Login
Section Law

The Relevance of Judicial Beliefs in the Negative Proof System of Article 183 of the Criminal Procedure Code: Analysis of Surabaya District Court Decision Number 454/Pid.B/2024/Pn.Sby

Relevansi Keyakinan Hakim dalam Sistem Pembuktian Negatif Pasal 183 KUHAP: Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/Pn.Sby
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Ahmad Bagus Aditia (1), Muchamad Iksan (2)

(1) Program Studi Magister Ilmu Hukum , Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia
(2) Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Judicial conviction is a central component of Indonesia’s criminal justice system, which adopts the negative proof theory under Article 183 KUHAP. Specific Background: Growing discrepancies between judicial conviction and legally valid evidence, illustrated by Surabaya District Court Decision Number 454/Pid.B/2024/PN.Sby, have raised concerns regarding doctrinal consistency and judicial practice. Knowledge Gap: Limited studies integrate normative analysis, case-based evaluation, and Islamic legal perspectives to define the boundaries of judicial conviction. Aims: This study examines the relevance and limitations of judicial conviction within the negative proof model and assesses its application in the referenced court decision, complemented by Islamic jurisprudential insights. Results: Findings indicate that although the negative proof system remains normatively sound, judicial practice reveals deviations when conviction becomes overly subjective and insufficiently grounded in evidence; Islamic law emphasizes that judicial belief must be based on proof and moral accountability. Novelty: This research offers an integrative framework combining normative doctrine, case analysis, and Islamic legal principles to reinterpret the objective limits of judicial conviction. Implications: Strengthening objective standards, judicial integrity, and ethical safeguards is necessary to ensure proper application of Article 183 KUHAP and to restore public trust in judicial institutions.


Highlights:




  • The negative proof system requires judicial conviction to be firmly grounded in valid evidence.




  • The Surabaya court case illustrates how subjective conviction can distort legal reasoning.




  • Islamic legal principles reinforce the need for moral accountability in judicial decision-making.




Keywords: Judicial Conviction, Negative Proof Theory, Article 183 KUHAP, Judicial Integrity, Islamic Legal Perspective

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Indonesia menegaskan dirinya sebagai negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum, segala tindakan pemerintah dan warga negara harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, sistem peradilan menjadi pilar utama penegakan hukum dan keadilan. Salah satu aspek penting dalam sistem peradilan pidana adalah mekanisme pembuktian yang menentukan apakah seseorang dapat dinyatakan bersalah atau tidak.

Pasal 183 KUHAP menjadi dasar penting dalam proses pembuktian pidana. Pasal tersebut menyatakan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Rumusan ini menggambarkan sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijs theorie), yakni gabungan antara syarat alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Dengan demikian, keyakinan hakim bukan satu-satunya dasar pemidanaan, tetapi harus lahir dari proses pembuktian di persidangan. [1]

Permasalahan muncul ketika unsur “keyakinan hakim” menjadi dominan dan cenderung subjektif. Beberapa kasus menunjukkan bahwa keyakinan hakim dapat menimbulkan putusan yang kontroversial. Misalnya, Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby yang membebaskan terdakwa kasus penganiayaan berat meskipun alat bukti yang diajukan oleh penuntut umum dinilai cukup. Belakangan, dunia penegakan hukum telah digegerkan dengan adanya tiga hakim dalam perkara tersebut menerima gratifikasi untuk mengubah arah putusan. Peristiwa ini tentunya sangat beraasan apabila menimbulkan pertanyaan mendasar tentang keyakinan hakim itu sendiri yaitu sejauh mana keyakinan hakim dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan pidana?

Selain itu, dalam konteks filsafat hukum, keadilan tidak hanya diukur dari kepastian norma tetapi juga dari moralitas dan nurani hakim. Aristoteles memandang keadilan sebagai pemberian hak kepada setiap orang secara proporsional. Hans Kelsen menekankan kepastian hukum sebagai bentuk keadilan formal. Sedangkan Prof. Dr. Artidjo Alkostar menegaskan bahwa keyakinan hakim adalah sintesis antara akal, nurani, dan fakta hukum yang objektif. Namun, jika keyakinan tersebut disalahgunakan, maka keadilan substantif berubah menjadi ketidakadilan prosedural.

