Login
Section Law

Implementation of Black Campaigns as a Form of Unfair Business Competition: A Review of the Fulfillment of the Elements of Article 1365 of the Civil Code

Implementasi Black Campaign Sebagai Bentuk Persaingan Usaha Tidak Sehat: Tinjauan Terhadap Pemenuhan Unsur-Unsur Pasal 1365 KUH Perdata
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Britney Wilhelmina Berlian Mingga (1), Ariawan Gunadi (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

 General background: Indonesia’s rapid economic growth has intensified business competition, particularly through the increasing use of digital marketing strategies. Specific background: This environment has contributed to the rise of black campaign practices, which not only damage business reputations but also cause substantial material and immaterial losses, while regulatory clarity remains limited. Knowledge gap: Existing studies rarely examine black campaigns as a form of unfair business competition within the framework of unlawful acts under Article 1365 of the Indonesian Civil Code. Aim: This study analyzes whether black campaign practices fulfill the elements of an unlawful act—namely the existence of an act, illegality, fault, losses, and causal relationship—thereby establishing grounds for civil liability. Results: The findings demonstrate that the characteristics of black campaigns, including the dissemination of misleading information and direct attacks on competitors’ products and branding, substantively satisfy all elements of Article 1365. Novelty: This research highlights that black campaign disputes should not be viewed solely through the lens of criminal liability under the ITE Law, but can be more effectively resolved through civil liability mechanisms that address actual economic harm. Implications: The study underscores the importance of adopting civil law remedies to protect business continuity, market fairness, and economic stability within the digital competition landscape.


Highlights:




  • Black campaign practices meet all elements of unlawful acts under Article 1365.




  • Civil liability offers a more effective remedy than relying solely on the ITE Law.




  • Digital competition increases reputational and economic risks for businesses.




Keywords: Black Campaign, Unfair Business Competition, Unlawful Act, Civil Liability, Digital Marketing

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Perkembangan signifikan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tercermin dalam pertumbuhan dalam berbagai sektor. Sektor usaha barang dan jasa menjadi aspek fundamental dalam perkembangan ekonomi, mengutip siaran pers dari Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, memaparkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada triwulan III terdapat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PBD) sebesar 5,04%, dimana target pertumbuhan tahunan oleh pemerintah adalah 5,2%. Dalam perkembangan era digital, industri seperti fintech, e-commerce, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi pilar krusial dalam menunjang sistem perekonomian [1]. Peningkatan UMKM di Indonesia menjadi tulang punggung bagi perekonomian nasional, dimana berdasarkan data dari Kementrian Koperasi dan UKM Republik Indonesia, pada tahun 2024 sebanyak 62,4 juta unit UMKM dengan 123 juta jumlah tenaga kerja. Melihat angka pertumbuhan UMKM sebagai aspek penting dalam perekonomian negara, penting agar pemerintah dapat memperkuat dan memfasilitasi guna memastikan keberlangsungan UMKM sebagai suatu aspek vital dalam perekonomian negara [2]. Transformasi perekonomian yang mengalami pertumbuhan pesat memberikan dampak positif bagi seluruh aspek baik masyarakat, pemerintah dan negara, perluasan lapangan kerja menurunkan angka pengangguran dalam masyarakat sehingga mengurangi angka kemiskinan yang merupakan tantangan besar dalam perekonomian di Indonesia, meningkatnya penerimaan negara berupa pajak berdampak baik bagi pembangunan negara berupa infrastruktur, pendidikan bahkan fasilitas kesehatan.

Dampak positif dari pertumbuhan ekonomi selalu beriringan dengan dampak negatif yang merupakan suatu resiko yang bersifat pasti, Smith dalam teorinya menguraikan perkembangan dari ekonomi akan memperluas peluang dari suatu usaha dan menciptakan persaingan usaha [3]. Terdapat 2 jenis persaingan usaha meliputi persaingan usaha sehat dan persaingan usaha tidak sehat, menurut pandangan Kotler, persaingan usaha sehat merupakan suatu strategi dalam pemasaran yang berfokus terhadap pemenuhan kepuasan konsumen dengan berorientasi terhadap kualitas produk, sedangkan persaingan usaha tidak sehat timbul akibat adanya sabotase negatif dari pelaku usaha, berupa praktik yang mengesampingkan etika pemasaran dan promosi yang menyesatkan [4]. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Dalam praktiknya, beragam bentuk persaingan usaha tidak sehat diantaranya penetapan harga predatori, monopoli pasar, eksploitasi antar platform, diskriminasi, penyalahgunaan posisi dominan, dan lain-lain [5].

