Abstract
The study of speaking ability in ASD (Autistic Speacktrume Disorder) children at SDN Gedangan Sidoarjo aims to describe 1) Pronunciation of ASD (Autistic Speacktrume Disorder) children when speaking at school, 2) ASD children's vocabulary (Autistic Speacktrume Disorder) when speaking at school, 3) The facial expression or facial expression of ASD (Autistic Speacktrume Disorder) children when speaking at school. This study uses a qualitative case study type. The subjects of this study were children with special needs in the ASD (Autistic Speacktrume Disorder) category in grades IV and V. The object of this study was the speaking ability of children with autism ASD (Autistic Speacktrume Disorder) at school. Research data collection techniques using observation, interviews and documentation. The data obtained by the study were analyzed using data reduction, presentation and drawing conclusions. The process of checking the validity of the data uses technical triangulation. The form of communication that ASD (children can doAutistic Speacktrume Disorder) when speaking at school is using one-way communication from the researcher to the subject. So it still requires guidance. They are able to respond to communication when the interaction takes place, but sometimes the responses given are not in accordance with the topic of communication. The responses given tend to be nonverbal communication such as touch and gestures
Pendahuluan
Bahasa merupakan alat berkomunikasi dan berinteraksi socialyang penting untuk diajarkan pada anak sejak dini. Sehingga anak dapat menyatakan ide dalam pikiran, saling berbagi pengalaman dan mengembangkan pengetahuannya. Bahasa sebagai alat komunikasi yang terpenting dalam berinteraksi terhadap manusia agar mereka saling memahami dan mengerti. Adapun menurut Bromley yang menyebutkan empat macam bentuk bahasa yaitu, menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Setiap keterampilan berbahasa tersebut memiliki hubungan yang erat sekali dengan keterampilan berbahasa yang lain dan masing-masing saling mendukung dalam proses pemerolehannya.[1]
Berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak. Secara umum berbicara memiliki tujuan untuk menyampaikan sesuatu berupa ide, pikiran, gagasan serta isi hati seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami orang lain. pada penelitian yang dilakukan oleh Mehrabian, yang mengemukakan bahwa: Pertama, 55 % makna dalam setiap pesan berasal dari bahasa tubuh visual (gerakan, sikap, ekspresi wajah). Kedua, 38 % makna dalam setiap pesan berasal dari elemen nonverbal dari perkataan (vokal) atau dengan kata lain, cara bagaimana kata-kata tersebut diucapkan oleh nada melalui nada pola dan kecepatan suara dan ketiga 7% makna tersebut berasal dari kata-kata yang sebenarnya (isi).[2]
Ditengah kehidupan kita ada beberapa anak yang terkadang mengalami gangguan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan faktor yang berbeda. Hal ini akan dijumpai pada anak berkebutuhan khusus, yaitu autis. Seperti halnya yang disampaikan oleh Priyatna yang menyatakan bahwa, autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi dan bermain dengan imajinatif yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah tiga tahun danmereka mempunyai keterbatasan pada level aktivitas dan interest dan hampir 75%dari anak autis pun mengalami beberapa derajat retardasi mental.[3]
Anak autis tidak bisa berkomunikasi seperti anak normal lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh Autisme Spectrume Disorder (ASD)atau disebut juga dengan Gangguan Spektrume Autisme merupakan gangguan perkembangan dalam pertumbuhan yang secara umum tampak pada tiga tahun pertama kehidupan anak tersebut. anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial dan perilaku Menurut American Psych, memaparkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. [4]. Gangguan ini mengakibatkananak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Akan tetapi secara garis besar autis adalah gangguan perkembangan khusus terjadi pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seola-olah dia hidup di dunianya sendiri. [5]