Dalam hukum Islam, keyakinan hakim (yaqin al-qādī) memiliki landasan moral dan spiritual yang kuat. Hakim harus berhati-hati agar tidak memutus perkara hanya berdasarkan prasangka tanpa bukti yang cukup. Prinsip ini sejalan dengan kaidah “lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.” Oleh karena itu, penelitian ini menelaah relevansi keyakinan hakim dalam sistem pembuktian negatif Pasal 183 KUHAP serta bagaimana hukum Islam memberi pandangan moral terhadap penggunaannya.[1]

Fokus kajian dalam pembahasan penelitian ini, Penelititi akan berfokus pada analisa terkait denga relevansi dan batasan penggunaan keyakinan hakim dalam sistem pembuktian negative sebagaimana Pasa 183 KUHAP sekaligus mengevaluasi tentang penerapanya dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby dan juga mengkaji perspektif hukum islam sebagai landasan moral dan etis dalam pembentukan keyakinan hakim

Kajian Pustaka dan Landasan Teori

1. Teori Pembuktian dalam Hukum Pidana

Dalam hukum acara pidana, pembuktian merupakan jantung dari proses peradilan. Tanpa adanya sistem pembuktian yang jelas, hakim akan kesulitan menentukan kebenaran materil suatu perkara. Menurut Andi Hamzah, pembuktian dalam hukum pidana memiliki fungsi untuk memberikan keyakinan kepada hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah pelakunya. Oleh karena itu, sistem pembuktian harus dibangun atas dasar keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Setiap sistem hukum di dunia memiliki pendekatan yang berbeda terhadap pembuktian, tergantung pada sejarah dan filsafat hukumnya.[2]

Secara umum, dikenal tiga teori besar mengenai sistem pembuktian: (1) sistem pembuktian positif (positief wettelijk bewijs theorie), (2)sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime), dan (3)sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijs theorie). Sistem pembuktian positif pada prinsipnya lebih mengikat hakim secara kaku dalam menjatuhkan putusan hal ini dikarenakan pembuktin positif hanya berpegang pada alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, dan tanpa memperhatikan keyakinan pribadi hakim itu sendiri. Sebaliknya, sistem keyakinan hakim memberi kebebasan yang sangat luas bahkan dapat dikatakan mutlak bagi hakim untuk memutus berdasarkan keyakinannya sendiri, meskipun tidak ada bukti yang cukup dalam perkara tersebut. Kedua sistem ini tentunya memiliki kelemahan masing – masing yaitu sistem pertama mengabaikan keadilan substantif, sedangkan sebaliknya sistem kedua membuka peluang subjektivitas yang berlebihan.

Indonesia melalui Pasal 183 KUHAP mengadopsi teori pembuktian negatif. Artinya, hakim baru dapat menjatuhkan pidana apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah. Sistem ini dianggap paling adil karena menggabungkan unsur objektivitas (alat bukti) dan subjektivitas (keyakinan hakim). Namun, dalam praktiknya, sistem ini sering disalahartikan sehingga unsur keyakinan hakim menjadi dominan. Dalam konteks inilah kajian terhadap teori pembuktian negatif penting dilakukan, agar ditemukan keseimbangan antara formalisme hukum dan moralitas penegakan keadilan.

2. Konsep Keyakinan Hakim dalam Filsafat Hukum

Konsep “keyakinan hakim” tidak hanya merupakan persoalan teknis hukum acara, tetapi juga memiliki akar filosofis yang dalam. Dalam pandangan Aristoteles, keadilan terbagi menjadi dua bentuk: keadilan distributif dan keadilan retributif. Keadilan distributif menuntut pembagian hak berdasarkan proporsionalitas, sementara keadilan retributif berfokus pada pemberian hukuman yang sepadan dengan kesalahan. Bagi Aristoteles, hakim adalah perwujudan dari “keadilan yang hidup” karena ia tidak sekadar menafsirkan hukum, tetapi juga menegakkannya dalam konteks moral dan sosial. Dengan demikian, keyakinan hakim harus berpijak pada rasio dan etika, bukan pada emosi.[3]

Sementara itu, Hans Kelsen melalui Pure Theory of Law menolak pencampuran antara hukum dan moral. Ia berpendapat bahwa hukum adalah sistem norma yang berdiri sendiri (sein dan sollen harus dipisahkan). Namun, sebenarnya Kelsen tidak menolak secara mentah mentah terkait dengan peran hakim sebagai penafsir hukum yang rasional. Namun dalam konteks ini, keyakinan hakim harus tetap berlandaskan norma hukum positif, bukan pada nilai-nilai subjektif yang dimiliki oleh hakim semata. Pandangan ini sebenarnya lebih menegaskan bahwa pada dasarnya kebebasan hakim dalam memutus tidak boleh bersifat mutlak, tetapi harus pula dibatasi oleh struktur hukum formal yang berlaku. Sehingga dengan itu, keyakinan hakim harus berada dalam kerangka kepastian hukum yang dapat diuji.

