Login
Section Law

Reform of the Debt Dispute Resolution System in Indonesian Courts

Pembaharuan Sistem Penyelesaian Perkara Hutang Piutang di Pengadilan Indonesia
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Iyan Sentosa Zalukhu (1), Gunardi Lie (2)

(1) Magister Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Magister Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: The Indonesian civil justice system continues to face structural inefficiencies, including case backlogs, slow proceedings, and high litigation costs. Specific Background: These challenges are especially evident in resolving debt-related default disputes, where creditors—particularly concurrent creditors—often encounter uncertainty and weak enforcement. Knowledge Gap: Despite existing litigation and alternative dispute resolution (ADR) mechanisms, limited effectiveness, inconsistent legal certainty, and gaps in legal culture hinder optimal dispute settlement. Aims: This study analyzes the mechanisms for resolving debt-default disputes, the protection available for concurrent creditors, the application of legal certainty principles, and strategies to strengthen legal culture. Results: Findings show that dispute settlement operates through litigation and ADR; concurrent creditors receive preventive and repressive protections; legal certainty is grounded in Articles 1131–1132 of the Civil Code; and improving legal culture requires education, consistent enforcement, and institutional reform. Novelty: This research integrates doctrinal analysis with empirical judicial data to highlight systemic shortcomings in current debt-dispute resolution, particularly regarding creditor vulnerability and uneven implementation of reform policies. Implications: Strengthening legal frameworks, institutional capacity, and public legal awareness is essential to achieving a faster, simpler, and more affordable civil justice system in Indonesia.


Highlights:




  • Highlights the dual mechanisms of resolving debt-default disputes through litigation and ADR.




  • Emphasizes the vulnerability of concurrent creditors and the need for stronger legal certainty.




  • Underscores the importance of legal-culture development to support effective justice reform.




Keywords: Debt Dispute Resolution, Legal Certainty, Concurrent Creditors, Civil Justice Reform, Legal Culture

Author Biographies

Iyan Sentosa Zalukhu, Magister Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Gunardi Lie, Magister Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, mekanisme penyelesaian sengketa perdata di Indonesia menghadapi tekanan yang semakin kompleks. Beban perkara yang menumpuk, lamanya proses pemeriksaan di persidangan, dan tingginya biaya berperkara menjadi persoalan yang tidak hanya menguras kapasitas lembaga peradilan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap kemampuan negara menyediakan keadilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sebagaimana diamanatkan undang-undang. Penumpukan perkara di lingkungan peradilan negeri, yang telah berlangsung bertahun-tahun, menunjukkan bahwa sistem peradilan belum mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan masyarakat akan penyelesaian sengketa secara efektif. Data Mahkamah Agung mencatat bahwa sepanjang 2015 hingga 2020 terjadi peningkatan perkara perdata yang masuk dengan rata-rata kenaikan sekitar delapan persen setiap tahun, sedangkan tingkat penyelesaiannya tidak mengalami akselerasi yang sebanding. Ketimpangan antara arus perkara yang masuk dan kemampuan institusi peradilan dalam memutus serta menuntaskan perkara menciptakan hambatan struktural—sebuah bottleneck—yang mengakibatkan proses peradilan bergerak lebih lambat, membuka ruang ketidakpastian hukum, serta memperkecil peluang masyarakat memperoleh akses keadilan yang layak.

Tuntutan terhadap reformasi peradilan perdata semakin menguat seiring dengan meningkatnya kompleksitas kegiatan ekonomi dan bisnis yang bergerak sangat cepat. Perubahan dinamika ini menuntut hadirnya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mampu memberikan kepastian hukum, tetapi juga bekerja secara efisien agar tidak menghambat roda perekonomian. Dalam konteks demikian, kebutuhan akan proses peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya terjangkau menjadi semakin penting, terutama untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mendorong kepercayaan pelaku usaha terhadap sistem hukum nasional. Prinsip peradilan yang demikian sejatinya telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”), yang menempatkan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagai fondasi penyelenggaraan peradilan

Reformasi dalam sistem peradilan perdata, khususnya pada mekanisme penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan wanprestasi dalam hubungan hutang piutang, menjadi kebutuhan yang kian mendesak. Sengketa hutang piutang merupakan salah satu jenis sengketa perdata yang paling sering muncul dalam praktik, mengingat hubungan pinjam meminjam uang merupakan aktivitas hukum yang lazim terjadi di tengah masyarakat maupun dunia usaha. Pada dasarnya, perjanjian hutang piutang merupakan bentuk kesepakatan antara dua pihak yang menimbulkan hubungan hukum berupa prestasi untuk memberikan sejumlah uang serta kewajiban untuk mengembalikan jumlah yang sama pada waktu yang telah disepakati [1]. Karakter hukum dari hubungan tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), yang mendefinisikan perjanjian pinjam meminjam sebagai suatu perikatan di mana salah satu pihak menyerahkan barang yang habis karena pemakaian kepada pihak lain, dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan barang sejenis dalam jumlah dan keadaan yang sama [2].

