Login
Section Law

Legal Review of Land Acquisition from Indigenous Peoples in the Nusantara Capital City (IKN) Project

Tinjauan Hukum Terhadap Pengadaan Tanah Masyarakat Adat Dalam Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN)
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Elrika Elrika (1), Benny Djaja (2)

(1) Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
(2) Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: The development of the new capital city, Ibu Kota Nusantara (IKN), as a National Strategic Project requires large-scale land acquisition, including areas traditionally occupied by Indigenous communities. Specific Background: Although legal frameworks such as the Basic Agrarian Law, the IKN Law, and Presidential Regulation No. 65/2022 formally acknowledge Indigenous land rights, their implementation remains inconsistent. Knowledge Gap: There is still no clear mechanism for verifying customary (ulayat) rights, determining culturally appropriate compensation, or ensuring meaningful participation of Indigenous communities in land acquisition processes. Aims: This study aims to examine the effectiveness of the existing legal framework governing land acquisition for IKN and assess the extent of protection afforded to Indigenous peoples. Results: The findings show that despite normative recognition of Indigenous rights, practical implementation faces barriers, including unclear procedures, limited community involvement, and compensation that fails to reflect the social, cultural, and spiritual value of customary land. Novelty: This research highlights the urgent need for specific legal instruments regulating the recognition and protection of ulayat rights within national strategic projects—an aspect largely absent in current regulations. Implications: Strengthening regulations, establishing holistic compensation standards, and ensuring inclusive participation and dispute-resolution mechanisms are essential to achieving a fair and sustainable land acquisition process for Indigenous communities affected by the IKN project.


Highlights:




  • The legal framework recognizes Indigenous land rights, but implementation remains inconsistent.




  • Customary land holds cultural and spiritual value that is not reflected in current compensation models.




  • Strengthened regulations and inclusive participation are essential for fair land acquisition in IKN.




Keywords: Land Acquisition, Indigenous Peoples, Customary Rights, Ibu Kota Nusantara, Legal Protection

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Pemerintah Indonesia secara formal menetapkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN). Penetapan ini memperoleh landasan yuridis melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (selanjutnya disebut sebagai UU IKN), yang menjadi pijakan utama dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengelolaan wilayah ibu kota baru tersebut. Regulasi ini tidak hanya memberikan dasar hukum bagi pemindahan pusat pemerintahan, tetapi juga menegaskan arah

kebijakan negara dalam membangun pusat administrasi yang modern, terintegrasi, dan berorientasi jangka panjang. Lokasi IKN yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dipilih melalui pertimbangan multidimensional, mencakup aspek geostrategis, keamanan, kelayakan lingkungan, serta potensi pengembangan wilayah. Pemindahan ibu kota ini dipandang sebagai langkah strategis pemerintah untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antarwilayah yang selama bertahun-tahun terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dengan menempatkan pusat pemerintahan di Kalimantan Timur, negara berharap dapat mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi, menciptakan pusat-pusat kegiatan baru, serta memperkuat infrastruktur dasar dan penunjang di kawasan timur Indonesia.[1]. Pemindahan ibu kota ini memerlukan pengadaan tanah dalam skala besar yang mencakup wilayah hutan, lahan masyarakat, dan area yang secara turun-temurun ditempati oleh masyarakat hukum adat [2].

Tanah bagi masyarakat adat di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, seperti masyarakat adat Paser, Balik, dan Dayak bukan hanya semata-mata sebagai aset ekonomi, melainkan juga memiliki nilai historis, budaya dan makna sosial yang mendalam, yang disebut juga sebagai Hak Ulayat [3]. Dalam konteks hukum agraria, hak ulayat diakui dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, penting untuk memperhatikan hak-hak masyarakat adat secara hukum dan perlindungan yang memadai agar tidak terjadi pelanggaran atau diskriminasi terhadap mereka [4].

Permasalahan muncul ketika proyek pembangunan nasional berbenturan dengan klaim hak masyarakat adat atas tanahnya. UU IKN sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan pembangunan ibu kota, termasuk aspek pengadaan tanah, namun penerapan ketentuan ini dalam konteks masyarakat adat masih menimbulkan keraguan terkait sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat adat. Pada kenyataannya, masyarakat adat sering kali menghadapi persoalan kurangnya pengakuan hukum atas hak-hak tanah adatnya yang berpotensi memicu konflik, baik secara sosial maupun hukum [5].