Di sisi lain, William James, seorang filsuf pragmatis, memiliki pandangan lain, ia melihat keyakinan sebagai bagian dari pengalaman psikologis yang membentuk keputusan manusia. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1902), James menjelaskan bahwa keyakinan sering kali bersumber dari pengalaman moral dan spiritual seseorang. Jika dikaitkan dengan hakim, keyakinan bukan hanya hasil logika, tetapi juga hasil pengalaman profesional dan nilai-nilai moral yang diinternalisasi selama menjalankan tugas. Dengan demikian, keyakinan hakim adalah sintesis antara rasio dan hati nurani — namun, sintesis ini hanya bermakna jika dijaga dalam kerangka objektivitas hukum.

3. Perspektif Hukum Islam tentang Keyakinan Hakim

Hukum Islam memandang jabatan hakim (qādī) sebagai amanah yang sangat agung. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58).

Ayat ini menjadi dasar bahwa keputusan hakim tidak boleh didasarkan pada hawa nafsu, melainkan pada kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dalam perspektif Islam, hakim haruslah tetap berpegang pada prinsip al-‘adl (keadilan) dan bayyinah (pembuktian). Keyakinan hakim yang tanpa di dasari oleh bukti bukti maka kharuslah dianggap sebagai dzann (dugaan), yang dugaan ini tidaklah dapat dijadikan landasan hukum untuk memutus atau menghukum seseorang.

Menurut Imam Syafi’i, pembuktian dalam hukum Islam bertujuan untuk menyingkap kebenaran, bukan untuk menjebak atau menghukum seseorang. Ia menegaskan bahwa bayyinah ‘ala al-mudda’i wal yamin ‘ala man ankara — beban pembuktian ada pada pihak yang mendakwa, sedangkan yang menyangkal cukup bersumpah. Prinsip ini memperlihatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam peradilan Islam. Hakim boleh meyakini sesuatu, tetapi keyakinan itu harus lahir dari bukti yang sahih. Jika bukti tidak meyakinkan, maka hakim tidak boleh menghukum hanya karena prasangka.

Selain aspek normatif, hukum Islam juga menekankan moralitas hakim. Seorang qādī akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat atas setiap putusan yang dijatuhkannya. Hadis Rasulullah SAW menyebutkan bahwa “ada 3 hakim di dunia ini, satu di surga dan dua di neraka.” Maka dalam hal ini Hakim yang memutus perkara dengan ilmu dan keadilan akan selamat, sedangkan sebaliknya, Hakim yang memutus tanpa ilmu atau karena hawa nafsunya sendiri maka akan celaka. Prinsip ini sebenarnya sangat sejalan dengan Pasal 183 KUHAP yang menghendaki keyakinan hakim bersumber dari bukti yang sah dan niat yang bersih. Sehingga dengan demikian, dalam perspektif hukum Islam itu sendiri pada dasarnya tidak hanya memperkuat dimensi yuridis pembuktian semata, melainkan juga harus menanamkan nilai moral dan spiritual yang dapat menjaga kehormatan lembaga peradilan.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif yang bertumpu pada kajian terhadap norma hukum positif, doktrin, dan putusan pengadilan. Pendekatan ini dipilih karena isu utama yang diteliti berhubungan dengan penerapan Pasal 183 KUHAP serta penafsiran yuridis terhadap konsep keyakinan hakim dalam sistem pembuktian negatif. Dengan demikian, fokus penelitian tidak hanya pada teks normatif, tetapi juga pada bagaimana norma tersebut dipahami dan diterapkan oleh hakim dalam proses peradilan pidana. Pendekatan ini tentunya akan melibatkan analisis yang sangat mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembahasan, terutama KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, serta prinsip-prinsip umum hukum pidana.

Selain pendekatan normatif, penelitian ini juga menerapkan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang bertujuan untuk menelusuri gagasan-gagasan teoritis yang menjadi dasar sistem pembuktian negative di Indonesia, termasuk juga pandangan para ahli hukum, filsafat hukum, dan pemikiran tokoh seperti Aristoteles, Hans Kelsen, hingga Artidjo Alkostar serta pendapat para ahli yang lainya. Pendekatan konseptual ini tentunya digunakan untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara alat bukti, keyakinan hakim, dan asas keadilan dalam konteks peradilan pidana. Pendekatan ini juga bertujuan untuk membantu mengintegrasikan perspektif hukum Islam sebagai landasan etis dalam menilai sejauh mana batasan subjektivitas hakim itu sendiri. Sehingga dengan demikian, penelitian ini dapat membangun kerangka teoritis yang komprehensif dalam menilai relevansi sistem pembuktian negative di Indonesia.

