Login
Section Law

Unilateral Termination of Employment for Employees on the Grounds of Company Efficiency

Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Terhadap Pekerja Dengan Alasan Efisiensi Perusahaan
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Cendana Suryani (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Employment termination due to corporate efficiency remains a critical issue within Indonesia’s labor framework, as it directly affects workers’ rights and socio-economic stability. Specific Background: Although statutory provisions such as Law No. 13/2003 and its amendments regulate termination, ambiguity persists, particularly regarding the scope of “efficiency,” allowing broad employer discretion. Knowledge Gap: Existing regulations fail to define efficiency clearly and diverge from Constitutional Court rulings requiring permanent business closure, creating inconsistencies in practice. Aims: This study examines the legal basis for efficiency-based termination and identifies corporate considerations in implementing labor efficiency measures. Results: Findings show that recent regulations, particularly PP 35/2021, expand employer flexibility by permitting efficiency-based termination without permanent shutdown, contradicting constitutional standards while increasing risks of unilateral action. Companies must assess internal-external factors, map affected employees, allocate severance budgets, and prepare comprehensive documentation. Novelty: This research highlights the regulatory dissonance between statutory reforms and constitutional jurisprudence while providing a structured framework for lawful termination practices. Implications: Ensuring compliance with legal principles and safeguarding workers’ rights is essential to prevent misuse of efficiency claims and uphold social justice within industrial relations.


Highlights:




  • Highlights the legal inconsistency between labor laws and Constitutional Court decisions on efficiency-based termination.




  • Emphasizes the risk of unilateral layoffs due to the vague definition of “efficiency” and “company loss.”




  • Stresses the need for structured corporate procedures to protect workers’ rights and ensure lawful, transparent PHK.




Keywords: Termination of Employment, Company Efficiency, Labor Law, Workers’ Rights, Constitutional Conflict

Author Biographies

Cendana Suryani, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Gunardi Lie, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Sebagai negara yang menjunjung prinsip rule of law, Indonesia berkewajiban memberikan jaminan keadilan bagi seluruh warga negaranya, termasuk dalam sektor ketenagakerjaan. Mewujudkan sasaran pembangunan nasional yang berfokus pada peningkatan kualitas hidup seluruh masyarakat membutuhkan dua prasyarat mendasar pada perlindungan yang memadai dan penerapan keadilan yang setara dalam seluruh aspek hubungan kerja [1]. Fondasi pembangunan nasional tidak terletak pada kekuatan modal finansial atau kuantitas kekayaan alam yang tersedia. Justru, keberhasilan substantifnya sangat dipengaruhi oleh tingkat kualitas dan kepastian perlindungan yang diberikan kepada tenaga kerja, yang merupakan komponen primer dari sumber daya manusia [2]. Tenaga kerja menjadi unsur utama yang berperan langsung dalam menggerakkan roda pembangunan dan menentukan keberhasilan pelaksanaannya [3].

Eksistensi sumber daya manusia dalam dunia kerja tidak dapat direduksi hanya sebagai pelaku kegiatan ekonomi praktis. Mereka adalah elemen fundamental yang menentukan keberlanjutan serta keseimbangan proses pembangunan bangsa dalam perspektif jangka panjang. Dalam ranah regulasi perburuhan, individu yang bekerja harus diposisikan sebagai subjek yang memiliki kedudukan hukum dengan segala hak yang melekat padanya, bukan sekadar objek atau sarana untuk mencapai target produksi. Kumpulan hak-hak tersebut harus dihormati secara absolut, dijamin proteksinya, dan diwujudkan selaras dengan prinsip-prinsip keadilan sosial, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Di sisi lain, sektor ketenagakerjaan memiliki peran krusial dalam dinamika pembangunan nasional, sebab tenaga kerja berfungsi sebagai penggerak utama yang memobilisasi aktivitas di seluruh sektor perekonomian. Absennya kontribusi pekerja akan mengakibatkan ketidakmampuan perusahaan dalam menjalankan operasional bisnisnya secara maksimal. Di luar perannya sebagai aktor dalam transaksi ekonomi, pekerja juga memiliki kedudukan strategis sebagai pilar penyangga arsitektur dan dinamika perekonomian Indonesia secara menyeluruh [4].

