Nadya Faradiba (1), Yuwono Prianto (2)
General background: Illegal land occupation along riverbanks remains a persistent challenge in urban areas, threatening ecological functions and legal order. Specific background: In the Sepak Gabus River, Bekasi Regency, hundreds of buildings have been constructed without legal rights, violating Government Regulation in Lieu of Law No. 51 of 1960 and disrupting the river’s environmental capacity. Knowledge gap: Existing studies mainly adopt normative approaches, leaving limited empirical analysis on how legal enforcement, institutional capacity, and community dynamics interact in real implementation. Aims: This study examines the legal basis, enforcement mechanisms, and barriers faced by local government in addressing unlawful land occupation in riverbank areas. Results: Findings show that all structures lack valid land rights, while enforcement remains ineffective due to inconsistent implementation, limited relocation facilities, social resistance, weak coordination, and a permissive legal culture shaped by long-term state neglect. Novelty: This research integrates empirical field data with Roscoe Pound’s social engineering theory and Soekanto’s law-effectiveness framework to explain why regulatory enforcement fails in environmentally critical zones. Implications: Strengthening inter-agency coordination, ensuring adequate relocation support, and fostering legal awareness are essential to restore riverbank ecological functions and enhance sustainable land governance.
Highlights:
Keywords: Land Occupation, Riverbanks, Law Enforcement, UU 51 Prp 1960
Tanah merupakan sumber daya vital untuk ekosistem, sosial, dan ekonomi [1]. Namun keterbatasannya memicu kompetisi penggunaan yang ketat, terutama di wilayah urban. Pemerintah Indonesia mengatur penguasaan tanah melalui UU 51 Prp 1960, yang bertujuan menertibkan penguasaan tanah negara untuk pemerataan, termasuk mencegah penguasaan ilegal di kawasan lindung seperti sempadan sungai. Kawasan ini berfungsi sebagai penyangga banjir, pengendali erosi, dan pelestari ekosistem, sehingga pemanfaatannya harus sesuai tata ruang dan regulasi lingkungan [2].
Fakta, penguasaan tanah tanpa hak sering terjadi, seperti hunian informal atau usaha di sempadan sungai, yang melanggar UU 51 Prp 1960, serta UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan UU 32/ 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup. Dampaknya meliputi kerugiaan negara (hilangnya retribusi), konflik sosial, dan risiko lingkungan seperti banjir, erosi dan kerusakan habitat. Kabupaten Bekasi, dengan urbanisasi cepat (pertumbuhan penduduk 1,8 dibandingkan dengan Nasional 1,1 pada 2024 [3], menjadi contoh kasus di Bantaran Sungai Sepak. Penguasaan ilegal berupa gubuk, bangunan semi-permanen, hingga permanen dimanfaatkan untuk tempat tinggal dan mata pencaharian [4].
Implementasi penegakan hukum terkendala keterbatasan anggaran serta faktor sosial -ekeonomi masyarakat yang bergantung pada lahan tersebut. Penelitian sebelumnya lebih fokus normatif sehingga gap dalam kajian integratif hukum-empiris di Bekasi. Secara keseluruhan, fenomena ini merupakan permasalahan multidimensional (hukum,tata ruang, lingkungan, sosial-ekonomi), memerlukan pendekatan kolaboratif dan partisipasi untuk keberlanjutan lingkungan dan ketertiban tanah negara.
Rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada dua aspek penting, yakni bagaimana penegakan hukum berdasarkan UU No. 50 Prp Tahun 1960 terhadap praktik penguasaan tanah tanpa hak yang terjadi di bantaran Sungai Sepak Gabus Bekasi, serta bagaimana mekanisme penerapan sanksi administratif maupun pidana sesuai ketentuan UU No. 51 Prp Tahun 1960 dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi dalam menangani kasus tersebut. Kedua aspek ini perlu dikaji secara komprehensif untuk memahami efektivitas pelaksanaan regulasi, koordinasi antar-instansi, serta kendala faktual yang dihadapi pemerintah daerah dalam mewujudkan kepastian hukum dan tertib penguasaan tanah di kawasan bantaran sungai.
Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris berdasarkan pemikiran Soerjono Soekanto, yang menekankan pengumpulan data primer untuk memahami penerapam hukum dalam masyaraakat melalui fakta sosial lapangan [5]. Pengumpulan data primer dilakukan secara wawancara semi terstruktur dengan informan yaitu masyarakat yang terdampak (penduduk bantaran sungai yang di tertibkan, pejabat dari dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bekasi, Pengadministrasian Pertanahan Kecamatan Tambun Utara, Akademisi bidang agraria juga dilibatkan untuk sudut pandang ilmiah. Observasi langsung dilakukan untuk melihat secara langsung kondisi fisik bantaran sungai, pola pemanfaatan ruang dan bangunan di sempadan sungai, guna memverifikasi data wawancara. Data sekunder yang digunakan yaitu studi dokumen, meliputi : bahan hukum primer yaitu UUPA, UU 51 Prp Tahun 1960, UU No. 26/2007 tentang penataan Ruang, dan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Penglolaan Lingkungan Hidup. Peraturan pelaksana yaitu PP, Permen, Perda, terkait penguasaan tanah negara, pengelolaan ruang, serta perlindungan sempadan sungai. Bahn pendukung yang digunakan jurnal dan buku hukum agraria.
Roscoe Pound menempatkan hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) yang memiliki fungsi utama untuk menciptakan ketertiban, menjaga keseimbangan kepentingan, dan mengarahkan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum tidak sekadar kumpulan peraturan, tetapi sebuah instrumen yang bekerja untuk menata perilaku sosial agar selaras dengan tujuan kolektif. Oleh karena itu, keberhasilan suatu sistem hukum bergantung pada kemampuannya untuk menjawab kebutuhan sosial serta menyelesaikan konflik yang muncul di tengah masyarakat [6].
Relevansi teori ini terlihat jelas dalam konteks penguasaan tanah tanpa hak di bantaran Sungai Sepak Gabus Kabupaten Bekasi. Kawasan bantaran sungai memiliki fungsi ekologis dan sosial yang sangat penting. Negara menguasai kawasan ini bukan untuk kepentingan individual, melainkan demi kepentingan publik, seperti perlindungan lingkungan, pengendalian banjir, menjaga kelestarian ekosistem sungai, dan menjamin ruang terbuka hijau. Berdasarkan hasil penelitian, tiga desa yaitu Desa Srijaya, Sriamur, dan Srimukti memiliki tigaratusan bangunan permanen maupun semi permanen yang berdiri di atas tanah bantaran tanpa alas hak. Pendirian bangunan tersebut tidak disertai izin, tidak memiliki sertifikat, girik, maupun bukti penguasaan lainnya, sehingga masyarakat pada dasarnya menempati lahan tersebut tanpa dasar hukum yang sah.
Kerangka teori Pound, kondisi ini menunjukkan bahwa hukum belum menjalankan fungsinya sebagai pengarah perilaku sosial [7]. Secara normatif, UU 51 Prp 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin memberikan landasan tegas bagi pemerintah untuk mencegah penguasaan tanah negara tanpa hak. Regulasi tersebut memuat larangan, sanksi, serta mekanisme penertiban. Namun, temuan lapangan menunjukkan bahwa ketentuan hukum tersebut tidak dilaksanakan secara konsisten. Pembiaran selama bertahun-tahun menyebabkan masyarakat menganggap penggunaan tanah bantaran sebagai sesuatu yang wajar, bahkan seakan-akan diperbolehkan.