Untuk memperkuat analisis itu sendiri, penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah Putusan yang relevan dan sejalan dengan persoalan yang akan dibahas yaitu Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby yaitu sebagai contoh konkret penyimpangan penerapan teori pembuktian negatif. Dengan kata lain studi kasus ini akan memungkinkan peneliti melihat secara langsung bagaimana hubungan antara alat bukti dan keyakinan hakim diterapkan dalam praktik peradilan di Indonesia, yang meliputi juga aspek etis dan implikasi normatifnya. Sumber bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer (peraturan dan putusan), bahan hukum sekunder (literatur, jurnal ilmiah, dan pendapat pakar), dan bahan hukum tersier. Seluruh bahan hukum dianalisis dengan metode kualitatif melalui teknik interpretasi hukum, perbandingan teori, serta penarikan argumentasi secara sistematis untuk menghasilkan kesimpulan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hasil dan Pembahasan

A. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 454/ Pid.B /2024/ PN.Sby

Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby merupakan perkara pidana yang menarik perhatian publik karena menyangkut penerapan unsur “keyakinan hakim” dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa. Dalam perkara ini, terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum dengan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Jaksa didalam persidangan telah mengajukan beberapa alat bukti yang meliputi keterangan saksi mata, hasil visum et repertum, serta rekaman CCTV yang memperlihatkan keterlibatan terdakwa di lokasi kejadian. Berdasarkan alat bukti yang diajukan dalam peridangan tersebut, penuntut umum memiliki keyakinan bahwa unsur kesengajaan dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan leh terdakwa telah terpenuhi. Namun, majelis hakim dalam pertimbangannya memiliki pandangan lain, hakim justru menyatakan bahwa bukti tersebut tidak cukup kuat dan tidak mampu membentuk keyakinan hakim bahwa terdakwa merupakan pelaku utama, sehingga terdakwa dinyatakan bebas dari segala dakwaan.

Pertimbangan hukum hakim dalam putusan ini menimbulkan perdebatan akademik dan publik. Di satu sisi, hakim berpegang pada prinsip bahwa setiap keraguan harus ditafsirkan untuk kepentingan terdakwa (in dubio pro reo). Namun, di sisi lain, cara hakim menafsirkan “keraguan” tersebut dianggap terlalu subjektif, karena bukti-bukti yang diajukan sebenarnya telah memenuhi syarat minimal dua alat bukti sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Putusan ini menjadi cerminan dilema antara penerapan teori pembuktian negatif secara murni dan penyalahgunaan diskresi yudisial oleh hakim. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap keyakinan hakim tidak hanya bergantung pada aspek yuridis, tetapi juga moral dan integritas pribadi hakim.

Dalam amar pertimbangannya, majelis hakim menyebutkan bahwa “meskipun alat bukti yang diajukan telah memenuhi syarat formil, namun belum menumbuhkan keyakinan dalam hati nurani hakim.” Frasa “hati nurani” dalam konteks ini menjadi persoalan penting. KUHAP memang memberikan ruang bagi hakim untuk menggunakan keyakinannya, tetapi keyakinan tersebut tidak boleh bersifat irrational conviction (keyakinan tanpa dasar rasional). Dalam kasus ini, hakim menjadikan keyakinan subjektif sebagai pembenar untuk menolak bukti yang sah, sehingga esensi teori pembuktian negatif terdistorsi. Keyakinan hakim seharusnya merupakan hasil refleksi dari penilaian terhadap alat bukti, bukan pendapat pribadi yang berdiri sendiri.[4]

Kejanggalan dalam putusan ini semakin mencuat setelah Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan etik terhadap majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa tiga hakim menerima gratifikasi untuk mengubah arah putusan. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa keyakinan hakim yang dijadikan dasar putusan bebas sebenarnya bukanlah keyakinan murni yang lahir dari proses pembuktian, melainkan bentuk penyalahgunaan kewenangan yudisial. Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana ruang subjektivitas yang terlalu luas dalam konsep “keyakinan hakim” dapat menjadi celah munculnya praktik koruptif dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Dari sisi hukum acara, putusan ini seharusnya menjadi pelajaran penting bahwa keyakinan hakim tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menolak kebenaran yang telah dibuktikan secara sah di persidangan. Dalam perspektif teori hukum, hakim tidak memiliki kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh norma, logika hukum, dan etika profesi. Oleh karena itu, sistem pembuktian negatif harus diterapkan secara seimbang antara aspek formil (alat bukti) dan aspek batiniah (keyakinan hakim). Bila keseimbangan ini tidak dijaga, maka proses peradilan akan kehilangan sifat objektif dan akuntabel.[5]