Anak autis cenderung menggunakan kata yang sering diucapkan oleh orang-orang terdekatnya. Sebab anak autis akan berbicara pada orang-orang terdekat di sekelilingnya saja dan tidak semua orang mendapatkan timbal balik atas interaksi sosialnya. Sehingga kosakata yang mereka gunakan terbatas. Anak autis memiliki kemampuan berbicara yang sangat lambatdan ada beberapa yang wicaranya tidak berkembang serta kurang jelas bagi kebanyakan orang. Namun karena interaksi yang intens perlahan-lahan teman-temannya akan mengerti maksud dari anak tersebut. Oleh karenanya, fokus artikel ini adalah mendeskripsikan mengenai tentang Studi Kasus Kemampuan Berbicara Anak Autis ASD (Autis Speactrume Disorder) dengan beberapa indikatornya indikatornya. [6]
Di sekolah SDN Gedangan terdapat 3 anak autis yaitu pada kelas II, IV, dan kelas V. Dalam observasi peneliti mencoba untuk berinteraksi dengan ketiga anak autis tersebut. Ketiga anak autis tersebut hanya satu yang masih dalam dampingan guru shadow yaitu terdapat pada kelas IV. Nama isialnya SDA dia terdiagnosa autis sedang yang anak tersebut masih butuh bimbingan guru shadow dalam komunikasi dan penerimaan belajar SDA. Berikut nya dari kelas V dengan siswa bernama AHP biasa disapa dengan panggilan akmal. Saat ini AHP berusia 13 Tahun. AHP mengalami gangguan perkembangan persuasif dan gangguan berbicara. Dari kedua subjek tersebut memiliki persamaan dalam kurangnya komunikasi verbal dalam berbicara hal ini menguatkan bahwa pada anak autis memang cenderung memiliki interaksi yang berbeda.
Hal tersebut dikuatkan bererdasarkan hasil penelitian fristasari yang berjudul analisis kemampuas berbicara anak autisme disekolah luar biasa negri tanjung pinang tahun pelajaran 2015-2016 menyatakan bahwa, kemampuan berbicara anak autis (Jb) masih mengalami kendala pada kelancaran, artikulasi kurang jelas, pada beberapa kata yang mengandung huruf dan akhiran n,r,g,nya,ng. Berbicara hanya 1-3 kata dalam satu kalimat. [7]. Belum dapat berdialog atau berkomunikasi, hanya bisa berkomunikasi dalam keadaan fokus dan menatap lawan bicaranya, sangat menutup diri dengan lingkungan sekitarnya dan sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga tidak ada interaksi dan komunikasi dengan teman sekelasnya. Belum dapat memberikan informasi, mengucapkan keinginan dengan kalimat tidak utuh dan diucapkan dengan berulang-ulang. [8]
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif menggunakan metode studi kasus. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postopositivisme, yang mana digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, pengambil sampel sumber data yang dilakukan secara purposive dan snowbaal. [11]Teknik pengumpulan datanya dengan triangulasi (gabungan), analisis data dan bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Pendekatan studi kasus ini lebih tepat digunakan untuk meneliti single fact atau fakta tunggal yang focus pada satu masalah yang belum banyak terjadi pada masyarakat. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai. [9]
penelitian ini dilakukan pada bulan maret hingga bulan april 2020. Pelaksanaan penelitian ini dimulai sejak pencarian subjek yang sesuai dengan kriteria penelitian, pengambilan data hingga penyusunan laporan penelitian yang dilakukan secara bertahap. Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah waktu yang cukup efektif, yakni penelitian sudah menentukan waktu terlebih dahulu sebelum penelitian melakukan proses wawancara dengan subjek penelitian.