Berdasarkan data Direktori Putusan Mahkamah Agung, perkara perdata terkait wanprestasi dan hutang piutang menempati urutan tinggi dalam jumlah perkara yang ditangani setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan hutang piutang bukan hanya sekadar masalah ekonomi antar individu, tetapi juga telah berkembang menjadi masalah hukum yang membutuhkan penyelesaian melalui mekanisme yang lebih baik. Memang betul secara peraturan Perundang-Undangan, debitur yang tidak memenuhi kewajibannya dapat dituntut untuk membayar ganti rugi, pemenuhan perikatan, atau pembatalan perjanjian. Namun, penerapan hukum dalam praktik seringkali menghadapi hambatan, misalnya proses peradilan yang panjang, biaya perkara yang relatif tinggi, serta lemahnya eksekusi putusan pengadilan ketika debitur tidak kooperatif.

Persoalan menjadi semakin kompleks ketika hutang piutang dilakukan tanpa jaminan atau bernilai relatif kecil. Dalam kondisi ini, posisi kreditur menjadi sangat lemah. Di satu sisi, jalur litigasi terbuka untuk menuntut pemenuhan prestasi. Namun di sisi lain, biaya perkara, lamanya proses persidangan, hingga sulitnya eksekusi putusan seringkali justru lebih besar daripada nilai hutangnya. Padahal, dalam hukum acara perdata telah tersedia mekanisme gugatan sederhana berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019, tetapi penerapannya masih menghadapi hambatan dalam praktik, baik karena keterbatasan pemahaman masyarakat maupun kendala struktural di lembaga peradilan. Sejalan dengan persoalan tersebut, Mahkamah Agung telah mendorong penyelesaian sengketa perdata melalui mekanisme mediasi [3].

Selain itu, terdapat masalah serius mengenai kepastian hukum. Tidak jarang ditemukan disparitas putusan pengadilan terhadap perkara wanprestasi dengan objek dan permasalahan serupa. Hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi para pencari keadilan dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Padahal, salah satu tujuan utama hukum adalah memberikan kepastian hukum sekaligus menjamin rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Fenomena wanprestasi hutang piutang bukan hanya menyangkut aspek yuridis, tetapi juga berkaitan erat dengan budaya hukum masyarakat. Rendahnya kesadaran hukum dan lemahnya komitmen dalam memenuhi kewajiban kontraktual menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa hutang piutang tidak cukup hanya dengan instrumen hukum formal, tetapi juga memerlukan pembangunan budaya hukum yang lebih baik.

Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan maka peneltian ini memiliki rumusan masalah antara lain, bagaimana mekanisme penyelesaian perkara wanprestasi hutang piutang? Bagaimana menjamin perlindungan hukum terhadap kreditur konkuren? Bagaimana penerapan asas kepastian hukum dalam penyelesaian Perkara hutang piutang di Indonesia? Bagaimana upaya membangun budaya hukum masyarakat guna meminimalisir terjadinya wanprestasi dalam hutang piutang?

Metode

Dalam penelitian ini, Penulis menempuh pendekatan penelitian hukum normatif, yakni suatu metode yang berfokus pada penelusuran bahan-bahan kepustakaan sebagai dasar analisis. Pendekatan ini mencakup kajian terhadap asas-asas hukum, struktur dan sistematika norma, tingkat keterpaduan atau kesesuaian aturan baik secara vertikal maupun horizontal, serta penelaahan terhadap perbandingan dan perkembangan historis dari ketentuan hukum yang relevan [4]. Dari beragam instrumen analitis tersebut, Penulis secara khusus memusatkan perhatian pada pengujian sinkronisasi vertikal dan horizontal untuk memahami bagaimana mekanisme penyelesaian perkara wanprestasi dalam hubungan hutang piutang diproses dan diputus oleh pengadilan, terutama ketika terjadi irisan atau potensi disharmoni antar peraturan yang mengatur ranah tersebut.

Penelitian ini bertumpu pada ragam bahan hukum yang tersusun secara berlapis. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan menjadi fondasi utama untuk menilai legalitas dan kerangka normatif yang berlaku. Di samping itu, digunakan pula bahan hukum sekunder seperti literatur akademik, buku ajar, artikel ilmiah, makalah, laporan penelitian, hingga pemikiran para sarjana yang memberikan analisis dan kritik terhadap penerapan hukum positif. Sebagai pelengkap, penelitian ini turut menggunakan bahan hukum tersier, antara lain direktori putusan Mahkamah Agung, kamus hukum, serta ensiklopedia yang membantu memberikan pemahaman konseptual maupun terminologis atas isu yang dikaji. Dengan memadukan seluruh jenis bahan hukum tersebut, penelitian ini berupaya memberikan gambaran yang komprehensif dan sistematis mengenai konstruksi hukum penyelesaian sengketa wanprestasi hutang piutang di lingkungan peradilan.

Hasil dan Pembahasan

A. Mekanisme Penyelesaian Perkara Wanprestasi Hutang Piutang (Litigasi dan Non-Litigasi)

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi

Litigasi pada dasarnya merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui jalur peradilan, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Mekanisme ini menempatkan pengadilan sebagai forum resmi di mana para pihak membawa perselisihan mereka untuk diperiksa dan diputus oleh hakim. Proses litigasi mencakup serangkaian tahapan yang bersifat formal dan terstruktur, mulai dari pengajuan gugatan atau laporan, pemanggilan para pihak, pemeriksaan alat bukti, jalannya persidangan, hingga penjatuhan putusan yang bersifat mengikat. Setiap tahapan tersebut dilaksanakan berdasarkan tata cara dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum acara. Menurut UU 48/2009, pengadilan merupakan lembaga negara yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hukum dan menegakkan keadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku [5].