Hukum kehilangan fungsi rekayasa sosialnya. Pound menyatakan bahwa ketika hukum tidak mampu memengaruhi atau mengarahkan perilaku masyarakat, maka hukum kehilangan otoritas dan tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial [8]. Kasus di Sungai Sepak Gabus memperlihatkan hal ini: masyarakat mendirikan bangunan bukan karena tidak ada aturan, tetapi karena tidak ada penegakan. Ketidakhadiran negara dalam tahap awal berdampak pada meningkatnya kepadatan bangunan liar, penyempitan badan sungai, kerusakan lingkungan, hingga memicu banjir besar yang memaksa pemerintah menetapkan status darurat pada Maret 2025.
Namun, teori Pound juga menjelaskan bahwa hukum dapat dipulihkan fungsinya melalui tindakan rekayasa sosial yang tepat. Langkah pemerintah daerah Kabupaten Bekasi dalam menertibkan bangunan liar melalui program KDM dan pembentukan Tim Pengawasan Kawasan Liar merupakan bentuk rekayasa sosial tersebut. Tim yang terdiri dari Kepala Desa, RT, RW, dan Karang Taruna bekerja sama untuk mengawasi kawasan bantaran dan mendorong masyarakat agar tidak kembali melakukan okupasi tanah negara. Upaya ini selaras dengan gagasan Pound bahwa hukum harus bekerja bersama masyarakat (law in action) dan bukan sekadar tertulis di atas kertas [9].
Selain itu, pemberian uang kerohiman kepada warga yang direlokasi menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya menerapkan aspek normatif hukum, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial. Pendekatan persuasif ini membantu pemerintah menghindari konflik horizontal dan vertikal, sekaligus memudahkan proses normalisasi sungai. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Canih selaku Kepala Desa Srijaya, sebagian besar warga menerima penertiban dan menyadari dampak positifnya. Jalan yang semula sempit dan sering macet kini menjadi lebih luas, debit banjir menurun karena penyempitan sungai mulai ditangani, dan para pedagang yang pindah ke lokasi legal memperoleh peningkatan pendapatan. Perubahan ini menandakan bahwa rekayasa sosial melalui penegakan hukum mulai mencapai tujuannya.
Melalui perspektif Pound, penanganan penguasaan tanah tanpa hak di bantaran Sungai Sepak Gabus dapat dipahami sebagai dinamika antara fungsi hukum yang melemah akibat pembiaran dan upaya pemulihan melalui tindakan penertiban dan pembangunan kesadaran hukum. Jika pemerintah konsisten mengawasi bantaran sungai, bekerja sama dengan masyarakat, dan memperkuat penyuluhan hukum, maka hukum dapat kembali menjalankan fungsi rekayasa sosialnya, yaitu menciptakan keteraturan, melindungi kepentingan publik, dan mengarahkan pembangunan sesuai tata ruang. Dengan demikian, teori Roscoe Pound memberikan landasan analitis yang kuat untuk memahami mengapa pelanggaran dapat terjadi serta bagaimana kebijakan penertiban dan penegakan hukum dapat memulihkan kembali fungsi kawasan bantaran sungai sesuai tujuan hukum agraria nasional.
Setiap bentuk penguasaan tanah harus memiliki alas hak yang sah, berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengelolaan, maupun bukti lain yang diakui secara yuridis maupun adat, seperti girik, petok, atau surat garap yang diterbitkan oleh aparat desa sebelum berlakunya sistem sertifikasi modern [10]. Dengan demikian, penguasaan tanah bukan hanya dilihat dari aspek fisik atau keberadaan bangunan, tetapi harus ditopang oleh legitimasi hukum yang memberikan kepastian dan perlindungan bagi pemiliknya.
