Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Physics
DOI: 10.21070/acopen.5.2021.2049

Resilience In Those Who Have Broken Home


Resiliensi Pada Remaja Yang Mengalami Broken Home

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Broken Home Resilience Youth Resilience

Abstract

This study aims to describe the aspects and factors of resilience of adolescents who experience a broken home in Sidoarjo. Aspects and factors that emerge help adolescents find the strength to accept and live their lives like teenagers in general. This research method is qualitative by using three adolescent subjects male and female aged 15-17 years. The data collection method used is interviews which are equipped with general guidelines and field notes. The results showed that each individual had aspects of motion regulation, impulse control, optimism, empathy, analysis of the causes of problems, self-efficacy, increased positive aspects and brought up social support resilience factors, cognitive skills, psychological resources so that they were able to accept.

Mempunyai keluarga yang harmonis merupakan keluarga yang sangat dinginkan oleh setiap pasangan suami istri serta anak didalam sebuah keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari satuan masyarakat, tidak akan ada masyarakat jika tidak ada keluarga, dengan kata lain masyarakat merupakan sekumpulan keluarga keluarga. Hal ini bisa diartikan baik buruknya suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya masyarakat kecil itu sendiri (keluarga).

Keluarga yang harmonis membentuk individu yang baik. Menurut Gunarsa dan Gunarsa 2008 (dalam Wulandri, 2019) suasana keluarga yang harmonis penuh dengan keakraban, saling pengertian, persahabatan, toleransi dan saling menghargai. Keadaan keluarga yang utuh dan bahagia, didalamnya ada ikatan kekeluargaan yang memberikan rasa aman dan tentram bagi setiap anggota keluarga. Jadi secara tidak langsung keselamatan dan kebahagiaan suatu masyarakat berpangkal pada masyarakat terkecil yaitu keluarga (Subhan, 2012). Chales (dalam Budiono, 2008) menyatakan bahwa keluarga akan harmonis bila para anggota keluarga di dalamnya bisa berhubungan secara serasi dan seimbang. Saling memuas-kan kebutuhan satu sama lainnya serta memperoleh pemuasan atas kebu-tuhannya. Keharmonisan keluarga berkaitan dengan suasana hubungan perkawinan yang bahagia dan serasi.

Tetapi tidak semua keluarga yang harmonis tidak mudah, didalam sebuah keluarga terdapat sebuah pertengkaran, perselisihan, bahkan sampai pada kekerasan. Ketika didalam sebuah keluarga terjadi pertengkaran, persellisihan, bahkan kekerasan membuat sebuah keluarga tersebut menjadi kurang harmonis, ketika sebuah keluarga sering terjadi sebuah pertengkaran, perselisihan, dan kekerasan secara terus menerus akan mengakibatkan retaknya hubungan sebuah suami-istri dan anak pun bisa menjadi korban dalam keadaan keluarga yang kurang harmonis seperti kurang perhatian dari ayah dan ibu, kurang kasih sayang dari ayah dan ibu. Membuat anak merasa tidak nyaman saat didalam rumah dengan kondisi orang tua sering bertengkar, berselisih, dan kekerasan. Keluarga yang kurang harmonis bisa disebut sebagai broken home. Menurut Hurlock(dalam EVASARI, n.d., 2019) Broken home merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Pengertian broken home lain menurut Chaplin 2004: 71 (dalam Suprapti, 2011),mengungkapkan bahwa broken home adalah “keluarga atau rumah tangga tanpa hadirnya salah seorang dari kedua orang tua (ayah dan ibu) disebabkan oleh meninggal, perceraian, meninggalkan keluarga dan lain-lain”.

