Skip to main navigation menu Skip to main content Skip to site footer
Education
DOI: 10.21070/acopen.6.2022.1638

Relationship Between Adversity Quotient And Answering Between The Tahfidz Exam At The Santri Pondok Pesantren


Hubungan Antara Adversity Quotient Dengan Kecemasan Menjelang Ujian Tahfidz Pada Santri Pondok Pesantren

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

adversity quotient kecemasan ujian tahfidz santri

Abstract

Show students before the tahfidz exam. The purpose of this study is to determine the relationship between adversity quotient and anxiety before the tahfidz exam in students at the Darul Fikri Islamic Boarding School, Sidoarjo. The research method is a correlational quantitative method. The research sample was 66 students obtained by saturated sampling. The data collection method uses 2 psychological scales, namely the Adversity Quotient scale and the Anxiety Scale Ahead of the Tahfidz Exam. The proposed hypothesis is that there is a significant negative relationship between adversity quotient and anxiety before the Tahfidz exam. The result, r = -0.232, p = 0.030 (p < 0.05), which means the research hypothesis is accepted. The higher the adversity quotient, the lower the anxiety before the tahfidz exam. On the other hand, the lower the adversity quotient, the higher the anxiety before the tahfidz exam in students at the Darul Fikri Islamic Boarding School. Keywords: adversity quotient, anxiety, tahfidz exam, santri

Pendahuluan

Santri adalah sebutan untuk pelajar atau individu yang sedang menuntut ilmu pengetahuan agama di pondok pesantren. Sebutan santri senantiasa berkonotasi mempunyai kiai atau Ustadz [1], dididik dengan cara hidup Ulama dan dipersiapkan menjadi penerus perjuangan para Ulama Islam, sehingga santri digolongkan pada kelompok sosio religious. Sebagaimana pelajar, santri menghadapi ujian pada tiap periode pembelajaran untuk mengukur tingkat pemahamannya.Tujuan adanya ujian adalah sebagai bentuk evaluasi atau test yang dapat mengetahui capaian hasil pengetahuan belajar siswa yang diajarkan oleh guru, namun seringkali pelajar mengalami kecemasan saat akan menghadapi ujian.

Kecemasan didefinisikan sebagai emosi yang ditandai oleh perasaan akan bahaya diantisipasikan, termasuk juga ketegangan dan stress yang menghadang dan oleh bangkitnya sistem saraf simpatetik [2]. Kecemasan merupakan respon terhadap situasi yang tidak menyenangkan, menegangkan, mengancam yang ditandai dengan bentuk gejala fisik seperti gemetar, gejala kognitif seperti pesimis, gejala perilaku seperti terdiam [3].Pondok pesantren Darul Fikri Sidoarjo adalah salah satu sekolah dimana terdapat santri yang merasakan kecemasan dalam ujian, khususnya dalam ujian tahfidz Al-Qur’an.Ujian tahfidz Al-Qur’an ini dilakukan dengan cara lisan, sehingga rasa cemas dan takut yang dialami para siswa bisa jadi lebih tinggi dari pada ujian tulisan.Dari hasil wawancara peneliti terhadap lima orang santri yang bersekolah di pondok pesantren Darul Fikri Sidoarjo diketahui bahwa santri merasakan kecemasan menghadapi ujian tahfidz Al-Qur’an yang akan diselenggarakan.

Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa kecemasan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kecerdasan emosi [4], adversity quotient [5], kebersyukuran [6], efikasi diri [7], dzikir [8].Adversity quotient atau daya juang menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi santri dalam mengatasi dan mengurangi kecemasan saat ujian Tahfidz Al-Qur’an.Adversity quotient mendorong santri untuk berpikir bahwa dirinya harus memiliki kemampuan untuk melewati setiap ujian yang akan dihadapinya, siap melawan setiap masalah atau rintangan, dan mampu mengendalikan kehawatiran fisiknya. Semakin tinggi adversity quotient seseorang maka akan mampu mempengaruhi kinerjanya dalam menghadapi masalah-masalah yang ada, sebaliknya, seseorang yang mempunyai adversity quotient rendah akan mudah putus asa dan memiliki rasa kecemasan cukup tinggi [9]. Maka dari itu peneliti menganggap penting untuk meneliti lebih lanjut hubungan antara adversity quotient dengan kecamasan menjelang ujian tahfidz pada santri di pondok pesantren Darul Fikri Sidoarjo.