Kerangka hukum agraria nasional, tanah yang tidak memiliki alas hak atau tanah yang dikuasai negara untuk kepentingan umum tidak dapat dialihkan menjadi hak individual [11]. Hal ini sejalan dengan prinsip yang termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menempatkan Negara sebagai pemegang hak menguasai atas tanah untuk mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya demi sebesar-besar kemakmuran rakyat [12]. Salah satu kawasan yang termasuk dalam kategori tanah yang seharusnya tetap berada di bawah penguasaan negara adalah kawasan sempadan sungai, termasuk bantaran Sungai Sepak Gabus Kabupaten Bekasi.
Bapak Abeng Ariyansyah, salah satu warga Desa Srijaya menjelaskan bahwa bangunan permanen maupun kios miliknya didirikan tanpa surat izin maupun bukti kepemilikan, baik berupa sertifikat, girik, petok, ataupun bentuk alat bukti lain [13]. Kondisi ini juga terjadi pada puluhan warga di Srimukti, dan Satriajaya, yang seluruhnya menempati kawasan bantaran sungai tanpa alas hak yang sah. Secara keseluruhan, jumlah bangunan liar yang berdiri di bantaran sungai pada tiga desa tersebut mencapai tigaratusan unit, baik berbentuk bangunan permanen maupun semi permanen [14]. Penguasaan tanah tanpa hak tersebut dikualifikasikan sebagai okupasi ilegal [15]. Okupasi ilegal terjadi ketika seseorang menguasai atau menggunakan tanah tanpa dasar hukum, tanpa izin pemegang hak, atau tanpa persetujuan negara [15]. Dalam konteks bantaran sungai. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar ketentuan tentang penguasaan tanah, tetapi juga melanggar peraturan tata ruang, peraturan lingkungan hidup, serta ketentuan konservasi sumber daya air.
Menurut Hanafi Tanawijaya penguasaan tanah tanpa landasan hak yang sah tidak dapat dibenarkan dengan alasan sosial, ekonomi, maupun alasan kemanusiaan. Menurut beliau, seseorang baru dapat memperoleh perlindungan hukum atas suatu bidang tanah apabila penguasaan tersebut memiliki legitimasi hukum. Tanpa adanya alas hak, penguasaan tersebut tetap berada dalam kategori okupasi. Hal ini penting karena hukum agraria modern menempatkan perlindungan hukum hanya bagi pihak yang memegang hak atau memiliki bukti yang dapat dipertanggungjawabkan [15].
Kawasan bantaran sungai merupakan bagian dari garis sempadan yang bersifat non-agraris. Artinya, tanah tersebut tidak dimaksudkan untuk dimiliki atau digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha. Tanah sempadan sungai merupakan bagian dari wilayah yang harus dikuasai negara untuk memastikan fungsi ekologis sungai tetap berjalan optimal. Ketika kawasan ini ditempati masyarakat tanpa hak, maka terjadi gangguan terhadap fungsi ekologis tersebut, yang pada akhirnya menciptakan risiko bencana seperti banjir, penyempitan badan sungai, penurunan kualitas air, dan kerusakan ekosistem [16].
Realitas lapangan membuktikan bahwa dampak tersebut benar-benar terjadi. Berdasarkan temuan penelitian, ratusan bangunan liar yang berdiri di bantaran Sungai Sepak Gabus menyebabkan penyempitan radius sungai hingga menghambat aliran air. Pada musim hujan, kawasan tersebut mengalami genangan yang semakin meluas dan puncaknya pada Maret 2025, ketika pemerintah mengeluarkan Surat Peringatan Darurat Banjir. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan tanah tanpa hak bukan hanya persoalan legal-formal, tetapi juga menimbulkan konsekuensi ekologis dan sosial yang luas.
Melalui teori penguasaan tanah, posisi hukum warga yang tinggal atau berusaha di bantaran Sungai Sepak Gabus menjadi sangat jelas. Mereka tidak memiliki perlindungan hukum karena tidak mempunyai dasar hak, dan negara memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penertiban demi kepentingan umum yang diatur dalam UU Nomor 51 Tahun 1960 memberikan dasar hukum untuk menertibkan penggunaan tanah tanpa izin.