2. Penyelesaian Sengketa Melalui Non-Litigasi

Penyelesaian sengketa secara non-litigasi pada dasarnya merujuk pada mekanisme penyelesaian perselisihan yang dilakukan di luar forum peradilan [6]. Berbeda dengan proses litigasi yang bersifat formal dan melalui tahapan prosedural yang ketat, penyelesaian sengketa non-litigasi menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dan berorientasi pada kesepakatan para pihak. Dalam kerangka hukum Indonesia, mekanisme ini dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution (“ADR”) atau alternatif penyelesaian sengketa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 39/1999”), ADR dipahami sebagai suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak, dengan meniadakan penyelesaian melalui jalur litigasi. Kehadiran ADR menjadi semakin penting mengingat beban perkara di pengadilan negeri maupun di Mahkamah Agung terus meningkat dari waktu ke waktu, sehingga menyebabkan proses penyelesaian sengketa melalui litigasi sering kali membutuhkan waktu yang lebih panjang dan berbiaya tinggi. Melalui ADR, para pihak diberikan ruang untuk memilih mekanisme yang lebih cepat, efisien, dan berorientasi pada penyelesaian yang bersifat win–win solution, antara lain melalui mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau arbitrase.

UU 39/1999 mengatur bahwa penyelesaian sengketa tidak selalu harus ditempuh melalui jalur litigasi. Pengaturan ini membuka ruang bagi para pihak untuk memilih mekanisme alternatif di luar pengadilan, yang pada praktiknya dianggap lebih fleksibel, efisien, dan mampu menjaga hubungan para pihak. Setidaknya terdapat lima bentuk penyelesaian sengketa yang diakui oleh undang-undang tersebut [7].

a. Konsultasi, yakni proses penyelesaian sengketa dengan melibatkan seorang konsiliator sebagai pihak ketiga yang membantu para pihak menemukan titik temu.

b. Mediasi, yaitu mekanisme yang diselenggarakan secara lebih cepat dan berbiaya lebih ringan, sekaligus memberi kesempatan kepada para pihak untuk merumuskan sendiri solusi yang dianggap paling adil dan memuaskan.

c. Arbitrase, yang merupakan metode penyelesaian sengketa di mana para pihak sepakat menyerahkan perselisihan mereka kepada arbiter yang bersikap netral untuk memperoleh putusan yang bersifat final dan mengikat [8].

d. Negosiasi, yakni proses perundingan langsung antara para pihak tanpa campur tangan pihak ketiga, yang bertumpu pada dialog dan itikad baik untuk mencapai kesepakatan bersama [9].

e. Penilaian ahli, yaitu permintaan pendapat yang bersifat teknis dari seorang ahli yang kompeten pada bidangnya, yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar atau rekomendasi dalam menentukan penyelesaian sengketa [10].

3. Reformasi Sistem Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Hutang Piutang

Dalam konstruksi negara hukum, penyelenggaraan hukum senantiasa bertumpu pada tiga asas fundamental yang menjadi orientasi utama setiap proses pembentukan, penerapan, maupun penegakan hukum, yakni asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan. Ketiga asas tersebut membentuk satu kesatuan nilai yang tidak dapat dipisahkan; masing-masing saling melengkapi dan menjaga keseimbangan agar hukum dapat bekerja secara efektif. Kepastian hukum tanpa disertai keadilan hanya akan menghasilkan aturan yang kaku dan tidak responsif terhadap dinamika sosial. Sebaliknya, keadilan yang tidak ditopang oleh kepastian berpotensi menciptakan ketidakpastian serta membuka ruang penyalahgunaan kewenangan. Sementara itu, kemanfaatan yang berdiri sendiri tanpa landasan kepastian dan keadilan dapat mengakibatkan praktik hukum yang tidak proporsional dan rawan bias kepentingan.

Salah satu pedoman penting dalam pembaruan tersebut adalah asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini diamanatkan secara tegas dalam Pasal 2 ayat (4) UU 48/2009 dan menjadi standar normatif yang harus dipenuhi oleh setiap lembaga peradilan dalam menangani perkara, termasuk sengketa wanprestasi dalam hubungan hutang piutang. Dengan menerapkan asas ini, proses penyelesaian sengketa diharapkan tidak berbelit-belit, memberikan putusan dalam waktu yang wajar, serta tidak membebani para pihak dengan biaya yang tidak proporsional. Implementasi asas tersebut pada akhirnya menjadi salah satu langkah kunci dalam mewujudkan peradilan yang efektif, berkeadilan, dan memberikan manfaat nyata bagi pencari keadilan.

Dalam rangka mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh UU 48/2009, Mahkamah Agung telah melakukan berbagai langkah pembaruan untuk memperbaiki proses penyelesaian sengketa perdata. Serangkaian regulasi diterbitkan sebagai instrumen untuk mendorong efisiensi dan modernisasi peradilan. Di antaranya adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, yang kemudian diperbarui melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019 agar mekanismenya semakin responsif terhadap kebutuhan masyarakat pencari keadilan. Selain itu, Mahkamah Agung juga menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 mengenai prosedur mediasi di pengadilan sebagai upaya memperluas penyelesaian sengketa secara damai sebelum memasuki tahap pembuktian dan pemeriksaan lebih lanjut.