Secara lebih luas, kasus PN Surabaya ini memperlihatkan bagaimana penyimpangan terhadap konsep “keyakinan hakim” dapat menggeser makna keadilan dari ranah substantif ke arah kepentingan praktis. Hakim yang seharusnya menjadi officium nobile (jabatan mulia) berubah menjadi aktor yang berpotensi melanggar prinsip independence of judiciary. Oleh karena itu, dibutuhkan reformulasi norma dalam KUHAP untuk memperjelas kriteria pembentukan keyakinan hakim agar tetap rasional, proporsional, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun etik. Relevansi sistem pembuktian negatif hanya akan terjaga apabila keyakinan hakim dikontrol oleh moralitas hukum dan mekanisme pengawasan yang efektif.[6]

Analisis terhadap teori pembuktian negative itu sendiri telah memperlihatkan bahwa Pasal 183 KUHAP menempatkan keyakinan hakim sebagai unsur subjektif yang seharusnya dapat lahir dari pembuktian objektif. Namun, dalam perkara PN Surabaya ini, hubungan antara unsur subjektiv dan objektif telah terputus ketika alat bukti yang sah justru tidak diintegrasikan secara memadai dalam pembentukan keyakinan hakim. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana persoalan metodologis dalam penerapan teori, sehingga dapat memunculkan kebutuhan untuk menegaskan kembali batasan objektivitas dalam struktur pembuktian pidana.

B. Penerapan Pasal 183 KUHAP dan Teori Pembuktian Negatif

Pasal 183 KUHAP merupakan dasar yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan disertai keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi. Norma ini menjadi pondasi dari teori pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijs theorie) yang dianut Indonesia. Teori ini berusaha menggabungkan dua pendekatan ekstrem: sistem pembuktian positif yang kaku dan sistem keyakinan hakim yang sangat subjektif. Dengan demikian, Pasal 183 berfungsi sebagai kompromi antara kepastian hukum (formal) dan keadilan substantif (materiil).

Namun dalam praktik, penerapan teori pembuktian negatif sering kali menimbulkan masalah interpretatif. Banyak hakim yang menempatkan unsur “keyakinan” sebagai faktor dominan sehingga keberadaan dua alat bukti sah menjadi sekadar formalitas.[1] Padahal, dalam teori asli pembuktian negatif, keyakinan hakim seharusnya lahir dari hasil pembuktian, bukan mengabaikan pembuktian. Peristiwa dalam Putusan PN Surabaya No. 454/Pid.B/2024/PN.Sby menunjukkan bagaimana keyakinan subjektif dapat menggeser bobot alat bukti yang seharusnya menjadi dasar rasional dalam penegakan hukum.[8]

Penerapan Pasal 183 KUHAP juga perlu dipahami dalam konteks sejarah lahirnya teori pembuktian. Belanda sebagai sumber utama sistem hukum Indonesia mengembangkan teori pembuktian negatif untuk menghindari dua ekstrem: otoritarianisme hakim (sistem keyakinan murni) dan legalisme buta (sistem pembuktian positif). Tujuannya adalah agar hakim tetap memiliki ruang moral untuk menilai bukti dalam persidangan, namun tetap tidak sampai melampaui batas objektivitas. Namun ironisnya, dalam praktik peradilan Indonesia, teori ini kerap kali disalahartikan sehingga justru mengakibatkan kekaburan tentang batas antara keyakinan rasional dan keyakinan emosional.

Sedangkan dari segi normatif, Pasal 183 KUHAP sebenarnya telah memberikan keseimbangan yang ideal, akan tetapi hal ini belum diikuti oleh perangkat etik dan teknis yang dapat dikatakan memadai. Samai dengan saat ini tidak adanya standar baku untuk mengukur “keyakinan” sehingga menyebabkan munculnya disparitas antarputusan. Dua perkara dengan alat bukti serupa bisa berujung pada putusan yang berbeda karena “keyakinan” hakim berbeda. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, di mana setiap orang seharusnya diperlakukan sama di hadapan hukum[9].

Dalam konteks sistem peradilan modern, pembuktian negatif tetap relevan sepanjang diiringi dengan penguatan transparansi dan akuntabilitas putusan. Hakim harus menuliskan secara jelas dasar logika dan penalarannya dalam amar pertimbangan, agar publik dapat menilai sejauh mana keyakinan itu rasional. Dengan demikian, sistem pembuktian negatif bukan menjadi sumber penyimpangan, tetapi justru menjadi alat penyaring keadilan yang seimbang antara aspek hukum dan nurani.