Perkembangan ekonomi dan persaingan bisnis memicu berbagai praktik persaingan usaha tidak sehat seiringan dengan perkembangan era digital dalam kehidupan masyarakat, strategi pemasaran menggunakan platform digital kian digandrungi mayoritas pelaku usaha. Strategi pemasaran digital yang berfungsi sebagai media promosi dalam platform digital, dinilai lebih optimal dalam menjangkau konsumen luas dan efisiensi waktu dan biaya [6]. Meningkatnya pelaku usaha dalam menggunakan media digital sebagai strategi pemasaran berbentuk promosi online memicu kompetitor untuk melakukan berbagai gebrakan untuk dapat bersaing, sebagian pelaku usaha cenderung memilih persaingan usaha secara sehat, akan tetapi tidak sedikit pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha secara tidak sehat dengan melakukan strategi pemasaran berupa black campaign dalam media digital. Black campaign merupakan strategi penyampaian informasi dalam konteks negatif yang sengaja dilakukan demi menurunkan bahkan menjelekkan reputasi pihak lawan menggunakan informasi yang tidak benar dan bersifat manipulatif [7]. Praktik black campaign cenderung dilakukan dalam media online seperti media sosial, e-commerce, iklan televisi, dan lain-lain. Sebagai bentuk promosi yang memberikan suatu informasi dengan konteks negatif dalam media online, black campaign relevan dengan UU No. 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dimana terdapat larangan yang berkaitan dengan promosi online dalam Pasal 28 ditegaskan perbuatan yang dilarang yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen d]alam Transaksi Elektronik. Selain berpedoman pada UU ITE, regulasi mengenai black campaign belum diatur secara jelas dalam peraturang perundang-undangan seperti UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam aspek pertanggungjawaban, praktik black campaign cenderung didasari oleh pemenuhan delik pidana dan mens rea sehingga mengacu pada pertanggung jawaban pidana [8]. Berdasarkan Pasal 28 (1) UU ITE, dipenuhinya seluruh unsur delik yaitu Setiap orang, Dengan sengaja, Menyebarkan berita bohong atau menyesatkan, Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Serta terpenuhinya unsur mens rea yaitu dibuat secara terencana, diproduksi sebagai strategi marketing, bermotivasi menjatuhkan pesaing, dan difasilitasi oleh tim marketing. Pemenuhan delik pidana berdasarkan UU ITE

Mengacu pada pertanggung jawaban pidana yang cenderung merujuk pada perlindungan terhadap kerugian imateriil, akan tetapi melihat dampak kerugian materil yang berdampak besar tidak hanya bagi pelaku usaha tapi bagi perekonomian, akibat dari implementasi praktik black campaign. Dalam aspsek pertanggung jawaban perdata, mengutip pandangan Subekti bahwa pertanggungjawaban perdata merupakan suatu kewajiban dari pihak yang tidak memenuhi perikatan didalamnya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dalam bentuk ganti rugi akibat dari kerugian yang disebabkan oleh pihak tersebut [9]. Merujuk pada teori pertanggungjawaban perdata bahwa suatu ganti kerugian merupakan tanggung jawab pihak yang melakukan pelanggaran atau tidak terpenuhinya suatu perikatan dalam bentuk wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, definisi tersebut menjadi suatu acuan atas analisa terhadap implementasi praktik black campaign sebagai persaingan usaha tidak sehat, maka dikemukakan suatu permasalahan utama yaitu bagaimana implementasi black campaign sebagai bentuk persaingan usaha tidak sehat memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum yang dapat dijadikan dasar pertanggungjawaban perdata.

Rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada bagaimana implementasi black campaign sebagai bentuk persaingan usaha tidak sehat dapat memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sehingga dapat menjadi dasar pertanggungjawaban perdata. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji apakah tindakan black campaign yang dilakukan dalam konteks persaingan usaha memenuhi elemen-elemen seperti adanya perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, serta hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian tersebut, sehingga pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata.

Metode

Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian hukum normatif, dengan berfokus pada kajian terhadap pemenuhan delik dalam Pasal 1365 KUH Perdata, Undang-Undang dan regulasi yang berlaku, dengan sifat penelitian deskriptif dalam merangkum gambaran masalah, dengan jenis data sekunder dan sumber data berupa bahan hukum primer mencakup Peraturan Perundang-undangan dan peraturan dalam perjanjian, bahan hukum sekunder dari buku, jurnal ilmiah dan penelitian terdahulu, dan bahan hukum tersier dari kamus dan ensiklopedia. Teknik pengumpulan data berupa tinjauan yuridis atau studi pustaka, dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan dan konseptual, dan teknik analisis kualitatif. Melalui metode penelitian yang digunakan, diharapkan penulis dapat menguraikan analisa terhadap praktik black campaignmemenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar pertanggungjawaban perdata.

Hasil dan Pembahasan

Dalam penerapan praktik black campaign yang umumnya terjadi dalam dunia siber, aspek pertanggung jawaban dalam UU ITE menjadi rujukan masyarakat umum [10]. Disebabkan implikasi black campaign terhadap citra brand, nama baik, dan merek dalam masyarakat luas melalui cyberspace, menjadi relevan dengan aspek-aspek dalam UU ITE. Akan tetapi pertanggung jawaban pidana dalam praktik black campaign sebagai suatu bentuk persaingan usaha tidak sehat, dinilai kurang efisien terlebih implementasi black campaign yang tidak hanya mengakibatkan kerugian imateriil akan tetapi dampak kerugian materiil yang merugikan pelaku usaha bahkan berdampak pada perekonomian negara. Mengutip pandangan dari Sudarto, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau melawan hukum belum mencukupi untuk dapat diberikan sanksi pidana [11], merujuk pada pendapat tersebut memperkuat landasan bahwa pertanggungjawaban pidana kurang relevan terhadap praktik black campaign. Berpedoman pada UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menggaris bawahi pengertian persaingan usaha tidak sehat, yaitu unsur dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum, praktik black campaign memenuhi unsur dilakukan dengan cara tidak jujur, akan tetapi unsur melawan hukum masih menjadi suatu perdebatan dan penilaian yang bersifat ambigu, apakah praktik tersebut memenuhi unsur-unsur dan dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, sehingga dapat didasarkan suatu pertanggungjawaban perdata.

Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu "Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut", dari definisi tersebut mengutip pandangan Fuady, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya Suatu Perbuatan

Perbuatan dalam arti aktif (melakukan suatu perbuatan), dan perbuatan dalam arti pasif (tidak melakukan suatu perbuatan).

2. Melawan atau Melanggar Hukum

Unsur melawan hukum didefinisikan seluas-luasnya meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Perbuatan yang melanggar UU yang berlaku

b. Perbuatan yang melanggar hak orang lain yang dilindungi oleh hukum

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku

d. Perbuatan yang melanggar kesusilaan

e. Perbuatan yang bertentangan dengan nilai dalam masyarakat

3. Menimbulkan Kerugian

Kerugian merupakan suatu syarat gugatan agar dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Selain kerugian materiil dalam Perbuatan Melawan Hukum juga diakui kerugian imateriil.

4. Terdapat Hubungan Sebab- Akibat

Hubungan kausal atau sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian.

5. Adanya Suatu Kesalahan Akibat Kelalaian atau Kesengajaan

Tanggung jawab tanpa unsur kesalahan akibat kelalaian, kesengajaan dan tidak ada alasan pembenar, tidak dapat dikategorikan sebagai suatu pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata [12] .

Karakteristik dari melawan atau melanggar hukum dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, hanya diartikan jika perbuatan melawan hukum tersebut tidak memiliki alasan pembenar, yaitu alasan yang menghilangkan karakteristik melawan hukum tersebut [13].

