Grace Natalie Lim (1), Gunardi Lie (2)
General Background: The regulation of termination of employment for workers under Fixed-Term Employment Agreements (PKWT) has gained urgency following recent reforms in Indonesia’s labor market. Specific Background: The Job Creation Law and Government Regulation No. 35/2021 introduced new standards intended to enhance flexibility while reshaping the protection framework for contract workers. Knowledge Gap: Despite these reforms, inconsistencies in interpretation, weak enforcement, and uneven implementation continue to create legal uncertainty, particularly in cases of unilateral termination and compensation. Aims: This study conducts a normative juridical analysis to assess the alignment of PKWT termination regulations with core principles of national labor law. Results: The findings indicate that although the new regulations clarify compensation entitlements, they do not fully guarantee fairness or legal certainty due to limited worker awareness, regulatory overlap, and ineffective supervisory mechanisms. Novelty: This research offers an integrated assessment that connects statutory reform, judicial practice, and labor protection principles, exposing gaps between legal norms and practical application. Implications: Enhanced harmonization, stronger supervisory systems, and clearer technical regulations are necessary to achieve balanced labor flexibility and social justice within Indonesia’s evolving industrial relations framework.
Highlights:
Reveals gaps between normative protection and practical implementation in the field.
Emphasizes the need for harmonized regulations and stronger labor supervision.
Keywords: Fixed-term Employment Agreements, Termination of Employment, Job Creation Law, Worker Protection, Labor Law Reform
Fakultas Hukum
Hubungan kerja merupakan inti dari pelaksanaan kegiatan ketenagakerjaan, di mana hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha diikat oleh suatu perjanjian kerja. Dalam praktiknya, bentuk perjanjian kerja di Indonesia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) [1]. PKWT merupakan bentuk hubungan kerja yang bersifat sementara dan berakhir secara otomatis setelah jangka waktu tertentu atau setelah selesainya suatu pekerjaan [2]. Kedudukan hukum PKWT yang bersifat kontraktual tersebut menimbulkan konsekuensi tersendiri terhadap hak dan kewajiban para pihak dibandingkan hubungan kerja tetap.
Seiring dengan perkembangan dunia kerja yang dinamis serta tuntutan fleksibilitas ekonomi nasional, pengaturan mengenai PKWT kerap menjadi sorotan dalam sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia. Isu yang paling menonjol adalah mengenai perlindungan hukum bagi pekerja kontrak, terutama dalam situasi pemutusan hubungan kerja (PHK). Permasalahan ini semakin mencuat sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang secara signifikan mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan [3]. Melalui reformasi tersebut, pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi yang lebih adaptif dan efisien dengan memberikan ruang fleksibilitas bagi pelaku usaha dalam mengelola tenaga kerja. Namun, perubahan ini juga menimbulkan kekhawatiran terhadap berkurangnya perlindungan bagi pekerja, khususnya mereka yang bekerja berdasarkan perjanjian waktu tertentu [4].
Salah satu aspek penting yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Cipta Kerja adalah ketentuan mengenai kompensasi bagi pekerja PKWT yang mengalami PHK sebelum masa kontrak berakhir. Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja [5]. Peraturan ini pada dasarnya bertujuan memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak pekerja kontrak yang sebelumnya belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang. Meski demikian, penerapannya di lapangan masih menghadapi berbagai kendala, seperti kurangnya pemahaman pengusaha terhadap norma baru, serta belum seragamnya praktik pemberian kompensasi di berbagai sektor industri [6].
Selain itu, perubahan regulasi ini juga menimbulkan berbagai penafsiran terhadap prosedur dan dasar hukum PHK pekerja PKWT. Dalam praktiknya, tidak jarang terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh pengusaha dengan alasan efisiensi atau penyesuaian kebijakan internal tanpa memperhatikan asas keadilan dan keseimbangan posisi antara pekerja dan pemberi kerja [7]. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, pelanggaran terhadap prinsip perlindungan tenaga kerja, serta ketidakharmonisan hubungan industrial.
