Ibra Fulenzi Amri (1), Tundjung Herning Sitabuana (2)
General Background: Since the Reform Era, Indonesia has undergone extensive political and constitutional transformation that renewed demands to reorganize national governance through amendments to the 1945 Constitution. Specific Background: The re-emergence of constitutional amendment discourse after 27 years of Reform raises concerns about unstructured changes that may weaken constitutional authority and threaten national integrity. Knowledge Gap: Indonesia has not yet established explicit constitutional provisions identifying which foundational norms must remain unamendable. Aims: This study aims to formulate a normative framework for determining non-amendable constitutional provisions to ensure orderly amendments and preserve constitutional stability. Results: The findings show that the MPR must adopt fundamental agreements protecting the following from amendment: the Preamble, the state ideology, the goals of the state, the form of the state, the separation of powers under checks and balances, human rights guarantees, and procedures for constitutional amendment in emergencies. Comparative analysis shows that many countries, including Germany, France, Portugal, Spain, and Turkey, maintain similar immutable clauses. Novelty: This study offers a comprehensive normative construction of unamendable provisions within Indonesia’s constitutional framework. Implications: Explicitly regulating immutable constitutional clauses is essential to safeguard constitutional supremacy and prevent national disintegration.
Highlights:
Identifies core constitutional elements that must remain unamendable to preserve state integrity.
Highlights the need for structured and principled constitutional amendment procedures.
Shows that Indonesia aligns with global constitutional practices protecting foundational norms.
Keywords: Constitutional Amendment, Unamendable Provisions, Constitutional Stability, Indonesia, Constitutional Law
Pendahuluan
Indonesia memasuki suatu fase sejarah yang sepenuhnya baru pada tanggal 21 Mei 1998, sebuah momen yang kemudian dikenal luas sebagai awal dari Era Reformasi. Tonggak perubahan tersebut ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru setelah Presiden Soeharto, yang telah memimpin negara selama lebih dari tiga dekade sejak 1967, menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden Republik Indonesia. 1. Kejatuhan rezim Orde Baru bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang mendorong masyarakat untuk menuntut perubahan mendasar dalam pola penyelenggaraan pemerintahan.
Situasi krisis multidimensi yang terjadi pada saat itu memicu gelombang aspirasi publik untuk melakukan penataan kembali sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan masyarakat tidak hanya terbatas pada perubahan struktur politik, tetapi juga mencakup pembaruan terhadap prinsip-prinsip fundamental yang menjadi landasan ketatanegaraan Indonesia. Beragam desakan yang muncul pada masa Reformasi tersebut mencerminkan keinginan kuat rakyat untuk menghadirkan tatanan negara yang lebih demokratis, akuntabel, dan berorientasi pada perlindungan hak-hak dasar warga negara.2. Perubahan tersebut memunculkan tuntutan masyarakat untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara 3.
Perubahan tersebut memunculkan tuntutan masyarakat untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan pada masa itu yaitu 4: (1) Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); (2) Penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); (3) Penegakan supremasi hukum, perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM), serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN); (4) Desentralisasi serta perwujudan hubungan yang adil antara pemerintah pusat dan daerah; (5) Terjaminnya kebebasan pers; dan (6) Penguatan demokrasi.
Tuntutan amandemen UUD 1945 bertujuan memperbaiki dan menyempurnakan berbagai kelemahan yang terdapat dalam konstitusi tersebut. Kelemahan tersebut meliputi 4: (1) Minimnya landasan konstitusional bagi penyelenggaraan kehidupan yang demokratis; (2) Minimnya landasan konstitusional pemberdayaan masyarakat; (3) Minimnya perlindungan dan penghormatan HAM; dan (4) Adanya ketentuan-ketentuan yang menimbulkan multitafsir yang pada akhirnya mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan melanggar prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, sehingga membuka ruang bagi lahirnya pemerintahan yang otoriter, terpusat, dan tertutup 5.