Berlandaskan kelima unsur dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, kembali mengacu pada definisi dari black campaign merupakan suatu tindakan komunikasi dengan tujuan menyampaikan persepsi negatif, terhadap satu pihak melalui penyebaran isu yang tidak objektif dan tidak mendasar [14]. Dalam konteks marketing, black campaign didefinisikan sebagai bentuk persaingan usaha tidak sehat, dengan menyebarkan informasi tidak benar dan menyesatkan baik terhadap suatu produk, merek, bahkan branding dari pihak lawan, dengan tujuan menjatuhkan kompetitor sehingga menyebabkan kerugian, baik materiil maupun imateriil. Mengacu pada definisi tersebut, penerapan dari praktik black campaign dapat dikarakteristikan menjadi beberapa unsur.

Tabel1. Karakteristik black campaign

Berdasarkan karakteristik dari black campaigntersebut, kembali merujuk pada unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata, dapat diuraikan pemenuhan akan unsur-unsur sebagai berikut :

1. Praktik black campaign merupakan suatu fenomena nyata yang merupakan suatu isu dalam masyarakat, dimana umumnya praktiknya erat kaitan dengan kampanye dalam dunia politik, akan tetapi meluasnya istilah tersebut kini diimplementasikan dalam strategi pemasaran, isu tersebut dilihat dalam maraknya kasus promosi produk melalui media sosial, dengan format konten yang mengandung serangan terhadap pihak kompetitor, bahkan menjatuhkan secara terang-terangan. Secara faktual memenuhi unsur adanya suatu perbuatan, dimana implementasi tersebut dikategorikan sebagai suatu perbuatan aktif.

2. Pemenuhan akan unsur melawan hukum, terwujud dalam seluruh aspek karakteristik black campaign, dimana terjadinya pelanggaran baik terhadap UU, peraturan dan regulasi, maupun pelanggaran akan asas dan norma yang ada.

3. Suatu praktik black campaign memberikan impact kerugian materiil yang cukup besar bagi pelaku usaha, dimana pada beberapa kasus real pelaku usaha terdampak black campaign menjabarkan kerugian pasca black campaign oleh kompetitor, mengutip wawancara dari salah satu pihak terdampak black campaign yaitu tan skin skincare, bahwa tan skin mengalami kerugian hingga 50% imbas dari black campaign oleh kompetitor. Selain dampak kerugian materiil yang besar, black campaigndapat mengakibatkan kolaps sehingga terjadinya pemberhentian operasional dalam produksi dan distribusi, tidak hanya mengakibatkan kerugian besar bagi pelaku usaha, tetapi bagi masyarakat sebagai tenaga kerja. Selain dampak kerugian materiil, implikasi dari kerugian imateriil juga krusial, khusunya dalam pemasaran digital branding suatu produk merupakan hal fundamental tetapi krusial dalam menjaga citra produk dan membangun kepercayaan konsumen.

4. Hubungan kausalitas antara praktik black campaign dan kerugian materiil terpenuhi melalui beberapa faktor antara lain, praktik black campaign yang menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap brand, mengakibatkan beralihnya konsumen, dan mengakibatkan lossofexpenditureatau biaya tambahan berupa klarifikasi, promosi, re-branding bahkan upaya hukum.

5. Dengan mengimplementasikan suatu strategi pemasaran yang melanggar etika, dan secara sadar mengetahui bahwa praktik tersebut merupakan suatu bentuk persaingan usaha tidak sehat, menjadi pemenuhan terhadap unsur kesengajaan dari pelaku usaha, dimana pelaku usaha sadar dan mengetahui dengan pasti risiko dari strategi tersebut.

Pemenuhan terhadap tiap unsur dalam perbuatan melawan hukum menjadi dasar dalam pertanggungjawaban perdata, dimana tanggung jawab berupa ganti kerugian diwajibkan kepada pelaku yang terbukti atas dasar kesalahan dan memenuhi unsur-unsur Pasal 1365 KUH Perdata. Kemudian selain tanggung jawab tersebut, merujuk pada teori strict liability dimana tanggung jawab dibebankan kepada pelaku tanpa berpedoman pada unsur kesalahan, pelaku dapat didasarkan pertanggungjawaban [15].