Pertemuan | Hari/Tanggal | Lokasi | Keterangan |
I | 26 Maret 2018 | SDN Gedangan | Perkenalan dan Wawancara |
II | 10 April 2018 | SDN Gedangan | Wawancara dan Dokumentasi |
Pertemuan | Hari/Tanggal | Lokasi | Keterangan |
I | 13 April 2018 | SDN Gedangan | Perkenalan dan Wawancara |
II | 16 April 2018 | SDN Gedangan | Wawancara |
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan terhadap anak autis tentang studi kasus kemampuan berbicara anak autis ASD (Autis Speaktrume Disorder) di SDN Gedangan Sidoarjo, yang mana dalam dalam berbicara ada 3 aspek yang dapat dinilai antara lain yaitu, pelafalan, Gaya Bahasa, mimic wajah (ekspresi) adapun pemaparannya sebagai berikut :
Pelafalan
Pelafalan terdapat 3 aspek yang dinilai yaitu, ketepatan pengucapan pada huruf tertentu, kejelasan konsonan, kejelasan vocal. Dalam beberapa aspek tersebut akan dipecah menjadi beberapa capaian diantaranya seperti : Pengucapan kata yang utuh dan jelas, bahkan disetiap hurufnya seperti pada huruf yang sama, p.b.r.l, jelas dalam pengucapan huruf . baik huruf yang dihasilkan pada bibir (labial) [p] [b] dan [m]. Bibir dan gigi (labiodental)[f] dan [v] atau lidah menyentuh gigi (alveolar)[t] [d] [z], Penggambaran posisi naik turunnya bagian-bagian lidah, sehingga memberikan kejelasan pada olah vocal, a,i,u,e,o. Dari beberapa aspek dan capaian diatas peneliti memaparkan bahwa SAD ketika berbicara dari segi aspek pelafalan ia berbicara dengan pelafalan dan ketetapan pengucapan yang cukup jelas. Terbukti dari berbicara huruf-huruf seperti p,b,m yang mana huruf-huruf tersebut dihasilkan pada bibir (labial) [p] [b] dan [m]. Bibir dan gigi (labiodental)[f] dan [v] atau lidah menyentuh gigi (alveolar)[t] [d] [z] dll. Ia mampu mengucapkan dengan jelas. [10]
Untuk AHP ia ketika berbicara terbilang kurang jelas dan pelat. Untuk kemampuan berbicaranya terbilang dibawahnya SAD jadi masih belum mampu berbicara dengan ketepatan yang jelas perlu adanya bimbingan untuk memberikan intensitas berbicara agar anak tersebut terbiasa dan terlatih serta mampu berbicara dengan ketepatan dan kejelasan.Namun pada dasarnya anak autis sendiri memang cenderung lemah dalam hal verbalnya. Anak autis cenderung melakukan interaksi dengan menggunakan nonverbalnya. Jadi tidak dipungkiri bahwa kebanyakan anak autis memiliki kelemahan dalam bidang kemampuan berbicara. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Fitri Rahayu yang memaparkan bahwa, anak autis cenderung melakukan komunikasi verbalnya dengan gerak atau sentuhan tubuh, itu adalah komunikasi menurutnya dan mengekspresikan dirinya atas maksud yang ingin di sampaikan. Dari pemaparan diatas juga dikuatkan dari temuan Leo Kanner yang menyatakan bahwa, “sekitar 50% anak autis memang mengalami keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara.[11]
Gaya Bahasa
Gaya bahasa memiliki 4 aspek yang dinilai dalam berbicara seperti, penyampaian kalimat dengan jelas (tidak berelit), berbicara dengan kata atau kalimat yang mudah dipahami, memberikan kesan (menarik, sopan dan jujur), tidak terpengaruh dengan dialek asal. [12]. Dari aspek-aspek tersebut peneliti memaparkan hasil penelitiannya. Bahwa SAD dalam penyampaian informasi terhadap komunikannya kurang jelas hal ini dikarenakan ia memaparkan nya dengan berbelit dalam artian tidak secara runtut ketika berbicara. Banyak jeda. Cenderung lamban dan masih memerlukan bimbingan dari guru shadow. Hal ini sama seperti dengan AHP ia juga menyampaikan sesuatu dengan cenderung berbelit. Banyak jeda. Mereka berdua cenderung menggunakan kalimat atau kata yang pendek yang mudah dipahami dan dimengerti. Bukan dengan deretan kalimat yang panjang. Seperti ketika SAD memerlukan bantuan pada guru shadownya kalimat yang ia katakan yaitu, “to long” dan dia akan mengarakan atau menunjuk terhadap sesuatu yang ia kehendaki. Berbeda dengan AHP yang cenderung memperlihatkan komunikasi verbalnya dengan menggunakan sentuhan dan gerakan tubuh. Dalam berbicara SAD tidak terpengaruh dengan dialek asalnya karena sejak kecil orang tuanya membiasakan SAD berkomunikasi dengan menggunakan bahasa indonesiadengan bertujuan agar memudahkan SAD dalam berinteraksi dan diharapkan orang sekitar juga bisa memahami apa yang disampaikan oleh SAD.
