Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.6.2022.1648

The Relationship Between School Well-Being And Adjustment Of Students Of Class 10 in School


Hubungan Antara School Well-Being Dengan Penyesuaian Diri Siswa Kelas 10 di Sekolah

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

School well-being Penyesuaian diri Siswa SMA

Abstract

Self-adjustment is one of the factors for achieving harmony between individual self-demands and the environment. School well-being is influential in developing the ability to adapt to each individual. This study aims to determine the relationship and relationship between school well-being and self-adjustment. The population in this study were 413 student of SMA Negeri 1 Mojosari class 10 and the total sample was based on Isaac and Michael’s table with an error rate of 5%, namely 186 students with simple random sampling technique. Collecting research data using 2 psychological scales, namely, the scale of school well-being and the scale of self-adjustment. Research data analysis using product moment correlation. The results of the analysis show that school well-being has positive relationship with self-adjustment in SMA Negeri 1 Mojosari student with a correlation coefficient of 0,956 with a significance level of 0,000 (less than 0,05). The school well-being variabel towards adjustment gave an effective contribution 91,3%.

Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial yang menjadi bagian dari suatu lingkungan. Di lingkungan tempat individu tinggal, individu akan dihadapkan pada tuntutan tertentu dari lingkungan yang harus dipenuhinya, di samping itu ia juga memiliki kebutuhan, tuntutan, dan harapan dalam diri yang harus diselaraskan dengan tuntutan dan lingkungan. Untuk itu, diharapkan adanya hubungan yang selaras antara tuntutan individu maupun tuntutan lingkungan agar terciptanya kesehatan jiwa maupun mental individu [1]. Setiap individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu atau kurang mampu dalam melakukan penyesuaian diri. Beberapa individu kurang mampu mencapai kebahagiaan dan yang menderita akibat adanya konflik dalam hidupnya salah satunya terjadi karena ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri [2].

Kemampuan yang harus dimiliki setiap individu salah satunya ialah penyesuaian diri. Penyesuaian diri merupakan sebuah proses yang dilakukan terus menerus secara dinamis dengan cara mengubah perilaku agar mendapatkan hubungan selaras antara diri individu dengan lingkungan. Sekolah merupakan salah satu institusi pendidikan yang memiliki peranan penting dalam penyesuaian diri pada siswa. Setiap siswa mengalami masa transisi yaitu peralihan ke tingkat sekolah yang lebih tinggi seperti dari sekolah menengah pertama (SMP) menuju ke sekolah menengah atas (SMA). Ketika siswa memasuki masa peralihan pada lingkungannya yang baru, siswa akan menghadapi berbagai perubahan meliputi, meningkatnya tanggung jawab, perubahan dari suatu struktur kelas yang kecil menjadi lebih besar, penambahan mata pelajaran, metode mengajar guru, sikap belajar dan tuntutan belajar. Dengan adanya perubahan- perubahan yang dibutuhkan kemampuan dalam melakukan penyesuaian diri [3]. Menurut pendapat [4], menyatakan bahwa kemampuan penyesuaian diri yang dimiliki remaja akan memudahkannya untuk hidup dan bersosialisasi secara wajar di lingkungan sekitarnya.

Penelitian tentang penyesuaian diri, terutama penyesuaian diri pada siswa yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya lebih sering dilakukan pada siswa yang memasuki masa peralihan dari tempat lama menempati tempat baru. Penelitian ini dilakukan di siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Mojosari. Penelitian ini dilakukan karena fenomena penyesuaian diri yang rendah juga ditemukan pada beberapa siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Mojosari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penyesuaian diri yang dimiliki siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Mojosari. Adapun Penelitian tentang penyesuaian diri, terutama penyesuaian diri pada siswa, banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu yang dihubungkan dengan kepercayaan diri [5] dan [6], maupun religiusitas [7].