Ketidakpastian tersebut tidak hanya berdampak pada posisi tawar pekerja yang semakin lemah, tetapi juga berpengaruh terhadap stabilitas hubungan kerja secara keseluruhan [8]. Dalam praktik hubungan industrial, banyak pekerja PKWT yang tidak memahami secara utuh hak dan kewajibannya, sehingga sering kali berada pada posisi yang dirugikan ketika terjadi pemutusan hubungan kerja sebelum masa kontrak berakhir [9]. Di sisi lain, pengusaha juga menghadapi dilema antara kebutuhan efisiensi operasional dan kewajiban untuk mematuhi ketentuan hukum yang terus mengalami perubahan, yang kadang tidak sejalan dengan kondisi bisnis yang fluktuatif.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa penerapan norma hukum ketenagakerjaan masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam hal penegakan hukum dan efektivitas pengawasan ketenagakerjaan. Aparat pengawas ketenagakerjaan sering kali terkendala dalam melakukan penegakan terhadap pelanggaran PKWT karena keterbatasan sumber daya manusia dan lemahnya mekanisme sanksi administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan [10]. Akibatnya, ketentuan hukum yang seharusnya menjadi alat perlindungan justru sering kali tidak efektif dalam praktik dan berpotensi menimbulkan ketimpangan struktural antara pekerja dan pemberi kerja.
Lebih lanjut, perubahan-perubahan regulasi pasca diterapkannya Undang-Undang Cipta Kerja juga menimbulkan persoalan dalam harmonisasi antarperaturan pelaksana. Ketidaksinkronan antara norma-norma dalam peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan kebijakan perusahaan dapat menimbulkan kesulitan dalam implementasi di lapangan [11]. Kondisi tersebut menuntut adanya konsistensi dan kejelasan penafsiran hukum oleh aparat penegak hukum serta lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Selain aspek regulatif, perubahan sosial dan ekonomi akibat globalisasi turut mempengaruhi pola hubungan kerja di Indonesia. Munculnya sektor ekonomi digital, sistem kerja fleksibel, dan tenaga kerja berbasis proyek menyebabkan peningkatan jumlah pekerja kontrak atau pekerja lepas [12]. Situasi ini menuntut sistem hukum ketenagakerjaan untuk lebih adaptif, tanpa mengorbankan hak-hak dasar pekerja yang dijamin oleh konstitusi. Prinsip keadilan, kepastian hukum, dan keseimbangan kepentingan harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan ketenagakerjaan, agar reformasi hukum yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada efisiensi ekonomi, tetapi juga pada perlindungan terhadap harkat dan martabat pekerja [13].
Dalam konteks tersebut, kajian terhadap pengaturan pemutusan hubungan kerja pekerja PKWT pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja menjadi penting untuk dilakukan. Kajian ini tidak hanya bertujuan menilai kesesuaian norma perundang-undangan terhadap prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan, tetapi juga untuk menganalisis implikasinya terhadap praktik hubungan kerja di lapangan. Melalui pendekatan yuridis normatif, diharapkan penelitian ini mampu memberikan gambaran yang komprehensif mengenai sejauh mana kebijakan baru ini menciptakan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan perlindungan pekerja [14].
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kesesuaian pengaturan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja dengan PKWT dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan nasional, apa saja kendala dan tantangan dalam pelaksanaan ketentuan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja PKWT pasca berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, serta bagaimana pengaruh pengaturan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja PKWT terhadap keseimbangan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu hukum ketenagakerjaan, serta memberikan rekomendasi konkret bagi pembuat kebijakan dalam menyusun peraturan yang lebih berkeadilan dan berorientasi pada kepastian hukum. Penelitian ini juga diharapkan menjadi rujukan akademik untuk menilai efektivitas implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya dalam aspek hubungan kerja kontraktual di Indonesia [15].