Hal ini senada dengan penelitian dari Sicilliya E. Boham yang menyatakan bahwa, “kemampuan berbahasa kita secara otomatis berkembang ketika kita berada di tengah lingkungan yang harus terus-menerus menggunakan bahasa tersebut. Percakapan sehari-hari yang kita dengar sejak bayi membuat kosakata bertambah dengan sendirinya tanpa ada yang mengajarkannya secara sengaja. Karena itu percakapan antara anak dengan orang tua atau dengan orang lain di sekitarnya sangat penting perannya dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak. Sering-seringlah mengajak anak untuk berbicara dalam situasi apapun . ceritakan pada anak apapun lepas dari ia benar-benar mengerti atau tidak. Memang orang tua sesekali terkesan cerewet dalam hal ini, tetapi hal seperti ini akan berdampak positif untuk perkembangan bahasa dan wicara anak Dengan demikian anak tersebut terbiasa berinteraksi serta pembendaharaan katanya sesuai dengan apa yang biasanya ia dan orang tua ucapkan. Karena pada dasarnya anak akan merekam apa saja kata yang di dengar. [13]
Dalam sebuah penelitian juga dipaparkan bahwa, Proses penguasaan bahasa tergantung pada stimulus dari lingkungan luar dan para ahli sepakat bahwa bahasa yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sekitar atau lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjalanan bahasa seseorang anak sangat bergantung terhadap lingkungan anak tersebut. [14]
Mimik Wajah atau Ekspresi
Pada indikator mimik wajah atau ekpresi terdapat 3 aspek yang di nilai yaitu : gestur atau gerak tubuh, ekpresi wajah, penjiwaan. Dalam hal ini SAD ketika berbicara memiliki ruang gerak tersendiri. dan dominan anak berkomunikasi lebih pada nonverbal nya dari pada berinteraksi dengan verbalnya. Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian oleh Fitri Rahayu yang menyatakan bahwa, “ cara kita bergerak dalam ruang dalam berkomunikasi dengan orang lain di dasarkan pada respon fisik dan emosional terhadap rangsangan linkungan. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian terhadap AS (Anak Autis) mereka mendekat dan kadang menjauh serta memiliki aktifitas selalu menggerakkan tangan seperti mencari sesuatu atau tertawa dalam kondisi ruang apapun”. [15]
Hal ini sesuai dengan keadaan dilapangan bahwa SAD dan AHP mereka melakukan gerak terhadap orang lain seperti yang di lakukan oleh SAD ketika ia berbicara dengan teman perempuannya ia tidak memberikan respon atau memperhatikan lawan bicaranya. Akan tetapi dia hanya memegang anting-anting yang dipakai oleh temannya tersebut. Ini menggambarkan bahwa rasa ketertarikan terhadap barang yang di pakai oleh temannya, namun dia tidak mengutarakan akan tetapi ia langsung memegang barang yang ia sukai. Kemudia jika ia merasa lapar AHP akan memegang perutnya sambil bilang “ ehhg mak kan” seperti itu.