Dalam melakukan amandemen UUD 1945 untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak terarah, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan dasar sebagai panduan bagi setiap anggota MPR, yaitu 6: (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) penjelasan UUD 1945 ditiadakan, dan hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; dan (4) perubahan dilakukan dengan cara adendum. Sejak era Reformasi yang telah berlangsung 27 tahun, wacana usulan amandemen UUD 1945 kembali muncul, yaitu: (1) kembali kepada naskah asli UUD 1945 yang disusun oleh para pendiri bangsa 7; dan (2) Amandemen UUD 1945 yang disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan negara 8. Jika perubahan dilakukan secara tidak terarah, hal ini dapat meruntuhkan kewibawaan dan kehormatan konstitusi, serta menimbulkan disintegrasi bangsa.
Berdasarkan hal tersebut, muncul urgensi pengaturan ketentuan yang tidak boleh diubah dalam amandemen konstitusi Indonesia. Penelitian ini bertujuan secara terarah, menjaga kewibawaan dan kehormatan konstitusi, serta menghindari disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, penelitian ini berjudul “Urgensi Pengaturan Ketentuan Tidak Boleh Diubah dalam Amandemen Konstitusi Indonesia.”
Metode
Penelitian ini menerapkan metode penelitian hukum normatif, yakni suatu pendekatan yang berfokus pada penelaahan terhadap norma, asas, dan ketentuan hukum yang berlaku untuk menjawab isu-isu hukum yang menjadi objek kajian. Dalam kerangka penelitian normatif, analisis dilakukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang bersifat tertulis, sehingga penelitian ini secara langsung berkaitan dengan studi kepustakaan yang mengevaluasi struktur, logika, dan konsistensi sistem hukum yang berlaku. Spesifikasi penelitian bersifat preskriptif, karena tidak hanya berhenti pada proses pengkajian, melainkan juga berupaya merumuskan rekomendasi mengenai langkah normatif yang seharusnya ditempuh guna menyelesaikan permasalahan hukum yang diidentifikasi. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan menghasilkan pedoman, prinsip, maupun kaidah hukum baru yang dapat memberikan arah penyelesaian permasalahan secara lebih komprehensif dan terukur.9.
Sumber data penelitian sepenuhnya berasal dari data sekunder yang diperoleh melalui berbagai dokumen hukum dan literatur ilmiah. Data sekunder tersebut terdiri dari beberapa kelompok bahan hukum. Pertama, bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan mengikat, meliputi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 sebagai perubahan atas Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 sebagai perubahan terhadap Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3); serta Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2024 mengenai Tata Tertib MPR. Seluruh ketentuan tersebut digunakan sebagai landasan untuk menilai konsistensi norma dan kewenangan lembaga negara terkait fokus penelitian.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research), yaitu kegiatan penghimpunan, pembacaan, dan analisis mendalam terhadap seluruh bahan tertulis yang berkaitan dengan objek kajian. Untuk mendukung analisis yang komprehensif, penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama. Pertama, pendekatan perundang-undangan (statutory approach) yang menelaah seluruh perangkat regulasi yang relevan. Kedua, pendekatan komparatif (comparative approach), yang membandingkan ketentuan mengenai norma konstitusional yang bersifat tidak dapat diubah (immutable provisions) di berbagai negara, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai standar internasional atau praktik terbaik yang dapat menjadi rujukan bagi sistem hukum nasional. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Dalam analisis kualitatif, bahan hukum tidak diolah melalui perhitungan numerik, melainkan melalui interpretasi, penalaran hukum, dan konstruksi argumen normatif untuk menghasilkan kesimpulan yang sistematis, logis, serta selaras dengan asas-asas hukum yang berlaku.