Kawasan bantaran sungai merupakan tanah negara yang memiliki fungsi publik, sehingga tidak dapat dijadikan objek penguasaan individual [16]. Ketidakhadiran negara dalam pengawasan sebelumnya membuat praktik okupasi terjadi dalam jangka waktu panjang. Oleh sebab itu, upaya penertiban yang dilakukan pemerintah daerah merupakan bentuk koreksi terhadap penyimpangan tersebut dan sekaligus mengembalikan fungsi kawasan sesuai ketentuan hukum agraria nasional.
Berdasarkan konteks penelitian, mekanisme ini melibatkan penertiban bangunan liar melalui Satpol PP, secara UU 51 Prp 1960 penguasaan tanah tanpa hak di bantaran sungai sepak gabus sanksi administratif dan sanksi pidana (Pasal 2 dan 3) seperti pembongkaran dan relokasi.Teori efektivitas penegakan hukum Soerjono Soekanto yang menekankan lima faktor utama: substansi hukum, aparat penegak, sarana dan fasilitas, masyarakat, serta budaya hukum. Analisis berikut mengintegrasikan keduanya untuk menjelaskan hambatan dan rekomendasi.
1. Mekanisme Penerapan Sanksi Administratif dan Pidana
a. Sanksi Administratif: Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi menerapkan sanksi administratif melalui penertiban oleh Satpol PP berdasarkan UU 51 Prp 1960, yang melarang penggunaan tanah negara tanpa izin. Mekanisme ini meliputi pembongkaran bangunan liar, relokasi warga terdampak, dan pemberian uang kerohiman (kompensasi). Proses dimulai dengan sosialisasi, pembentukan Tim Pengawasan Kawasan Liar (terdiri dari kepala desa, RT/RW, dan Karang Taruna), serta koordinasi dengan dinas terkait seperti Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang. Pada 2025, penertiban dilakukan parsial, dengan fokus pada normalisasi sungai untuk mengurangi risiko banjir, namun hanya mencakup sekitar 40% wilayah karena keterbatasan anggaran relokasi.
b. Sanksi Pidana: implementasi lebih dominan pada sanksi administratif, dengan pidana jarang diterapkan karena fokus pada aspek sosial-ekonomi. Aparat seperti Satpol PP mengacu pada Permendagri Nomor 16 Tahun 2023 dan Perda RTRW Kabupaten Bekasi, tetapi resistensi masyarakat sering membuat proses berjalan lambat, tanpa eskalasi ke pidana kecuali kasus ekstrem.
2. Kaitan dengan Teori Efektivitas Penegakan Hukum Soerjono Soekanto.
Teori Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa efektivitas penegakan hukum tergantung pada faktor aturan hukum (subtansi), faktor aparat penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, serta faktor budaya hukum [17]. Kelima faktor tersebut harus berjalan harmonis agar hukum dapat ditegakkan dengan baik.
a. Faktor Substansi Hukum
Dari aspek pengaturan, pemerintah sebenarnya telah menetapkan berbagai regulasi yqng mengatur penguasaan tanah negara. Khususnya dari UU 51 Prp 1960 tentang melarang penggunaan tanah tanpa izin yang berhak . Selain itu UUPA, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU 32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup) menyediakan landasan kuat untuk sanksi administratif dan pidana.