Metode Penelitian

Pendekatan yang dipergunakan didalam penelitian kali ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan penelitian kuantitatif ialah pendekatan yang dipergunakan untuk melakukan penelitian terhadap populasi ataupun dalam sampel tertentu.Pengambilan dan pengumpulan data mempergunakan instrument penelitian, analisa data dalam penelitian ini bersifat statistic, dan bertujuan melakukan pengujian terhadap hipotesis yang telah ditetapkan [10].Tipe penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini ialah korelasional, dimana peneliti memiliki tujuan untuk mengetahui korelasi antara Adversity quotient dengan kecemasan menjelang ujian Tahfidz pada santri Pondok Pesantren Darul Fikri Sidaorjo.Pada penelitian ini peneliti menggunakan dua variabel, yakni variabel independen (X) dan variabel dependen (Y).Dimana yang menjadi variabel independen ialah Adversity quotient dan sebagai variabel dependen ialah kecemasan. Subjek penelitian yang akan dijadikan sebagai populasi didalam penelitian kali ini ialah Santri Pondok Pesantren Darul Fikri Sidoarjo yang mengikuti Ujian Tahfidz dengan jumlah 66 santri.Teknik sampel yang dipergunakan untuk pengmbilan sampel ialah sampling jenuh.

Pengambilan dan pengumpulan data peneliti mempergunakan skala psikologi atau bisa disebut sebgai skala Likert. Kemudian pernyataan yang disusun dibagi menjadi dua kategori, yakni pernyataan favourable dan unfavourable yang disediakan dengan empat pilihan jawaban, yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) [11]. Skala Adversity quotient adalah skala pertama yang disusun atas dasar aspek-aspek Adversity quotient, mempunyai 4 aspek yang memunculkan 40 aitem sebelum dilakukannya tryout kemudian memunculkan 17 aitem sesudah dilakukannya tryout yang memiliki nilai reliabilitas 0,612. Skala kecemasan adalah skala kedua yang disusun atas dasar aspek kecemasan. Mempunyai 3 aspek yang memunculkan 40 aitem sebelum dilakukannya tryout kemudian memunculkan 33 aitem sesudah dilakukannya tryout yang memiliki nilai reliabilitas 0,919.

Data hasil penelitian yang telah diperoleh dianalisis mempergunakan teknik statistik yakni Product Moment dengan tujuan untuk menegetahui hubungan antara variabel X/independen (Adversity quotient) dengan variabel Y/dependen (kecemasan) mempergunakan bantuan program SPSS 2O for windows.Mempergunakan teknik statistic Product Moment dengan alasan karena peneliti ingin mengetahui korelasi antara variabel Adversity quotient (independen) dengan kecemasan (dependen).

Sebelum dilakukannya uji hipotesis peneliti harus melaksanakan pengujian asumsi dimana hal tersebut adalah langkah yang harus dilakukan untuk mengetahui nilai korelasi antara Adversity quotient dengan kecemasan. Dalam penelitian ini pengujian asumsi mempergunakan pengujian normalitas dan pengujian linieritas, dihitung mempergunakan program SPSS 2O for windows. Pengujian data normalitas apabila nilai p> 0,05 dapat diartikan bahwa data normal, apabila nilai p< 0,05 dapat diartikan data tidak normal. [12]. Skala Adversity quotient dan skala kecemasan pengujian normalitas data mempergunakan teknik Kolmogorov-smirnov.Pengujian liniritas data mempergunkan taraf signifikansi F beda> 0,05 sehingga dapat diartikan hubungan antar variabel tersebut linier. Perhitungan korelasi antara Adversity quotient dengan kecemasan mempergunakan analisis korelasi Product Moment dihitung mempergunakan SPSS 2O For Windows.

Hasil dan Pembahasan

Atas dasar hasil anaIisa data di atas, hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa koefisien koreIasi rxy = -0,232 dengan taraf signifikansi 0,030 (< 0,050). Hal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat korelasi yang negatif antara adversity quotient dengan kecemasan menghadapi ujian tahfidz.Dengan demikian hipotesis penelitian kali ini diterima. Tanda (-) menunjukkan terdapat korelasi negatif. Hal ini memiliki arti bahwa apabila ada kenaikan pada variabel adversity quotient maka akan ada penurunan pada variabel kecemasan menghadapi ujian tahfidz, sebaliknya apabila ada penurunan pada adversity quotient maka kecemasan menghadapi ujian tahfidz akan ada kenaikan pada pada santri.