Keterikatan ketenagakerjaan adalah hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang terbentuk antara pihak pemberi kerja dan pihak pekerja selama proses penunaian kewajiban kerja. Relasi ini berfungsi sebagai fondasi legal yang memunculkan hak dan kewajiban (rechten en plichten) spesifik bagi kedua belah pihak, di mana pemenuhannya harus didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku. Kerangka pengaturan mengenai hubungan industrial ini telah dirangkum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Tujuan dari penetapan regulasi ini adalah untuk memberikan proteksi legal dan kesejahteraan (welfare) kepada pekerja, sekaligus berfungsi sebagai stimulan bagi kemajuan dan penguatan sektor ketenagakerjaan secara nasional [5]. Landasan konstitutif yang menghasilkan hubungan kerja yang sah di mata hukum adalah kesepakatan bilateral yang terjalin antara pekerja dan pihak pemberi kerja. Dari kesepakatan ini, terciptalah kewajiban dan hak (obligasi dan hak) yang bersifat mutlak dan wajib dipenuhi oleh kedua belah pihak secara resiprokal. Oleh karena itu, perjanjian kerja menduduki posisi sebagai perangkat hukum primer yang menjalankan fungsi mengatur (regulatoris) dan mengarahkan (direktif) dalam penyelenggaraan seluruh aktivitas hubungan industrial [6].

Pihak yang melakukan prestasi berupa penyediaan tenaga dan jasa dalam suatu hubungan industrial secara yuridis disebut sebagai pekerja atau buruh [7]. Pekerja menempati posisi substansial dalam menopang aktivitas perekonomian serta mengisi demand pasar tenaga kerja. Oleh karenanya, hak-hak pekerja mendapat jaminan konstitusional melalui instrumen regulasi perundang-undangan dalam rangka memberikan legal protection dan mewujudkan kondisi kerja yang memenuhi standar kelayakan. Sebaliknya, pekerja memiliki tanggung jawab untuk menjalankan seluruh tugas dan kewajiban yang tertera di dalam perjanjian kerja, di samping mematuhi regulasi internal yang telah ditetapkan oleh manajemen perusahaan [8]. Pencapaian proporsionalitas ini antara hak dan kewajiban merupakan kunci utama yang memastikan terciptanya hubungan kerja yang stabil dan damai.

Relasi industrial merujuk pada ikatan yuridis resiprokal antara entitas pengusaha dan individu pekerja. Ikatan ini secara inheren mengandung tiga kriteria utama, yaitu adanya perwujudan kinerja (prestasi kerja), pemberian imbalan jasa (upah), serta prinsip kepatuhan struktural (perintah) [9]. Keterikatan ini menjadi basis dasar yang melegitimasi seluruh kegiatan produksi barang maupun penyediaan jasa. Secara esensial, pelaksanaan hubungan kerja tersebut dibatasi oleh durasi waktu yang telah disepakati di dalam perjanjian kerja, apakah itu berbentuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Akan tetapi, secara faktual, hubungan kerja dapat mengalami pemutusan sebelum masa kontraktualnya berakhir karena beragam keadaan. Antara lain, rasionalisasi kepegawaian yang disebabkan oleh kondisi force majeure ekonomi, ketidakmampuan fisik pekerja untuk melaksanakan tugas karena kondisi medis, pelanggaran terhadap peraturan perusahaan, resign secara voluntary, ataupun grounds lain yang dilegitimasi oleh hukum positif.

Fakta ini menunjukkan bahwa relasi ketenagakerjaan memiliki sifat fleksibel dan dapat mengalami perubahan sesuai dengan dinamika kondisi ekonomi, sosial, ataupun situasi pribadi pekerja. Dalam praktik hubungan industrial, PHK menjadi peristiwa yang menimbulkan konsekuensi hukum yang besar sebab menyangkut hak-hak dan posisi hukum para pihak, yakni pemberi kerja dan tenaga kerja [10]. Bagi pengusaha, pemutusan hubungan kerja acapkali diposisikan sebagai upaya ultima ratio guna menjaga kontinuitas operasional perusahaan, khususnya ketika menghadapi tekanan kondisi ekonomi. Sebaliknya, dari sudut pandang pekerja, PHK membawa konsekuensi signifikan antara lain terputusnya income stream, meningkatnya burden finansial, serta berkurangnya job security dalam hubungan ketenagakerjaan. Apabila PHK berlangsung dalam skala luas, efek dominonya dapat menyebar ke ranah sosial, di antaranya kenaikan angka unemployment, melemahnya purchasing power masyarakat, hingga munculnya potensi instabilitas sosial termasuk peningkatan tingkat kejahatan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Umar Kasim, PHK merupakan realitas hukum yang lazim dijumpai dalam praktik industrial relations dan memiliki implikasi fundamental, baik dari segi yuridis maupun sosial [11]. Dalam upaya memberikan jaminan perlindungan hukum serta kesejahteraan tenaga kerja, eksekusi PHK secara sepihak seyogyanya dieliminir, kecuali apabila terdapat alasan yang bersifat urgen dan berkesesuaian dengan regulasi perundang-undangan yang berlaku. Meskipun secara de jure telah disediakan beragam mekanisme preventif, antara lain musyawarah bipartit, proses mediasi, ataupun penetapan oleh institusi penyelesaian perselisihan industrial, secara de facto PHK tetap kerap menjadi alternatif terakhir yang diambil oleh pengusahaDalam situasi tertentu, pemberi kerja memiliki dasar hukum untuk melaksanakan pemutusan hubungan kerja, khususnya apabila kelangsungan perusahaan mengalami ancaman serius akibat kondisi ekonomi yang buruk atau hambatan operasional yang tidak dapat diselesaikan melalui cara lain. Walaupun kebijakan ini membawa beban moral dan sosial yang signifikan, umumnya PHK dilakukan setelah seluruh upaya hukum dan administratif untuk mempertahankan relasi kerja dinilai tidak lagi memberikan hasil yang efektif baik secara hukum maupun rasional.