Fenomena penyesuaian diri yang rendah juga ditemui di SMA Negeri 1 Mojosari. Peneliti melakukan survey awal dengan memberikan angket berisi 10 pernyataan pada aspek penyesuaian diri yang dilakukan terhadap 15 siswa kelas 10 di SMA Negeri 1 Mojosari. Hasil survey menunjukkan bahwa terdapat 6 dari 15 siswa (40%) kesulitan dalam bergaul dengan teman, 4 dari 15 (26%) siswa kurang mampu dalam menjalin hubungan yang baik dengan guru, 3 dari 15 siswa (20%) memiliki minat yang rendah untuk mengikuti kegiatan sekolah dan 2 dari 15 siswa (14%) melanggar peraturan sekolah. Dengan demikian adanya siswa yang bermasalah dalam melakukan penyesuaian diri di sekolah.

Hal tersebut juga diperkuat dari wawancara yang diakukan oleh peneliti kepada salah satu guru kelas 10 di SMA tersebut, beliau mengatakan :

“Disini untuk kelas 10 memang perlu ya mbak, untuk melakukan penyesuaian diri karena baru pindah atau naik dari sekolah yang lama (SMP). Memang ada beberapa siswa yang terlihat kurang mampu. Biasanya mereka itu pasif seperti tidak banyak ikut ekstrakurikuler atau lomba-lomba gitu. Kalau sesama temannya juga gitu beberapa siswa tidak mau berkumpul dengan teman-temannya yang lain lebih memilih sendiri dalam melakukan tugas, bermain, dan sepulang dari sekolah mereka langsung pulang dengan seorang diri. Ada juga beberapa siswa itu kalau mengalami kesulitan atau masalah apapun misal kesulitan tugas, masalah dengan teman, masalah dirumah yang dapat mengganggu belajarnya biasanya kurang terbuka dengan gurunya. Untuk menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sosialnya juga kurang. Sedangkan kalau melanggar peraturan namanya siswa ya mbak, ada saja yang kurang mampu mentaatinya. Ya seperti itu mbak kurang lebihnya masalah penyesuaian diri di sekolah ini.” (02 Februari 2020)

Berdasarkan data-data mengenai penyesuaian diri pada siswa SMA Negeri 1 Mojosari menunjukkan bahwa adanya siswa yang bermasalah dalam penyesuaian diri di lingkungan sekolah seperti, bermasalah dalam menjalin hubungan antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, keterlibatan dalam kegiatan sekolah, serta adanya siswa yang melanggar peraturan seperti siswa datang terlambat, siswa berseragam kurang lengkap dan kurang peduli dengan kerapiannya sebagai siswa. Schneiders dalam [8] mengemukakan ciri-ciri penyesuaian diri di sekolah meliputi terjalin hubungan baik antara siswa dengan siswa, terjalin hubungan baik siswa dengan guru, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan sekolah, mentaati aturan yang berlaku di sekolah, menjaga nama baik sekolah, membantu sekolah mencapai tujuannya, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan. Dari beberapa ciri-ciri tersebut terjalin hubungan baik antara siswa dengan siswa, terjalin hubungan baik siswa dengan guru, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan sekolah, dan mentaati aturan yang berlaku di sekolah mewakili data yang menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri.

Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri menurut [9], yaitu lingkungan keluarga, lingkungan teman sebaya dan lingkungan sekolah. Dari berbagai faktor tersebut lingkungan sekolah menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri pada siswa. Menurut [10], menyatakan bahwa adanya penyesuaian diri yang baik dari siswa dapat membuat lingkungan sekolah menjadi lebih baik seperti sikap dan perilaku siswa yang positif dapat menunjang lingkungan sekolah menjadi terasa nyaman untuk belajar dan bersosialisasi. Lingkungan sekolah mempunyai peranan penting dalam usaha siswa melakukan penyesuaian diri. Baik penyesuaian diri antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru, penyesuaian diri dengan kegiatan sekolah atau dengan aturan-aturan yang berlaku di sekolah. Bagaimana kondisi lingkungan sekolah dan bagaimana hubungan sosial yang terjadi disekolah dapat mempengaruhi siswa apakah mampu melakukan penyesuaian diri atau tidak. Lingkungan sekolah yang dimaksud di sini berkaitan dengan konsep school well-being. Konsep school well-being merupakan terwujudnya situasi sekolah yang mendukung, perasaan senang dan sikap yang positif tercipta karena dipengaruhi oleh lingkungan sekolah yang sehat, sehingga dapat mempengaruhi kebahagiaan siswa dalam berinteraksi didalam lingkungan sekolah [11].