Skor SubyekKategori Adversity Quotient Kecemasan∑ Santri % ∑ Santri %
Sangat rendahRendahSedangTinggiSangat tinggiJumlah 3252111666 4 %38 %32 %17 %9 %100 % 6122817366 9 %18 %42 %25 %6 %100 %
Table 1.Kategorisasi Skor Subjek

Atas dasar dari tabel kategorisasi skor subjek di atas, skala Adversity Quotientmemiliki kesimpulan yakni terdapat 3santri mempunyai Adversity Quotientyang sangat rendah, 25santri mempunyai adversity quotient yang rendah, 21 santri mempunyai adversity quotient yang sedang, 11 santri mempunyai adversity quotient yang tinggi, dan 6 santri mempunyai adversity quotient sangat tinggi. Selanjutnya skala kecemasan menghadapi ujian tahfidz memiliki kesimpulan kategorisasi skor subjek yakni, terdapat 6 santri mempunyai rasa kecemasan menghadapi ujian tahfidz yang sangat rendah, 12 santri mempunyai rasa kecemasan menghadapi ujian tahfidz yang rendah, 28 santri mempunyai rasa kecemasan menghadapi ujian tahfidz yang sedang, 17 santri mempunyai rasa kecemasan menghadapi ujian tahfidz yang tinggi, dan ada 3 santri yang mempunyai rasa kecemasan menghadapi ujian tahfidz sangat tinggi. Dari hasil pemaparan di atas mampu ditarik kesimpulan bahwa santri Pondok Pesantren Darul Fikri Sidoarjo memiliki kecemasan menghadapi ujian tahfidz cenderung pada tingkat yang sedang. Berbeda dengan adversity quotient, dimana santri Pondok Pesantren Darul Fikri Sidoarjo mempunyai adversity quotient yang mengarah pada kecenderungan yang rendah, hasil tersebut dapat ditunjukkan dari tabel pengkategorisasian skor subjek yang menunjukkan bahwa jumlah santri dan persentase santri berada pada tingkat yang sedang mengarah ke rendah.

Perolehan analisis data menunjukkan bahwa “terdapat hubungan antaraAdversity Quotient dengan Kecemasan Menghadapi Ujian Tahfidz.”. Selanjutnya pengujian hipetesis kedua variabel memiliki hasil nilai signifikansi 0,03, yang memiliki makna lain lebih kecil dari 0,05. Hal ini dapat diartikan bahwa hipotesis yang telah ditetapkan pada penelitian ini bisa diterima. Nilai korelasi yang negatif dapat memperlihatkan bahwa adanya hubungan tidak searah dari kedua variabel tersebut, yang memiliki arti bahwa apabila tingkat adversity quotient pada santri tinggi maka tingkat kecemasan yang dimilikinya cenderung akan rendah dan begitupula sebaliknya. Penelitian yang telah dilakukan ini memperlihatkan bahwa adversity quotient sebagai predictor kecemasan mampu memberi pengaruh sebesar 5,4 %. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa 94,6 % dapat dipengaruhi variabel lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini.

Beberapa aspek adversity quotient yang dapat berpengaruh pada tinggi rendahnya kecemasan pada santri. Aspek-aspek adversity quotient terdiri dari empat aspek yaitu 1.Kendali/Control yang berhubungan dengan seberapa besar seseorang bisa mengendalikan masalah-masalah yang dihadapinya dan sejauh mana dia merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan, 2. Kepemilikan/Origin and Ownership, dimana Kepemilikan dapat dipertanyakan siapa atau apa yang membuat kesusahan dan sejauh mana seseorang berpendapat dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai pemicu asal-usul kesulitan. Seseorang yang skor origin rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan yang datang itu karena kekeliruan, kelalaian, kecerobohan dirinya sendiri juga membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya, 3. Jangkauan/Reach, ketika Jangkauan merupakan sebagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian lain dari seseorang. Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas, 4.Daya Tahan/EnduranceAspek ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. [13].

Seorang santri yang memiliki control yang tinggi akan mampu mengendalikan diri dalam mengatasi kesulitan yang setiap saat dihadapi dan selalu percaya kalau mereka menemukan jalan keluar dari masalah atau kesulitan yang ada. Saat menghadapi ujian tahfidz kemampuan control ini akan membuat santri tidak merasa tegang, gugup, yakin dengan jawaban yang akan diberikan, dan mampu memberikan jawaban saat ditanya, tidak ada ketakutan jawaban yang diberikan akan salah. Sebaliknya, santri yang memiliki control yang rendah biasanya mengalami kesulitan didalam mengendalikan diri dan kurang paercaya kalau mereka mampu menemukan jalan keluar dari kesulitan atau masalah yang ada. Saat menghadapi ujian tahfidz rendahnya kemampuan control ini akan membuat santri akan merasa tegang, gugup, dan kurang yakin dengan jawaban yang akan diberikan, dan cenderung diam karena kurang mampu memberikan jawaban saat ditanya, dan ada ketakutan jawaban yang diberikan akan salah. Dengan kata lain, seorang santri menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah putus asa.