Faktanya penelitian menunjukkan bahwa subtansi hukum tersebut tidak berjalan efektif karena ketidakkonsistenan implementasi di lapangan. Masyarakat menilai bahwa regulasi hanya da di atas kertas, sedangkan praktik di lapangan menunjukkan terhadap bangunan liar selama bertahun-tahun. Hal ini membuat sanksi tidak memberikan efek preventif, sesuai teori Soekanto bahwa substansi hukum harus jelas dan diterapkan secara konsisten untuk mengarahkan perilaku masyarakat. Ketika aturan tidak ditegakkan secara konsisten, hukum kehilangan daya kendalinya, sehingga masyarakat merasa tidak ada risiko berarti mereka menempati tanah negara tanpa hak.
b. Faktor Aparat Penegak Hukum
Di Kabupaten Bekasi, Satuan Polisi Pamong Praja merupakan pihak yang bertugas melakukan penertiban terhadap bangunan liar. Berdasarkan wawancara, dengan Bapak Ganda Sasmita Kepala Bidang Ketentraman dan Penertiban Umum, mengakui bahwa mereka bekerja dengan mengikuti SOP sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 16 Tahun 2023 serta Perda dan Perkada. Namun, pelaksanaan penertiban menghadapi berbagai kendala. Resistensi sosial dari warga yang keberatan terhadap pembongkaran tempat tinggal atau tempat usahanya membuat proses penertiban tidak selalu berjalan mulus. Pertimbangan kemanusiaan juga sering muncul, teruma saat warga tidak memiliki tempat tinggal alternatif membuat proses lambat [18]. Pertimbangan kemanusiaan sering mengurangi ketegasan, sehingga sanksi administratif tidak optimal. Ketidakseimbangan ini membuat penegakan hukum berjalan parsial dan tidak mampu memberikan efek jera yang memadai.
c. Faktor Sarana dan Fasilitas
Faktor sarana dan fasilitas juga menjadi hambatan signifikan dalam penegakan UU 51 Prp 1960. Kecamatan Tambun Utara menyampaikan bahwa tidak tersedianya anggaran untuk relokasi menjadi kendala besar. Pemerintah tidak dapat begitu saja melakukan pembongkaran tanpa menyediakan solusi perumahan bagi warga yang berdampak. Ketiadaan fasilitas relokasi menyebabkan proses penertiban harus dilakukan secara bertahap, menunggu kesiapan anggaran dan dukungan program kabupaten.
Keterbatasan anggaran untuk relokasi dan normalisasi sungai menghambat penerapan sanksi dan lambatnya normalisasi Sungai Sepak Gabus. Normalisasi hanya mampu menjangkau sekitar 40 persen wilayah tambun utara berdasarkan wawancara dengan Ibu Nurhasanah Pengadministrasian Pertanahan Kecamatan Tambun Utara.Tanpa fasilitas pendukung, penertiban hanya parsial, memperlambat pemulihan fungsi ekologis sungai. Soekanto menyatakan sarana harus memadai agar hukum dapat ditegakkan tanpa hambatan teknis, yang menjadi kendala utama dalam kasus ini.
d. Faktor Masyarakat
Faktor masyarakat menjadi penyebab utama maraknya tanah tanpa hak di bantaran sungai. Berdasarkan hasil wawanacara dengan kepala desa Srijaya, Srimukti dan Satriajaya. Masyarakat di Desa Srijaya, Srimukti, dan Satriajaya menempati bantaran sungai karena kebutuhan ekonomi dan hunian, dengan rasa kepemilikan sosial meski tanpa hak [19]. Warga sudah menempati bantaran sungai selama puluhan tahun sehingga muncul miliki. Warga menganggap tanah itu sebagai ruang bebas yang dapat di manfaatkan selama tidak ada penertiban (pembiaran dari penegak hukum). Pola pikir ini lahir dari pengalaman empiris bahwa pemerintah tidak bertindak dalam waktu yang lama. Dampaknya, masyarakat memandang tanah negara sebagai ruanag kosong yang bisa ditempati, sehingga bangunan liar terus bertambah dari tahun ke tahun. Sehingga adanya resistensi terhadap sanksi membuat penertiban sulit, sesuai teori Soekanto bahwa masyarakat harus mendukung hukum agar efektif, bukan menjadi penghalang.
e. Faktor Budaya Hukum
Budaya hukum menunjukkan adanya pembentukan kebiasaan sosial yang keliru, yaitu menganggap bahwa okupasi tanah bantaran sungai adalah hal yang lumrah. Ketika okupasi berlangsung secara terbuka dan dibiarkan bertahun-tahun, masyarakat tidak lagi menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran.