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang berfokus pada analisis terhadap norma-norma hukum positif yang berlaku, baik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam doktrin hukum [16]. Pendekatan ini dipilih karena penelitian berorientasi pada kajian mendalam mengenai pengaturan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya. Penelitian yuridis normatif memungkinkan peneliti menelaah kesesuaian, konsistensi, dan penerapan norma hukum yang berkaitan dengan hubungan kerja kontraktual di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan hukum. Pertama, pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan mengkaji berbagai ketentuan yang mengatur tentang ketenagakerjaan, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 [3], [5], [17]. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menelaah dasar hukum dan perubahan substansi norma yang mengatur pemutusan hubungan kerja bagi pekerja PKWT. Kedua, pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk memahami pandangan dan doktrin para ahli hukum terkait prinsip-prinsip perlindungan tenaga kerja, keadilan, dan kepastian hukum dalam hubungan kerja kontraktual [18]. Ketiga, pendekatan kasus (case approach) diterapkan dengan menelaah putusan-putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang relevan, seperti Putusan Nomor 337/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Jkt.Pst., guna melihat bagaimana norma hukum diterapkan dalam praktik penyelesaian sengketa hubungan kerja [7].
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan kerja dan pemutusan hubungan kerja; bahan hukum sekunder, berupa buku teks, jurnal ilmiah, serta pendapat para pakar hukum ketenagakerjaan; dan bahan hukum tersier, seperti kamus hukum dan ensiklopedia hukum. Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) dengan menelusuri berbagai sumber hukum yang relevan dan mutakhir. Selanjutnya, bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menguraikan dan menafsirkan norma-norma hukum yang berkaitan secara sistematis untuk menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan. Analisis ini bertujuan menghasilkan pemahaman yang komprehensif mengenai pengaturan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja PKWT pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja serta implikasinya terhadap sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
PHK terhadap pekerja PKWT merupakan isu penting dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia yang semakin kompleks seiring perkembangan ekonomi dan reformasi regulasi ketenagakerjaan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksana telah membawa perubahan signifikan terhadap ketentuan PKWT, khususnya dalam aspek pemutusan hubungan kerja, pemberian kompensasi, dan perlindungan hukum terhadap pekerja kontrak. Kajian normatif ini berfokus pada tiga hal pokok, yakni: kesesuaian pengaturan PHK PKWT terhadap prinsip hukum ketenagakerjaan nasional; kendala implementasi di lapangan; serta pengaruhnya terhadap keseimbangan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha.
1. Kesesuaian Pengaturan PHK PKWT dengan Prinsip Hukum Ketenagakerjaan Nasional
Undang-Undang Cipta Kerja secara eksplisit mengatur mekanisme PHK bagi pekerja PKWT dengan memperjelas hak pekerja atas kompensasi apabila terjadi PHK sebelum masa kontrak berakhir [3]. Ketentuan tersebut dituangkan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, yang mewajibkan pengusaha membayar kompensasi kepada pekerja PKWT dengan masa kerja paling sedikit satu bulan secara proporsional terhadap lamanya hubungan kerja [5].
Secara prinsip, pengaturan ini merupakan upaya untuk mengisi kekosongan hukum sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak mengatur secara eksplisit hak kompensasi bagi pekerja kontrak [17]. Dalam konteks asas hukum ketenagakerjaan nasional, ketentuan ini sejalan dengan asas kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap tenaga kerja, sebagaimana dijelaskan oleh Gustav Radbruch bahwa keadilan dan kepastian hukum harus berjalan seimbang untuk mencapai kemanfaatan hukum yang optimal [19].
Namun, penerapannya belum sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan substantif. Dalam praktiknya, masih banyak perusahaan yang melakukan PHK sepihak tanpa kompensasi yang layak dengan alasan efisiensi atau restrukturisasi organisasi [9]. Kondisi ini menyebabkan pekerja PKWT berada pada posisi yang lemah dan sering kali tidak mengetahui hak-haknya [7]. Di sisi lain, pemerintah melalui regulasi ini berusaha menciptakan fleksibilitas pasar kerja agar lebih adaptif terhadap perubahan ekonomi global, tetapi tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, fleksibilitas tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja.
Dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan nasional, prinsip perlindungan pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, belum sepenuhnya terimplementasi secara efektif dalam praktik PKWT [7]. Oleh karena itu, harmonisasi antara norma hukum dan pelaksanaan di lapangan perlu diperkuat melalui peraturan pelengkap dan sanksi administratif yang tegas agar prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan nasional benar-benar terwujud secara menyeluruh.
2. Kendala dan Tantangan Implementasi Ketentuan PHK PKWT Pasca PP No. 35 Tahun 2021
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 mengatur mekanisme PKWT lebih rinci, termasuk batas maksimal masa kontrak, kompensasi, dan pembatasan terhadap praktik perpanjangan kontrak berulang [10]. Namun, pelaksanaannya di lapangan menghadapi berbagai kendala yang cukup serius. Tantangan utama yang muncul adalah minimnya pemahaman pekerja mengenai hak-hak mereka, ketidaksesuaian pelaksanaan oleh pengusaha, serta lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di tingkat daerah.
Berdasarkan hasil analisis yuridis terhadap sejumlah putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), banyak perkara PHK PKWT yang diajukan karena pekerja tidak memperoleh kompensasi sebagaimana diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021 [4]. Pengusaha kerap menggunakan dalih kontrak telah berakhir secara alami, sehingga tidak wajib membayar kompensasi. Praktik ini mencerminkan ketimpangan posisi tawar antara pengusaha dan pekerja serta lemahnya fungsi kontrol dari instansi ketenagakerjaan [6]. Selain itu, terdapat tumpang tindih norma hukum antara ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, PP No. 35 Tahun 2021, dan regulasi teknis sebelumnya yang menimbulkan perbedaan interpretasi [20]. Misalnya, ketidakjelasan mengenai apakah kompensasi wajib diberikan untuk semua bentuk pemutusan kontrak atau hanya untuk kontrak yang berakhir sebelum waktunya. Akibatnya, pelaksanaan di lapangan menjadi tidak konsisten dan membuka ruang bagi pelanggaran hak-hak pekerja.
Faktor struktural seperti keterbatasan jumlah pengawas, keterlambatan dalam tindak lanjut laporan pelanggaran, serta belum maksimalnya digitalisasi sistem pengawasan turut memperburuk efektivitas implementasi regulasi ini [18]. Dari sisi kultural, masih rendahnya kesadaran hukum pekerja dan budaya takut kehilangan pekerjaan membuat banyak pelanggaran tidak pernah dilaporkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan sistem pengawasan ketenagakerjaan, peningkatan sosialisasi mengenai hak pekerja PKWT, serta harmonisasi regulasi pelaksana agar tujuan utama dari UU Cipta Kerja yakni menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas usaha dan perlindungan tenaga kerja dapat tercapai secara efektif.
3. Pengaruh Pengaturan PHK PKWT terhadap Keseimbangan Hubungan Industrial
Pengaturan PHK PKWT yang ada membawa dampak signifikan terhadap keseimbangan hubungan industrial di Indonesia. Di satu sisi, pengusaha memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan tenaga kerja, efisiensi biaya, dan kemudahan adaptasi terhadap perubahan pasar [21]. Namun, di sisi lain, pekerja PKWT menghadapi ketidakpastian posisi, keterbatasan jaminan sosial, dan lemahnya perlindungan hukum bila terjadi PHK sepihak.
Ketidakseimbangan ini dapat memicu konflik hubungan industrial, terutama ketika pekerja merasa diperlakukan tidak adil [22]. Dalam beberapa kasus yang tercatat di PHI, banyak pekerja PKWT harus menggugat ke pengadilan hanya untuk mendapatkan kompensasi yang seharusnya diberikan tanpa sengketa [23]. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum formal belum cukup tanpa adanya sistem pengawasan yang kuat dan mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat serta berkeadilan.