Seorang santri yang memiliki yang tinggi akan memiliki kemampuan melakukan introspeksi diri mengenai sebab munculnya masalah dan mampu bertanggung jawab atas masalah atau kesulitan yang dihadapi. Saat menghadapi ujian tahfidz kemampuan yang tinggi ini akan membuat santri tidak merasa tegang, gugup, yakin dengan jawaban yang akan diberikan, dan mampu memberikan jawaban saat ditanya, tidak ada ketakutan jawaban yang diberikan akan salah karena sejak awal ia sudah mengetahui dan memahami kewajibannya untuk hafal isi Al-Qur’an. Sebaliknya, bila seorang santri memiliki yang rendah akan merasa bahwa semua kesulitan yang datang itu karena kekeliruan, kelalaian, kecerobohan dirinya sendiri juga membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya. Saat menghadapi ujian tahfidz rendahnya ini akan membuat santri akan merasa tegang, gugup, dan kurang yakin dengan jawaban yang akan diberikan, dan cenderung diam karena kurang mampu memberikan jawaban saat ditanya, dan ada ketakutan jawaban yang diberikan akan salah karena sejak awal ia kurang menanamkan dalam diri bahwa dirinya memiliki kewajibannya untuk hafal isi Al-Qur’an.

Seorang santri yang memiliki kemampuan reach yang tinggi akan mampu membatasi masalah atau kesulitan terhadap aspek kehidupannya yang lain, dan mampu mengambil keputusan dengan tepat. Saat menghadapi ujian tahfidz, tingginya kemampuan reach yang dimiliki santri memungkinkannya untuk merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas, mampu menahan kesulitan secara efektif, sehingga seorang santri akan lebih berdaya dan tidak menganggap satu kesulitan khusus berarti ia mengalami kesulitan di seluruh aspek kehidupannya. Hal ini membuatnya bisa tenang, tidak terlihat tegang dan gugup, mampu memberi jawaban dengan benar saat ditanya, dan tidak ada kehawatiran jawaban yang diberikan akan salah karena sejak awal ia sudah mengetahui dan memahami kewajibannya untuk hafal isi Al-Qur’an. Sebaliknya, jika seorang santri kemampuan reachnya rendah akan merasa merasa bahwa ia selalu menghadapimasalah atau selalu menganggap dirinya dihadapkan pada kesulitan di semua aspek kehidupannya, dan ini berdampak pada kesulitan didalam mengambil keputusan dengan tepat. Saat menghadapi ujian tahfidz, santri terlihat kurang tenang, tegang dan merasa gugup, dan ada kehawatiran jawaban yang diberikan akan salah dan akhirnya sering memberi jawaban yang kurang tepat saat ditanya, karena sejak awal ia menyadari adanya kewajiban untuk hafal isi Al-Qur’an, tetapi merasa ia akan selalu mengalami kesulitan dan kurang tahu harus berbuat apa untuk mengatasi kesulitan itu.

Seorang santri yang memiliki kemampuan endurance yang tinggi akan yakin bahwa kesulitan yang dihadapi segera berlalu, dan mereka mampu menyesuaikan diri dengan kesulitan. Ia akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi. Saat menghadapi ujian tahfidz, seorang santriakan terlihat tenang, tidak terlihat tegang dan gugup, merasa yakin mampu memberi jawaban dengan benar saat ditanya, dan tidak ada kehawatiran jawaban yang diberikan akan salah karena sejak awal ia sudah mengetahui dan memahami bahwa kewajibannya untuk hafal isi Al-Qur’andan ia harus melewati ujian tahfidz. Sebaliknya orang yang mempunyai endurance yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi dan sulit untuk diperbaiki. Saat menghadapi ujian tahfidz, santri terlihat kurang tenang, tegang dan merasa gugup, dan ada kehawatiran jawaban apapun yang diberikan akan salah dan akhirnya sering memberi jawaban yang kurang tepat saat ditanya, karena sejak awal ia menyadari adanya kewajiban untuk hafal isi Al-Qur’an tetapi kurang mampu menghadapi situasi ujian yang menegangkan.