Pembiaran struktural menciptakan "hukum sosial" di mana okupasi dianggap wajar, mengurangi wibawa hukum. Budaya permisif ini bertentangan dengan prinsip negara hukum, dan Soekanto menekankan budaya hukum harus mendukung kepatuhan agar penegakan efektif.
Berdasarkan teori Soerjono Soekanto, ketidakseimbangan antara faktor aturan, aparat, sarana, masyarakat, dan budaya hukum menyebabkan penegakan UU No 51 Prp Tahun 1961 tidak berjalan efektif di bantaran Sungai Sepak Gabus. Oleh karena itu, upaya penegakan hukum harus dilakukan secara komprehensif. Mulai dari pengawasan secara berkala dan membangun kesadaran hukum di masyarakat dengan acara menempatkan papan peringatan dilarang mambangun di bantaran sungai dan anggaran yang memadai agar kawasan bantaran sungai sepak gabus dapat kembali berfungsi segamaimana mestinya.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis teori, dapat disimpulkan bahwa penegakan UU No. 51 Prp Tahun 1961 atas penguasaan tanah tanpa hak di bantaran Sungai Sepak Gabus Kabupaten Bekasi masih menghadapi kendala yang kompleks dan multidimensional. Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial menurut Roscoe Pound belum berjalan optimal, karena regulasi yang ada UU 51 Prp Tahun 1960, UUPA, PP, Perma, Perda,Perkada serta peraturan turunannya, belum mampu mencegah penguasaan tanah secara ilegal, padahal kawasan bantaran sungai seharusnya dikuasai negara demi kepentingan publik, termasuk sebagai daerah resapan, pengendali banjir, dan ruang terbuka hijau. Temuan lapangan menunjukkan seluruh bangunan liar di Desa Srijaya, Srimukti, dan Satriajaya tidak memiliki dasar hak formal maupun informal, sehingga penguasaan tersebut bersifat ilegal dan tidak mendapat perlindungan hukum, sesuai dengan teori penguasaan tanah.
Mekanisme sanksi UU 51 Prp 1960 di Kabupaten Bekasi berjalan parsial melalui penertiban administratif oleh Satpol PP, dengan minim penerapan pidana, namun efektivitasnya rendah akibat ketidakseimbangan lima faktor Soerjono Soekanto. Untuk meningkatkan efektivitas, diperlukan strategi terpadu: konsistensi penertiban, peningkatan kapasitas aparat, penyediaan sarana relokasi, edukasi masyarakat, dan pembangunan budaya hukum yang patuh. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi sebagai alat rekayasa sosial untuk melindungi kepentingan publik dan mengurangi risiko banjir di bantaran Sungai Sepak Gabus.
Saran untuk Peningkatan Penegakan UU 51 Prp 1960 penguasaan tanah tanpa hak di banataran Sungai Sepak Gabus Bekasi yaitu Saran untuk Pemda Kabupaten Bekasi yaitu tingkatkan dana untuk lahan relokasi dan normalisasi sungai agar penertiban mencakup seluruh wilayah, perkuat koordinasi dengan bentuk Tim permanen lintas instansi (Satpol PP, Dinas Cipta Karya Tata Ruang, dan dinas Terkait lainnya), Integrasikan Edukasi seperti jalanlan penyuluhan rutin, papan peringatan, dan kampanye media untuk bangun kesadaran hukum, tingkatkan kapasitas untuk pelatihan UU 51 Prp 1960 dan teknik penanganan resistensi sosial, prioritaskan sanksi pidana dengan penerapan pasal 6. Saran kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lokal (pejabat desa) , libatkan partisipasi dalam tim pengawasan dan relokasi sukarela, edukasi resiko banjir dan manfaat tata ruang untuk ubah budaya permisif.