Berdasarkan pengadilan agama Sidoarjo kasus perceraian di Sidoarjo perpeluang lebih tinggi dibandingkan tahun 2019. Kasus perceraian yang terdata sejak awal tahun hingga awal September 2020 sekitar 4200 kasus. Berdasarkan Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) jumlah anak yang menjadi broken home semakin rendah, dari tahun 2011 hingga 2013 yakni 416 kasus di tahun 2011, 633 kasus di tahun 2012, dan 931 kasus ditahun 2014. Angka jumlah kasus tersebut mulai sedikit menurun di tahun 2014 menjadu 921 kasus dan mengalami penurunan yang cukup besar di tahun 2015 menjadu 822 kasus, hingga juli tahun 2016 jumlah kasus hanya berjumlah 152 kasus.

Penyebab timbulnya broken home menurut (Wilis, 2008) yaitu: masalah kesibukan, orangtua yang bercerai, sikap egosentrisme, kebudayaan bisu dalam keluarga, perang dingin dalam keluarga, jauh dari tuhan, kehilangan kehangatan di dalam keluarga antara orang tua dan anak, masalah pendidikan, masalah ekonomi. Karakteristik broken home menurut (Yususf S, 2012) yaitu: kematian salah satu atau kedua orang tua, divorce, (kedua orang tua berpisah atau bercerai), poor marriage, (hubungan orang tua dengan anak tidak baik), poor parent-childern relationship, (hubungan orang tua tidak baik), high tenses and low warmth, (suasana keluarga dan tanpa kehangatan), personality psychological disorder, (salah satu atau kedua orang tua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan jiwa). Jika sebuah keluarga mengalami broken home yang dirugikan tidak hanya suami dan istri, anak pun juga mengalami dampak yang negative. Apalagi masa remaja adalah masa remaja adalah masa transisi atau masa perkembangan antara masa kanak kanak dan masa dewasa di mana terdapat perubahan besar yang meliputi fisik, kognitif, dan psikososial yang harus dipantau dan dibimbing oleh keluarga.)

Remaja yang mengalami broken home mempunyai tugas yang cukup berat dalam masa perkembangannya seperti harus menerima keluarga mereka tidak sama dengan yang lain, harus menerima olokan-olokan dari orang lain bahwa keluarganya sudah tidak utuh lagi, dan harus menerima bahwa mereka kurang kasih sayang dengan kedua orangtuanya.

Menurut peneliti terdahulu yang dilakukan oleh (Asriandari, 2015) yang berjudul “Resiliensi Remaja Korban Perceraian Orangtua” ,(Dewi, Nadia Refilia, & Hendriani, 2014) yang berjudul “Faktor Protektif untuk Mencapai Resiliensi pada Remaja Setelah Perceraian Orangtua” , serta (Dewanti, & Suprapti, 2014) yang berjudul “Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Pasca Orang Tua Bercerai” menyatakan bahwa ketiga peneliltian terdahulu tersebut subjek mampu menganalisi masalah yang terjadi pada dirinya subjek memiliki efikasi diri dan juga reaching out yang baik, subjek berhasil mencapai kondisi resilien dengan faktor protektif yang membantu subjek mencapai kondisi resilien yang berbeda pula, serta memunculkan kemampuan pada impulse control, optimism, empathy dan self efficacy meski ketiga partisipan mempunyai kemampuan yang tidak sama persis.

Berdasarkan fenomena diatas peneliti ingin mengetahui dan melakukan penelitian tentang Resiliensi pada Remaja yang Mengalami Broken home di Sidoarjo

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif fenomenologi yaitu penelitian untuk memperoleh informasi yang ada sekarang berdasar data. Unit analisa berupa individu, kelompok atau suatu latar peristiwa social yaitu resiliensi dan remaja broken home. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling . Teknik pengumpulan data teknik pengumpulan data berupa wawancara

Tabel 4.41

Aspek Regulasi Emosi

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek sama-sama memiliki control diri yang bagus. Hanya membedakan pada pengekspresiannya, subjek I dan subjek II memberikan ekspresi yang positif, sementara subjek II terkadang memberikan ekspresi yang cenderung kearah yang negative.

Tabel 4.42

Aspek Pengendalian Impuls

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek memiliki regulasi emosi yang cukup baik, ketiga subjek juga mampu bekerja dibawah tekanan.