Santri yang memiliki adversity quotient tinggi mampu mengelola gejala kecemasan yang dialaminya saat menghadapi ujian, sebab ujian dapat memicu kecemasan, ketakutan siswa terhadap ujian akan mengakibatkan terjadinya kecemasandan tekanan yang berlebihan [14]. Sebaliknya, Santri yang memiliki adversity quotient rendah terlihat kurang mampu mengelola gejala kecemasan yang dialaminya saat menghadapi ujian, sebab ujian, terutama ujian lisan, dapat memicu kecemasan.

Limitas dari penelitian ini berupa penggunaan variabel adversity quotient sajayang mempengaruhi kecemasan menghadapi ujian tahfidz, tanpa memperhitungkan variabel-variabel lain yang ikut mempengaruhi kecemasan menghadapi ujian. Subjek penelitian yang dijadikan populasi juga terbatas, yaitu hanya 66 santri.

Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dan hasil uji hipotesis dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ada hubungan negatif antara Adversity Quotient dengan kecemasan menghadapi ujian tahfidz pada santri SMPIT Darul Fikri. Penelitian yang dilakukan kali ini menunjukkan hasil koefisien korelasinya adalah rxy = -0,232 dan signifikansinya 0,030< 0,05 dimana yang memiliki arti bahwa hipotesis yang diajukan pada penelitian kali ini dapat di terima. Apabila adversity quotient tinggi maka kecemasan menghadapi ujian tahfidz pada santri SMPIT Darul Fikri akan rendah. Sebaliknya, apabila adversity quotient pada santri SMPIT Darul Fikri rendah maka kecemasan menghadapi ujian tahfidz pada santri SMPIT Darul Fikri akan tinggi.Temuan lain menjukkan bahwa besarnya pengaruh Adversity Quotient terhadap kecemasan menghadapi ujian tahfidz adalah 5,4%. Sedangkan 94,6% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini.

References

  1. Zawadipa, Z. (2017). Pembentukan Karakter Santri Di Pondok Pesantren Panggung Tulungagung.Skripsi.
  2. Davidoff, L. (1991). Psikologi Suatu Pengantar (edisi kedua) (dua; M. Juniati, ed.). Penerbit Erlangga.
  3. Nisa', R. (2018). Hubungan kecemasan terhadap nilai dengan prokrastinasi mata pelajaran fisika pada siswa kelas IX Islamiyah di Tanggulangin. http://eprints.umsida.ac.id/1774/
  4. Cahyandanu, G. (2018). Hubungan kecerdasan emosional dengan kecemasan menghadapi pemutusan hubungan kerja pada pegawai cleanig service UNIKA Soegijapranata Semarang. (September), 1–9. http://repository.unika.ac.id/17294/
  5. Rasyidin, U. (2018). Hubungan Adversity Quotient Dengan Kecemasan Dalam Menyelesaikan Skripsi Pada Mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Skripsi.
  6. Mukhlis, H. (2016). Pelatihan Kebersyukuran Untuk Menurunkan Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional Pada Siswa SMA. https://jurnal.ugm.ac.id/gamajpp/article/view/9395
  7. Nurlaila, S. (2011). Pelatiham Efikasi Diri Untuk Menurunkan Kecemasan Pada Siswi-Siswi Yang Akan Menghadapi Ujian Akhir Nasional.
  8. Jannah, R. (2015). Perbedaan kecemasan dalam pencapaian menghafal Al-Qur'an ditinjau dari kebiasaan berdzikir Al-Asma'Al-Husna paada santri tahfidz Qur'an (Study Kasus di Ponpes Tahaffudzul Qur’an Purwoyoso Ngalian Semarang). http://eprints.walisongo.ac.id/4530/1/104411038.pdf
  9. Wahyuni, S. (2013). Hubungan Adversity Quotient Dengan Kecemasan Menghadapi Masa Depan Remaja Jalanan Yang Tinggal DI Lingkungan Pondok Sosial (LIPONSOS) Wonorejo Surabaya https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/character/article/view/5472.
  10. Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods) (Sutopo, Ed.). Bandung: Alfabeta, Bandung.
  11. Sugiyono. (2015). Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta, Cv.
  12. Azwar. (2014). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  13. Stoltz, P. (2000). Adveristy Quotient (Hermaya, ed.). Grasindo.
  14. Apriliana, I. P. A. (2018). Tingkat kecemasan siswa SMK menghadapi ujian nasional berbasis komputer tahun 2018. Counsellia: Jurnal Bimbingan Dan Konseling, 8(1), 37. https://doi.org/10.25273/counsellia.v8i1.2341