Hasil dan Pembahasan
Indonesia menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang menjadi acuan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembentukan hukum, serta dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dimaknai sebagai fondasi normatif, tetapi juga sebagai kumpulan nilai-nilai moral dan filosofis yang telah terbentuk melalui perjalanan sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut memiliki legitimasi historis, filosofis, yuridis, dan sosiologis yang membuat Pancasila menjadi pedoman etis sekaligus ideologis bagi seluruh aspek kehidupan bernegara. 10. Sebagai staatsfundamentalnorm, Pancasila berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hukum yang menjadi rujukan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan kedudukan tersebut, setiap produk hukum baik di tingkat konstitusi maupun peraturan perundang-undangan di bawahnya wajib selaras dengan prinsip, nilai, serta cita hukum yang terkandung dalam Pancasila. Dalam konteks perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pancasila memegang peranan penting sebagai pedoman yang mengarahkan proses perubahan konstitusi. 11.
Konstitusi Republik Indonesia menempatkan prinsip negara hukum sebagai fondasi utama dalam penyelenggaraan ketatanegaraan, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan ini menandaskan bahwa seluruh mekanisme pemerintahan, pelaksanaan kekuasaan, serta pembentukan norma hukum harus berpijak pada supremasi hukum yang menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi warga negara. Di samping itu, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengukuhkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga setiap tindakan dan kebijakan negara wajib dilaksanakan berdasarkan kehendak rakyat yang disalurkan melalui mekanisme konstitusional. Dalam kerangka perubahan konstitusi, UUD 1945 telah menyediakan tata cara yang jelas dan terstruktur mengenai prosedur amandemen. Ketentuan ini termuat secara rinci dalam Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (4), yang mengatur mulai dari pihak yang berwenang mengusulkan perubahan, persyaratan kuorum persidangan, hingga batasan-batasan prinsipil mengenai bagian-bagian UUD yang tidak dapat diubah. Kehadiran aturan tersebut menunjukkan bahwa proses amendemen konstitusi tidak dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan melalui mekanisme yang ketat dan terukur untuk memastikan stabilitas ketatanegaraan serta menjaga integritas dasar-dasar konstitusional bangsa. Dengan demikian, perubahan terhadap UUD 1945 senantiasa harus dilakukan dalam koridor hukum, demokrasi, dan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi roh dari konstitusi Indonesia.
Berdasarkan kewenangannya, MPR dapat mengubah dan menetapkan UUD. Tata cara perubahan UUD sebagai berikut: (1) Usul perubahan pasal UUD diajukan oleh paling sedikit 1/3 anggota MPR secara tertulis; (2) Usul tersebut disampaikan kepada pimpinan MPR, yang memeriksa kelengkapan persyaratan paling lama 30 hari sejak diterima; (3) Pimpinan MPR mengadakan rapat dengan pimpinan fraksi dan kelompok anggota untuk menilai kelengkapan usul; (4) Jika usul tidak lengkap, pimpinan MPR menyampaikan penolakan tertulis, jika lengkap, pimpinan wajib menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu 60 hari dan memberikan salinan usul kepada anggota 14 hari sebelum sidang; (5) Dalam sidang, pengusul menjelaskan usul, fraksi menyampaikan pandangan umum, dan dibentuk panitia ad hoc untuk mengkaji usul; (6) Panitia melaporkan hasil kajian, yang kemudian diikuti pandangan umum fraksi; dan (7) Sidang dihadiri minimal 2/3 anggota MPR, dan pengubahan disetujui apabila disetujui oleh 50% tambah 1 anggota.
Amandemen konstitusi memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas penyelenggaraan negara dalam kerangka sistem ketatanegaraan 12. Apabila dilakukan dengan baik, amandemen konstitusi dapat memberikan dampak positif sebagai berikut 13: (1) Amandemen konstitusi menutup kekosongan hukum (legal gap), sehingga konstitusi menjadi lebih lengkap dan menjamin kepastian hukum 14; (2) Amandemen konstitusi memperjelas pasal-pasal yang multitafsir agar interpretasi hukum menjadi seragam dan mencegah konflik 15; (3) Amandemen konstitusi menegakkan HAM sebagai bentuk perlindungan hukum bagi warga negara 16; (4) Amandemen konstitusi menyesuaikan konstitusi dengan kewajiban internasional agar hukum nasional selaras dengan standar global 17; (5) Amandemen konstitusi memperkuat checks and balances agar kekuasaan antar lembaga negara tetap seimbang dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)18.