Simpulan

Landasan unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUH Perdata serta karakteristik dari praktik black campaignsebagai strategi pemasaran dalam persaingan usaha tidak sehat, memenuhi sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan dengan landasan Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam praktiknya, relevansi akan praktik black campaign dan UU ITE selalu menjadi landasan dalam suatu sengketa atau perkara, sehingga pertanggungjawaban pidana dinilai menjadi rujukan utama. Akan tetapi, selain kepentingan umum, kepentingan yang harus dilindungi adalah pelaku usaha sebagai sebagai pihak yang mengalami kerugian materiil, dan juga sebagai pihak yang harus melakukan perlindungan baik bagi operasional usaha baik barang maupun jasa dan perlindungan terhadap tenaga kerja dalam menopang perekonomian, sehingga mengacu pada aspek tersebut dibutuhkan pertanggungjawaban berupa ganti kerugian sesuai besaran kerugian yang diterima.

References

F. Abdillah, “Dampak Ekonomi Digital Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia,” Benefit Journal of Business, Economics, and Finance, vol. 2, no. 1, pp. 27–35, 2024.

C. Yolanda and U. Hasanah, “Peran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Pengembangan Ekonomi Indonesia,” Jurnal Manajemen dan Bisnis, vol. 2, no. 3, pp. 170–186, 2024, doi: 10.36490/jmdb.v2i3.1147.

A. Smith, Wealth of Nations. New York, NY, USA: Cosimo Inc., 2007.

P. Kotler, K. L. Keller, M. Goodman, M. Brady, and T. Hansen, Marketing Management, 4th European ed. Harlow, U.K.: Pearson Education Limited, 2019.

A. Yanto, F. Hikmah, S. Nugroho, and D. Firmansyah, “Tinjauan Tata Kelola dan Praktik Monopoli Badan Usaha Milik Negara dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha,” Reformasi Hukum, vol. 27, no. 3, pp. 226–235, 2023, doi: 10.46257/jrh.v27i3.686.

H. S. Tyasari and F. D. Patrikha, “Analisis Strategi Pemasaran Digital dalam Upaya Peningkatan Omset Penjualan,” Jurnal Pendidikan Tata Niaga, vol. 11, no. 1, pp. 9–17, 2023, doi: 10.26740/jptn.v11n1.p9-17.

Suryanto, Komunikasi Politik: Strategi dan Praktik. Yogyakarta, Indonesia: Graha Ilmu, 2016.

M. Lubis, “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Kampanye Hitam (Black Campaign) di Media Sosial,” Riau Law Journal, vol. 6, no. 2, pp. 170–197, 2022. [Online]. Available: https://rlj.ejournal.unri.ac.id

Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta, Indonesia: Balai Pustaka, 2005.

N. S. Mikhdar, R. R. Permata, and S. Sudaryat, “Pelindungan Hukum dan Implikasi Black Campaign Merek Skincare Terhadap Pemegang Hak atas Merek,” USM Law Review, vol. 7, no. 2, pp. 853–869, 2024, doi: 10.26623/julr.v7i2.9186.

Universitas Hindu Indonesia, “Kajian Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),” Vidya Wertta: Media Komunikasi Universitas Hindu Indonesia, vol. 6, no. 1, pp. 50–59, 2023. [Online]. Available: https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/vidyawertta/article/view/4006

M. Fuady, Konsep Hukum Perdata. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2015.

B. Waluyo, “Kajian Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Berdasarkan Pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” Cakrawala Hukum, vol. 24, no. 1, pp. 14–22, 2022.

Kriyantono, Public Relations Writing. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2014.

M. Suryoutomo, S. Mariyam, and A. P. Satria, “Koherensi Putusan Hakim dalam Pembuktian Ganti Rugi Imateriel Perbuatan Melawan Hukum,” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, vol. 4, no. 1, pp. 133–149, 2022, doi: 10.14710/jphi.v4i1.139-144.