Menurut [11], definisi school well-being sebagai sebuah keadaan sekolah yang memungkinkan individu memuaskan kebutuhan dasarnya, baik kebutuhan material maupun non-material. Kondisi sekolah yang nyaman, tidak menekan, menyenangkan, guru yang memperhatikan siswa dan pergaulan yang menyenangkan dapat menurunkan siswa bereaksi negatif seperti, depresi, cemas, stress, terasingkan dan individual. Kondisi tersebut dapat membantu siswa dalam penyesuaian diri. Beberapa aspek untuk melihat hubungan school well-being dengan penyesuaian diri ialah having (kondisi sekolah), loving (hubungan sosial), being (pemenuhan diri), dan health (kesehatan). Lingkungan yang menyenangkan dapat membuat siswa merasa menyenangkan dalam belajar dan bersosialisasi di sekolah. Siswa yang diterima dilingkungannya cenderung mampu melakukan penyesuaian diri. Dengan demikian, lingkungan sekolahnya berperan penting dalam membentuk psikilogis dan perilaku siswa [12].

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merasa penting untuk dilakukan penelitian mengenai hubungan antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Mojosari.

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini adalah kuantitatif korelasional. Adapun populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 10 SMA Negeri 1 mojosari sebanyak 413 siswa. Jumlah sampel dalam penelitian didasarkan pada tabel Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5% yaitu sebanyak 186 siswa. Teknik sampling yang digunakan yaitu simple random sampling.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi dengan model skala Likert, meliputi skala school well-being dan skala penyesuaian diri. Skala school well-being menggunakan skala yang diadaptasi dari skala [11] yang disusun berdasarkan aspek-aspek school well-being sebagai berikut having, loving, being, dan health. Skala penyesuaian diri menggunakan skala yang juga diadaptasi dari skala [8] yang disusun berdasarkan aspek-aspek penyesuaian diri sebagai berikut menghargai dan mau menerima otoritas sekolah, tertarik dan mau berpartisipasi dalam aktivitas sekolah, mempunyai hubungan sosial yang sehat, menerima tanggungjawab dan batasan-batasan yang diberikan sekolah dan membantu sekolah mencapai tujuan.

Data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan teknik korelasi Product Moment Pearson yang ditujukan untuk menguji hubungan antara variabel bebas (X) school well-being dengan variabel terikat (Y) penyesuaian diri. Alasan menggunakan teknik korelasi Product Moment karena dapat mengetahui hubungan antara variabel X dan variabel Y dengan bentuk distribusi variabel X dan Y yang normal. Analisis data statistik dilakukan dengan bantuan program komputer yaitu SPSS for windows.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Setelah data terkumpul, peneliti akan melakukan analisis data untuk pengujian hipotesis, namun sebelum itu peneliti melakukan uji asumsi. Adapun uji asumsi yang digunakan yakni uji normalitas dan uji linearitas.

Berdasarkan tabel di atas maka dapat diketahui bahwa hasil uji normalitas variabel school well-being dan penyesuaian diri. Hasil uji normalitas pada dua skala menunjukkan bahwa nilai signifikansi skala penyesuaian diri sebesar 0,156 yang berarti lebih dari 0,05 dan skala school well-being sebesar 0,147 dengan yang berarti lebih dari 0,05. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kedua variabel tersebut berdistribusi normal.

Penyesuaian Diri School Well-being
N 186 186
Normal Parametersa,b Mean 113.45 116.43
Std. Deviation 11.537 10.714
Most Extreme Differences Absolute .083 .084
Positive .083 .049
Negative -.074 -.084
Kolmogorov-Smirnov Z 1.129 1.143
Asymp. Sig. (2-tailed) .156 .147
Table 1.Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Test distribution is Normal

Calculated from data

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Peny Between (Combined) 22326.062 46 485.349 47.230 .000
esuai Groups Linearity 21696.059 1 21696.059 2111.256 .000
an Deviation from 630.003 45 14.000 1.362 .089
Diri * Linearity
Scho Within Groups 1428.416 139 10.276
olWell- Total 23754.478 185
Being
Table 2.Hasil Uji Linieritas ANOVA Table

Uji linieritas dari tabel diatas diketahui maka diperoleh nilai F Linearity sebesar 2111.256 signifikansi 0,000 yang artinya < 0,05. Sehingga data diatas dapat dikatakan linear.