Dalam ranah hukum ketenagakerjaan, terminasi hubungan kerja dapat diklasifikasikan berdasarkan subjek yang mengambil inisiatif serta landasan yuridis yang menjadi dasarnya. Klasifikasi ini memiliki urgensi untuk memahami karakteristik, basis hukum, serta konsekuensi yuridis yang potensial muncul. Regulasi memberikan pembenaran hukum bagi pihak pemberi kerja untuk mengakhiri hubungan kerja manakala pekerja terbukti melakukan kesalahan serius yang rinciannya telah diuraikan secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan [12]. Secara praktis, pemberi kerja memiliki kewajiban untuk mematuhi keseluruhan mekanisme hukum yang berlaku supaya implementasi terminasi hubungan kerja tetap selaras dengan asas keadilan serta memberikan proteksi terhadap tenaga kerja [13].

Selain pemberi kerja, tenaga kerja juga memiliki hak untuk mengakhiri relasi ketenagakerjaan dengan pengusaha manakala terdapat justifikasi yang legitimate secara yuridis. Asas hukum ketenagakerjaan menegaskan bahwa pekerja tidak boleh dipaksa untuk melanjutkan pekerjaannya apabila ia tidak menghendakinya. Terminasi hubungan kerja oleh pekerja dapat diimplementasikan ketika pemberi kerja melakukan pelanggaran terhadap obligasi hukum atau melakukan tindakan yang merugikan, antara lain melakukan tindak kekerasan, perbuatan merendahkan martabat, atau intimidasi; memaksa tenaga kerja untuk melanggar regulasi; menunda atau menahan pembayaran gaji selama tiga bulan berturut-turut; tidak memenuhi prestasi sesuai kontrak kerja; memberikan tugas yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal; atau menugaskan pekerjaan yang mengancam keselamatan, kesehatan, ataupun moralitas pekerja yang tidak tercantum dalam perjanjian kerja [14]. Tanpa mengacu pada justifikasi tertentu, seorang pekerja memiliki hak istimewa untuk mengakhiri kontrak secara sepihak, tanpa perlu melalui proses penyelesaian sengketa dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Meskipun demikian, pekerja yang mengundurkan diri tetap berhak mendapatkan ganti rugi atas hak-haknya, sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Mereka juga berhak atas kompensasi pengakhiran hubungan kerja yang mekanismenya didefinisikan dalam perjanjian kerja, peraturan internal, atau perjanjian kerja bersama [12].

Di samping terminasi hubungan kerja yang dilaksanakan oleh pemberi kerja atau atas kehendak tenaga kerja, terdapat pula pemutusan hubungan kerja yang berlangsung secara otomatis berdasarkan hukum. Kategori PHK ini terjadi tanpa memerlukan penetapan dari institusi peradilan maupun administratif, sebab berakhirnya relasi ketenagakerjaan ditentukan oleh kondisi spesifik yang diakui secara yuridis. Beberapa situasi yang dapat mengakibatkan PHK demi hukum meliputi: tenaga kerja mengundurkan diri secara kemauannya sendiri; terjadi transformasi status, merger, konsolidasi, atau alih kepemilikan perusahaan yang mengakibatkan pekerja menolak untuk melanjutkan relasi kerja; perusahaan mengalami defisit berkelanjutan selama dua tahun atau menghadapi kondisi force majeure sehingga harus menghentikan operasional; pemberi kerja melakukan rasionalisasi dengan mempertimbangkan masa kerja, dedikasi, dan beban tanggungan pekerja; perusahaan dinyatakan bangkrut; apabila pekerja meninggal dunia; pekerja mencapai batas usia untuk pensiun; atau pekerja absen selama lima hari kerja secara berturut-turut tanpa adanya alasan yang dibenarkan (justifikasi sah), meskipun panggilan telah disampaikan secara patut sebanyak dua kali. Khusus pada kondisi terakhir, pekerja dianggap telah mengundurkan diri secara konstruktif (constructive resignation). Walaupun kasus PHK demi hukum ini tidak sering ditemukan dalam praktik, ia tetap memiliki legitimasi normatif berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan [14].