Secara teoretis, hubungan industrial yang ideal harus mencerminkan keseimbangan kepentingan antara pekerja dan pengusaha [24]. Hukum ketenagakerjaan modern tidak hanya memandang hubungan kerja sebagai ikatan kontraktual, tetapi juga sebagai hubungan sosial yang berlandaskan nilai keadilan dan kemanusiaan [2]. Oleh sebab itu, prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 harus menjadi landasan utama dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum ketenagakerjaan [25].
Dengan demikian, pengaturan PHK PKWT seharusnya tidak hanya mengedepankan efisiensi ekonomi, tetapi juga menjamin keberlanjutan kesejahteraan pekerja. Pemerintah, pengusaha, dan pekerja perlu membangun sistem hubungan industrial yang harmonis melalui pengawasan yang efektif, peraturan yang adaptif, dan penyelesaian perselisihan yang berorientasi pada kemanusiaan. Dengan keseimbangan tersebut, cita-cita hukum ketenagakerjaan nasional untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama dapat benar-benar terwujud.
Berdasarkan hasil kajian normatif terhadap pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut:
Pertama, pengaturan PHK bagi pekerja PKWT dalam UU Cipta Kerja telah membawa pembaruan signifikan terhadap sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Ketentuan mengenai kompensasi bagi pekerja PKWT sebagaimana diatur dalam Pasal 15 PP No. 35 Tahun 2021 memberikan kepastian hukum atas hak-hak pekerja kontrak yang sebelumnya tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 [3]. Reformasi ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan fleksibilitas ekonomi dengan peningkatan kesejahteraan pekerja. Namun, implementasinya masih menghadapi kendala berupa lemahnya pengawasan, disparitas posisi tawar, serta rendahnya kesadaran hukum di lapangan, sehingga tujuan keadilan sosial belum sepenuhnya tercapai [9].
Kedua, kesesuaian pengaturan PHK PKWT terhadap prinsip-prinsip hukum ketenagakerjaan nasional yakni kepastian hukum, keadilan, dan keseimbangan hubungan kerja secara normatif telah sejalan dengan nilai-nilai dasar hukum ketenagakerjaan yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 [26]. Namun dalam praktiknya, masih sering muncul ketidaksesuaian antara norma dan pelaksanaan akibat minimnya efektivitas pengawasan serta perbedaan interpretasi terhadap dasar-dasar PHK [2]. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan norma pelaksanaan, pembaruan mekanisme kerja sama industrial, dan harmonisasi regulasi turunan agar prinsip-prinsip ketenagakerjaan nasional dapat diterapkan secara konsisten.
Ketiga, kendala dan tantangan utama pelaksanaan ketentuan PHK PKWT pasca berlakunya PP No. 35 Tahun 2021 meliputi tumpang tindih regulasi, keterbatasan sumber daya aparatur pengawas, serta kurangnya kesadaran pekerja mengenai hak-hak kompensasi yang menjadi hak normatif mereka [10]. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih menyeluruh, tidak hanya dalam aspek normatif, tetapi juga dalam pembinaan hubungan industrial dan peningkatan kapasitas kelembagaan ketenagakerjaan.
Keempat, pengaturan PHK PKWT yang berlaku saat ini membawa dampak terhadap keseimbangan hubungan industrial. Di satu sisi, pengusaha memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan tenaga kerja dan efisiensi ekonomi; namun di sisi lain, pekerja kontrak masih menghadapi ketidakpastian status kerja dan rentan terhadap praktik PHK sepihak [6]. Situasi ini menuntut penerapan regulasi yang adaptif serta berorientasi pada keseimbangan kepentingan antara pekerja dan pengusaha. Prinsip Industrial Peace with Justice hanya dapat diwujudkan apabila kebijakan ketenagakerjaan senantiasa berpijak pada nilai keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 [24].
Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa meskipun UU Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021 telah memberikan dasar hukum yang lebih kuat bagi pengaturan PHK PKWT, pelaksanaannya masih perlu diperbaiki agar tidak hanya menegaskan kepastian hukum bagi pengusaha, tetapi juga menciptakan keseimbangan hubungan kerja yang adil dan manusiawi [4]. Sistem ketenagakerjaan idealnya harus mampu menciptakan harmoni antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial, sebagai wujud cita hukum nasional yang berorientasi pada kesejahteraan bersama [23].