Selanjutnya, peneliti melakukan uji hipotesis. Hasil uji asumsi yang menyatakan bahwa data terdistribusi normal dan terdapat hubungan yang linier antara school well-being dengan hubungan penyesuaian diri, maka uji hipotesis menggunakan perhitungan korelasi Product Moment Pearson. Hasil uji hipotesis seperti tercantum di tabel 3 :

School Well- being Penyesuaian Diri
School Well-beingPearson CorrelationSig. (1-tailed) NPenyesuaian DiriPearson CorrelationSig. (1-tailed) N 1186.956**.000186 .956**.0001861186
Table 3.Uji hipotesis Correlations

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Berdasarkan tabel diatas diperoleh rxy = 0,956 berarti ada korelasi yang kuat antara school well-being dengan penyesuaiana diri dengan signifikansi 0,000 < 0,05. Nilai positif menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa SMA Negeri 1 Mojosari. Apabila school well-being tinggi maka penyesuaian diri pada siswa tinggi. Begitu juga sebaliknya, apabila school well-being rendah maka penyesuaian diri pada siswa rendah, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah dapat diterima.

Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa besar daya determinasi body image terhadap kepercayaan diri, peneliti melakukan perhitungan daya determinasi, dan hasilnya seperti terlihat pada tabel 4 :

Model R RSquare Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .956a .916 .913 3.345
Table 4.Sumbangan Efektif Model Summary

a. Predictors: (Constant), School Well-being

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa sumbangan variabel X yakni school well-being terhadap penyesuaian diri adalah sebesar 91,3%. Hasil ini diperoleh dari Adjusted R Square yaitu sebesar 0,913 x 100% = 91,3%. Hal ini berarti bahwa hubungan antara school well-being dengan penyesuaian diri sebesar 91,3%. Dan terdapat 8,7% dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab lain yang tidak menjadi fokus dalam penelitian ini.

Peneliti juga mencoba menemukan bagaimana gambaran school well-being dengan penyesuaian diri siswa yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Gambarannya seperti tercantum dalam tabel 5 :

Kategori Skor Subjek
Penyesuaian Diri School Well-Being
∑ Siswa % ∑ Siswa %
Sangat rendah 8 4% 11 6%
Rendah 39 21% 34 18%
Sedang 90 48% 91 49%
Tinggi 37 20% 42 23%
Sangat tinggi 12 7% 8 4%
Jumlah 186 100% 186 100%
Table 5.Kategori Skor Subjek

Berdasarkan tabel kategorisasi skor subjek tersebut pada skala penyesuaian diri dapat diambil kesimpulan bahwa, terdapat 8 siswa yang memiliki kemampuan penyesuaian diri yang sangat rendah, terdapat 39 siswa yang memiliki tingkat kemampuan penyesuaian diri rendah, terdapat 90 yang memiliki tingkat kemampuan penyesuaian diri yang sedang, terdapat 37 siswa yang memiliki tingkat kemampuan penyesuaian diri yang tinggi, dan terdapat 14 siswa yang memiliki tingkat penyesuaian diri yang sangat tinggi. Sedangkan tabel kategorisasi skor subjek tersebut pada skala school well-being dapat diambil kesimpulan bahwa, terdapat 11 siswa yang memiliki kemampuan school well-being yang sangat rendah, terdapat 34 siswa yang memiliki tingkat kemampuan school well-being rendah, terdapat 91 yang memiliki tingkat kemampuan school well-being yang sedang, terdapat 42 siswa yang memiliki tingkat kemampuan school well- being yang tinggi, dan terdapat 8 siswa yang memiliki tingkat school well- being yang sangat tinggi.

Dari pembahasan kategorisasi di atas dapat disimpulkan bahwa siswa kelas 10 SMA Negeri 1 Mojosari-Mojokerto memiliki kemampuan penyesuaian diri yang cenderung rendah. Hal ini dapat dilihat pada tabel kategorisasi skor subjek dimana persentase dan jumlah siswa bergerak dari sedang ke rendah. Pada kategorisasi subjek di variabel school well- being siswa yang cenderung sedang.