Selain mekanisme tradisional seperti PHK oleh pengusaha, pekerja, atau yang berlaku otomatis sesuai aturan, terdapat pula PHK yang diputuskan oleh lembaga peradilan. Jenis PHK ini muncul sebagai hasil dari kegagalan penyelesaian sengketa hubungan industrial yang melibatkan pekerja dan pengusaha di tingkat awal, seperti negosiasi bipartit, mediasi, atau konsiliasi. Berakhirnya ikatan kerja dalam kondisi ini merupakan implementasi dari ketetapan hukum yang inkracht. Fenomena ini mengindikasikan transisi penyelesaian konflik kerja dari lingkup internal ke sistem yudisial, menjadikannya masalah publik ketika penyelesaian internal tidak efektif. Dengan demikian, PHK yang didasarkan pada putusan pengadilan memiliki fungsi krusial sebagai langkah pamungkas (ultimum remedium) dalam menyelesaikan pertikaian antara pekerja dan pemberi kerja [13].

Mengacu pada penggolongan jenis PHK, tenaga kerja yang merupakan pilar utama sistem ketenagakerjaan senantiasa berhadapan dengan beragam kesulitan dan isu krusial. Salah satu isu yang dominan adalah dampak krisis ekonomi, di mana banyak korporasi di Indonesia terpaksa menerapkan restrukturisasi organisasi. Tindakan yang lazim diambil adalah pemangkasan jumlah karyawan demi mencapai efisiensi operasional. Konsekuensi dari kondisi ini adalah melonjaknya frekuensi PHK, yang memaksa individu pekerja yang minim keterampilan atau keahlian spesifik untuk mencari alternatif penghidupan baru. Selain itu, pesatnya laju pertumbuhan populasi di berbagai negara berkembang memperparah ketidakseimbangan distribusi pendapatan, sebab peningkatan jumlah keluarga baru cenderung terkonsentrasi pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pada akhirnya, fenomena ini turut memicu kemunculan pengangguran, baik yang terbuka maupun terselubung [15].

Meskipun alasan efisiensi seringkali disuarakan oleh pengusaha sebagai justifikasi bagi PHK, terminologi ini tidak tercantum secara definitif dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah tersebut merujuk pada praktik menjalankan usaha atau aktivitas dengan memaksimalkan daya guna sumber daya seperti waktu, biaya, dan energi. Sampai saat ini, dasar hukum PHK yang menggunakan klaim efisiensi masih menjadi polemik, dipicu oleh multi-interpretasi terhadap Pasal 164 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003. Ayat ini mengizinkan PHK, bukan hanya dalam kondisi defisit keuangan selama dua tahun berurutan atau situasi keadaan darurat (force majeure), tetapi juga secara khusus mencakup pelaksanaan efisiensi sebagai alasan yang diakui secara hukum [12]. Interpretasi yang berbeda mengenai kapan efisiensi dapat dijadikan alasan PHK menjadi salah satu perdebatan utama. Sebagian kalangan berargumen bahwa tindakan efisiensi hanya bisa dibenarkan apabila perusahaan menghentikan seluruh kegiatan usahanya, tetapi pihak lain berpendapat bahwa efisiensi bisa diterapkan bahkan ketika perusahaan terus menjalankan aktivitas bisnisnya. Terlepas dari perbedaan penafsiran itu, masalah krusial lain dalam PHK adalah tidak dipenuhinya kewajiban perusahaan terhadap hak-hak pekerja, mencakup dana kompensasi, uang jasa masa kerja, dan berbagai bentuk penggantian hak lain. Kurangnya pemenuhan hak-hak ini memunculkan indikasi kuat bahwa proses PHK sering kali diputuskan secara tunggal tanpa melibatkan persetujuan dari pekerja [16].

Untuk mengamankan eksistensi bisnisnya, korporasi terpaksa menerapkan strategi-strategi kunci sebagai respons terhadap merosotnya laju pertumbuhan ekonomi domestik yang berkorelasi dengan tren global. Pengurangan jumlah staf adalah salah satu langkah efisiensi yang paling sering dipilih. Walaupun demikian, berdasarkan kaidah hukum, PHK diamanatkan untuk menjadi solusi paling akhir setelah semua upaya penghematan non-PHK lainnya telah dioptimalkan. Dalam realitas praktis, terdapat fenomena di mana pemberi kerja meminta para pekerja yang terkena PHK untuk menandatangani surat pernyataan berhenti sukarela. Tindakan ini merupakan anomali yang secara serius mempertanyakan kepatuhan terhadap peraturan dan etika bisnis.

PHK secara normatif diizinkan sebagai jalan keluar paling akhir dalam rangka efisiensi. Landasan ini hanya dapat diambil setelah perusahaan terbukti melaksanakan serangkaian inisiatif yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI tentang Penanggulangan PHK (Nomor SE.907/MEN/PHI-PPHI/X/2004). Prioritas upaya yang harus ditempuh meliputi: penyesuaian upah dan fasilitas untuk jajaran direksi atau manajer; penataan ulang jadwal pergantian kerja (shift); peniadaan atau pembatasan jam kerja ekstra (lembur); pemotongan durasi atau jumlah hari kerja; merumahkan atau meliburkan karyawan secara bergiliran untuk periode tertentu; tidak memperbarui perjanjian kerja yang telah usai masa berlakunya; hingga pemberian program pensiun dini bagi staf yang telah memenuhi syarat.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana dasar hukum PHK dengan alasan efisiensi dalam peraturan perundang-undangan?danbagaimana perusahaan mempertimbangkan faktor-faktor yang relevan dalam melaksanakan efisiensi ketenagakerjaan?