Z. Z. Rahma et al., “Peranan Organisme Tanah Dalam Pengelolaan Kesuburan dan Ekosistem Berkelanjutan,” Psikosospen: Journal of Psychosocial and Education, vol. 1, no. 2, p. 1047, 2025.
A. K. Adam et al., “Mekanisme Pemberian Hak Pengelolaan dan Penguasaan Tanah Sempadan Sungai Bone: Perspektif Hukum Agraria dan Perlindungan Ekosistem Sungai,” Al-Zayn Journal of Social Sciences and Law, vol. 3, no. 5, p. 7964, 2025.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bekasi, Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Distribusi Persentase Penduduk, Kepadatan Penduduk, Rasio Jenis Kelamin Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Bekasi. Bekasi: BPS, 2024.
M. Wangge, “Bantaran Kali Sepak Kembali Asri Usai Pembongkaran Bangunan Liar,” 2025.
Suteki and G. Taufani, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori dan Praktik. Depok: Rajawali Pers, 2020.
N. Sundari et al., “Peran Hukum Sebagai Alat Rekayasa Masyarakat Menurut Roscoe Pound,” Das Soll: Journal of Contemporary Legal and Social Studies, vol. 2, no. 1, p. 5, 2024.
R. Diva et al., “Filsafat Hukum dalam Perspektif Roscoe Pound,” Das Soll: Journal of Contemporary Legal and Social Studies, vol. 4, no. 1, p. 15, 2025.
Rasji, “Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial: Gagasan Roscoe Pound dan Relevansinya Bagi Reformasi Hukum di Indonesia,” Rewang Rencang Journal of Law Lex Generalis, vol. 5, no. 10, p. 6, 2025.
K. R. Yahya, “Aliran Hukum Sociological Jurisprudence Dalam Perspektif Filsafat Hukum,” Jurnal Insa: Pendidikan dan Sosial Humaniora, vol. 1, no. 1, p. 46, 2023.
Y. S. D. Sibarani, “Kajian Hukum Surat Keterangan Tanah yang Dikeluarkan Kepala Desa Sebagai Bukti Awal Hak Milik Atas Tanah,” Lex Privatum, vol. 11, no. 4, p. 2, 2023.
G. Putri, J. Fionita, and J. Matheus, “Lelang Eksekusi Kepailitan atas Tanah dan Bangunan yang Dimiliki Bersama oleh Pihak Ketiga dan Debitur Pailit,” Jurnal Supremasi, vol. 14, no. 2, pp. 1–15, Sep. 2024, doi: 10.35457/supremasi.v14i2.3810.
M. Fuady, Teori-Teori dalam Hukum Agraria, 2nd ed. Depok: Rajawali Pers, 2024.
A. Ariyansyah, “Wawancara dengan Peneliti,” Desa Srijaya, Nov. 2025.
Sahputra, Mahdiar, and Mashuri, “Wawancara dengan Peneliti,” Desa Srimukti dan Desa Satriajaya, Nov. 2025.
H. Tanawijaya, “Wawancara dengan Peneliti,” Nov. 2025.
E. Novilyansya et al., “A Study on the Implementation of Land Use Policies in River Boundaries in Indonesia,” Justicia Sains: Journal of Legal Studies, vol. 9, no. 2, p. 521, 2024.
M. R. Yusuf, “Efektivitas Hukum Terhadap Pemberlakuan Perma No. 5 Tahun 2019 Dalam Mengatasi Perkawinan di Bawah Umur,” Al-Manhaj: Journal of Islamic Law and Social Institutions, vol. 4, no. 2, p. 411, 2022.
G. Sasmita, “Wawancara dengan Peneliti,” Nov. 2025.
C. Hermansyah, “Wawancara dengan Peneliti,” Nov. 2025.