Berdasarkan hasil pembahasan analisa di atas, hasil penelitian ini menunjukkan koefisien korelasi 0,956 dengan taraf signifikasi 0,000 (lebih kecil dari 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara school well-being dengan penyesuaian diri. Hal ini berarti apabila school well- being tinggi maka penyesuaian diri pada siswa tinggi. Begitu juga sebaliknya, apabila school well-being rendah maka penyesuaian diri pada siswa rendah.

Hasil kategorisasi pada variabel school well-being pada siswa SMA masih dikatakan rendah dimana dapat dilihat dari hasil kategorisasi 186 siswa hanya 4% yang memiliki school well-being yang sangat tinggi dan 23% memiliki school well-being yang tinggi sisanya masih memiliki school well- being yang rendah. hal ini didukung dengan data penyesuaian diri yang di miliki siswa SMA dari 186 siswa sebesar 7% memiliki penyesuaian diri yang sangat tinggi dan sebesar 37% memiliki penyesuaian diri yang tinggi. Hasil kategorisasi di ketahui sebanyak 11 siswa memiliki school well-being sangat rendah, 34 siswa memiliki school well-being rendah, 91 siswa memiliki school well-being sedang, 42 siswa memiliki school well being tinggi, 8 siswa memiliki school well-being sangat tinggi. Sedangkan pada kategorisasi penyesuaian diri terdapat 8 siswa yang memiliki penyesuaian diri sangat rendah, 39 siswa memiliki penyesuaian diri rendah, 90 siswa memiliki penyesuaian diri sedang, 37 siswa memiliki penyesuaian diri tinggi dan 12 siswa memiliki penyesuaian diri sangat tinggi. kondisi tersebut membuktikan akan adanya keterkaitan antara kedua variabel.

Siswa yang memilki school well-being tinggi dengan ciri-ciri kondisi sekolah (having) seperti tempat sekolah yang nyaman, bebas dari kebisingan, memiliki sarana prasarana yang memadai, hubungan sosial (loving) seperti terjalinnya hubungan yang baik antara guru dan murid, kelompok belajar dengan teman sebaya yang menyenangkan, suasana sekolah yang positif, pemenuhan diri (being) seperti adanya penghargaan untuk hasil kreatifitas siswa, guru membimbing siswa untuk mengembangkan pengetahuan dan bakatnya, adanya lomba-lomba, dan kesehatan (health) seperti siswa merasa sehat secara fisik dan mental. Dari beberapa hal tersebut siswa dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian diri yang dimilikinya. Penelitian ini menjelaskan bahwa besar pengaruh school well-being terhadap penyesuaian diri memberikan kontribusi efektif sebesar 91,3%. Hal ini di dukung oleh penelitian dari [13] yang berjudul hubungan scholl well-being dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri mahasiswa tingkat pertama menyatakan bahwa besar pengaruh school well-being terhadap penyesuaian diri kontribusi efektif sebesar 4.6%.

Banyak penelitian yang menyatakan bahwa school well-being menunjukkan adanya hubungan positif dengan variabel – variabel dalam bidang pendidikan salah satunya adalah school well-being, karena school well-being bukan hanya masalah kebahagian disekolah namun konsep multidimensial. Didalam school well-being terdapat empat aspek yang mendasarinya yaitu aspek : having, loving, being dan health [11].

Menurut [14] school well-being yang positif dapat memberikan dukungan yang baik pada siswa seperti keadaan sekolah yang nyaman dapat meningkatkan meningkatkan prestasi siswa, hubungan sosial yang terjalin di sekolah dapat membuat siswa lebih mampu dalam evaluasi diri karena mendapatkan dukungan sosial dari sekitarnya, pemenuhan diri dan penghargaan terhadap hak seseorang didalam lingkungannya dapat mendorong siswa untuk melakukannya kembali dan hal tersebut membuat dirinya mampu dalam mengatur dan mengubah, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan memiliki pemahaman konsekuensi diri yang tinggi, dan kesehatan yang di miliki siswa dapat membuat siswa memiliki kemampuan untuk mengulang dan mengingat pelajaran dengan baik.