Upaya modernisasi sistem administrasi perkara juga diwujudkan melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan secara Elektronik, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022. Regulasi ini membuka ruang bagi peradilan yang lebih efisien dengan mengintegrasikan teknologi informasi dalam proses pendaftaran, persidangan, hingga putusan. Meskipun berbagai instrumen pembaruan tersebut telah disediakan dan diharapkan dapat mengurangi beban perkara, realitas di lapangan menunjukkan bahwa jumlah sengketa yang diajukan ke pengadilan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

4. Data Putusan Wanprestasi

Berdasarkan data-data yang Penulis telusuri melalui website resmi Mahkmah Agung Republik Indonesia [11], jumlah putusan perkara wanprestasi menunjukkan tren peningkatan yang sangat signifikan sejak tahun 1970. Hingga saat ini, terdapat total 134.234 putusan terkait wanprestasi yang telah melalui proses litigasi dan diputus oleh pengadilan. Jumlah tersebut mencakup keseluruhan putusan pada empat tingkat peradilan, yaitu pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Temuan ini mengindikasikan bahwa sengketa wanprestasi masih menjadi salah satu jenis perkara paling dominan dalam sistem peradilan perdata, sekaligus mencerminkan tingginya ketergantungan para pihak pada mekanisme litigasi untuk menyelesaikan perselisihan kontraktual.

5. Data Putusan Perkara Hutang Piutang

Selain data-data terkait putusan perkara wanprestasi (ingkar janji), Penulis juga telah menelusuri data-data terkait perkara hutang piutang melalui website resmi Mahkmah Agung Republik Indonesia [12]. Berdasarkan penelusuran tersebut, jumlah perkara hutang piutang yang masuk dan diputus melalui mekanisme litigasi menunjukkan peningkatan signifikan sejak tahun 1970. Secara keseluruhan, terdapat 25.523 putusan perkara hutang piutang yang telah diselesaikan oleh pengadilan, mencakup empat tingkat peradilan, yaitu pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Data ini memperlihatkan bahwa sengketa hutang piutang juga merupakan salah satu sumber perkara yang secara konsisten membebani sistem peradilan, menegaskan pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih efisien dan responsif.

Persentase perkara yang berhasil diupayakan perdamaian melalui mediasi masih sangat rendah jika dilihat secara keseluruhan pada seluruh pengadilan tingkat pertama di Indonesia. Namun, pada pengadilan negeri tertentu, upaya perdamaian melalui mediasi cukup meningkat signifikan. Kemudian, untuk perkara yang masuk pengadilan melalui mekanisme gugatan sederhana cukup meningkat pada pengadilan tertentu. Selain itu, sejak terbitnya Perma No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Perma No. 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, perkara yang masuk pada pengadilan melalui elektronik (e-court) sangat meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Artinya, upaya-upaya yang dilakukan Mahkamah Agung dalam reformasi Sistem penyelesaian perkara yang merupakan implementasi asas sederhana, cepat dan biaya ringan sudah terlaksana, hanya saja belum hasil belum maksimal. Oleh karenanya, diperlukan suatu dobrakan serta sarana yang mumpuni agar perubahannya maksimal.

B. Perlindungan Hukum Kreditur Konkuren

Gagasan mengenai perlindungan hukum berakar pada pemahaman bahwa setiap individu memiliki hak-hak mendasar yang harus diakui, dihormati, dan dijamin oleh negara. Dalam kerangka idee des recht atau ajaran tentang cita hukum, terdapat tiga unsur pokok yang harus hadir secara seimbang agar fungsi hukum dapat berjalan secara ideal. Ketiga unsur tersebut—kepastian, keadilan, dan kemanfaatan—menjadi fondasi normatif yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain [13]. Kepastian hukum memberikan jaminan stabilitas dan prediktabilitas bagi masyarakat, keadilan memastikan bahwa setiap orang diperlakukan sesuai dengan hak-haknya, sementara kemanfaatan menuntut agar hukum membawa dampak positif dan memberikan nilai guna bagi kehidupan sosial. Ketiga unsur tersebut pada dasarnya merupakan manifestasi dari perlindungan hukum yang ditujukan bagi pencari keadilan agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang [14]. Melalui perpaduan yang proporsional antara kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, hukum memberikan ruang yang memungkinkan setiap subjek hukum memperoleh apa yang secara wajar mereka harapkan dalam situasi tertentu.

Upaya memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi para pencari keadilan, khususnya kreditur konkuren yang sering berada pada posisi lemah ketika debitur melakukan wanprestasi, memerlukan landasan teoretis yang kuat. Dalam penelitian ini, analisis diarahkan pada teori perlindungan hukum yang diperkenalkan oleh Philipus M. Hadjon, yang memetakan perlindungan hukum ke dalam dua kategori utama: perlindungan preventif dan perlindungan represif [15]. Kedua bentuk perlindungan tersebut memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi, sehingga bersama-sama mampu menciptakan sistem yang tidak hanya menjamin hak-hak kreditur secara normatif, tetapi juga menjamin adanya pemulihan yang nyata ketika hak tersebut dilanggar. Perlindungan preventif bertujuan memberikan ruang bagi para pihak untuk mencegah terjadinya pelanggaran melalui mekanisme kontrol sebelum sengketa muncul, sedangkan perlindungan represif berfungsi memberikan sarana penyelesaian ketika pelanggaran telah terjadi dan sengketa tidak lagi dapat dihindari.