Mereka lebih mengekspresikan dirinya dengan gerak. Ketika bertemu dengan teman-teman nya yang ia kenal iaa akan teriak dan melambaikan tangan pada saat berada di arah jauh. Namun ketika saling berpapasan ia lebih sering menarin baju temannya. dalam berbicara keadaan tubuhnya tidak diam dia selalu bergerak entah dengan menggerakkan tangan, kaki atau jari-jarinya. Dan respon ketika dia diajak berbicara pandangan tidak tertuju pada lawan bicaranya, ia cenderung membuang muka menoleh kekanan dan kekiri seperti melihat keadaan atau fokus pada satu barang yang sedang ia pegang.Untuk AHP ia cenderung ketika diajak berbicara bermain dengan barang yang ada di tangan nya. Akan tetapi ia tetap mendengarkan temannya meskipun tak jarang temannya ketika memberikan pertanyaan harus di ulangi ebebrapa kali. Sebab anak autis auto fokusnya terkadang tidak menentu. AHP lebih suka ber aktifitas ketimbang bermain di dalam kelas. Entah dengan berjalan-jalan, lari, atau duduk dengan kakinya di ayun-ayunkan.
Dalam pembelajaran seorang guru akan memberikan stimulus interaksi terhadap anak autis baik secara velbal maupun nonverbal. Hal ini untuk menumbuhkan rasa kedekatan diantrara anak-anak berkebutuhan khusus, agar mereka tidak merasa di asingkan atau berbeda dengan teman-teman yang lainnya. Seperti ketika pertama kali memasuki kelas guru akan memberikan lambaian tangan ataupun pelukan sehingga anak tersebut merasa senang kehadirannya di tunggu oleh guru. Sikap seperti ini juga di tunjukkan pada murid- murid yang lainnya.
Di harapkan anak-anak datang sekolah dengan keadaan senang dan nyaman. Ketika berdoa guru akan berkeliling dan memegang tangan AHP guna menuntunnya dan memberikan contoh bahwa hal seperti itu berarti waktunya berdoa dengan mengangkat kedua tangan dan posisi badan duduk dengan tegap. Pada ekspresi wajah SAD terkadang menampilkan raut wajah dengan alis dan kening yang dikerutkan sambil memukul mejah menggunakan tangan atau bendatulisnya sebagai tanda bahwa ia merasa tidak senang atau marah.Dan teriak-teriak sambil geleng=geleng kepala serta memukul meja menandakan bahwa ia sedang merasa kesal dan sangat marah. Untuk ekspresi bahagia dan senang ia tidak nampakkan di raut mukanya hanya ia akan bertepuk-tepuk sambil tersenyum tanda bahwa ia senang dan gembira.
Ekspresi yang di tunjukkan AHP ketika bosan yaitu, mata kebawah bibir melengkung dahi tangan menyangga dahi terkadang wajahnya dibenamkan di meja atau sabil tiduran di meja tangan ditompangkan di dahi tanda bahwa ia bosan dan ingin keluar kelas. Dan ketika ia menghentakkan kakinya dibuat seperti suara-suara kaki saat duduk sambil merengek tanda bahwa ia sedang kesal. AHP cenderung anak autis aktif dan suka bergerak. Ia akan merasa jenuh jika hanya duduk di bangku saja. namun untuk tingkat ke fokusannnya ia kurang. Terbukti ketika diajak berbicara dia juga tidak fokus pada lawan biacaranya namun ia cenderung bermain dengan sendiri atau dengan barang-barang sekitar.
Jadi AHP dan SAD memiliki kesamaan ketida melakukan percakapan atau komunikasi mereka cenderung tidak memperhatikan lawan biacaranya justru lebih fokus terhadap apa yang sedang mereka pegang. Bahkan tidak jarang mereka tidak menyadari akan kehadiran teman ngobrolnya. Untuk melakukan percakapan keduanya tergolong pasif. Sebab AHP dan SAD tidak memberikan umpan pembicaraan mereka lebih hanya menjawab pertanyaan ataupun bercerita untuk menjawab dan menanggapi pertanyaan mereka sangat pasif.