Dari serangkaian pemaparan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa PHK yang didasari oleh klaim efisiensi korporasi merupakan isu yang berimplikasi substansial terhadap pemenuhan hak-hak pekerja. Kondisi ini menuntut adanya pemahaman komprehensif terhadap kerangka regulasi, hak-hak yang dimiliki oleh tenaga kerja, serta mekanisme penerapan PHK di lapangan. Berdasarkan urgensi permasalahan tersebut, penulis memfokuskan studi ini pada judul: "Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Terhadap Pekerja dengan Alasan Efisiensi Perusahaan" dengan tujuan utama untuk menganalisis seluruh aspek yuridis yang melekat pada fenomena tersebut.

Metode

Jenis riset ini diklasifikasikan sebagai penelitian hukum normatif. Fokus utamanya adalah melakukan telaah mendalam terhadap beragam elemen yuridis. Elemen-elemen tersebut mencakup: konsep-konsep teoritis dalam ilmu hukum, prinsip-prinsip fundamental hukum (asas-asas), struktur sistematis regulasi, koherensi antara norma-norma legal, rekam jejak historis hukum, dan juga perbandingan antar sistem hukum yang berbeda [17]. Studi ini diklasifikasikan sebagai riset hukum normatif (normative legal research). Metodologi ini memungkinkan investigasi terhadap permasalahan legal dari aspek yuridis dan konseptual, sehingga jangkauan analisisnya melampaui observasi faktual (empiris). Selaras dengan pandangan para ahli seperti Soekanto dan Mamudji, penelitian jenis ini sering disebut penelitian kepustakaan (library research), sebab basis data pokoknya berasal dari berbagai literatur hukum. Akumulasi data riset dilakukan melalui sumber sekunder, yakni peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, publikasi resmi pemerintah, dan jurnal ilmiah. Secara khusus, sumber data utama (primer) yang diacu meliputi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja).

Pemilihan metodologi ini didasari oleh sasaran utama penelitian, yaitu melakukan eksaminasi komprehensif terhadap dimensi hukum terkait eksekusi PHK oleh entitas bisnis yang beralasan efisiensi. Kajian ini secara spesifik memfokuskan pada validitas legal praktik PHK tersebut, mencakup konsekuensi dari pelanggaran terhadap Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan pengaruhnya terhadap legalitas serta kelangsungan operasional korporasi. Guna mewujudkan tujuan tersebut, studi ini mengaplikasikan pendekatan undang-undang (statute approach), sebuah metode yang menekankan analisis terpusat pada regulasi perundang-undangan yang saat ini masih berlaku. Dengan demikian, studi ini memberikan pemahaman yuridis yang utuh dan komprehensif mengenai bagaimana prosedur eksekusi PHK seharusnya dilaksanakan, hak dan kewajiban yang dimiliki pekerja, serta pertanggungjawaban perusahaan dalam kerangka peraturan ketenagakerjaan. Penelitian ini tidak hanya menelaah dasar hukum PHK karena efisiensi, tetapi juga mengkaji dimensi hak pekerja dan kewajiban pemberi kerja. Hasilnya adalah suatu analisis hukum yang komprehensif yang diharapkan dapat memberikan kontribusi berharga bagi kemajuan studi hukum ketenagakerjaan di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

A. Dasar Hukum PHK dengan Alasan Efisiensi dalam Peraturan Perundang-Undangan

Pemberi kerja kerap kali mendasarkan eksekusi PHK dengan alasan efisiensi pada otentisitas legal yang termaktub di Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Regulasi ini memberikan otorisasi kepada pengusaha untuk melaksanakan PHK bahkan jika perusahaan tidak mengalami defisit finansial selama dua tahun berturut-turut atau tidak berada dalam situasi keadaan kahar (force majeure), asalkan tindakan efisiensi dinilai sebagai kebutuhan mendesak. Dalam konteks pelaksanaan PHK jenis ini, tenaga kerja tetap berhak menerima paket kompensasi tertentu. Kompensasi yang berhak diterima mencakup: dana pesangon yang besarannya dikalikan dua dari standar yang ditetapkan dalam Pasal 156 ayat (2); dana penghargaan masa kerja dengan nominal setara satu kali standar Pasal 156 ayat (3); serta hak-hak lain yang wajib diganti yang pengaturannya diuraikan pada Pasal 156 ayat (4).