C. Relevansi Keyakinan Hakim terhadap Kepastian Hukum dan Keadilan

Penerapan Pasal 183 KUHAP menuntut adanya keseimbangan antara alat bukti yang sah dan keyakinan rasional hakim. Dalam konteks ini, kepastian hukum diperoleh melalui pemenuhan standar pembuktian minimal, sedangkan keadilan substantif terwujud ketika hakim menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dibangun dari fakta persidangan. Namun, hubungan antara keduanya seringkali menimbulkan persoalan ketika hakim memberikan porsi berlebih pada unsur keyakinan, sehingga alat bukti kehilangan fungsi objektifnya. Hal inilah yang sebenarnya menjadi inti perdebatan mengenai validitas penerapan teori pembuktian negatif dalam praktik peradilan pidana[10].

Konsep keyakinan hakim pada sebenarnya tidak dirancang untuk menggantikan alat bukti yang ada, melainkan justru untuk menyempurnakan proses penilaian bukti yang telah diajukan di persidangan. Keyakinan tersebut seharusnya lahir dari penalaran hukum yang logis atas bukti yang disajikan, bukan justru dari preferensi subjektif atau pertimbangan di luar proses pembuktian. Dengan demikian, relevansi keyakinan hakim hanya dapat dipertahankan sejauh ia bersifat rasional, terukur, dan dapat diuji melalui argumentasi dalam pertimbangan putusan. Jika unsur keyakinan digunakan secara bebas dan tidak terkendali, maka kepastian hukum menjadi terancam dan proses peradilan kehilangan prinsip objektivitas.

Dalam berbagai putusan, termasuk kasus PN Surabaya yang menjadi fokus penelitian ini, terlihat bahwa dominasi subjektivitas dalam pembentukan keyakinan hakim dapat berakibat pada pengabaian nilai pembuktian dari alat bukti yang sah. Kondisi ini menunjukkan adanya potensi penyimpangan dari fungsi asli sistem pembuktian negatif, yaitu menggabungkan kekuatan bukti dengan penilaian rasional hakim. Relevansi sistem ini justru diuji ketika hakim gagal menjaga keterhubungan antara dua unsur tersebut. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan keyakinan hakim sebagai unsur yang bersifat komplementer, bukan sebagai dasar tunggal dalam menjatuhkan putusan.

Dengan memperhatikan berbagai persoalan tersebut, penggunaan teori pembuktian negatif tetap relevan sepanjang integritas hakim dan standar objektivitas dalam menilai alat bukti dijaga. Relevansi keyakinan hakim pada dasarnya haruslah diukur dari kemampuan hakim itu sendiri dalam melengkapi kekuatan pembuktian, bukan justru mengalahkan atau meniadakan fungsi alat bukti itu sendiri. Sehingga dengan itu, sangat diperlukan pemahaman yang lebih sistematis terkait dengan batasan subjektivitas hakim dan mekanisme akuntabilitas yang dapat memastikan bahwa keyakinan tersebut benar-benar dibangun secara rasional. Penataan konseptual ini menjadi penting untuk menjaga keseimbangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum dalam penerapan Pasal 183 KUHAP[11].

D. Perspektif Hukum Islam terhadap Penggunaan Keyakinan Hakim

Dalam hukum Islam, fungsi hakim (qādī) tidak hanya sebagai pelaksana hukum, tetapi juga penjaga keadilan ilahiah. Prinsip dasar yang harus dipegang seorang hakim adalah bahwa setiap putusan harus didasarkan pada bukti (bayyinah) dan sumpah (yamin), bukan pada dugaan atau emosi pribadi. Rasulullah SAW sendiri mengingatkan, “Jika dua orang datang kepadamu bersengketa, janganlah engkau memutus sebelum mendengar keduanya.” Hadis ini menegaskan pentingnya kehati-hatian dan keseimbangan dalam memutus perkara.

Dalam Islam terdapat konsep yaqin al-qādī — keyakinan hakim — yang lahir dari proses pembuktian dan pencerminan dari hati nurani yang bersih. Para ulama telah menegaskan bahwa keyakinan hakim tidaklah boleh berdiri tanpa dasar bukti. Imam Abu Hanifah dalam pendapatnya menyebutkan bahwa keyakinan tanpa bukti adalah dzann (dugaan lemah) yang tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Malik memperbolehkan keyakinan hakim namun hanya jika didukung oleh dzann qawiy (dugaan kuat) berdasarkan bukti yang logis. Pendekatan ini menunjukkan keseimbangan antara aspek spiritual dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan. [12][13]

Prinsip penting lainnya dalam hukum Islam adalah iḥtiyāṭ (kehati-hatian). Hakim harus berhati-hati agar tidak menzalimi pihak yang tidak bersalah. Kaidah fiqh menyatakan: dar’ul mafsadah muqaddamun ‘ala jalbil mashlahah — mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Artinya, lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Nilai ini sejatinya sejalan dengan asas in dubio pro reo dalam hukum pidana modern.