Tabel 4.43

Aspek Optimisme

Dari tabel diatas ketiga subjek sangat optimis bahwa ketiga subjek akan sukses dan bisa mengejar cita-cita yang ketiga subjek impikan. Serta subjek I dan subjek II yakin bahwa mereka bisa mengembalikan kembali keharmonisan didalam rumah subjek.

Tabel 4.44

Aspek Empati

Dari tabel diatas daoat disimpulkan bahwa ketiga subjek mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun mendatangkan reaksi positif dari lingkungan sehingga dapat dikatakan ketiga subjek mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain dan memiliki jiwa empati yang tinggi.

Tabel 4.45

Aspek Analisis Penyebab Masalah

Dari tabel diatas dapat dinilai bahwa ketiga subjek sama-sama memiliki analisis dan pemecahan masalah yang cukup bagus, tetapi ada subjek yang belum melakukan apa yang subjek fikirkan, da nada juga subjek yang sudah melakukannya. Dapat dikatakan bahwa ketiga subjek memiliki gaya pemikiran yang bagus ketiga subjek bisa membedakan hal baik dan hak yang buruk yang terjadi dalam keluarga subjek.

Tabel 4.46

Aspek Efikasi Diri

Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa ketiga subjek memiliki keyakinan yang kuat untuk tetap bisa menyelesaikan masalahnya dengan biak, serta ketiga subjek juga tetap bisa focus meskipun ada masalah yang sedang terjadi pada keluarga subjek. Dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek memiliki efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. 

  • Aspek Regulasi Emosi
  • Aspek Pengendalian Impuls
  • Aspek Optimisme
  • Aspek Empati
  • Aspek Analisis Penyebab Masalah
  • Aspek Efikasi Diri
  • Aspek Peningkatan Aspek Positif

Tabel 4.47

Aspek Peningkatan Aspek Positif

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis dan juga ketiga subjek memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan subjek.

Tabel 4.48

Factor Social Support

Dari tabel diatas dapat dikatakan bawah subjek I dan subjek III sama-sama memiliki support hanya dati teman-temannya, tetapi dengan begitu subjek I dan subjek III sudah merasa puas karena teman-temannya selalu ada untuk subjek I dan subjek III. Sedangkan subjek II memilki support yang banyak seperti dari orang tua nenek dan teman-temannya. Dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek sama-sama memiliki social support yang baik.

Tabel 4.49

Faktor Cognitive Skill

Dari tabel diatas dapat dikatakan bahawa ketiga subjek sama-sama memiliki control diri yang bagus serta pemecahan masalah yang sedang ketiga subjek hadapat secara efektif. Dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek memiliki cognitive skill yang baik.

  • Factor Social Support
  • Faktor Cognitive Skill
  • Faktor Psychological Resource

Tabel 4.50

Faktor Psychological Resource

Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa ketiga subjek memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, serta ketiga subjek bisa mencari hikmah yang ketiga subjek dapatkan atas permasalahan yang subjek hadapi. Dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek memilki psychological resource yang baik.