Seiring dengan perkembangan waktu, legalitas Pasal 164 ayat (3) telah dipertanyakan dan menjalani pengujian konstitusional di MK, yang menghasilkan Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011 [18]. Inti dari uji materiil ini adalah penafsiran yang tepat terhadap frasa "perusahaan tutup" sebagaimana termuat dalam pasal tersebut. Pokok perkara yang melatarbelakangi putusan MK adalah protes dari pekerja yang menganggap dirinya dirugikan; pemberi kerja menggunakan pasal tersebut untuk melakukan PHK dengan dalih efisiensi, padahal faktanya kegiatan usaha tidak dihentikan, melainkan hanya mengalami restrukturisasi atau pembaruan sementara. Oleh karena itu, penerapan Pasal 164 ayat (3) untuk PHK berlandaskan efisiensi senantiasa memicu kontroversi di lapangan, di mana sejumlah karyawan menolak pemutusan hubungan kerja mereka dengan argumentasi bahwa operasional perusahaan tidak benar-benar dihentikan.

Perubahan substansial pada aturan PHK yang didasarkan pada efisiensi telah terjadi seiring pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Regulasi yang baru diberlakukan ini, bersama dengan instrumen turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (yang mengatur PKWT, Alih Daya, Jam Kerja/Istirahat, dan PHK), kini mengambil alih dan menggantikan peran Pasal 164 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sebagai konsekuensi, acuan ketentuan yang sah saat ini berpindah ke Pasal 36 huruf b PP 35/2021. Perangkat hukum terbaru ini mengizinkan PHK karena efisiensi dilaksanakan, baik dengan penghentian total operasi korporasi maupun tanpa penutupan permanen, asalkan pemberi kerja dapat membuktikan adanya kerugian finansial atau perlunya tindakan efisiensi untuk menjamin keberlanjutan bisnis. Hasilnya, perusahaan kini diberikan kelonggaran (fleksibilitas) untuk mengeksekusi PHK efisiensi tanpa wajib menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya.

Regulasi yang termodifikasi ini menunjukkan diskrepansi yang nyata terhadap hasil Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011. Putusan MK tersebut secara eksplisit menetapkan bahwa PHK berbasis efisiensi hanya sah dilakukan jika mengarah pada penghentian operasi bisnis secara definitif, dan prasyaratnya adalah tuntasnya seluruh langkah-langkah preventif PHK. Lebih lanjut, baik UU No. 13 Tahun 2003 maupun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang gagal menyediakan batasan pengertian yang tegas untuk istilah “efisiensi,” sebuah kekosongan yang memfasilitasi interpretasi sepihak oleh pihak perusahaan. Kerancuan aplikasi juga timbul dari frasa “perusahaan mengalami kerugian,” yang tidak diuraikan mengenai jenis kerugian spesifik yang mengharuskan tindakan efisiensi, sehingga menciptakan ambiguitas dalam implementasi di lapangan.

Perkara PHK yang melibatkan PT Freeport, sebagaimana didokumentasikan dalam Putusan Kasasi Nomor 830 K/Pdt.Sus-PHI/2019, menggarisbawahi adanya disparitas interpretasi di kalangan hakim terkait pemanfaatan alasan efisiensi. Dalam amar putusan Kasasi tersebut, majelis hakim memberikan afirmasi bahwa efisiensi diperkenankan diterapkan pada entitas bisnis yang masih aktif menjalankan kegiatan operasionalnya, tanpa diharuskan menghentikan usaha mereka secara permanen. Keputusan ini kontradiktif dengan penegasan yang sebelumnya dikeluarkan oleh MK, di mana MK menyatakan bahwa PHK berdasarkan efisiensi hanya valid jika diikuti dengan penghentian operasional perusahaan secara menyeluruh dan permanen [19].

Untuk mengelola kelangsungan usaha, korporasi yang sedang mengalami kemunduran finansial atau penurunan performa ekonomi memiliki pilihan langkah strategis tanpa harus selalu berorientasi pada peningkatan atau stabilisasi. Namun, tindakan mengeksekusi PHK berdasarkan efisiensi menjadi problematik apabila dilakukan tanpa penghentian kegiatan usaha secara definitif dan tanpa pemenuhan upaya pencegahan yang seharusnya didahulukan. Praktik semacam ini berseberangan langsung dengan ketetapan MK, yang kedudukannya memiliki otoritas hukum tertinggi dan bersifat final serta mengikat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yang merupakan pembaruan kerangka hukum di sektor ketenagakerjaan, telah memicu kekhawatiran akan praktik "social dumping," di mana kerangka hukum dimanfaatkan untuk memberikan keunggulan kepada pihak investor, terutama asing, melalui penurunan jaminan perlindungan dan pengekangan upah pekerja. Kekhawatiran ini muncul karena adanya revisi pada aturan PHK efisiensi. Sebelumnya diwajibkan adanya penutupan usaha secara permanen, namun kini kebijakan tersebut memberi kemudahan untuk melaksanakan PHK efisiensi tanpa perlu menghentikan operasi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya menarik investasi menjadi prioritas kebijakan yang melebihi kepatuhan terhadap prinsip hukum sebelumnya dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan [20]. Kebijakan yang diambil tersebut dinilai tidak konsisten dengan landasan konstitusional bangsa Indonesia. Regulasi yang diimplementasikan ini melanggar secara langsung Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, sebab ketentuan tersebut secara tegas menuntut Negara untuk menjamin penuh pemenuhan hak-hak bagi para pekerja demi memperoleh pekerjaan dan taraf penghidupan yang sesuai [21]. Implikasi dari ketentuan ini adalah bahwa penentuan prioritas kebijakan tidak boleh didominasi oleh kepentingan pihak penanam modal atau investor semata [22].