Perlindungan preventif dipahami sebagai upaya yang dirancang untuk mencegah timbulnya sengketa sebelum hak kreditor benar-benar dilanggar. Dalam konteks hubungan hutang piutang, perlindungan ini tercermin melalui penyusunan perjanjian yang dibuat secara tertulis dan memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Melalui perjanjian yang terstruktur dengan baik, para pihak memperoleh pedoman yang jelas mengenai hak dan kewajiban masing-masing. Selain itu, pencantuman klausula jaminan seperti hak tanggungan, fidusia, gadai, maupun hipotek, berfungsi memperkuat posisi kreditor sekaligus memberikan jaminan bahwa pelunasan utang tetap dapat diwujudkan meskipun debitur kelak ingkar janji. Upaya preventif juga dapat diwujudkan melalui edukasi hukum kepada masyarakat mengenai risiko wanprestasi serta mekanisme mediasi non-litigasi yang memungkinkan penyelesaian sengketa dilakukan secara musyawarah sebelum berlanjut ke proses peradilan.

Berbeda dengan itu, perlindungan represif merupakan bentuk perlindungan yang baru bekerja ketika pelanggaran telah terjadi dan sengketa tidak lagi dapat dihindari. Dalam ranah hutang piutang, perlindungan ini tampak melalui proses penyelesaian perkara di pengadilan, baik melalui gugatan perdata konvensional, gugatan sederhana bagi perkara dengan nilai tertentu, maupun permohonan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Para pihak juga dapat memilih penyelesaian melalui arbitrase atau bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya sebagaimana diatur dalam UU 39/1999. Pada tahap lanjutan, pelaksanaan eksekusi terhadap harta debitur menjadi instrumen yang memastikan putusan pengadilan memiliki efektivitas nyata. Bentuk represif lainnya ialah pemberlakuan sanksi ganti rugi sesuai ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa kreditor baru dapat menuntut ganti rugi apabila debitur secara sah telah dinyatakan lalai dalam memenuhi prestasinya

Perlindungan hukum bagi kreditur konkuren dalam sengketa wanprestasi hutang piutang pada dasarnya mencerminkan upaya negara untuk memastikan bahwa setiap pihak yang dirugikan akibat ingkar janji memperoleh pemulihan yang layak berdasarkan hukum perdata. Dalam posisi yang tidak memiliki jaminan khusus, kreditur konkuren sering kali berada pada titik paling lemah ketika debitur lalai memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, hukum memberikan seperangkat hak yang dapat digunakan kreditur untuk menuntut kepastian dan pemulihan atas kerugian yang timbul. Salah satu bentuk perlindungan tersebut adalah hak untuk menuntut pemenuhan prestasi (nakoming), yakni tuntutan agar debitur memenuhi kewajiban sebagaimana diperjanjikan. Hak ini merupakan instrumen dasar yang memungkinkan kreditur mengembalikan keadaan ke posisi semula sesuai dengan kesepakatan kontraktual.

Selain itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi apabila debitur tetap tidak melaksanakan prestasinya. Ganti rugi ini mencakup kerugian nyata, keuntungan yang hilang, serta biaya tambahan yang timbul akibat kelalaian debitur dalam memenuhi kewajibannya. Jika pelanggaran terjadi dalam tingkat tertentu yang menggoyahkan dasar kesepakatan, kreditur juga berwenang meminta pembatalan perjanjian yang disertai dengan tuntutan ganti rugi, sehingga hubungan hukum dapat diputus sambil tetap memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita. Pada tahap akhir penyelesaian sengketa, perlindungan hukum juga diwujudkan melalui hak kreditur untuk memperoleh eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan eksekusi ini dapat mencakup tindakan penyitaan jaminan (conservatoir beslag) guna memastikan bahwa harta debitur tetap tersedia untuk memenuhi putusan.

Meskipun secara normatif hukum memberikan seperangkat hak bagi kreditur untuk memperoleh pelunasan piutangnya, kenyataan di lapangan tidak selalu sejalan dengan ketentuan tersebut. Sering kali hak-hak itu tidak dapat diwujudkan karena berbagai kendala faktual, terutama ketika debitur tidak memiliki harta yang dapat dijadikan objek sita atau ketika biaya untuk melaksanakan eksekusi justru melebihi nilai utang itu sendiri. Kondisi ini menimbulkan jurang antara idealitas teori perlindungan hukum dan realitas praktik yang dihadapi kreditur sehari-hari. Dalam konteks perlindungan hukum bagi kreditur konkuren, KUHPerdata memberikan landasan penting melalui Pasal 1131, yang menetapkan bahwa seluruh harta kekayaan debitur—baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari—pada dasarnya menjadi jaminan atas seluruh perikatannya. Ketentuan ini dipertegas lebih lanjut oleh Pasal 1132 KUHPerdata, yang menentukan bahwa hasil penjualan harta debitur tersebut diperuntukkan bagi semua kreditur secara proporsional menurut besar kecilnya piutang masing-masing.

C. Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Penyelesaian Perkara Hutang Piutang di Indonesia

Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan fundamental dalam sistem hukum, sejajar dengan asas keadilan dan asas kemanfaatan. Kehadiran kepastian hukum menjadi prasyarat bagi terciptanya ketertiban dalam masyarakat, karena melalui kepastian itulah warga memiliki pedoman yang jelas mengenai bagaimana mereka harus bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tanpa kepastian, hukum kehilangan fungsi utamanya sebagai acuan perilaku, sehingga masyarakat tidak memiliki landasan yang jelas untuk menentukan tindakan yang benar maupun yang dilarang [16]. Peter Mahmud Marzuki memaknai kepastian hukum sebagai keberadaan aturan yang dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis, yang mengandung kaidah-kaidah umum dan bertujuan menjadi rambu bagi setiap individu dalam menjalankan aktivitas sosialnya. Artinya, kepastian hukum bukan sekadar kehadiran norma, melainkan juga kemampuannya untuk memberikan pedoman yang stabil dan dapat diandalkan [17].