Sebaliknya, apabila dilakukan dengan buruk, amandemen konstitusi dapat menimbulkan dampak negatif sebagai berikut: (1) Hilangnya kewibawaan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) Amandemen konstitusi yang memusatkan kekuasaan merusak menimbulkan ketimpangan distribusi kekuasaan 19; (3) Amandemen konstitusi yang sarat kepentingan politik menimbulkan polarisasi, serta meningkatkan ketegangan antar partai dan kelompok masyarakat 20; (4) Amandemen konstitusi yang dijadikan alat politik elit menurunkan legitimasi pemerintah dan lembaga negara, sehingga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem ketatanegaraan 21; (5) Amandemen konstitusi yang dipengaruhi oleh tekanan kelompok berkepentingan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada segelintir pihak dan mengabaikan kepentingan rakyat 22.
Dalam upaya melakukan amandemen konstitusi, MPR harus menetapkan kesepakatan dasar mengenai ketentuan yang tidak boleh diubah dalam amandemen Konstitusi Indonesia, yaitu: (1) Pembukaan UUD 1945 23; (2) dasar negara (staatrecht); (3) tujuan negara (staatidee); (4) bentuk negara; (5) pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances)24; (6) perlindungan dan penghormatan HAM;dan (7) ketentuan mengenai perubahan UUD ketika negara berada dalam keadaan darurat. 25
Dalam konteks global, berbagai negara telah mengatur ketentuan yang tidak boleh diubah dalam amandemen konstitusi. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif, berikut disajikan tabel perbandingan ketentuan yang tidak boleh diubah dalam amandemen konstitusi di beberapa negara.
Tabel 1. Ketentuan yang Tidak Boleh Diubah dalam Amandemen Konstitusi di Beberapa Negara
Secara substansial, pengalaman berbagai negara menunjukkan pentingnya mengatur ketentuan yang tidak boleh diubah dalam amandemen konstitusi. Dengan adanya pengaturan tersebut, amandemen dapat dilakukan secara terarah, berdasarkan konsep negara hukum yang menjunjung tinggi konstitusi, dan menjaga stabilitas sistem hukum nasional serta penyelenggaraan pemerintahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Simpulan
Dalam dinamika amandemen UUD 1945 pada periode 1999–2022, sebelum perubahan dilakukan, telah ditetapkan suatu kesepakatan dasar untuk mencegah terjadinya amandemen yang tidak terarah. Pada Sidang Umum MPR, seluruh fraksi menyepakati bahwa amandemen harus dilaksanakan secara terarah, berlandaskan konsep negara hukum yang menjunjung tinggi konstitusi, serta bertujuan mencegah disintegrasi bangsa. Setelah 27 tahun Reformasi berjalan, wacana perubahan UUD 1945 kembali muncul. Dalam konteks tersebut, MPR seharusnya menetapkan kesepakatan dasar mengenai ketentuan yang tidak boleh diubah dalam proses amandemen, yang mencakup: (1) Pembukaan UUD 1945; (2) dasar negara; (3) tujuan negara; (4) bentuk negara; (5) pembagian kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances; (6) perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia; serta (7) ketentuan mengenai perubahan UUD ketika negara berada dalam keadaan darurat. Secara global, beberapa negara, termasuk Jerman, Prancis, Portugal, Spanyol, Turki, Rumania, Ukraina, Rusia, Cape Verde, dan Mozambik.
Berdasarkan penelitian ini, disarankan agar ketentuan yang tidak boleh diubah dalam amandemen konstitusi diatur secara eksplisit dalam Konstitusi Indonesia.