Dari sisi moralitas, hukum Islam memandang jabatan hakim sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Setiap putusan tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga bernilai ukhrawi. Oleh karena itu, keyakinan hakim harus disertai kesadaran spiritual bahwa kekuasaan mengadili adalah manifestasi dari keadilan Tuhan di muka bumi. Maka apabila hakim berkeyakinan tanpa adanya bukti yang sah, maka ia telah melampaui batas amanah tersebut.

Jika dikaitkan dengan Pasal 183 KUHAP, konsep hukum Islam dapat menjadi sebuah pedoman moral bagi hakim dalam membentuk keyakinannya. Sistem pembuktian negatif yang dianut oleh negara Indonesia saat ini pada dasarnya menggabungkan bukti dan keyakinan sejatinya sangat Islami karena bertujuan untuk mencegah legalisme ekstrem sekaligus melindungi nilai moralitas. Relevansinya bukan hanya pada aspek normatif saja, melainkan juga pada dimensi etika dan spiritualitas peradilan itu sendiri. Sehingga dengan demikian, pendekatan hukum Islam memberi dasar moral bagi penegakan keadilan yang lebih manusiawi dan bertanggung jawab.[14][15]

E. Perbandingan dengan Sistem Hukum Asing dan Putusan MK

Dalam sistem civil law seperti Belanda, Jerman, dan Prancis, teori pembuktian negatif juga diadopsi dengan prinsip bahwa keyakinan hakim harus didasarkan pada bukti yang sah (preuve légale). Hakim diberikan kebebasan terbatas untuk menilai bobot bukti, namun tetap terikat pada ketentuan undang-undang. Di Belanda, Pasal 338 Wetboek van Strafvordering telah dengan tegas menyatakan bahwa seorang terdakwa hanya dapat dijatuhi hukuman jika hakim berdasarkan keyakinan pribadi yang rasional dan dua alat bukti yang sah, menyatakan bersalah. Hal ini sejalan dengan Pasal 183 KUHAP di Indonesia, yang menunjukkan pengaruh langsung sistem hukum Belanda kolonial.

Sementara itu, dalam sistem common law (Amerika Serikat dan Inggris), pembuktian memiliki wajah dan konspe yang berbeda, sistem Common Law menggunakan standar beyond reasonable doubt (melampaui keraguan yang wajar). Artinya, keyakinan juri atau hakim harus dibangun atas dasar bukti yang meyakinkan dan logis. Standar ini menuntut justifikasi rasional terhadap keyakinan, bukan perasaan semata. [16] Prinsip tersebut mendekati semangat teori pembuktian negatif karena keduanya sama-sama menuntut keseimbangan antara bukti dan keyakinan yang rasional.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XX/2022 memberikan penegasan konstitusional terhadap batasan keyakinan hakim. MK menyatakan bahwa kebebasan hakim tidak bersifat absolut; hakim wajib menjelaskan secara objektif dasar keyakinannya dalam amar pertimbangan. MK juga menegaskan bahwa “keyakinan” tidak boleh digunakan untuk menutupi kekurangan bukti, karena hal itu akan bertentangan dengan prinsip due process of law. Putusan ini menjadi penanda reformasi paradigma bahwa keyakinan hakim bukan wilayah absolut, melainkan harus diawasi secara hukum dan etika.[17]

Dari perbandingan antara sistem hukum tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki sistem pembuktian yang sudah cukup ideal. Namun, kelemahannya terletak pada implementasi dan integritas aparat peradilan itu sendiri. Negara-negara dengan sistem serupa berhasil menjaga keseimbangan antara bukti dan keyakinan karena adanya budaya hukum yang kuat serta mekanisme pengawasan ketat terhadap hakim. Sehingga indonesia sangat perlu memperkuat dua aspek tersebut agar teori pembuktian negatif tidak menjadi alat legitimasi bagi putusan yang tidak adil.

