengaruhi oleh karakteristik pekerjaan. Bakker, dan Demerouti [8] mengatakan bahwa beberapa penelitian menyatakan bahwa karakteristik pekerjaan (job characteristic), yang terdiri atas job demands, job control, dan job resources, dapat mempunyai akibat yang besar bagi kesejahteraan karyawan. Dengan demikian jabatan sesorang di suatu perusahaan akan mempengaruhi WorkplaceWell-being. Secara jabatan-jabatan yang relatif tinggi yaitu supervisor dan kepala divisi lebih tinggi Workplace Well-being dibanding karyawan dengan jabatan sebagai operator. Hal ini berarti jabatan yang tinggi akan memberikan kehormatan dan kompensasi yang lebih baik. Kompensasi yang baik dan kehormatan yang tinggi akan membantu karyawan memperoleh Workplace Well-being. Hal ini mengandung makna bahwa karyawan dengan jabatan SPV dan Kepala Divisi merasakan telah melakukan tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan terhadap mereka dengan baik dimana hal ini sejalan dengan perasaan berprestasi dimana karyawan yang bekerja dengan baik akan diberikan penghargaan. Karyawan juga merasa bahwa kondisi lingkungan kerja di perusahaan tersebut memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkembang secara professional [9].

Gambar 5

Tabulasi Silang Rata-rata Wor k place Well-being dan Pendidikan

Jenjang pendidikan merupakan salah satu ukuran yang menentukan bagaimana karakteristik pekerjaan karyawan. Menurut Bakker, dan Demerouti [8] karakteristik pekerjaan (job characteristic), berdampak besar bagi kesejahteraan karyawan. Menurut pengamatan peneliti, karyawan dengan pendidikan tinggi akan cenderung mendapatkan pekerjaan di bidang pengelolaan, sedangkan karyawan dengan pendidikan rendah akan mendapatkan pekerjaan kasar. Dengan demikian, dalam studi ini dapat dijelaskan bahwa berdasarkan pendidikan, karyawan yang memiliki jenjang pendidikan S1 cenderung mempunyai Workplace Well-being yang lebih tinggi dibandingkan karyawan dengan jenjang pendidikan D3 atau SMA/SMK. Hal ini berarti bahwa dengan pendidikan yang memadai maka karyawan akan mememiliki bekal pengetahuan yang lebih baik sehingga akan mempermudah dalam menjalankan pekerjaan. Kondisi ini akan mendrong karyawan memperoleh Workplace Well-being. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ryff dan Singer bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat well-being orang tersebut akan semakin tinggi [10].

Gambar 6

Tabulasi Silang Rata-rata Wor k place Well-being dan Lama Kerja

Demikian juga berdasarkan lama kerja, karyawan yang memiliki masa kerja lebih dari lima tahun cenderung mempunyai Workplace Well-being lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan masa kerja di bawahnya. Karyawan dengan lama kerja yang memadai akan memiliki pengalaman yang memudahkan dalam beradaptasi dan menjalankan pekerjaan. Sebagaimana hasil penelitian Rahayu dan Salendu [11] bahwa semakin lama karyawan bekerja, maka akan tinggi kesejahteraan psikologis di tempat kerja pada karyawan. Mengenai lama kerja Enders dan Smoak [12] mengungkapkan bahwa workplace well-being dapat dirasakan setelah seseorang bekerja selama dua tahun diperusahaannya. Sejalan dengan pengertian diatas Harter, Schimit & Hayes [1] menyimpulkan bahwa lama kerja dapat mempengaruhi keterikatan karyawan dan workplace well-being yang dirasakan karyawan pada pekerjaannya sehingga akan meningkatkan keuntungan baik bagi perusahaan maupun karyawan.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Workplace Well-being pada karyawan PT X di Sidoarjo

Gambar 7

Faktor-faktor Workplace Well-being

Dari hasil penelitian bisa dipaparkan bahwa secara berurutan faktor yang mempengaruhi workplace well-being karyawan dalam penelitian ini dari yang tertinggi ke yang terendah adalah pencapaian prestasi (27,84%), mengevaluasi diri sendiri (23,5%), merasa senang ketika mendapatkan dukungan dari orang lain (21,18%), Mendapatkan pengakuan rang lain (16,47), dan yang terakhir yaitu puas dalam melakukan pekerjaan (11%).

Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa workplace well-being lebih banyak dipengaruhi oleh pencapaian kerja. Menurut Pryce-Jones [13] workplace well-being dapat membentuk pikiran seseorang ke arah memaksimumkan prestasi kerja dan mencapai potensi diri. Karyawan akan mengalami kepuasan ketika mampu mencapai target yang dibebankan oleh perusahaan. Karyawan akan merasakan kepuasan dalam bekerja saat mampu meraih prestasi yang tinggi.