Sejalan dengan itu, Gustav Radbruch menekankan bahwa kepastian hukum mensyaratkan empat unsur utama: pertama, hukum harus berwujud hukum positif, khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan; kedua, norma tersebut harus bertumpu pada kenyataan faktual yang objektif; ketiga, fakta-fakta tersebut harus dirumuskan dengan jelas agar tidak memunculkan ambiguitas atau multitafsir; dan keempat, hukum positif tersebut tidak boleh mudah diubah, karena perubahan yang terlalu sering justru akan menggoyahkan stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum [18]. Oleh karena itu, kepastian hukum dipahami sebagai suatu kondisi yang tetap dan dapat diandalkan, baik dalam bentuk norma maupun keputusan yang mengikat, sehingga masyarakat memiliki landasan yang jelas dalam bertindak. Dengan kata lain, kepastian hukum tidak hanya berbicara tentang keberadaan aturan, tetapi juga mengenai stabilitas dan konsistensi aturan tersebut dalam mengatur kehidupan bermasyarakat [13].

Sementara itu, Lon L. Fuller melalui karyanya The Morality of Law menekankan bahwa kepastian hukum merupakan jaminan agar hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut Fuller, hukum tidak akan mencapai tujuan moralnya apabila aturan yang ada tidak diterapkan secara konsisten atau apabila pelaksanaannya berubah-ubah dan tidak terduga [19]. Pandangan ini menegaskan perlunya keselarasan antara norma yang tertulis dan praktik penegakannya, karena tanpa konsistensi tersebut, hukum kehilangan legitimasi dan tidak mampu menjadi pedoman bagi masyarakat. Dengan adanya kepastian hukum, setiap individu dapat memahami batas-batas perilaku yang diperbolehkan maupun yang dilarang. Kepastian memberikan rasa aman, karena masyarakat mengetahui konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka ambil [17].

Dengan merujuk pada uraian mengenai prinsip kepastian hukum sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, perlindungan terhadap kreditur konkuren dalam sengketa wanprestasi hutang piutang menuntut adanya aturan yang tegas dan dapat diandalkan dalam kerangka peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum bagi kreditur hanya dapat terwujud apabila terdapat norma yang secara jelas memberikan dasar bagi mereka untuk menagih dan memperoleh pelunasan atas piutangnya. Dalam konteks ini, KUHPerdata telah menetapkan ketentuan fundamental melalui Pasal 1131, yang menegaskan bahwa seluruh harta kekayaan debitur—baik yang telah ada maupun yang akan diperoleh di kemudian hari—secara hukum menjadi jaminan umum bagi pemenuhan semua perikatannya. Norma ini memberikan kepastian bahwa setiap kreditur, termasuk kreditur konkuren yang tidak memiliki hak jaminan khusus, tetap memiliki landasan hukum untuk menagih piutangnya dari harta debitur. Ketentuan tersebut diperkuat lebih lanjut dalam Pasal 1132 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa hasil penjualan harta debitur akan digunakan untuk melunasi kewajiban debitur kepada seluruh krediturnya, dan pembagian tersebut dilakukan secara proporsional berdasarkan besaran piutang masing-masing.

D. Membangun Budaya Hukum Masyarakat Guna Meminimalisir Terjadinya Wanprestasi dalam Hutang Piutang

Pembangunan budaya hukum pada dasarnya diarahkan untuk mewujudkan penegakan hukum yang mampu memenuhi tiga pilar utama dalam sistem hukum, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Upaya membentuk budaya hukum yang kokoh tidak dapat dipisahkan dari kualitas penegakan hukum itu sendiri, karena tanpa pelaksanaan hukum yang efektif, seluruh norma dan ketentuan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan hanya akan berhenti sebagai teks yang tidak memiliki daya paksa. Penegakan hukum menjadi unsur yang menentukan apakah nilai-nilai yang terkandung dalam hukum benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik. Ketika aparat penegak hukum bekerja secara konsisten, profesional, dan berintegritas, maka tujuan pembangunan budaya hukum—yaitu terciptanya tatanan kehidupan yang berkeadilan, pasti, dan bermanfaat bagi masyarakat—dapat dicapai. Sebaliknya, lemahnya penegakan hukum akan menggerus makna normatif dari aturan yang telah disusun, sehingga hukum kehilangan legitimasi dan fungsinya sebagai instrumen untuk mengatur serta melindungi kepentingan masyarakat secara efektif [20].

Tantangan penegakan hukum di Indonesia sering kali berkaitan dengan faktor penegak hukum itu sendiri, sehingga dalam kaitannya dengan hal itu, maka teori Lawrence Meir Friedman sangat relevan untuk dibahas dalam konteks pembangunan budaya hukum yang bertujuan penegakan hukum demi terciptanya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Menurut Lawrence Meir Friedman, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum meliputi substansi hukum (aturan-aturan yang berlaku) yang lemah, struktur hukum (lembaga-lembaga penegak hukum) yang korup, dan budaya hukum (pola pikir masyarakat dan aparat hukum terhadap hukum) [21], yang belum sepenuhnya mendukung supremasi hukum menjadi faktor-faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia.