Lebih jauh, perkembangan hukum modern menghendaki transparansi putusan melalui publikasi pertimbangan hukum yang dapat diakses publik. Dengan demikian, masyarakat dapat menilai rasionalitas keyakinan hakim. Jika Indonesia mampu menerapkan prinsip ini, maka kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan akan meningkat. Sebaliknya, tanpa akuntabilitas, “keyakinan hakim” akan selalu menjadi ruang abu-abu yang rawan disalahgunakan.[18]

Simpulan dan Rekomendasi

A. Simpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem pembuktian negatif yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tetap relevan untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Namun, kasus PN Surabaya menunjukkan bahwa penyimpangan terjadi ketika unsur keyakinan hakim digunakan secara subjektif tanpa integrasi yang memadai dengan alat bukti yang sah. Perspektif hukum Islam menegaskan bahwa keyakinan hakim harus berdiri di atas bukti dan tanggung jawab moral, sehingga dapat menjadi rujukan etis bagi praktik peradilan pidana. Kebaruan penelitian ini terletak pada penggabungan analisis normatif, studi kasus, dan pendekatan hukum Islam untuk menjelaskan batasan objektif pembentukan keyakinan hakim serta menawarkan rekomendasi pembaruan standar penerapan Pasal 183 KUHAP. Temuan ini menegaskan perlunya penguatan mekanisme pengawasan, pedoman objektif penilaian keyakinan, dan reformulasi norma dalam hukum acara pidana.

B. Rekomendasi

1. Perlu revisi KUHAP agar mempertegas standar penilaian “keyakinan hakim” secara objektif dan transparan.

2. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu memperkuat kode etik dan pengawasan integritas hakim.

3. Pendidikan hukum dan pelatihan hakim harus menekankan keseimbangan antara aspek hukum, moral, dan spiritual. 4. Perlu pembaruan teori pembuktian negatif agar lebih adaptif terhadap prinsip akuntabilitas dan perkembangan hukum modern.

References

Y. Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2018.

A. Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2017.

Aristoteles, Nicomachean Ethics. Oxford, U.K.: Oxford University Press, 2009.

Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby, Surabaya, Indonesia, 2024.

M. Nurdin, “Etika dan Moralitas Hakim dalam Sistem Pembuktian Hukum Pidana Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum Yustisia, vol. 11, no. 1, pp. 35–52, 2022, doi: 10.20961/yustisia.v11i1.58432.

L. Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Teori dan Praktik Peradilan Indonesia. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2018.

I. Rahmawati and A. Abdullah, “Analisis Filsafat Hukum terhadap Keyakinan Hakim dalam Perspektif Keadilan Substantif,” Jurnal Konstitusi dan Hukum Indonesia, vol. 20, no. 1, pp. 75–92, 2023, doi: 10.31078/jkhi.v20i1.985.

S. Rahardjo, Ilmu Hukum. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2016.

A. Alkostar, Integritas Hakim dan Etika Peradilan. Jakarta, Indonesia: Mahkamah Agung, 2018.

M. Taufiqurrahman and D. Suhartono, “Keyakinan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Ditinjau dari Pasal 183 KUHAP,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 8, no. 2, pp. 287–304, 2019, doi: 10.25216/JHP.8.2.2019.287-304.

F. Ramadhan and A. Kurniawan, “Penerapan Teori Pembuktian Negatif dalam Putusan Hakim: Studi Analisis terhadap Kasus Korupsi di Indonesia,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 28, no. 2, pp. 225–242, 2021, doi: 10.20885/iustum.vol28.iss2.art4.

F. J. Runturambi, “Penjatuhan Pidana Berdasarkan Dua Alat Bukti dan Keyakinan Hakim,” Jurnal Hukum UNSRAT, vol. 22, no. 2, pp. 123–132, 2020.

M. Faqih, “Konstruksi Keyakinan Hakim Mahkamah Konstitusi,” Jurnal Konstitusi, vol. 15, no. 3, pp. 550–572, 2013.

I. Tajudin, “Pembentukan Keyakinan Hakim dalam Perkara Pidana di Lingkungan Peradilan Jawa Barat,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 28, no. 1, pp. 45–60, 2021.

Y. Fitriana, “Kedudukan Keyakinan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana,” Jurnal Rechtsvinding, vol. 8, no. 3, pp. 301–315, 2019.

M. A. Siregar, “Sistem Pembuktian Negatif dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Antara Kepastian Hukum dan Keadilan,” Jurnal Hukum Pembangunan, vol. 50, no. 3, pp. 545–562, 2020, doi: 10.21143/jhp.vol50.no3.2640.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XX/2022. Jakarta, Indonesia, 2022.

G. I. D. Palit, “Penerapan Keyakinan Hakim Conviction in Raisonée dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,” Jurnal Lex Crimen, vol. 9, no. 5, pp. 111–120, 2020.