Meski sudah adanya pengakuan hak-hak masyarakat adat melalui hukum nasional Indonesia [6], implementasi jaminan hukum ini dalam konteks pengadaan tanah untuk pembangunan IKN masih belum sepenuhnya jelas dan memerlukan kajian yang lebih mendalam. Hal ini sangat penting agar proses pembangunan IKN dapat berjalan berkelanjutan tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat adat yang berpotensi menimbulkan konflik agraria serta menjaga prinsip keadilan sosial.

Dengan memperhatikan keseluruhan uraian pada bagian latar belakang, fokus utama penelitian ini diarahkan pada dua isu pokok yang saling berkaitan. Pertama, penelitian ini bermaksud menelaah secara mendalam bagaimana kerangka hukum yang mengatur proses pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dibentuk dan dijalankan. Kajian ini mencakup pemahaman terhadap norma-norma yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, mulai dari ketentuan dalam Undang-Undang IKN, aturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hingga regulasi teknis yang mengatur mekanisme perolehan, penetapan lokasi, dan pelaksanaan pembebasan tanah. Penelitian ini berupaya menempatkan keseluruhan instrumen hukum tersebut dalam satu kesatuan analisis guna memperoleh gambaran utuh mengenai bagaimana negara merancang sistem pengadaan tanah khusus untuk pembangunan ibu kota baru.

Dengan mempertimbangkan berbagai persoalan yang muncul dalam praktik pengadaan tanah untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, khususnya yang berkaitan dengan posisi serta hak-hak masyarakat adat, penelitian hukum ini berupaya memberikan kajian yang lebih mendalam mengenai bagaimana kerangka hukum yang berlaku mengatur proses tersebut. Fokus utama penelitian diarahkan pada dua hal pokok, yakni pengaturan normatif mengenai pengadaan tanah dalam konteks pembangunan IKN serta sejauh mana peraturan tersebut mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat adat yang wilayahnya terdampak pembangunan.

Melalui pembahasan yang lebih komprehensif, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan apakah instrumen hukum yang ada saat ini telah cukup menjamin agar hak-hak masyarakat adat tidak terpinggirkan, atau justru masih terdapat kekosongan ataupun kelemahan yang harus diperbaiki. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya menguraikan norma yang berlaku, tetapi juga menilai efektivitas penerapannya dalam praktik, khususnya terkait mekanisme perlindungan dan pemulihan hak bagi masyarakat adat dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan ibu kota negara yang baru tersebut.

Metode

Penelitian yang menjadi dasar penulisan jurnal ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan tersebut dipilih karena fokus kajiannya bertumpu pada penelusuran dan pengkajian berbagai sumber hukum yang bersifat otoritatif. Dengan menggunakan metode ini, analisis diarahkan untuk menelaah ketentuan hukum positif yang berlaku, pandangan doktrin para ahli, serta literatur hukum yang memberikan pemahaman konseptual maupun argumentatif terkait persoalan yang diangkat. Sumber hukum utama yang menjadi rujukan mencakup Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai kerangka dasar pengaturan pertanahan nasional, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 yang menetapkan landasan hukum pembangunan dan penyelenggaraan Ibu Kota Nusantara (IKN). Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2022 yang memberikan ketentuan lebih rinci mengenai tata cara perolehan tanah dan pengelolaan pertanahan di kawasan IKN. Keseluruhan instrumen hukum tersebut digunakan sebagai basis untuk memahami bagaimana kebijakan pertanahan dibentuk dan diimplementasikan dalam konteks pembangunan ibu kota baru.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengaturan Hukum mengenai Pengadaan Tanah untuk Pendirian Ibu Kota Nusantara

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”). Salah satu contohnya seperti pembangunan IKN. Untuk memenuhi kebutuhan pemerintah akan tanah dalam skala besar, pemerintah mewujudkannya melalui pengadaan tanah milik masyarakat adat setempat, yang berdampak pada pencabutan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah tersebut [7]. Proses pengadaan tanah untuk pembangunan IKN menghadapi berbagai tantangan, seperti halnya status hukum tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat, mekanisme pengadaan tanahnya dan bagaimana menjamin hak-hak masyarakat adat terpenuhi dalam konteks tanahnya diambilalih. Banyak tanah adat belum memiliki sertipikat tanah resmi, sehingga rentan terjadi sengketa kepemilikan atau timbul klaim pihak lain dan sulit untuk dipertahankan haknya. Selain itu, kurangnya pemahaman dan pengakuan terhadap hukum adat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah sering kali menyebabkan konflik dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, misalnya tidak terpenuhinya kewajiban negara untuk memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada masyarakat adat atas pengambilalihan tanahnya dan kurangnya transparansi pemerintah dalam proses negosiasi tanah [8].

Dalam praktik pengaturan pertanahan untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, terdapat dua jalur utama yang digunakan oleh pemerintah dalam memperoleh tanah yang diperlukan. Secara teknis, proses perolehan tanah tersebut dilakukan melalui dua mekanisme berbeda. Pertama, tanah dapat diperoleh melalui skema pelepasan kawasan hutan. Mekanisme ini mencakup proses perubahan status kawasan hutan menjadi area yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan IKN. Di dalam proses ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa kawasan yang dilepas mencakup wilayah yang selama ini telah ditempati, dikelola, atau menjadi bagian dari ruang hidup masyarakat adat.

Karena itu, pelepasan kawasan hutan bukan sekadar tindakan administratif, melainkan langkah yang berpotensi menimbulkan implikasi sosial dan hukum yang signifikan, terutama terkait hak-hak masyarakat adat. Kedua, tanah bagi pembangunan IKN juga dapat diperoleh melalui mekanisme pengadaan tanah sebagaimana lazimnya dilakukan untuk proyek-proyek pembangunan lainnya.

Mekanisme ini menggunakan prosedur pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang mencakup tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, hingga penyerahan hasil. Dalam skema ini, pemerintah melakukan identifikasi bidang tanah, pemetaan subjek hak, konsultasi publik, penetapan bentuk dan besaran ganti rugi, serta penyelesaian keberatan apabila terjadi sengketa. Dengan kata lain, mekanisme pengadaan tanah biasa tetap menjadi instrumen penting dalam proses perluasan dan pembangunan kawasan IKN, terutama pada area yang berada di luar kawasan hutan atau yang memiliki status kepemilikan tertentu. Keseluruhan mekanisme tersebut memperoleh dasar hukum yang jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara (“Perpres 65/2022”).

Lebih jauh lagi, pengaturan mengenai pelepasan kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Perpres 65/2022 menegaskan bahwa proses pelepasan tidak dapat dilakukan secara serampangan, melainkan wajib dilaksanakan dengan memperhatikan keberadaan penguasaan tanah oleh masyarakat. Ketentuan tersebut menuntut pemerintah untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap berbagai bentuk hak atas tanah, baik yang bersifat individual maupun komunal, termasuk hak-hak masyarakat adat yang telah lama menempati atau mengelola wilayah tersebut. Dengan demikian, pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan IKN tidak hanya merupakan tindakan administratif semata, tetapi merupakan proses yang harus dijalankan dengan penuh kehati-hatian, karena berpotensi bersinggungan langsung dengan ruang hidup dan hak-hak tradisional suatu komunitas.

Selaras dengan ketentuan tersebut, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN) melalui Pasal 16 ayat (1) menegaskan bahwa setiap proses pengadaan tanah di wilayah IKN harus dilakukan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Frasa ini menunjukkan bahwa pengadaan tanah tidak boleh keluar dari mekanisme hukum umum yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Dalam penjelasan pasalnya, UU IKN secara eksplisit menambahkan bahwa seluruh proses pengadaan tanah wajib memperhatikan Hak atas Tanah (HAT) masyarakat, termasuk HAT masyarakat adat.

Penegasan ini mengandung makna bahwa negara tetap berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak konstitusional masyarakat adat dalam setiap tahapan pengadaan tanah, sekalipun kegiatan tersebut dilakukan demi pembangunan ibu kota negara yang baru. Dari uraian diatas tersebut mencerminkan bahwa secara regulasi terdapat pengakuan bahwa masyarakat adat perlu diperlakukan berbeda dari pengadaan tanah biasa, namun ketentuan tersebut belum memberikan definisi yang jelas tentang mekanisme perlindungan khusus bagi masyarakat adat. Tidak ada pasal yang menjelaskan bagaimana verifikasi hak ulayat dilakukan sebelum pengadaan tanah dilaksanakan.

Proses pengadaan tanah yang melibatkan tanah milik masyarakat pada prinsipnya harus dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Negara tidak dapat serta-merta mengambil alih tanah tanpa memastikan bahwa seluruh prosedur hukum telah dipenuhi secara tepat dan bahwa masyarakat selaku pemegang hak memperoleh perlindungan yang memadai [9]. Oleh karena itu, setiap tindakan pencabutan hak atau pembebasan tanah wajib diikuti dengan pemberian ganti kerugian yang proporsional, adil, dan sebanding dengan nilai ekonomi maupun nilai sosial tanah yang dilepaskan.

Kewajiban memberikan kompensasi tersebut merupakan wujud perlindungan hukum agar masyarakat tidak menanggung kerugian akibat proyek pembangunan yang dijalankan oleh negara. Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan pemerintah kepada pemilik tanah dapat bervariasi dan disesuaikan dengan kebutuhan maupun kesepakatan para pihak. Mekanisme kompensasi tidak hanya terbatas pada pemberian uang tunai, tetapi dapat pula berupa penyediaan tanah pengganti, relokasi atau permukiman kembali, pemberian saham dalam kegiatan usaha tertentu, atau bentuk lain yang disepakati bersama melalui proses musyawarah.

Variasi bentuk ganti kerugian ini menunjukkan bahwa negara berupaya mengakomodasi kepentingan masyarakat, terutama ketika tanah tersebut memiliki fungsi sosial, budaya, atau ekonomi yang penting bagi kehidupan mereka. [10]. Penentuan besaran nilai ganti kerugian tidak dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tetapi ditetapkan melalui penilaian profesional oleh Penilai Publik atau Penilai Pemerintah. Penilaian tersebut mencakup berbagai aspek yang melekat pada tanah, termasuk nilai bidang tanah itu sendiri, bangunan yang berdiri di atasnya, tanaman maupun hasil produksi yang ada, serta benda-benda lain yang memiliki keterkaitan langsung dengan tanah.

Selain itu, penilaian juga memperhitungkan potensi kerugian lain yang dapat dihitung secara ekonomi, termasuk ruang atas dan bawah tanah yang ikut terpengaruh oleh proyek pembangunan. Pendekatan komprehensif ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kompensasi yang diterima oleh masyarakat benar-benar mencerminkan nilai keseluruhan atas kerugian yang mereka alami, sehingga prinsip keadilan substantif dapat terpenuhi dalam proses pengadaan tanah. [11].

Walaupun ketentuan mengenai pemberian ganti kerugian telah diatur secara cukup rinci dalam peraturan perundang-undangan, kenyataannya di lapangan sering ditemukan bahwa kompensasi yang diberikan belum sepenuhnya mencerminkan nilai sosial, spiritual, maupun budaya yang melekat pada tanah ulayat milik masyarakat adat. Tanah bagi komunitas adat bukan sekadar aset ekonomi yang dapat dinilai dengan harga pasar, tetapi juga mengandung makna identitas, sejarah leluhur, ruang hidup, serta tempat berlangsungnya praktik adat yang diwariskan secara turun-temurun. Ketika nilai-nilai tersebut tidak ikut diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian, maka masyarakat adat berpotensi mengalami kerugian non-material yang tidak tergantikan. Karena itu, pendekatan dalam proses pengadaan tanah tidak cukup hanya mengandalkan mekanisme formal-administratif sebagaimana lazimnya diterapkan dalam proyek pembangunan umum. Diperlukan pendekatan yang lebih partisipatif, dialogis, dan sensitif terhadap nilai-nilai kultural yang dipegang oleh masyarakat adat. Pendekatan ini menuntut keterlibatan aktif komunitas adat sejak tahap perencanaan, penentuan bentuk kompensasi, hingga pemutusan akhir mengenai bentuk penyelesaian yang dianggap paling adil. Dengan demikian, masyarakat adat tidak diposisikan sebagai pihak pasif yang hanya menerima keputusan pemerintah, tetapi sebagai mitra yang suaranya harus dihargai dan dipertimbangkan secara penuh.

B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Masyarakat Adat dalam Proses Pengadaan Tanah untuk Pendirian Ibu Kota Nusantara (IKN)

  • A. Pengaturan Hukum mengenai Pengadaan Tanah untuk Pendirian Ibu Kota Nusantara
  • B. Perlindungan Hukum terhadap Hak Masyarakat Adat dalam Proses Pengadaan Tanah untuk Pendirian Ibu Kota Nusantara (IKN)

Secara normatif, landasan pengakuan negara terhadap keberadaan serta hak-hak masyarakat adat telah ditegaskan secara jelas dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”). Ketentuan konstitusional tersebut menyatakan bahwa negara tidak hanya mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat, tetapi juga berkewajiban menghormati dan melindungi hak-hak tradisional yang mereka miliki, sepanjang komunitas tersebut masih hidup dan menjaga relevansinya dengan dinamika perkembangan sosial serta tetap sejalan dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adanya ketentuan ini, pengakuan terhadap masyarakat adat tidak dapat dipandang sebagai kebijakan opsional, melainkan sebagai perintah konstitusi yang bersifat mengikat bagi seluruh cabang kekuasaan negara, termasuk dalam proses pengelolaan sumber daya alam dan pertanahan. Pengaturan pada tingkat konstitusi tersebut kemudian dipertegas kembali dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi fondasi utama hukum agraria nasional.

Melalui Pasal 3, UUPA menegaskan bahwa negara mengakui keberadaan hak ulayat dan berbagai hak tradisional lain yang dimiliki oleh masyarakat adat atas tanah yang secara turun-temurun mereka kuasai. Namun, pengakuan tersebut ditempatkan dalam kerangka yang memperhatikan kepentingan nasional dan negara secara keseluruhan, sehingga hak ulayat tetap diakui sejauh tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional dan tidak menghambat kebijakan agraria yang lebih luas. Ketentuan ini menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan dan kewajiban negara dalam menghormati hak-hak historis komunitas adat.

Pengaturan mengenai fungsi sosial tanah semakin dipertegas melalui ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang menegaskan bahwa setiap hak atas tanah pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari kewajiban untuk memenuhi fungsi sosial. Makna dari fungsi sosial ini adalah bahwa tanah tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai objek kepemilikan individual, melainkan penggunaannya harus senantiasa memperhatikan kondisi nyata di lapangan, karakteristik hak yang melekat, serta tujuan pemanfaatannya bagi orang banyak.

Dengan kata lain, penguasaan tanah oleh seseorang tetap harus memperhitungkan sejauh mana tanah tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat. Dalam kerangka tersebut, hubungan antara kepentingan pemilik tanah dan kepentingan publik harus dibangun secara seimbang. Tidak boleh terjadi dominasi salah satu pihak, sebab keseimbangan inilah yang menjadi prasyarat agar cita-cita pembangunan yang berorientasi pada kemakmuran bersama dapat terwujud. Apabila prinsip ini diterapkan dengan konsisten, maka penggunaan tanah akan mampu menciptakan keadilan distributif sekaligus mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata. Dengan demikian, fungsi sosial tanah bukan hanya konsep normatif, tetapi menjadi pedoman fundamental dalam mengatur bagaimana tanah dikelola dan dimanfaatkan demi kepentingan bersama.

Selain penerapan fungsi sosial tanah melalui pengakuan terhadap hak masyarakat adat, hak ekonomi yang timbul juga perlu diperhatikan lebih lanjut. Hak ekonomi tanah adalah hak pemilik tanah untuk memanfaatkan dan memperoleh manfaat ekonomi dari tanah yang dikuasainya, baik secara langsung (misalnya dengan mengolah atau menggunakan tanah untuk tujuan tertentu) maupun tidak langsung (misalnya melalui sewa atau jual-beli tanah). Dengan dilakukannya pengambilalihan hak atas tanah adat oleh negara seharusnya timbul kompensasi atau biaya ganti rugi yang berhak didapatkan oleh pemegang hak atas tanah tersebut. Seperti halnya pengakuan terhadap jaminan hak bagi pemilik tanah apabila haknya terhadap suatu tanah dicabut untuk tujuan kepentingan umum, termasuk kepentingan negara, maka hal ini diperbolehkan dengan cara pemberian ganti kerugian yang layak sesuai cara yang diatur Undang-Undang [12].

Uraian mengenai pengakuan hak ekonomi masyarakat adat di atas juga sejalan dengan pengertian pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Perpres 65/2022 yang mendefinisikan pengadaan tanah sebagai kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak [13]. Prosesnya terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil [14].

Meskipun banyak terdapatnya pengakuan terhadap hak masyarakat adat, namun masih banyak persoalan implementasi yang menghambat perlindungan hak masyarakat adat, seperti status tanah yang belum teregistrasi, kurangnya partisipasi masyarakat adat, nilai ganti kerugian yang dianggap tidak layak, dan tidak ada mekanisme khusus pengakuan hak ulayat dalam pelaksanaan. Adanya kekhawatiran bahwa masyarakat adat berada dalam posisi lemah ketika melakukan negosiasi dalam proses pengadaan [15]. Rentan adanya konflik antara hak masyarakat adat dan pemberian hak ekonomi, partisipasi masyarakat adat seperti konsultasi, voting suara dalam pengambilan keputusan masih dianggap terbatas.

Dalam upaya memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak masyarakat adat, proses pengadaan tanah untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara idealnya tidak hanya mengikuti prosedur administratif sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus dilaksanakan berdasarkan sejumlah prinsip fundamental yang mengedepankan keadilan bagi komunitas adat. Prinsip pertama ialah pentingnya pengakuan negara terhadap hak-hak masyarakat adat. Pemerintah wajib menempatkan masyarakat adat sebagai pemilik sah atas tanah yang secara turun-temurun mereka kuasai dan kelola.

Pengakuan ini bukan sekadar bersifat formal, melainkan harus tercermin dalam setiap kebijakan dan tindakan pemerintah agar hak-hak tradisional mereka tidak terabaikan. Selanjutnya, keterlibatan aktif masyarakat adat dalam keseluruhan rangkaian proses pengadaan tanah menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan. Masyarakat adat perlu dilibatkan sejak tahap awal, yaitu perencanaan, penilaian kebutuhan tanah, hingga pada proses eksekusi pengadaan itu sendiri. Pelibatan ini penting agar suara dan kepentingan mereka benar-benar terakomodasi dan tidak hanya menjadi formalitas belaka. Keterlibatan tersebut juga memungkinkan terbangunnya kepercayaan antara pemerintah dan komunitas adat, sekaligus mencegah munculnya konflik akibat kurangnya komunikasi.

Selain itu, apabila pengalihan tanah adat tidak dapat dihindarkan demi kepentingan umum, pemerintah harus memastikan bahwa kompensasi yang diberikan bersifat adil, layak, dan transparan. Kompensasi tersebut tidak seharusnya dipahami hanya dalam konteks material atau ekonomis semata, mengingat tanah adat memiliki nilai yang jauh lebih luas, meliputi makna sosial, budaya, spiritual, bahkan identitas kolektif masyarakat adat. Oleh karena itu, pemberian ganti kerugian harus mempertimbangkan nilai-nilai tersebut dan, bila diperlukan, diberikan dalam bentuk-bentuk non-material yang sejalan dengan kebutuhan serta aspirasi masyarakat adat.

Terakhir, apabila dalam proses pengadaan tanah timbul sengketa, mekanisme penyelesaiannya harus dilakukan melalui pendekatan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan keterbukaan. Negara wajib memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mengajukan keberatan, didengar pendapatnya, serta memastikan bahwa penyelesaian dilakukan secara proporsional dengan menghormati nilai-nilai hukum adat setempat. Penyelesaian sengketa yang sensitif terhadap konteks budaya adat akan mencegah terjadinya ketidakpuasan dan memastikan bahwa proses pengadaan tanah berlangsung tanpa mengorbankan hak-hak komunitas yang telah lama hidup dan bergantung pada tanah tersebut.