Konsep budaya hukum menurut Lawrence M. Friedman menegaskan bahwa kepatuhan terhadap hukum sangat dipengaruhi oleh sikap, persepsi, serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketika masyarakat memiliki pandangan positif terhadap hukum dan memercayai bahwa hukum mampu memberikan perlindungan terhadap hak-hak mereka, kecenderungan untuk menaati aturan, memanfaatkan mekanisme hukum, dan melaporkan pelanggaran akan meningkat. Sebaliknya, apabila publik memandang sistem hukum tidak dapat dipercaya, tidak adil, atau rentan disalahgunakan, maka proses penegakan hukum akan menghadapi hambatan serius. Karena itu, Friedman menempatkan pendidikan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat sebagai fondasi penting dalam membangun budaya hukum yang menopang efektivitas penegakan hukum.

Budaya hukum pada hakikatnya mencerminkan cara pandang, kebiasaan, dan sikap baik masyarakat maupun aparat penegak hukum terhadap hukum itu sendiri. Ketika budaya hukum yang berkembang bersifat positif—menghargai supremasi hukum, menolak penyimpangan, serta menjunjung integritas—maka tercipta ekosistem yang kondusif bagi pelaksanaan hukum secara adil dan konsisten. Namun, dalam konteks Indonesia, dinamika budaya hukum kerap dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang lebih menonjolkan hubungan kekeluargaan, kedekatan personal, dan praktik-praktik informal dibanding kepatuhan terhadap aturan formal. Hal ini tercermin dari masih adanya praktik suap, kolusi, atau intervensi dalam proses peradilan, yang pada gilirannya memperburuk citra lembaga hukum dan menggerus kepercayaan publik.

Oleh sebab itu, penguatan budaya hukum memerlukan upaya sistematis untuk menanamkan nilai-nilai hukum yang benar di tengah masyarakat. Pendidikan hukum, kampanye publik, serta kerja sama antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal menjadi instrumen penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa penegakan hukum yang adil, transparan, dan bebas dari praktik penyimpangan merupakan kebutuhan bersama. Melalui proses ini, budaya hukum yang sehat dapat tumbuh dan menjadi fondasi bagi sistem penegakan hukum yang lebih efektif dan berintegritas.

Dalam rangka meningkatkan efektivitas penegakan hukum—termasuk di dalamnya penegakan hukum atas perkara wanprestasi dalam hubungan hutang-piutang—diperlukan suatu reformasi menyeluruh yang menyasar kedua faktor utama dalam sistem hukum, yaitu struktur hukum dan budaya hukum. Pertama, aspek struktur hukum harus diperkuat melalui peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum, baik dari segi pendidikan, pelatihan, maupun pembinaan etika profesi. Reformasi kelembagaan yang menekankan integritas, akuntabilitas, dan profesionalisme menjadi prasyarat agar aparat penegak hukum mampu bertindak secara independen, objektif, dan sesuai dengan prinsip due process of law. Kedua, budaya hukum masyarakat perlu dibangun melalui pendidikan hukum yang lebih komprehensif serta kampanye kesadaran hukum yang berkelanjutan. Masyarakat harus diberi pemahaman mengenai hak dan kewajiban hukum mereka, serta peran penting penegakan hukum yang adil dan transparan, sehingga tercipta partisipasi publik yang aktif dalam mengawasi, mendukung, dan mendorong praktik penegakan hukum yang responsif dan berkeadilan.

Secara keseluruhan, upaya mengatasi berbagai hambatan penegakan hukum di Indonesia memerlukan pendekatan yang holistik, terukur, dan berkelanjutan. Reformasi tidak boleh berhenti pada aspek regulasi atau struktur kelembagaan semata, tetapi harus disertai transformasi pola pikir, sikap, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Penguatan struktur hukum perlu berjalan seiring dengan peningkatan kualitas budaya hukum, baik melalui edukasi yang sistematis, pembiasaan perilaku hukum yang benar, maupun penerapan norma secara konsisten oleh aparat dan masyarakat. Sinergi antara struktur hukum yang profesional dan budaya hukum yang matang inilah yang menjadi dasar bagi terciptanya sistem penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.

Simpulan

Secara garis besar, penyelesaian sengketa perdata—termasuk sengketa wanprestasi dalam hubungan hutang piutang—dapat ditempuh melalui dua jalur utama, yakni penyelesaian secara litigasi di pengadilan dan penyelesaian melalui mekanisme alternatif di luar pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan mencakup rangkaian proses mulai dari pengajuan gugatan, agenda persidangan, hingga diperolehnya putusan akhir yang berkekuatan hukum. Sementara itu, jalur alternatif penyelesaian sengketa meliputi berbagai mekanisme seperti konsultasi, mediasi, arbitrase, negosiasi, serta penggunaan pendapat ahli. Dalam rangka mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, Mahkamah Agung telah melakukan sejumlah pembaruan dengan mengatur skema mediasi, gugatan sederhana, serta sistem persidangan elektronik (e-court). Meskipun langkah-langkah ini menunjukkan kemajuan, efektivitas implementasinya masih memerlukan penguatan agar tujuan reformasi peradilan perdata dapat tercapai secara optimal.