M. Rachmalia, “Mengenang Reformasi 21 Mei, Apa yang Terjadi Saat Itu,” Detik.com, 2024. [Online]. Available: https://www.detik.com/jatim/berita/d-7923927/mengenang-reformasi-21-mei-apa-yang-terjadi-saat-itu
N. M. Achmad, R. N. Chaterine, and D. Prabowo, “Yusril Kenang Detik-detik Soeharto Mundur, Orde Baru Runtuh, Berganti Era Reformasi,” Kompas.com, 2023. [Online]. Available: https://nasional.kompas.com/read/2023/05/20/15073351/yusril-kenang-detik-detik-soeharto-mundur-orde-baru-runtuh-berganti-era
S. Gischa, “Peristiwa Penting Era Reformasi,” Kompas.com, 2020. [Online]. Available: https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/070000669/peristiwa-penting-era-reformasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003.
D. Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung, Indonesia: Mizan Pustaka, 2007.
T. H. Sitabuana, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta, Indonesia: Konstitusi Press, 2020.
A. A. L. N. M. Mattalitti, “LaNyalla: Kembali ke UUD 45 Naskah Asli, Cara Wujudkan Keadilan Sosial,” Dewan Perwakilan Daerah RI, 2023. [Online]. Available: https://www.dpd.go.id/daftar-berita/lanyalla-kembali-ke-uud-45-naskah-asli-cara-wujudkan-keadilan-sosial
J. Asshiddiqie, “Seminar Konstitusi: Dialektika Konstitusi—Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi,” 2025.
T. Firmanto, S. Sufiarina, F. Reumi, and I. N. S. Saleh, Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Komprehensif Penulisan Ilmiah Bidang Hukum. Jambi, Indonesia: Sonpedia Publishing Indonesia, 2024.
A. Hidayat, “Negara Hukum Berwatak Pancasila,” Pekan Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, pp. 1–13, 2017.
B. Krisnayuda, Pancasila & Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Prenada Media, 2017.
Tim Kerja PPHN, Implikasi Amandemen Konstitusi terhadap Sistem Hukum Nasional dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta, Indonesia: BPHN, Kemenkumham, 2009. [Online]. Available: https://bphn.go.id/data/documents/pphn_pokja_implikasi_amandemen_konstitusi.pdf
J. Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2005.
E. Agustina, “Finding a New Direction for Indonesian Democracy,” Legal Brief, vol. 13, no. 1, p. 112, 2024, doi: 10.35335/legal.v13i1.929.
M. Pigome, “Implementasi Prinsip Demokrasi dan Nomokrasi dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,” Jurnal Dinamika Hukum, vol. 11, no. 2, p. 335, 2011, doi: 10.20884/1.jdh.2011.11.2.191.
S. Pakaya and I. Hadi, “Hak Warga Negara untuk Dilindungi sebagai Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi,” At-Tanwir Law Review, vol. 3, no. 1, p. 113, 2023.
H. Juwana, “The Obligation to Ensure the Conformity of International Treaties with the Constitution,” Indonesian Journal of International Law, vol. 8, no. 3, p. 298, 2011.
I. Putra and A. F. Lubis, “Evaluating the Role of Constitutional Amendments in Strengthening Democratic Governance in Indonesia,” West Science Law and Human Rights, vol. 1, no. 3, p. 141, 2024, doi: 10.58812/wslhr.v1i03.1166.
U. Sanusi and M. F. Hadinatha, “Activating Unconstitutional Norms in Law: An Analysis of the Principle of Checks and Balances,” Jurnal Konstitusi, vol. 20, no. 2, pp. 300–317, 2023, doi: 10.31078/jk2027.
M. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia. Jakarta, Indonesia: publisher not specified, 1993.
J. E. Fleming, “Comment on Amendment-Metrics: The Good, the Bad and the Frequently Amended Constitution,” 2015. [Online]. Available: https://scholarship.law.bu.edu/faculty_scholarship/811
J. M. Strickland and K. Kollman, “Constitutional Change and Interest Mobilization,” 2023, unpublished working paper.
A. Wahyudi, “Proses Pemuatan dan Konsekuensi Norma Konstitusi yang Tidak Dapat Diubah dalam UUD 1945,” 2021.
Sunarto, “Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 45, no. 2, pp. 157–163, 2016, doi: 10.14710/mmh.45.2.2016.157-163.
C. Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Chicago, IL, USA: University of Chicago Press, 2005.