Berdasarkan hasil kajian terhadap pengaturan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, dapat disarankan bahwa arah pembaruan hukum ketenagakerjaan ke depan harus lebih terfokus pada penciptaan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan sosial bagi seluruh pihak dalam hubungan industrial. Hal ini dapat dimulai dengan memperkuat regulasi pelaksanaan dari PP No. 35 Tahun 2021 melalui penyusunan peraturan turunan yang lebih teknis dan operasional. Peraturan tersebut perlu memuat ketentuan yang rinci mengenai mekanisme pemberian kompensasi, tata cara pemutusan hubungan kerja yang sah, serta pemberian sanksi administratif bagi pengusaha yang melanggar ketentuan kontrak kerja [5]. Dengan adanya pedoman pelaksanaan yang lebih jelas, diharapkan pelaksanaan PHK terhadap pekerja PKWT dapat berjalan lebih seragam dan transparan di seluruh sektor industri.
Selain itu, peningkatan efektivitas pengawasan ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat mendesak. Pengawasan yang kuat menjadi faktor kunci dalam memastikan pelaksanaan norma ketenagakerjaan berjalan sesuai ketentuan hukum. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat kapasitas lembaga pengawas ketenagakerjaan, baik dari segi jumlah personel maupun kompetensi, serta memperluas penggunaan sistem digital untuk pelaporan dan penanganan pelanggaran hubungan kerja [21]. Pemanfaatan teknologi digital akan meningkatkan akuntabilitas dan mempercepat proses tindak lanjut, sekaligus mendukung prinsip rule of law yang menuntut keterbukaan dan efisiensi dalam penegakan hukum.
Di sisi lain, peningkatan kesadaran hukum bagi pekerja dan pengusaha juga menjadi aspek penting yang tidak dapat diabaikan. Rendahnya pemahaman terhadap hak dan kewajiban dalam hubungan kerja sering kali menjadi pemicu timbulnya perselisihan. Oleh karena itu, perlu dilakukan edukasi dan sosialisasi hukum ketenagakerjaan secara berkelanjutan melalui pelatihan, seminar, maupun program pembinaan di tingkat perusahaan dan serikat pekerja [18]. Dengan demikian, pekerja dapat memperjuangkan haknya secara legal, sementara pengusaha terdorong untuk lebih patuh terhadap ketentuan yang berlaku.
Selain itu, optimalisasi lembaga penyelesaian sengketa hubungan industrial juga perlu menjadi perhatian utama. Saat ini, proses penyelesaian perselisihan kerja, terutama terkait PHK PKWT, masih dianggap lambat dan kurang efisien. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kelembagaan untuk memperkuat peran mediator dan mempercepat proses penyelesaian melalui jalur nonlitigasi [7]. Peningkatan kapasitas mediator serta simplifikasi prosedur penyelesaian sengketa diharapkan mampu menekan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan dan menciptakan penyelesaian yang lebih cepat, sederhana, dan berkeadilan.
Lebih jauh, arah kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia perlu mengadopsi paradigma Human-Centered Law, yakni hukum yang menempatkan kesejahteraan dan martabat manusia sebagai tujuan utama. Prinsip ini menegaskan bahwa hubungan kerja tidak boleh dipandang semata-mata sebagai hubungan ekonomi, melainkan juga sebagai relasi sosial yang dilandasi oleh nilai moral, kemanusiaan, dan tanggung jawab sosial [25]. Dengan demikian, setiap regulasi ketenagakerjaan harus berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, agar tercipta hubungan industrial yang harmonis, adil, dan berkelanjutan.
Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan sistem ketenagakerjaan Indonesia di masa mendatang mampu menghadirkan keseimbangan yang proporsional antara kepentingan ekonomi pengusaha dan kesejahteraan pekerja. Hukum ketenagakerjaan tidak hanya menjadi instrumen pengatur, tetapi juga menjadi sarana pembentuk keadilan sosial dan stabilitas hubungan kerja yang sejalan dengan cita hukum nasional.
Ucapan Terima Kasih
Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat, berkat, dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan artikel ini dengan baik dan lancar. Proses penulisan ini tidak hanya menjadi sarana pengembangan akademik, tetapi juga pengalaman berharga dalam melatih ketekunan, disiplin, dan tanggung jawab ilmiah.
Saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Gunardi Lie, S.H., M.H., Dr. Prof., selaku Dosen Pembimbing, atas bimbingan, arahan, serta motivasi yang telah beliau berikan selama proses penelitian dan penulisan artikel ini. Keteladanan dan dedikasi beliau dalam dunia akademik menjadi inspirasi bagi saya untuk terus belajar dan mengembangkan diri di bidang hukum.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada keluarga dan teman-teman yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan semangat selama proses penyusunan artikel ini. Dukungan moral mereka memberikan kekuatan tersendiri dalam menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan waktu yang dihadapi selama penelitian berlangsung.
Saya juga mengucapkan apresiasi kepada seluruh pihak di Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, terutama para dosen, staf administrasi, dan petugas perpustakaan yang telah memfasilitasi proses pencarian sumber hukum serta kebutuhan akademik lainnya.
Tidak lupa, saya menyampaikan apresiasi kepada diri saya sendiri atas usaha, ketekunan, dan kesabaran dalam menyelesaikan artikel ini di tengah berbagai tantangan. Proses ini menjadi pengalaman berharga yang memperkaya pengetahuan sekaligus melatih kedisiplinan dan tanggung jawab pribadi.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa artikel ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, saya dengan rendah hati menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan karya ini di masa mendatang. Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum dan menjadi kontribusi kecil bagi kemajuan dunia akademik di Indonesia. Terima kasih.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 56 ayat (1), 2003.
A. Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, 4th ed. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2014.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, 2020.
A. Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Yogyakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2010.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja, 2021.
L. Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2019.
Pengadilan Hubungan Industrial, Putusan Nomor 337/Pdt.Sus-PHI/2021/PN.Jkt.Pst., 2021.
S. H. Wibowo and J. Matheus, “Tinjauan Yuridis Pemberian Uang Pesangon Kepada Karyawan yang Di-PHK Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja,” Nusantara Journal of Social Sciences, vol. 10, no. 5, pp. 2560–2565, 2023, doi: 10.31604/jips.v10i5.2023.2560-2565.
S. Nurhayati, “Perlindungan Pekerja Kontrak Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, vol. 21, no. 2, p. 134, 2023.
A. Rifai, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2020.
D. Rachmawati, “Implementasi Kebijakan PKWT dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan,” Jurnal Ilmu Hukum Lex Societatis, vol. 11, no. 3, p. 241, 2022.
T. Prasetyo, Transformasi Hukum Ketenagakerjaan di Era Digitalisasi. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia Group, 2022.
N. Hidayati, “Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Implementasi UU Cipta Kerja,” Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 19, no. 2, p. 115, 2022.
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian. Jakarta, Indonesia: Intermasa, 2018.
N. Larasati, “Tantangan Harmonisasi Regulasi Ketenagakerjaan Pasca Cipta Kerja,” Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 19, no. 1, p. 67, 2022.
S. Soekanto and S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2015.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, 2013.
P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2016.
G. Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft. Leipzig, Germany: Quelle & Meyer, 1932.
I. Soepomo, Hukum Perburuhan: Asas dan Dasar Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta, Indonesia: Djambatan, 2018.
S. Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2015.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 94 K/Pdt.Sus-PHI/2022, 2022.
S. Rahardjo, Hukum dan Masyarakat. Bandung, Indonesia: Angkasa, 1986.
Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Negara, 1945.
Lembaga Administrasi Negara, Hubungan Industrial Pancasila. Jakarta, Indonesia: LAN Press, 2016.
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4), 1945.