Dalam konteks perlindungan hukum, dikenal dua bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada para pihak, yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif bertujuan mencegah terjadinya pelanggaran hak atau sengketa, yang dalam hubungan hutang piutang dapat diwujudkan melalui pembuatan perjanjian tertulis yang memenuhi syarat sah perikatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, pencantuman klausula jaminan seperti hak tanggungan, fidusia, gadai, atau hipotek, serta peningkatan edukasi hukum kepada masyarakat terkait risiko wanprestasi. Selain itu, mekanisme mediasi di luar pengadilan juga dapat menjadi sarana efektif untuk menyelesaikan perselisihan secara damai sebelum memasuki ranah litigasi. Adapun perlindungan hukum represif diberikan setelah terjadinya sengketa atau pelanggaran, yang antara lain mencakup pengajuan gugatan ke pengadilan atau penyelesaian melalui arbitrase untuk menuntut pemenuhan prestasi, ganti rugi, pembatalan perjanjian dengan kompensasi, hingga pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk terhadap objek jaminan jika tersedia.

Dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi kreditur konkuren dalam perkara wanprestasi hutang piutang, hukum positif Indonesia telah memberikan dasar yang jelas melalui Pasal 1131 KUHPerdata, yang menetapkan bahwa seluruh harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi seluruh perikatannya. Ketentuan ini diperkuat oleh Pasal 1132 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa hasil penjualan harta debitur tersebut diperuntukkan bagi semua kreditur dan dibagi secara proporsional sesuai dengan besaran piutang masing-masing. Dengan demikian, secara normatif telah terdapat kepastian hukum bahwa kreditur konkuren memiliki hak yang dijamin atas harta kekayaan debitur, meskipun efektivitas perlindungan ini sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya aset debitur yang dapat dieksekusi.

Merujuk pada teori Lawrence Meir Friedman, penegakan hukum di Indonesia tidak jarang menghadapi hambatan yang berasal dari tiga unsur utama, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan masyarakat, struktur lembaga penegak hukum yang masih menghadapi persoalan integritas dan profesionalisme, serta budaya hukum masyarakat yang belum sepenuhnya mendukung supremasi hukum menjadi faktor-faktor yang menghambat tercapainya penegakan hukum yang efektif. Oleh karena itu, reformasi diperlukan pada berbagai level. Penguatan struktur hukum harus dilakukan melalui peningkatan kualitas lembaga penegak hukum, baik dari segi pendidikan maupun pelatihan, serta pembenahan institusional yang menempatkan integritas dan profesionalisme sebagai pilar utama. Selain itu, pengembangan budaya hukum perlu diwujudkan melalui pendidikan hukum yang lebih komprehensif dan kampanye kesadaran hukum, sehingga masyarakat memahami hak-hak mereka dan terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam proses penegakan hukum.

Berdasarkan temuan tersebut, penelitian ini mengajukan beberapa rekomendasi. Pertama, lembaga pembentuk undang-undang diharapkan segera mengintegrasikan regulasi mengenai mediasi ke dalam bentuk undang-undang untuk memastikan keberlanjutan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam penyelesaian sengketa. Kedua, pemerintah perlu terus membangun budaya hukum masyarakat melalui pendidikan hukum dan sosialisasi mengenai pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan. Ketiga, lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung, diharapkan terus melakukan inovasi sebagai bagian dari pembaruan sistem peradilan perdata agar penyelesaian sengketa, termasuk sengketa wanprestasi hutang piutang, dapat dilakukan secara lebih efisien, sederhana, dan terjangkau sebagaimana amanat UU 48/2009. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan sistem penyelesaian sengketa perdata ke depan dapat lebih responsif, efektif, dan mampu memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi seluruh pihak.

References

S. Soekanto, “Aspek Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit,” Jurnal Ilmu Hukum, vol. 12, no. 2, pp. 85–100, 2019.

A. Saifuddin, Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Penyelesaian Perkara Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang Piutang (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta). Surakarta, Indonesia, 2015.

S. Marianna, “Latar Belakang Dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan: Tujuan, Visi, Misi Serta Pokok-Pokok Pengaturan Dalam PERMA,” 2003.

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram, Indonesia: Mataram University Press, 2020.

Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1), 2009.

A. Nur, Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2011.

J. Matheus, “E-Arbitration: Digitization of Business Dispute Resolution Pada Sektor E-Commerce Dalam Menyongsong Era Industri 4.0 Di Tengah Pandemi Covid-19,” Lex Renaissance, vol. 6, no. 4, pp. 692–704, 2021.

A. Wynona, “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup,” Jurnal Beraja Niti, vol. 2, no. 8, 2013.

H. Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2004.

T. Rahmadi, Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2011.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, “‘Wanprestasi,’ Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia,” 2025.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, “‘Hutang Piutang,’ Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia,” 2025.

S. Rahardjo, Ilmu Hukum, 5th ed. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2000.

S. Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 1993.

P. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya, Indonesia: Bina Ilmu, 1987.

Shidarta, Hukum Penalaran Dan Penalaran Hukum. Yogyakarta, Indonesia: Genta Publishing, 2013.

P. M. Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2009.

O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum. Jakarta, Indonesia: BPK Gunung Mulia, 1970.

L. L. Fuller, The Morality of Law. New Haven, CT: Yale University Press, 1964.

A. Saepudin and G. M. Saragih, Eksistensi Advokat Dalam Penegakan Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2023.

L. M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective. New York, NY: Russell Sage Foundation, 1975.