Berdasarkan pemaparan diatas maka aspek-aspek resiliensi pada remaja yang mengalami broken home menggambarkan bahwa ketiga subjek memiliki tujuh aspek untuk dapat beresilien, mampu mengatasi kesulitan, serta mampu bekerja dibahwah tekanan secara efektif. Ketiga subjek mampu mengontrol emosinya dengan baik serta tidak tergesa-gesa saat menghadapi maslaah. ketiga subjek mampu mengendalikan keinginan serta dorongan yang muncul dlam diri subjek. Ketiga subjek yakin bahwa subjek bisa mengendalikan dirinya dan menjadi individu yang lebih baik lagi. Ketiga subjek mampu membaca tanda-tanda dari emosi orang lain serta mampu memahami dan mendengarkan apa yang orang lain alami. Ketiga subjek mampu berfikir secara realistis mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu memecahkan maslaah secara efektif. Ketiga subjek mampu membedakan resiko yang realistis dan tidak realistis serta ketiga subjek mampu melihat gambaran yang besar dari kehidupannya. menurut pendapat Edwarrd, sebagaiimana diikutip Haffsa19 yaitu meliiputi: (1) kebutuhan menggapai yang dinginkan, (2) kebutuhan kepintaran, pusat perhatian, serta hendak tersohor, (3) kebutuhan mendapatkan penghargaan, (4) kebutuhan keteraturan, (5) kebutuhan adanya kebebasan untuk menentukan sikap sesuai dengan kehendaknya, (6) kebutuhan menciptakan hubungan persahabatan, (7) adanya keinginan ikut berempati, (8) kebutuhan mencarii bantuan dan simpati, (9) keinginan menguasai tetapi tidak ingin dikuasai, (10) menganggap diri sendiri rendah, (11) adanya kesediaan untuk membantu orang lain, (12) kebutuhan adanya vairiasi dalam kehidupan, (13) adanya keuletan dalam melaksanakan tugas, (14) kebutuhan untuk bergaul dengan lawan jenis, dan (15) adanya sikap suka mengkriitik orang.

Namun ada beberapa perbedaan dari ketiga subjek yaitu ketiga ketiga subjek diejek subjek I dan subjek III lebih diam dan menganggap itu hanya angin saja, tetapi berbeda dengan subjek II dia harus membuktikkan bahwa dirinya tidak seperti itu. Kemudian perbedaan yang terlihat subjek I peka terhadap kondisi yang sedang diamali oleh orang lain tetapi respon yang diberikan ke subjek I hanya sekedar menanyakan, berbeda dengan subjek II dan subjek III mereka cenderung lebih ke bertanya dan apa yang sekiranya subjek II dan subjek III bisa bantu.

Berdasarkan pemaparan diatas maka factor resiliensi pada remaja yang mengalami broken home bahwa ketiga subjek memilki factor yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor eksternal dan faktor internal diantaranya sosial support, cognitive skill, dan psychological resource. Terdapat kesamaan dari beberapa faktir resiliensi yaitu ketiga subjek memiliki cara pemecahan masalah dan control diri. Ketiga subjek memiliki rasa empati dan rasa ingin tahu yang tinggi, serta cara mengambil hikmah yang ketiga subjek dapatkan dari msalah yang sedang ketiga subjek hadapi saat ini.

Terdapat juga berbedaan yang didapatkan dari data diatas, yaitu sosial support yang ketiga subjek dapatkan berbeda-beda. Subjek I dan subjek III mendapatkan sosial support hanya dari teman-temannya saja, sedangkan subjek II mendapat sosial support cukup banyak dari orang terdekatnya seperti orange tua meskipun hanya bentuk virtual tidak secara langsung, nenek subjek, dan juga teman-teman subjek yang mensupport subjek secara langsung.

Terdapat juga kelemahan-kelemahan yang peneliti teliti diantaranya yaitu kenakalan remaja. Kenakalan yang pernah ketiga subjek alami sampai sekarang diantaranya yaitu merokok, berbeda dengan subjek subjek 1 yang memiliki kenakalan remaja yang lebih tinggi seperti merokok, tawuran, dan minum minuman yang mengandunng alcohol.

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya dapat disimpulkanbahwadari beberapa kejadian kurang beruntung yang dialami oleh ketiga subjek ini mampu bertahan dan melewati setiap permasalahan yang dihadapi dengan kepala dingin dan bertindak secara efektif sehingga tidak merugikan dirinya atau bahkan merugikan orang lain, serta ketiga subjek mampu mengambil hikmah dari setiap permasalahan yang sedang ketiga subjek hadapi saat ini. Sehingga ketiga subjek tetrap focus dalam proses pembelajaran dalam pendidikan yang sedang ketiga subjek tempuh.