Hal ini serupa dengan penelitian dari Fitri Rahayu yang menyatakan bahwa, “ Perilaki yang sering di ulang AS ( Anak Autis) saat melakukan komunikasi berupa gerak tangan yang selalu mencari sesuatu untuk dipegang dan ekspresi wajah selalu tertawa. Tingkat kesadaran AS (Anak Autis) akan adanya orang lain dalam komunikasi belum terlihat. Ketika komunikasi berlangsung kontak mata yang di lakukan anak autis masih memerlukan bimbingan karena belum bisa melakukan kontak mata secara spontan, tetapi untuk beberapa gerakan tubuh dan sentuhan sudah sering di lakukan anak autis”.[16]
Komunikasi dengan teman-teman mereka berbeda, dalam artian SAD ketika ingin berbicara dengan teman-temannya ia cenderung melakukan kontak fisik seperti dengan memegang baju teman nya, barang yang ia sukai atau lengan temannya. namun berbeda dengan AHP ia cederung memanggil teman-temannya dengan teriak meskipun dengan pelafalan yang kurang jelas. Dari beberapa pemaparan di atas bahwa SAD dan AHP keduanya memiliki motivasi-motivasi sendiri untuk memulai komunikasi dan interaksi akan tetapi masih kurang dalam mengungkapkan nya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dipaparkan pada bab IV, dapat disimpulkan mengenai study kasus kemampuan berbicara anak ASD ( Autis Speacktrume Disorder) Di SDN Gedangan Sidoarjo yaitu :Pada dasarnya anak autis memiliki gangguan dalam berinteraksi baik dari segi verbal maupun nonverbal. Untuk aspek pelafalan dalam berbicara pada anak ASD (Autis Speacktrume Disorder) terbilang kurang dari segi pelafalan dan vocal.Kosa kata yang diperoleh dari anak autis sangat sedikit karena mereka cenderung tidak melakukan interaksi sosial dan kosa kata yang mereka ucapkan sesuai dengan apa yang biasanya ia dengar.Gestur tubuh dan mimik wajah cenderung pasif, tidak ada responsif timbal balik ketika diajak berbicara. Dalam mengekspresikan keadaan sedih, susah, senang ada perbedaan. Ketika berbicara tidak menatap mata temannya pandangan mengarah disekitar. Sehingga di ajak berbicara cenderung menjawab saja tanpa memberikan respon timbal balik. Keduanya merupakan anak autis pasif. Karena merupakan jenis anak autis yang tidak berinteraksi secara sepontan. Akan tetapi tidak menolak usaha berinteraksi dengan orang lain.
References
- Adriana Iswah,2008. Memahami Pola Perkembangan Bahasa Anak Dalam Konteks Pendidikan. Journal Volume III.No.1
- Agus Setyonegoro, 2013. Hakikat,alasan dan tujuan berbicara.
- Alif kurnia. Annisa Fitrah dkk, Gambaran Komunikasi Usia Anak Sekolah Di Tingkat SD”, Universitas Indonesia. E-Journal Tahun 2020
- Baren Barnabas dan YukueYukiarti, Tes Keterampilan Berbicara. Sps UPI 2013
- Boham E. Sicillya, Pola Komunikasi Orang Tua Denga Anak Autis (Studi Pada Orang Tua dari Anak Autis di Sekolah Luar Biasa AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado ). Journal Volume II. No.4. Tahun 2013.
- Fatma Laili, Komunikasi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Journal Volume 1. No.2.2013
- Fitria Rahayu, Kemampuan Anak Autis Dalam Interaksi Sosial (Kasus Anak Autis di Sekolah Inklusi SD Negri Giwangan Kotamadya Yogyakarta), E-Joernal. Tahun 2014
- Fristasari, Analisis Kemampuan Berbicara Anak Autisme Di Sekolah Luar Biasa Negri Tanjung Pinang, E-Joernal. Tahun 2017
- Gorys Keraf. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia
- http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-ekspresi/
- John. W. Creswell. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih diantara Lima Pendekatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008. Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional