Login
Section Law

An Analysis of Unilateral Termination of Employment by Employers under Indonesia’s Manpower Law

Analisis Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak oleh Pengusaha Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Syahrana Kezia Anjunien Gunawan (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Unilateral termination of employment (PHK sepihak) remains a persistent issue in Indonesia’s industrial relations, affecting workers’ economic and social stability. Specific Background: Despite the comprehensive regulation under Law No. 13/2003 on Manpower, gaps persist between legal norms and actual practices, particularly regarding procedural compliance and workers’ access to remedies. Knowledge Gap: Limited studies thoroughly examine how statutory provisions, post-MK decisions, and dispute-resolution mechanisms interact to shape the legality and consequences of unilateral termination. Aim: This study analyzes the legal framework governing unilateral termination, its legal consequences, and the protective mechanisms available to workers. Results: Findings show that unilateral termination is only lawful under conditions strictly regulated in the Manpower Law, including proven gross misconduct, corporate restructuring, or operational necessities, and must be accompanied by mandatory procedures such as negotiation and adjudication. Employers are obligated to provide severance, service appreciation pay, and compensation for rights, with variations depending on the grounds for termination. Novelty: This research integrates statutory analysis, judicial developments, and procedural safeguards to reveal persistent inconsistencies between legal standards and practical enforcement. Implications: Strengthening supervision, legal literacy, and procedural compliance is crucial to preventing arbitrary terminations and ensuring substantive worker protection.


Highlights:




  • The law strictly limits when employers may carry out unilateral termination.




  • Workers are entitled to severance and other compensations based on legal provisions.




  • Dispute-resolution mechanisms provide formal protection against arbitrary termination.




Keywords: Unilateral Termination, Manpower Law, Worker Protection, Severance Rights, Industrial Relations

Author Biographies

Syahrana Kezia Anjunien Gunawan, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Gunardi Lie, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Ketenagakerjaan memegang peranan penting dalam mendukung proses pembangunan nasional di Indonesia karena tenaga kerja berfungsi sebagai penggerak utama berbagai aktivitas usaha. Dalam pelaksanaannya, tenaga kerja memiliki kedudukan yang strategis, tidak hanya sebagai pelaksana pembangunan, tetapi juga sebagai tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, tenaga kerja dapat dikatakan sebagai aset fundamental dalam pembangunan ekonomi nasional Indonesia. Sebagai motor penggerak aktivitas produksi dan jasa, keberadaan tenaga kerja tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan operasional perusahaan dan pertumbuhan ekonomi secara makro [1]. Dalam konteks pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki peranan ganda, yakni sebagai pelaku sekaligus tujuan dari pembangunan itu sendiri [2]. Oleh karena itu, perlindungan terhadap hak-hak tenaga kerja menjadi keniscayaan yang harus dijamin oleh negara melalui instrumen hukum yang komprehensif.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dalam Pasal 27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Konstitusi ini memberikan landasan filosofis bahwa pekerjaan bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Implementasi dari amanat konstitusional tersebut diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang mengatur secara komprehensif mengenai hubungan kerja, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK merupakan salah satu aspek yang paling sensitif dalam hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan, PHK didefinisikan sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Definisi ini mencerminkan bahwa PHK bukan semata-mata pengakhiran kontrak kerja, melainkan berimplikasi luas terhadap eksistensi ekonomi dan sosial pekerja beserta keluarganya [3].

Dalam praktiknya, PHK secara sepihak yang dilakukan oleh pengusaha seringkali menimbulkan permasalahan kompleks. Ketimpangan posisi tawar antara pengusaha dan pekerja menciptakan kondisi yang rentan terhadap eksploitasi dan pelanggaran hak-hak pekerja [4]. Meskipun secara hukum pekerja memiliki kebebasan untuk memilih maupun menolak pekerjaan, kenyataannya tekanan ekonomi sering membuat mereka harus menerima kondisi kerja yang tidak selalu menguntungkan. Kondisi ini diperparah dengan tingginya angka pengangguran dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia di Indonesia.

Permasalahan PHK sepihak menjadi semakin rumit karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi perusahaan, restrukturisasi organisasi, maupun dugaan pelanggaran dari pihak pekerja. PHK dipandang sebagai isu yang serius karena berakhirnya hubungan kerja dapat mengakibatkan pekerja kehilangan sumber penghasilan utama, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya kesejahteraan keluarga. Meskipun UU Ketenagakerjaan telah mengatur secara detail mengenai tata cara dan persyaratan PHK, namun dalam praktiknya masih banyak ditemukan kasus PHK sepihak yang dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang benar atau tanpa memberikan kompensasi yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan [2]. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum (das sollen) dengan kenyataan di lapangan (das sein), yang memerlukan kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar permasalahan dan solusi yang tepat.

Merujuk pada uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan hukum mengenai PHK secara sepihak oleh pengusaha menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apa akibat hukum dari tindakan PHK sepihak yang dilakukan oleh pengusaha terhadap pekerja, serta bagaimana mekanisme perlindungan hukum bagi pekerja yang mengalami PHK secara sepihak oleh pengusaha.

Metode

Dalam penyusunan jurnal ini, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif, yakni pendekatan yang menempatkan hukum sebagai suatu bangunan norma yang dituangkan secara tertulis dalam berbagai instrumen hukum. Metode ini berorientasi pada penelaahan bahan hukum melalui studi kepustakaan, sehingga analisis dilakukan dengan cara mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta pandangan para ahli hukum yang relevan dengan isu yang diangkat [5]. Pendekatan ini memungkinkan peneliti memahami hukum tidak hanya sebagai teks, tetapi sebagai sistem normatif yang berlaku dan diterapkan dalam praktik.

Dalam penerapannya, metode yuridis normatif ini menggunakan tiga bentuk pendekatan. Pertama, statute approach, yaitu pendekatan yang mengkaji dan menginterpretasikan berbagai ketentuan hukum positif yang berhubungan langsung dengan pokok permasalahan. Kedua, conceptual approach, yang memanfaatkan teori-teori hukum dan konsep-konsep yang dikembangkan para sarjana untuk memberikan kerangka analisis yang lebih tajam dan sistematis. Ketiga, case approach, yakni pendekatan yang merujuk pada putusan-putusan pengadilan guna melihat bagaimana norma hukum diberlakukan serta diimplementasikan dalam konteks konkret.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas tiga kategori. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan instrumen hukum lain yang menjadi dasar utama analisis. Bahan hukum sekunder mencakup buku-buku, artikel jurnal, serta hasil penelitian terdahulu yang membantu memperkaya pemahaman dan memberikan perspektif akademik tambahan. Sementara itu, bahan hukum tersier, seperti kamus hukum dan ensiklopedia, dimanfaatkan untuk memperjelas konsep, istilah, atau makna tertentu yang membutuhkan interpretasi lebih mendalam.

Seluruh bahan hukum tersebut dianalisis menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan membaca, menafsirkan, dan menghubungkan setiap norma dan teori secara komprehensif. Proses analisis dilakukan secara deskriptif dan analitis agar dapat menghasilkan argumen yang logis, sistematis, serta mampu memberikan gambaran yang utuh mengenai isu hukum yang diteliti.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengaturan Hukum PHK secara Sepihak oleh Pengusaha menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Konsep Dasar Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja

Hubungan kerja pada hakikatnya merupakan hubungan hukum yang lahir dari adanya perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa perjanjian kerja adalah kesepakatan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, serta mengatur hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian kerja berperan sebagai instrumen yuridis yang mengikat kedua belah pihak dan menjadi dasar terciptanya hubungan hukum yang bersifat timbal balik [6]. Sebagai suatu perjanjian, keberlakuan perjanjian kerja tunduk pada ketentuan umum hukum perdata, khususnya Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan empat unsur sahnya perjanjian: adanya kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak dalam membuat perikatan, objek atau hal tertentu yang menjadi pokok perjanjian, serta sebab yang halal. Keempat unsur tersebut memastikan bahwa perjanjian dibuat secara bebas, sadar, dan tidak bertentangan dengan norma hukum maupun prinsip kesusilaan. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja hanya sah apabila dibuat berdasarkan kesepakatan, ditandatangani oleh pihak-pihak yang cakap bertindak secara hukum, memuat pekerjaan yang diperjanjikan secara jelas, dan tidak memuat ketentuan yang bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, maupun peraturan perundang-undangan.

Perjanjian kerja pada dasarnya dapat dibuat baik secara tertulis maupun lisan. Namun, bentuk tertulis memberikan tingkat kepastian hukum yang lebih tinggi karena memuat kejelasan hak, kewajiban, serta syarat-syarat kerja yang dapat dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan di kemudian hari [7]. Dalam kerangka pengakhiran hubungan kerja, ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memberikan batasan yang tegas mengenai kondisi-kondisi yang secara hukum dianggap mengakhiri keberlakuan perjanjian kerja. Norma tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa hubungan kerja tidak dapat diputuskan secara sewenang-wenang, melainkan harus berlandaskan alasan yang sah menurut hukum. Perjanjian kerja dinyatakan berakhir apabila pekerja meninggal dunia, sehingga secara alamiah tidak lagi dimungkinkan bagi pekerja untuk melaksanakan kewajiban kerjanya. Selain itu, berakhirnya masa berlaku perjanjian kerja—terutama dalam konteks perjanjian kerja waktu tertentu—secara otomatis menghentikan hubungan kerja tanpa memerlukan tindakan tambahan dari para pihak, karena hubungan tersebut sejak awal telah dibatasi oleh jangka waktu yang disepakati.

Lebih jauh, ketentuan ini juga mencakup situasi ketika terdapat putusan pengadilan atau putusan/penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah berkekuatan hukum tetap, yang secara normatif dapat memutuskan berlangsung atau tidaknya suatu hubungan kerja. Putusan tersebut memiliki daya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak, sehingga berakhirnya hubungan kerja melalui mekanisme yudisial ini merupakan cerminan dari penyelesaian perselisihan secara formal. Di samping itu, undang-undang juga mengakui kemungkinan berakhirnya hubungan kerja karena dipenuhinya kondisi tertentu yang sebelumnya telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Klausul semacam ini biasanya mencerminkan kebutuhan operasional perusahaan atau situasi faktual tertentu yang, apabila terjadi, menjadi dasar sah untuk mengakhiri hubungan kerja.

2. Prinsip Larangan PHK Sepihak

Prinsip dasar yang dianut dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia menempatkan PHK sebagai langkah terakhir yang hanya boleh ditempuh apabila seluruh alternatif penyelamatan hubungan kerja telah terbukti tidak efektif. Hal ini tercermin secara eksplisit dalam Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menegaskan bahwa pengusaha, pekerja atau buruh, serikat pekerja, dan pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan segala cara guna mencegah terjadinya PHK. Norma tersebut menunjukkan bahwa keberlangsungan hubungan kerja dipandang sebagai kepentingan fundamental yang berkaitan langsung dengan hak pekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya [8].

Lebih lanjut, Pasal 151 ayat (2) mengatur bahwa apabila seluruh upaya pencegahan telah dilakukan namun PHK tetap tidak dapat dihindarkan, maka niat pengusaha untuk melakukan PHK wajib terlebih dahulu dirundingkan dengan serikat pekerja atau serikat buruh. Apabila pekerja yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat, perundingan wajib dilakukan langsung dengan pekerja tersebut. Keharusan perundingan ini menegaskan bahwa keputusan untuk mengakhiri hubungan kerja tidak boleh diambil secara sepihak, melainkan harus melalui mekanisme dialog untuk mencari solusi atau setidaknya mencapai kesepahaman mengenai alasan dan konsekuensi PHK. Proses ini merupakan bentuk perlindungan prosedural yang bertujuan mencegah terjadinya tindakan sewenang-wenang dari pihak pengusaha.

Selanjutnya, Pasal 151 ayat (3) memberikan pengamanan tambahan dengan mewajibkan pengusaha untuk memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila perundingan benar-benar tidak menghasilkan kesepakatan [9]. Keharusan adanya penetapan lembaga ini menegaskan bahwa kewenangan pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja tidak bersifat absolut. Tanpa penetapan tersebut, tindakan PHK dianggap tidak memenuhi prosedur hukum dan dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Melalui ketentuan berlapis ini, undang-undang berupaya membangun sistem yang tidak hanya memberikan perlindungan substansial terhadap keberlanjutan hubungan kerja, tetapi juga memastikan bahwa setiap proses PHK berlangsung dengan transparan, adil, dan sesuai dengan prinsip kepastian hukum.

3. Jenis-Jenis PHK dan Dasar Hukumnya

Dalam literatur hukum ketenagakerjaan, PHK lazim diklasifikasikan berdasarkan pihak yang mengambil inisiatif untuk mengakhiri hubungan kerja. Literatur hukum umumnya membagi PHK menjadi empat kategori, yakni: PHK yang dilakukan oleh pengusaha, PHK yang diajukan oleh pekerja, PHK yang batal demi hukum, serta PHK yang ditetapkan melalui putusan pengadilan [3]. Dari keempat jenis tersebut, PHK yang diinisiasi oleh pengusaha merupakan bentuk yang paling sering menimbulkan sengketa, mengingat hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak berada pada posisi tawar yang seimbang [3]. Bagi pengusaha, PHK dipandang sebagai langkah strategis untuk menjaga efisiensi, menata ulang struktur organisasi, atau mempertahankan keberlanjutan operasional perusahaan saat menghadapi tekanan ekonomi maupun perubahan kebutuhan bisnis. Sementara itu, dari perspektif pekerja, PHK memiliki konsekuensi yang jauh lebih personal dan sosial karena berhubungan langsung dengan keberlangsungan ekonomi, stabilitas hidup, dan kesejahteraan keluarga [10]. Perbedaan kepentingan inilah yang kerap memicu ketegangan dan perselisihan, sebab bagi pekerja, kehilangan pekerjaan tidak hanya berarti berakhirnya hubungan kerja, tetapi juga hilangnya sumber pendapatan utama dan ketidakpastian masa depan.

4. Alasan-Alasan PHK Sepihak oleh Pengusaha menurut UU Ketenagakerjaan

UU Ketenagakerjaan secara tegas menetapkan bahwa PHK oleh pengusaha hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang ditentukan secara limitatif oleh undang-undang. Pembatasan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kewenangan pengusaha dalam mengakhiri hubungan kerja tidak digunakan secara sewenang-wenang, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pekerja mengenai kondisi apa saja yang secara sah dapat menjadi dasar PHK sehingga setiap tindakan PHK harus merujuk pada norma yang berlaku dan tidak dapat didasarkan pada alasan subjektif atau interpretasi sepihak dari pengusaha. Salah satu alasan yang diatur secara khusus dalam Pasal 158 ayat (1) adalah adanya kesalahan berat yang dilakukan oleh pekerja. Ketentuan ini merinci berbagai bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai kesalahan berat, mulai dari tindakan penipuan, pencurian, dan penggelapan, hingga pemberian keterangan palsu, keterlibatan dalam penyalahgunaan narkotika di tempat kerja, perbuatan asusila, perjudian, maupun tindakan kekerasan atau ancaman terhadap rekan kerja dan pengusaha. Undang-undang juga memasukkan perbuatan-perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerugian atau membahayakan perusahaan ke dalam lingkup kesalahan berat. Pada dasarnya, berbagai bentuk pelanggaran tersebut dipandang sebagai tindakan yang merusak kepercayaan yang menjadi fondasi hubungan kerja dan membahayakan kepentingan operasional maupun keselamatan di tempat kerja.

Namun, setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji ketentuan mengenai kesalahan berat, terjadi perubahan mendasar dalam penerapannya. Mahkamah menegaskan bahwa pengusaha tidak lagi dapat secara langsung menjadikan dugaan kesalahan berat sebagai dasar PHK tanpa melalui pembuktian pidana. Dengan berlakunya prinsip praduga tidak bersalah, pekerja hanya dapat dianggap melakukan kesalahan berat apabila telah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Konsekuensinya, pengusaha tidak diperkenankan lagi melakukan PHK sepihak berdasarkan dugaan atau penilaian internal semata, melainkan wajib menunggu adanya putusan pengadilan yang final dan mengikat. Putusan ini memperkuat perlindungan hukum bagi pekerja dan memastikan bahwa PHK atas dasar kesalahan berat hanya dilakukan berdasarkan fakta hukum yang telah diuji secara yudisial [3].

Selain ketentuan mengenai kesalahan berat, Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mengatur situasi lain yang dapat berpotensi berujung pada pemutusan hubungan kerja, namun dengan prosedur dan batasan tertentu untuk memastikan perlindungan terhadap pekerja tetap terjaga. Pasal 160 ayat (1) mengatur mengenai kondisi ketika pekerja ditahan oleh aparat penegak hukum karena diduga melakukan tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pengaduan dari pengusaha. Dalam keadaan demikian, hubungan kerja tidak secara otomatis berakhir. Pengusaha memang tidak dibebani kewajiban untuk membayarkan upah selama pekerja menjalani masa penahanan, karena pekerja tidak dapat memenuhi kewajiban kerjanya. Namun, undang-undang tetap mewajibkan pengusaha memberikan bantuan kepada keluarga yang menjadi tanggungan pekerja, sebagai bentuk perlindungan sosial yang tidak boleh diabaikan meskipun pekerja sedang menghadapi proses hukum. Ketentuan ini mencerminkan keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan hak-hak dasar pekerja serta keluarganya.

Di sisi lain, Pasal 161 ayat (1) memberikan dasar bagi pengusaha untuk melakukan PHK apabila pekerja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Namun, pengaturan ini dibingkai dengan kewajiban prosedural yang bersifat ketat. Pengusaha tidak diperkenankan langsung melakukan PHK atas dasar pelanggaran tersebut, tetapi diwajibkan terlebih dahulu menjatuhkan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan. Pemberian peringatan ini pada dasarnya berfungsi sebagai ruang koreksi bagi pekerja, karena hukum ketenagakerjaan mengedepankan asas pembinaan dibandingkan sanksi langsung. PHK atas dasar pelanggaran disiplin hanya sah dilakukan apabila pekerja tetap tidak menunjukkan perbaikan setelah diberikan kesempatan melalui mekanisme peringatan berjenjang tersebut. Ketentuan ini menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja harus merupakan langkah terakhir yang ditempuh setelah prosedur pembinaan dijalankan secara patut dan proporsional

Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan juga memberikan dasar hukum bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dalam keadaan-keadaan tertentu yang berkaitan dengan perubahan struktur atau kepemilikan perusahaan. Dalam konteks perubahan status, penggabungan, peleburan, atau peralihan kepemilikan, undang-undang mengatur bahwa PHK dimungkinkan apabila pengusaha yang baru atau hasil restrukturisasi tidak bersedia menerima kembali pekerja. Ketentuan ini menunjukkan bahwa transformasi korporasi dapat membawa implikasi pada keberlanjutan hubungan kerja, meskipun pada prinsipnya pekerja tetap memiliki hak prioritas untuk dipertahankan apabila perusahaan masih membutuhkan tenaga kerja. PHK dalam situasi ini bukanlah tindakan yang bersifat otomatis, tetapi merupakan opsi terakhir ketika pengusaha tidak dapat atau tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja pasca perubahan struktur perusahaan.

Selanjutnya, Pasal 164 ayat (1) membuka ruang bagi pengusaha untuk melakukan PHK jika perusahaan terpaksa menghentikan kegiatan usaha karena mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun atau karena keadaan memaksa (force majeure). Namun, klaim mengenai kerugian tidak dapat sekadar dinyatakan secara sepihak, melainkan harus dibuktikan melalui laporan keuangan dua tahun terakhir yang diaudit oleh akuntan publik. Ketentuan ini merupakan mekanisme kontrol agar alasan penutupan perusahaan benar-benar berbasis kondisi objektif, bukan rekayasa untuk menghindari kewajiban kepada pekerja. Di samping itu, undang-undang juga mengatur dalam Pasal 164 ayat (3) bahwa PHK tetap dapat dilakukan apabila perusahaan melakukan efisiensi, walaupun tidak berada dalam keadaan merugi atau tidak menghadapi force majeure. Efisiensi di sini diakui sebagai strategi bisnis yang sah, tetapi pelaksanaannya harus tetap memperhatikan hak-hak pekerja dan kepatutan prosedural.

Terakhir, Pasal 168 ayat (1) mengatur mengenai pekerja yang dianggap mengundurkan diri karena mangkir tanpa keterangan. Pekerja yang tidak hadir selama lima hari kerja berturut-turut tanpa memberikan alasan tertulis disertai bukti yang sah, serta telah dipanggil secara patut sebanyak dua kali oleh pengusaha, dapat dinyatakan mengundurkan diri dan hubungan kerjanya dapat diputus. Norma ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi pengusaha ketika pekerja secara faktual tidak lagi hadir dan tidak menunjukkan itikad baik untuk kembali bekerja. Pada saat yang sama, ketentuan mengenai pemanggilan tertulis merupakan jaminan bahwa pekerja tetap diberikan kesempatan untuk menjelaskan ketidakhadirannya sebelum status mengundurkan diri diterapkan. Seluruh ketentuan ini membentuk sistem hukum yang berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan operasional perusahaan dan perlindungan hukum yang layak bagi pekerja.

B. Akibat Hukum dari PHK Secara Sepihak yang Dilakukan oleh Pengusaha Terhadap Pekerja

1. Konsep Akibat Hukum dalam PHK

Akibat hukum pada dasarnya dipahami sebagai konsekuensi yuridis yang muncul dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum, yang kemudian melahirkan, mengubah, atau menghapus hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat [11]. Dalam ranah PHK, konsekuensi yang paling esensial adalah putusnya hubungan hukum antara pekerja dan pengusaha, sehingga seluruh hak dan kewajiban yang sebelumnya melekat dalam perjanjian kerja tidak lagi berlaku. Putusnya hubungan kerja ini menandai berakhirnya ikatan kerja yang selama ini menjadi dasar hubungan ketenagakerjaan.

Namun demikian, berakhirnya hubungan kerja bukan berarti seluruh tanggung jawab pengusaha otomatis gugur. Hukum ketenagakerjaan menegaskan bahwa kewajiban tertentu justru tetap melekat pada pengusaha, khususnya yang berkaitan dengan pemberian kompensasi bagi pekerja yang dikenai PHK. Hak atas kompensasi tersebut mencakup berbagai bentuk pembayaran, seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak, yang semuanya menjadi instrumen perlindungan untuk memastikan bahwa pekerja tidak dibiarkan tanpa jaminan kesejahteraan setelah hubungan kerja berakhir [12].

2. Hak Pekerja atas Kompensasi PHK

Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap tindakan pemutusan hubungan kerja membawa konsekuensi finansial yang wajib dipenuhi oleh pengusaha. Ketentuan tersebut mengharuskan pengusaha untuk memberikan tiga komponen kompensasi sekaligus, yakni uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Ketiga bentuk kompensasi ini bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan instrumen perlindungan hukum yang dirancang untuk menjamin pekerja tetap memiliki dukungan ekonomi setelah kehilangan pendapatan akibat PHK. Pengaturan ini sekaligus mencerminkan orientasi negara dalam memberikan perlindungan khusus kepada pekerja sebagai pihak yang berada pada posisi lebih rentan dalam hubungan kerja. Mengingat bahwa PHK tidak hanya menghentikan hubungan hukum, tetapi juga berdampak langsung pada keberlangsungan hidup pekerja beserta keluarganya, kewajiban pengusaha untuk membayar kompensasi menjadi bentuk tanggung jawab yang bersifat sosial sekaligus yuridis

Besaran uang pesangon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menggunakan sistem yang bersifat progresif, di mana nilai kompensasi meningkat seiring dengan semakin lamanya masa kerja pekerja. Pendekatan ini menunjukkan bahwa masa pengabdian seorang pekerja memiliki nilai hukum yang harus dihargai secara proporsional pada saat hubungan kerja berakhir. Pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun, misalnya, berhak atas pesangon sebesar satu bulan upah. Sementara itu, bagi pekerja dengan masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, pesangon yang wajib diberikan meningkat menjadi dua bulan upah. Skema ini terus berjenjang hingga pada kategori masa kerja delapan tahun atau lebih, pekerja berhak menerima pesangon sebesar sembilan bulan upah. Struktur pengelompokan yang demikian mencerminkan penghargaan normatif terhadap loyalitas, kontribusi, dan keberlanjutan hubungan kerja yang telah diberikan pekerja selama bertahun-tahun. Semakin panjang masa kerja, semakin besar pula tanggung jawab pengusaha untuk memberikan kompensasi yang sepadan sebagai bentuk pengakuan atas dedikasi pekerja tersebut.

Selain pesangon, UU Ketenagakerjaan melalui Pasal 156 ayat (3) juga memberikan lapisan perlindungan tambahan berupa uang penghargaan masa kerja, yang mekanisme penghitungannya disusun secara bertingkat sesuai dengan lamanya masa pengabdian pekerja. Ketentuan ini memperlakukan masa bakti bukan sekadar sebagai durasi hubungan kerja, melainkan sebagai elemen yang memiliki nilai hukum dan sosial, sehingga wajib dihargai ketika hubungan kerja diakhiri. Pekerja yang telah bekerja selama tiga tahun atau lebih namun kurang dari enam tahun, misalnya, berhak menerima uang penghargaan sebesar dua bulan upah. Bagi pekerja yang memiliki masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari sembilan tahun, jumlah penghargaan meningkat menjadi tiga bulan upah. Struktur ini terus berjenjang: masa kerja sembilan tahun atau lebih tetapi kurang dari dua belas tahun diganjar empat bulan upah, dan meningkat secara bertahap hingga pada masa kerja dua puluh empat tahun atau lebih pekerja berhak menerima penghargaan sebesar sepuluh bulan upah. Skema ini menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan tidak hanya berfungsi menetapkan kewajiban administratif, tetapi juga membangun sistem apresiasi yang mencerminkan pengakuan atas kontribusi, loyalitas, dan dedikasi jangka panjang pekerja terhadap perusahaan. Dengan memberikan penghargaan yang semakin besar seiring bertambahnya masa kerja, undang-undang menegaskan bahwa setiap tahun pengabdian memiliki nilai yang layak dihargai secara proporsional

Lebih lanjut, Pasal 156 ayat (4) memberikan dimensi tambahan dalam skema kompensasi PHK melalui pengaturan mengenai uang penggantian hak, yakni kompensasi atas hak-hak pekerja yang belum terpenuhi hingga saat hubungan kerja berakhir [5]. Uang penggantian hak ini mencakup sejumlah elemen yang pada dasarnya merupakan fasilitas atau manfaat yang menjadi bagian dari hak pekerja selama masa kerja, tetapi belum terealisasi atau belum diberikan sepenuhnya. Salah satu komponen utamanya adalah sisa cuti tahunan yang belum digunakan, yang secara hukum wajib dibayarkan dalam bentuk kompensasi ketika PHK terjadi. Selain itu, pengusaha juga wajib menanggung biaya pemulangan pekerja dan keluarganya ke daerah asal apabila pekerja tersebut berasal dari luar daerah tempat bekerja, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap keadaan pekerja pasca penghentian hubungan kerja. Ketentuan ini juga mencakup penggantian atas fasilitas perumahan serta biaya pengobatan atau perawatan, yang besarannya dihitung sebesar 15% dari total nilai pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, sepanjang persyaratan hukum terpenuhi. Di samping itu, segala hak lain yang sebelumnya telah disepakati dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama tetap harus diperhitungkan sebagai kewajiban pengusaha.

Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat hanya berhak atas uang penggantian hak. Jika PHK terjadi karena pelanggaran ringan terhadap perjanjian kerja atau peraturan perusahaan setelah pekerja menerima tiga kali surat peringatan, maka pekerja berhak memperoleh uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak masing-masing satu kali sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu, apabila PHK disebabkan oleh perubahan status, penggabungan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, pekerja tetap berhak menerima uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, serta uang penggantian hak dengan jumlah yang sama berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku. Namun, jika pengusaha yang tidak bersedia menerima pekerja, maka pesangon diberikan dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). PHK akibat perusahaan tutup karena kerugian atau force majeure memberikan hak kompensasi masing-masing satu kali sesuai dengan ketentuan, sedangkan PHK karena efisiensi memberikan pesangon dua kali sesuai dengan ketentuan. Adapun apabila perusahaan dinyatakan pailit, pekerja memperoleh pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak masing-masing.

Selain berimplikasi pada berakhirnya hak dan kewajiban serta pemberian kompensasi, PHK sepihak juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang besar bagi pekerja. Kehilangan pekerjaan berarti kehilangan sumber penghasilan tetap, yang dapat mengancam kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Dalam jangka panjang, PHK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, dan bahkan dapat memicu masalah psikologis seperti stress dan depresi akibat ketidakpastian ekonomi [13]. Lebih lanjut, PHK sepihak juga berdampak pada aspek non-ekonomis seperti hilangnya jaminan sosial, putusnya akses terhadap fasilitas kesehatan dari perusahaan, serta hilangnya identitas sosial yang melekat pada pekerjaan tersebut [14]. Secara lebih luas, PHK massal berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial dan berdampak terhadap kondisi ekonomi makro di suatu daerah maupun negara.

C. Mekanisme Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang Mengalami PHK secara Sepihak oleh Pengusaha

1. Konsep Perlindungan Hukum Pekerja

Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya merupakan rangkaian upaya yang dirancang untuk menjamin terpenuhinya hak-hak fundamental pekerja serta menciptakan keadilan dalam hubungan industrial yang kerap berada dalam posisi tidak seimbang. Dalam konteks pemutusan hubungan kerja, perlindungan hukum tidak hanya terbatas pada dimensi materiil berupa pemberian kompensasi, tetapi juga meliputi aspek prosedural yang memastikan bahwa proses PHK berlangsung melalui mekanisme yang adil, transparan, dan dapat diakses oleh pekerja. Mekanisme penyelesaian perselisihan melalui perundingan bipartit, mediasi, konsiliasi, maupun adjudikasi di Pengadilan Hubungan Industrial menjadi bagian integral dari jaminan tersebut, karena memberikan ruang bagi pekerja untuk memperjuangkan haknya secara sah dan terstruktur [15].

Lebih jauh, perlindungan tenaga kerja memiliki tujuan yang lebih luas, yakni memastikan setiap pekerja memperoleh kesempatan dan perlakuan yang setara tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, baik terkait gender, status pekerjaan, maupun latar belakang lainnya. Perlindungan ini juga dirancang untuk menjamin kesejahteraan pekerja dan keluarganya, sehingga keberlangsungan hidup mereka tidak terganggu oleh dinamika hubungan kerja atau keputusan manajerial yang bersifat sepihak. Pada saat yang sama, regulasi ini tetap mempertimbangkan perkembangan dan kebutuhan dunia usaha, agar tercipta keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha.

2. Mekanisme Penyelesaian Perselisihan PHK

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) mengatur mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, termasuk yang berkaitan dengan PHK. Perselisihan PHK terjadi ketika terdapat perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja. Tahap pertama penyelesaiannya dilakukan melalui perundingan bipartit, yaitu musyawarah antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha untuk mencapai kesepakatan. Proses ini harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak dimulai. Jika salah satu pihak menolak berunding atau tidak tercapai kesepakatan, perundingan dianggap gagal. Apabila tercapai kesepakatan, hasilnya dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang ditandatangani kedua belah pihak dan didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Apabila perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian perselisihan dapat ditempuh melalui mekanisme tripartit yang melibatkan pihak ketiga seperti mediator, konsiliator, atau arbiter. Mediasi merupakan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan melalui musyawarah dengan bantuan seorang mediator dari instansi pemerintah yang netral. Proses mediasi harus diselesaikan paling lama tiga puluh hari kerja sejak dimulainya perundingan. Jika tercapai kesepakatan, hasilnya dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang disaksikan oleh mediator dan didaftarkan ke PHI. Namun, apabila tidak tercapai kesepakatan, mediator wajib memberikan anjuran tertulis dalam waktu paling lama sepuluh hari kerja setelah sidang pertama.

Selanjutnya, konsiliasi juga merupakan bentuk penyelesaian sengketa melalui musyawarah dengan bantuan seorang atau lebih konsiliator yang netral, dan pada prinsipnya memiliki mekanisme yang sama dengan mediasi. Proses konsiliasi dilakukan paling lama tiga puluh hari kerja sejak diterimanya permintaan penyelesaian, dan hasilnya dapat berupa Perjanjian Bersama jika tercapai kesepakatan, atau anjuran tertulis apabila tidak. Sementara itu, arbitrase merupakan cara penyelesaian perselisihan di luar PHI berdasarkan kesepakatan tertulis antara para pihak untuk menyerahkan sengketa kepada arbiter. Berbeda dari mediasi dan konsiliasi yang hanya menghasilkan anjuran tidak mengikat, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat bagi para pihak. Proses arbitrase dilakukan paling lama tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan perjanjian penunjukan arbiter, dan hasil putusan memuat alasan hukum serta sanksi bagi pihak yang dikalahkan [16].

Apabila seluruh upaya non litigasi tersebut tidak membuahkan hasil atau anjuran mediator maupun konsiliator ditolak, maka penyelesaian dilanjutkan melalui PHI. PHI merupakan pengadilan khusus di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa dan memutus berbagai jenis perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 56 UU PPHI, PHI berwenang memutus perkara pada tingkat pertama untuk perselisihan hak dan PHK, serta sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan kepentingan dan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Untuk kasus PHK, putusan PHI masih dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam pelaksanaannya, PHI menerapkan Hukum Acara Perdata, namun memiliki karakteristik tersendiri, terutama pada komposisi majelis hakim yang terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc yang mewakili unsur serikat pekerja dan pengusaha.

Simpulan

Pengaturan hukum mengenai PHK sepihak oleh pengusaha dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa PHK hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan bukan tindakan yang dilakukan secara sewenang-wenang. PHK harus melalui prosedur yang sah, termasuk perundingan dengan pekerja dan penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Akibat hukum dari PHK sepihak adalah berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha serta munculnya kewajiban pengusaha untuk memberikan kompensasi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan yang berlaku. Selain berdampak secara hukum dan ekonomi, PHK sepihak juga menimbulkan dampak sosial bagi pekerja, seperti kehilangan penghasilan dan penurunan kesejahteraan. Perlindungan hukum bagi pekerja yang di-PHK meliputi penyelesaian melalui perundingan bipartit, mekanisme tripartit (mediasi, konsiliasi, atau arbitrase), serta PHI. Namun, dalam praktiknya masih ditemukan berbagai kendala seperti kurangnya pemahaman hukum pekerja, ketimpangan posisi tawar, serta lemahnya penegakan hukum ketenagakerjaan.

Pemerintah memiliki peran penting dalam memberikan sosialisasi dan edukasi kepada pekerja terkait hak-hak mereka, terutama dalam hal PHK dan penyelesaian perselisihan. Upaya ini perlu diimbangi dengan penguatan fungsi pengawasan ketenagakerjaan serta penerapan sanksi tegas terhadap pengusaha yang melakukan PHK sepihak tanpa prosedur yang sah. Di sisi lain, pengusaha diharapkan menjadikan PHK sebagai langkah terakhir setelah berbagai upaya mempertahankan hubungan kerja dilakukan, serta memastikan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip keadilan. Bagi pekerja dan serikat pekerja, peningkatan pemahaman terhadap hak-hak ketenagakerjaan sangat diperlukan agar mereka dapat lebih aktif memperjuangkan kepentingannya melalui mekanisme hukum yang tersedia. Adapun kalangan akademisi dan peneliti hukum diharapkan terus melakukan kajian terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat perlindungan bagi pekerja.

References

Abdulsalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), Jakarta, Indonesia: Restu Agung, 2009.

M. K. Simarmata and Rasji, “Analisis Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Dengan Perjanjian Kerja Kemitraan Menurut Hukum Ketenagakerjaan,” Rewang Rencang Journal of Law Lex Generalis, no. 5, pp. 1–3, 2024.

S. Hidayani and R. Munthe, “Aspek Hukum Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Yang Dilakukan Oleh Pengusaha,” Jurnal Mercatoria, vol. 11, no. 2, pp. 127–140, 2018, doi: 10.31289/mercatoria.v11i2.2017.

A. Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, 4th ed., Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2014.

S. H. Wibowo and J. Matheus, “Tinjauan Yuridis Pemberian Uang Pesangon Kepada Karyawan Yang Di-PHK Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja,” Nusantara Journal of Social Science, vol. 10, no. 5, pp. 2560–2565, 2023, doi: 10.31604/jips.v10i5.2023.2560-2565.

P. Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2000.

F. X. Djumialdi, Perjanjian Kerja, Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2006.

L. Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2019.

A. R. Budiono, Hukum Perburuhan, Jakarta, Indonesia: Indeks, 2011.

A. Basri, Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Indonesia, Medan, Indonesia: Fakultas Hukum Tjut Nyak Dhien, 2006.

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, 9th ed., Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2020.

A. Uwiyono, S. H. Hoesin, W. Suryandono, and M. Kiswandari, Asas-Asas Hukum Perburuhan, Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2014.

A. Tohardi, Manajemen Sumber Daya Manusia, 1st ed., Bandung, Indonesia: Mandar Maju, 2002.

Sedarmayanti, Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, 2nd ed., Bandung, Indonesia: Mandar Maju, 2001.

Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: Dinamika dan Kajian Teori, Bogor, Indonesia: Ghalia Indonesia, 2010.

Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Yustisia, 2008.