B. Pertimbangan Perusahaan Terhadap Faktor-Faktor yang Relevan dalam Melaksanakan Efisiensi Ketenagakerjaan

Dalam rangka pelaksanaan efisiensi yang melibatkan tenaga kerja, pihak perusahaan harus mempertimbangkan serangkaian elemen fundamental agar proses PHK memiliki legalitas dan selaras berlandaskan pada peraturan hukum yang saat ini diimplementasikan. Salah satu keharusan penting adalah melakukan asesmen terhadap faktor-faktor internal yang terjadi di dalam organisasi maupun variabel-variabel di luar yang memengaruhi jalannya usaha. Mengenai hak kompensasi, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 melalui Pasal 43 menetapkan bahwa ganti rugi yang diterima oleh karyawan yang mengalami PHK akibat efisiensi akan ditetapkan berdasarkan situasi dan keadaan khusus dari setiap Perusahaan [23]. Oleh sebab itu, perusahaan perlu menilai secara cermat apakah langkah efisiensi dilakukan sebagai tindakan pencegahan untuk menghindari potensi kerugian yang diperkirakan berdasarkan analisis ekonomi, atau dilakukan karena perusahaan telah mengalami kerugian nyata dan perlu mengurangi risiko lebih lanjut. Pemahaman yang mendalam mengenai kondisi ini akan memengaruhi seluruh persiapan yang diperlukan, termasuk penyusunan dokumen dan perencanaan anggaran, sehingga proses efisiensi dapat dijalankan secara terstruktur, sistematis, dan sesuai prinsip hukum yang berlaku.

Selain itu, perusahaan perlu melakukan identifikasi pekerja yang berpotensi terdampak pemutusan hubungan kerja. Setelah mengevaluasi kondisi internal, perusahaan harus menentukan divisi atau bagian yang mungkin terkena efisiensi serta menetapkan pekerja yang akan diberhentikan dengan memperhatikan jenis hubungan kerja yang berlaku. Tahap pemetaan ini penting karena memudahkan perusahaan dalam perhitungan kompensasi sesuai ketentuan hukum dan membantu meminimalkan kemungkinan sengketa di masa depan.

Penyusunan anggaran untuk pelaksanaan PHK menjadi elemen krusial dalam proses efisiensi. Penentuan besaran anggaran harus didasarkan pada pemahaman menyeluruh mengenai struktur operasional perusahaan, rencana prosedur efisiensi, serta ketentuan hukum yang berlaku. Perencanaan yang terstruktur akan memastikan bahwa dana yang dialokasikan memadai untuk memenuhi seluruh kewajiban perusahaan kepada pekerja, sehingga proses efisiensi dapat dilaksanakan secara tertib dan mengurangi risiko masalah hukum maupun sosial.

Pertimbangan hukum di bidang ketenagakerjaan harus menjadi fokus utama saat perusahaan menjalankan efisiensi. Tindakan efisiensi tidak boleh hanya ditinjau dari kacamata ekonomi atau keuntungan bisnis, melainkan wajib memenuhi kaidah perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 membagi efisiensi ke dalam dua kelompok, yakni sebagai usaha mitigasi terhadap kerugian dan sebagai reaksi terhadap kerugian yang sudah diderita. Kedua kategori efisiensi ini memiliki implikasi hukum yang berlainan. Dengan demikian, adhesi pada prosedur resmi PHK yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan adalah kunci untuk mencapai tujuan efisiensi sekaligus mencegah timbulnya konflik dengan karyawan.

Proses penyiapan dokumentasi yang berhubungan dengan PHK memiliki signifikansi yang sangat menentukan. Dokumentasi yang disusun secara utuh dan mematuhi prosedur berfungsi sebagai verifikasi hukum bahwa PHK telah dieksekusi secara legal dan memenuhi seluruh regulasi. Kenyataannya, seringkali ditemukan kasus di mana kelengkapan dokumen terabaikan, baik karena kurangnya pemahaman legal maupun sikap meremehkan terhadap pentingnya arsip. Kekurangan atau kesalahan dalam dokumentasi ini berisiko besar memicu litigasi di kemudian hari. Dengan demikian, perusahaan wajib mempersiapkan semua dokumen terkait secara teliti, meliputi perhitungan hak kompensasi, surat notifikasi resmi, serta bukti yang mendukung alasan efisiensi, demi menjamin proses PHK berjalan sah, transparan, dan berkeadilan [24].