Maka dari itu permasalahan yang terjadi pada kemampuan penyesuaian diri bisa di tanggulangi dengan adanya school well-being yang tinggi karena dengan adanya school well-being yang tinggi maka kemampuan penyesuaian diri pada siswa juga akan tinggi dengan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung aktivitasnya untuk melakukan penyesuaian diri dan siswa menjadi lebih produktif.

Limitasi dari penelitian ini berupa kajian yang menggunakan variabel school well-being yang berhubungan dengan penyesuaian diri. Meskipun sudah ada beberapa penelitian mengenai dua variabel tersebut namun penelitian yang spesifik membahas variabel x mengenai hubungan school well-being dengan penyesuaian diri masih terbilang sedikit. Sehingga peneliti terkadang kesusahan dalam mencari referensi yang tepat.

Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara school well-being dengan penyesuaian diri siswa SMA Negeri 1 Mojosari. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,956 dengan signifikansi (p) 0,000 < 0,05 yang artinya hipotesis pada penelitian ini dapat diterima. Hipotesis ini menjelaskan bahwa semakin positif penilaian terhadap school well-being maka semakin tinggi penyesuaian diri pada siswa. Begitu juga sebaliknya, semakin negatif penilaian terhadap school well-being maka semakin rendah penyesuaian diri pada siswa. Sumbangan efektif variabel school well-being terhadap penyesuaian diri adalah sebesar 91,3%. Hal ini berarti bahwa pengaruh school well-being terhadap penyesuaian diri sebesar 91,3% dan sisanya sebesar 8,7% dipengaruhi oleh faktor-faktor penyebab lain yang tidak menjadi fokus dalam penelitian ini.

References

  1. Windaniati. (2015). Meningkatkan kemampuan penyesuaian diri siswa melalui teknik cognitive restrukcturing pada kelas x tkr 1 smk negeri 7 semarang. Jurnal Penelitian Pendidikan, 32(1), 1–9.
  2. Safura, L., & Supriyantini, S. (2006). Hubungan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar. Jurnal Psikologia, 2(1), 27–32.
  3. Sobur, A. (2003). Psikologi umum. Pustaka Setia.
  4. Wilis, S., & Sofyan. (2005). Remaja dan masalahnya (C. Alfa (ed.)).
  5. Hasmayni, B. (2014). Hubungan antara kepercayaan diri dengan penyesuaian diri remaja. Jurnal Psikologi, 6(2), 98–104.
  6. Kusdiyati, S., Halimah, L., & Faisaluddin. (2011). Penyesuaian diri di lingkungan sekolah pada siswa kelas xi sma pasundan 2 bandung. Jurnal Humanitas, 8(2), 173–194.
  7. Fiana, P. A. (2014). Hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian diri pada siswa kelas x sma al-islam krian sidoarjo. Universitas muhammadiyah sidoarjo.
  8. Lutfiah, A. (2018). Hubungan antara religiusitas dengan penyesuaian diri di sekolah pada siswa smp negeri 1 porong-sidoarjo skripsi. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
  9. Desmita. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik (1st ed.). Pt Remaja Rosdakarya.
  10. Kristianawati, E. (2014). Hubungan Antara Kematangan Emosi Dan Percaya Diri Dengan Penyesuaian Sosial. Pesona Jurnal Psikologi Indonesia, 3(03), 247–252.
  11. Konu, A., & Rimpelä, M. (2002). Well-being in schools : a conceptual model. Journal Health Promotion International, 17(1), 78–89.
  12. Vedder, P., Boekaerts, M., & Seegers, G. (2005). Perceived social support and well being in school ; the role of students ’ ethnicity. Journal of Youth and Adolescence, 34(3), 269–278. https://doi.org/10.1007/s10964-005-4313-4
  13. Wijaya, E. (2016). Hubungan scholl well-being dan kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri mahasiswa tingkat pertama. Universitas Tarumanegara.
  14. Sunaryo, G. H. (2018). Hubungan school well being dengan self regulated learning pada siswa kelas vii dan viii smp x sidoarjo skripsi. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.