Dari hasil studi di atas, terlebih dalam pengaturan UUPA menunjukkan bahwa penguasaan tanah oleh negara untuk kepentingan umum itu diperbolehkan, akan tetapi penjaminan fungsi sosial dan ekonomi tanah harus terpenuhi. Artinya, negara mengambil alih tanah masyarakat adat untuk kepentingan pembangunan ibu kota harus tetap memperhatikan kesejahteraan bagi masyarakat terdampak, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan negara. Hak pemilik tanah tidak boleh ditelantarkan demi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sebaliknya hak-hak mereka harus tetap dipenuhi dan diberikan perlindungan hukum yang proporsional [16]. Dalam implementasi pengadaan tanah IKN, meski sesuai prosedur, namun pada praktiknya masih belum benar-benar memenuhi fungsi sosial tanah dan ekonomi sebagaimana diatur UUPA. Terlebih bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas dan budaya masyarakat itu sendiri [17]. Bukan hanya persoalan mengenai apakah masyarakat adat mendapatkan ganti-kerugian secara patut dan proporsional dengan nilai historis tanah tersebut [18], namun fungsi sosial masyarakat adat juga seringkali diabaikan, seperti halnya belum mendapatkan ruang partisipasi yang memadai.

Dalam proses pengadaan tanah untuk melindungi kepentingan masyarakat adat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat sipil lainnya juga dapat turut dilibatkan khususnya untuk mendampingi masyarakat adat dalam proses audiensi dengan pemerintah. Mereka dapat memberikan edukasi hukum, membantu masyarakat terdampak dalam proses mediasi, serta mengawasi agar hak-hak masyarakat adat tidak dilanggar [19]. Selain itu, mereka juga dapat menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat adat dengan pemerintah.

Simpulan

Pengaturan pengadaan tanah bagi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) telah diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2022 dan Perpres Nomor 65 Tahun 2022 yang pada prinsipnya mengakui eksistensi masyarakat adat, namun secara peraturan masih banyak terdapat kelemahan dan potensi masalah yang seharusnya diperbaiki. Seperti halnya terdapat pengaturan mengenai tata cara pengadaan tanah secara umum, namun secara praktiknya, terdapat kesenjangan antara pengakuan hak tanah masyarakat adat secara normatif dengan implementasi di lapangan. Hukum pengadaan tanah juga belum sepenuhnya mengakomodasi prosedur yang jelas mengenai pengakuan hak ulayat tanah dan bagaimana masyarakat adat dibedakan dari masyarakat umum. Tidak ada pasal ataupun pengaturan yang menjelaskan proses ganti kerugian kolektif untuk tanah adat, dan mekanisme partisipasi masyarakat adat masih lemah sehingga hak-haknya berisiko dikesampingkan dalam proses pengadaan tanah IKN. Untuk menjamin agar pengadaan tanah masyarakat adat dalam proyek IKN benar-benar adil dan berkelanjutan, diperlukan penguatan regulasi dan prosedur yang jelas dan berorientasi pada keadilan dan perlindungan hak-hak khusus masyarakat adat.

Dalam rangka memperkuat perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat yang terdampak oleh proses pengadaan tanah untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah perlu segera menyusun perangkat regulasi turunan yang secara spesifik mengatur mengenai pengakuan, pelindungan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam konteks pembangunan IKN. Kehadiran aturan khusus tersebut sangat penting karena peraturan yang ada selama ini masih bersifat umum dan belum merinci mekanisme perlindungan yang sesuai dengan karakteristik tanah ulayat maupun struktur sosial masyarakat adat. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum yang komprehensif serta menjadi pedoman teknis bagi seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam proyek pembangunan ibu kota baru.

Langkah berikutnya berkaitan dengan penetapan standar ganti kerugian yang lebih jelas dan transparan. Selama ini, mekanisme kompensasi sering kali hanya berfokus pada nilai ekonomi tanah atau bangunan, padahal bagi masyarakat adat, tanah memiliki dimensi sosial, budaya, spiritual, dan historis yang tak dapat diukur dengan angka semata. Oleh karena itu, standar pemberian ganti kerugian harus memasukkan pertimbangan atas nilai-nilai non-material tersebut, termasuk kebutuhan untuk memastikan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adat setelah tanah mereka dialihkan. Pendekatan yang lebih holistik dalam pemberian kompensasi akan membantu meminimalkan potensi konflik dan memastikan bahwa masyarakat adat tidak kehilangan identitas maupun keberlangsungan hidupnya. Selain itu, peningkatan partisipasi aktif masyarakat adat dalam setiap tahapan proses pengadaan tanah merupakan hal yang sangat mendesak untuk dilakukan.

Pemerintah perlu melakukan dialog secara langsung dengan komunitas adat sejak tahap perencanaan, jauh sebelum kegiatan pembangunan dimulai. Keterlibatan masyarakat adat secara bermakna dapat mencegah kesalahpahaman, memperkuat rasa memiliki terhadap proyek pembangunan, serta memastikan bahwa kebijakan yang ditempuh benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mereka. Pendekatan partisipatif ini sekaligus menjadi wujud pengakuan bahwa masyarakat adat adalah subjek utama yang berhak menentukan masa depan wilayah adatnya. Terakhir, mekanisme pengawasan dan penyelesaian sengketa harus dirancang secara terbuka, akuntabel, dan efektif. Dalam hal terjadi perselisihan, masyarakat adat harus diberikan akses yang setara untuk menyampaikan keberatan dan memperjuangkan hak-haknya melalui mekanisme yang jelas dan mudah dijangkau. Pengawasan yang melibatkan masyarakat adat secara langsung juga dapat memastikan bahwa implementasi di lapangan berjalan sesuai prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai adat setempat. Dengan adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif, proses pembangunan IKN dapat berjalan dengan lebih adil dan berkelanjutan.

References

F. Fauzi and S. Sujadi, “Wewenang Otorita Ibu Kota Nusantara Selaku Pemegang Hak Pengelolaan Kawasan Ibu Kota Nusantara,” Tunas Agraria, vol. 6, no. 3, p. 173, 2023.

S. Aura and M. Z. Abidin, “Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Adat dalam Proyek Strategis Nasional (PSN): Studi Kasus Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN),” Sanskara Hukum dan HAM, vol. 4, no. 1, p. 1, 2025.

M. A. Nurdiansah, “Quo Vadis Kepemilikan Tanah Adat di Wilayah Pembangunan IKN,” Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Ilmu Sosial, vol. 4, no. 3, 2023.

N. G. S. Zaini et al., “Polemik Pengelolaan Tanah dan Kepastian Regulasi di IKN: Sengketa Lahan, Potensi Korupsi, dan Menilik Kembali Investasi,” Media Hukum Indonesia, vol. 3, no. 3, pp. 320–321, 2025.

H. A. Fachri, Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Kajian Hukum dan Konflik Agraria. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2020.

A. Rahman, “Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 49, no. 3, pp. 322–336, 2019.

S. Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, 2nd ed. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2013.

W. P. Dzakiah et al., “Upaya Perlindungan Hukum terhadap Dampak Pembangunan Ibu Kota Nusantara terhadap Kepemilikan Tanah Masyarakat Lokal,” Mahkamah: Jurnal Riset Ilmu Hukum, vol. 2, no. 3, p. 104, 2025.

K. Angela and A. Setyawati, “Analisis Pelaksanaan Pengadaan Tanah di Atas Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Rangka Proyek Strategis Nasional (PSN) Demi Kepentingan Umum,” Jurnal Hukum Lex Generalis, vol. 3, no. 3, p. 211, 2022.

Indonesia, “Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pasal 76 Ayat (1),” 2023.

Indonesia, “Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Pasal 68 Ayat (1),” 2023.

Indonesia, “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 18,” 1960.

Indonesia, “Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara Pasal 1 Ayat (10),” 2022.

Indonesia, “Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara Pasal 5,” 2022.

I. Lubis et al., “Integrasi Hukum Adat dalam Sistem Hukum Agraria Nasional: Tantangan dan Solusi dalam Pengakuan Hak Ulayat,” Tunas Agraria, vol. 8, no. 2, p. 146, 2025.

D. F. Harefa et al., “Fungsi Sosial Hak Milik atas Tanah dalam Menunjang Pembangunan di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,” Lex Administratum, vol. 8, no. 3, p. 95, 2020.

V. A. Firnaherera and A. Lazuardi, “Pembangunan Ibu Kota Nusantara: Antisipasi Persoalan Pertanahan Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Studi Kebijakan Publik, vol. 1, no. 1, 2022.

S. Winarsih, “Keadilan dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 50, no. 4, 2020.

P. D. Pemerintahan, “Peran LSM dalam Evaluasi Publik terhadap Pengadaan Pemerintah – PSKN,” 2025.