Dengan demikian untuk meningkatkan tingkat workplace well-being karyawan, perlu dilakukan dengan cara memberikan penghargaan dan apresiasi yang layak atas prestasi yang diraih agar semangat dan kepuasan kerjanya lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan oleh Page [2] bahwa peluang promosi, penghargaan, dan upah merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi workplace well-being. Dengan demikian, salah satu cara untuk memberikan penghargaan yang layak kepada karyawan yang berprestasi adalah memberikan promosi jabatan atau bonus yang layak sesuai dengan prestasi dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa workplace well-being karyawan PT X Sidoarjo memiliki rata-rata tinggi yaitu 3,05. Sebagian besar subjek penelitian ini mempunyai workplace well-being tinggi yaitu 59,2%, yang berkategori sedang 40,8%. Artinya workplace well-being karyawan PT X Sidoarjo sudah baik. Faktor yang mempengaruhi workplace well-being adalah pencapaian prestasi (27,84%), mengevaluasi diri sendiri (23,5%), merasa senang ketika mendapatkan dukungan dari orang lain (21,18%), Mendapatkan pengakuan orang lain (16,47), dan yang terakhir yaitu puas dalam melakukan pekerjaan (11%).

Saran

Perusahaan perlu melakukan perbaikan pada workplace well-being dalam rangka meningkatkan kinerja karyawan dan perusahaan. Perlu upaya untuk meningkatkan workplace well-being dengan cara memperhatikan beban kerja agar kesehatan fisik dan psikis karyawan terjaga, membenahi lingkungan kerja baik fisik dan relasi sehingga karaywan akan nyaman, memperhatikan kesejahteraan karyawan, serta memberikan penghargaan yang layak kepada karyawan yang berprestasi.

References

  1. Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2006). The Job Demands-Resources Model: State of The Art. Journal of Managerial Psychology. 22(3).
  2. Bryson, A., Forth, J., & Stokes, L. (2014). Does worker wellbeing affect workplace performance. Department of Business Innovation and Skills, London.
  3. Enders, G. M., Smoak, L. M. (2008), The human resources craze: human performance improvement and employee engagement, Organization Development Journal. 26. hlm. 69-77.
  4. Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Hayes, T. L. (2002). Business‐Unitlevel Relationship Between Employee Satisfaction, Employee Engagement, And Business Outcomes: A Meta‐Analysis. Journal of Applied Psychology, 87.
  5. Houkes, I., Janssen, P. P. M., De Jonge, J., & Bakker, A. B. (2003). Specific Determinants of Intrinsic Work Motivation, Emotional Exhaustion and Turnover Intention: A Multisample Longitudinal Study. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 76(4), 427-450.
  6. Karim, D. F., Kaunang, M., & Londa, V. Y. (2015). Kesejahteraan karyawan PT.
  7. royal coconut kabupaten minahasa utara. Jurnal Ilmiah Society, 1(14), 66-
  8. Marpaung, J., & Simarmata, N. I. P. (2020). Gambaran Workplace Well-Being di PT.X Medan. Jurnal Psychomutiara, 3(2).
  9. Page, K. (2005). Subjective Well-Being in The Workplace. Thesis. School of Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin University.
  10. Pryce-Jones, J. (2010). Happiness at work; maximizing your psychological capital for success. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd.
  11. Rahayu, P. P., & Salendu, A. (2018). Peran Obsessive Passion Sebagai Mediator dalam Hubungan Antara Tuntutan Pekerjaan dan Kesejahteraan Psikologis di Tempat Kerja. Intuisi: Jurnal Psikologi Ilmiah.
  12. Restika. (2013). Hubungan antara Workplace Well-Being dengan Work Locus of Controlpada Karyawan Perusahaan Manufaktur. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas
  13. Indonesia, Fakultas Psikologi.
  14. Ryff, C. D. & Singer, H. B. (2008). Know Thyself and Become What You Are: A Eudaimonic Approach to Psychological Well-being. Journal of Happiness Studies Vol. 9 No. 1 : 13-19.
  15. Sivanathan, N., Arnold, K. A., Turner, N., & Barling, J. (2004). Leading well: transformational leadership and well-being. Linley & S. Joseph (ed.) Handbook of Positive psychology in practice (241-255). New York: Wiley.
  16. Zahro, S. F. (2018). HUBUNGAN ANTARA WORK VALUE DAN WORKPLACE WELL-BEING. Jurnal Psikologi UINSA.