  • Bagi peneliti lebih lanjut, penulis mengharapan penelitian yang akan dilakukan lebih lanjut mengembangkan penelitian yang jalas serta menjabarkan resiliensi pada remaja yang mengalami broken home dengan melihat dan menganalisa karakteristik dan faktor untuk mencapai resiliensi.
  • Bagi remaja diharapkan untuk meningkatkan resiliensinya agar tetap bertahan dalam kondisi yang mungkin kurang nyaman atau kurang menyenangkan. Remaja broken home yang memiliki resiliensi tidak akan putus asa, tetap semangat, dan tetap focus dengan apa yang sedang ia cita-citakan meskipun permasalahan yang sedang terjadi sehingga dapat menemukan solusi penyelesaiannya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT dengan rahmad-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian ini, serta kepada kedua orang tua penulis, keluarga penulis, dan para dosen yang senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada para sahabat atas motivasi dan supportnya, dan partisipan penelitian yang berkenan membantu dalam penelitian ini.

References

  1. Asriandari, E. (2015). Resiliensi remaja korban perceraian orangtua. Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 1, 1–11. https://doi.org/10.1021/om1007902
  2. Dewi, Nadia Refilia, & Hendriani, W. (2014). Faktor Protektif untuk Mencapai Resiliensi pada Remaja Setelah Perceraian Orangtua. Psikologi Kepribadian Dan Sosial, 03(03), 38–39. Retrieved from http://journal.unair.ac.id/downloadfull/JPKS8891-77aabf9ceefullabstract.pdf
  3. Diananda, A. (2019). Psikologi Remaja Dan Permasalahannya. Journal ISTIGHNA, 1(1), 116–133. https://doi.org/10.33853/istighna.v1i1.20
  4. EVASARI, N. O. (n.d.). Triantoro satria nofrans eka s ,” menejemen emosi sebuah panduan cerdas bagaimana mengelola emosi positif anda” .(Jakarta: PT. Bumi aksara 2009) hal 27 1 15. 15–42.
  5. Fatmasari, A. (2019). 済無No Title No Title. Statistical Field Theor, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
  6. Hafiza, S., & Mawarpury, M. (2018). Pemaknaan Kebahagiaan oleh Remaja Broken Home. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(1), 59–66. https://doi.org/10.15575/psy.v5i1.1956
  7. Khotimah, K. (2018). Faktor Pembentuk Resiliensi Remaja Dari Keluarga Broken Home di Desa Pucung Lor Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 12(1), 136–157. https://doi.org/10.24090/komunika.v12i1.1384NOFI, H. M. (n.d.). Prayitno, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling , Jakarta: Rineka Cipta, 1999, h. 315 9. 9–37.
  8. Pratama, R., Syahniar, S., & Karneli, Y. (2016). Perilaku Agresif Siswa dari Keluarga Broken Home. Konselor, 5(4), 238. https://doi.org/10.24036/02016546557-0-00
  9. Puspitawati, H. (2013). Konsep dan Teori Keluarga. Gender Dan Keluarga, 4(Zeitlin 1995), 1–16. https://doi.org/10.1249/01.mss.0000074580.79648.9d
  10. Putri, R. R. (2017). Hubungan Teman Sebaya Terhadap Perilaku Seksual Pra Nikah Remaja SMAN 10 Yogyakarta. (2011), 12–33. https://doi.org/10.1360/zd-2013-43-6-1064
  11. Ruswahyuningsih, M. C., & Afiatin, T. (2015). Resiliensi pada Remaja Jawa. 1(2), 96–105. https://doi.org/10.22146/gamajop.7347
  12. Subhan, Z. (2012). GENDER DALAM TINJAUAN TAFSIR. Kafa`ah: Journal of Gender Studies. https://doi.org/10.15548/jk.v2i1.34
  13. Suprapti, Z. (2011). BROKEN HOME MELALUI KONSELING REALITA.
  14. Tua Bercerai, O., Dewanti, A., & Suprapti, V. (2014). Resiliensi Remaja Putri terhadap Problematika Pasca. Universitas Airlangga Surabaya, 3(3), 164–171.
  15. Wulandri, D. (2019). 済無No Title No Title. Statistical Field Theor, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004