Simpulan

Analisis mendalam terhadap perangkat legislasi ketenagakerjaan memperlihatkan bahwa pembenaran untuk PHK yang diklaim atas dasar efisiensi dahulu bersumber dari Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Klausul ini menjamin kompensasi penuh bagi karyawan, bahkan bila perusahaan mempertahankan keberlanjutan bisnisnya. Akan tetapi, landasan legal ini kemudian dianggap tidak sejalan dengan Putusan MK Nomor 19/PUU-IX/2011. Putusan MK tersebut membuat syarat mutlak bahwa PHK efisiensi hanya sah jika diikuti likuidasi total entitas usaha, dan hanya setelah semua upaya pencegahan telah final. Kontrasnya, implementasi UU Nomor 11 Tahun 2020 dan PP Nomor 35 Tahun 2021 saat ini memberi dispensasi kepada korporasi untuk melakukan PHK efisiensi tanpa diwajibkan menutup usahanya. Akibatnya, perubahan regulasi ini menciptakan pertentangan dengan amar putusan MK dan memperlebar ruang bagi interpretasi yang non-standar terhadap istilah “efisiensi” dan “kerugian perusahaan.” Secara prinsip, kebijakan baru ini memihak pada kepentingan investasi dengan meringankan beban perlindungan karyawan, yang sepenuhnya bertolak belakang dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yaitu konstitusi yang mewajibkan Negara untuk memastikan hak warga negara atas pekerjaan yang sesuai dan penghidupan yang bermartabat .

Pelaksanaan efisiensi ketenagakerjaan harus memperhatikan berbagai faktor agar PHK dilakukan secara tepat, sah, dan sesuai hukum. Perusahaan perlu memahami kondisi internal dan eksternal, termasuk apakah efisiensi bersifat preventif atau reaktif terhadap kerugian yang nyata, karena hal ini akan memengaruhi persiapan dokumen dan perencanaan anggaran. Selanjutnya, pemetaan pekerja yang terdampak serta perhitungan kompensasi harus dilakukan dengan cermat sesuai jenis hubungan kerja untuk meminimalkan potensi sengketa. Penyusunan anggaran yang matang, pemahaman terhadap ketentuan hukum yang berlaku, dan kesiapan dokumentasi yang lengkap menjadi aspek penting agar proses efisiensi dapat berjalan adil, transparan, dan menghindari risiko hukum. Dengan demikian, keberhasilan PHK efisiensi sangat bergantung pada keseimbangan antara kepentingan perusahaan, hak pekerja, dan kepatuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan.

Berdasarkan kajian terhadap landasan legal dan implementasi praktis PHK yang menggunakan dalih efisiensi, direkomendasikan bahwa korporasi harus selalu menjunjung tinggi asas keadilan dan mematuhi penuh ketentuan ketenagakerjaan sebelum mengambil keputusan pemutusan hubungan kerja. Perencanaan yang saksama dan komprehensif perlu diutamakan, dimulai dari memahami situasi internal dan variabel eksternal yang relevan, mengidentifikasi unit atau staf yang kemungkinan terdampak, hingga menyiapkan anggaran serta seluruh dokumentasi yang diperlukan. Langkah-langkah preventif ini esensial untuk menjamin PHK dapat dieksekusi secara legal, transparan, dan meminimalisir peluang timbulnya sengketa di masa depan.

Selain itu, Pemerintah diimbau untuk merumuskan panduan yang lebih presisi mengenai definisi “efisiensi” dan tolok ukur kerugian perusahaan yang sah dijadikan dasar PHK. Kepastian regulasi semacam ini akan secara signifikan mengurangi tafsiran yang bersifat subjektif sekaligus mencegah eskalasi konflik antara pihak manajemen dan pekerja. Pedoman yang jelas juga memungkinkan entitas bisnis untuk menyeimbangkan kepentingan mempertahankan kelangsungan usaha dengan hak karyawan atas penghidupan yang layak, sesuai dengan amanat konstitusi yang diemban.

Melalui penerapan prinsip-prinsip tersebut, pelaksanaan PHK efisiensi dapat diwujudkan dalam koridor keadilan, ketertiban, dan keberlanjutan. Dengan demikian, perusahaan mampu menjamin pemenuhan hak-hak karyawan, memelihara stabilitas operasional, dan menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis. Hal ini juga akan berkontribusi positif pada terbentuknya lingkungan kerja yang kondusif, di mana kepentingan kedua belah pihak, yaitu pekerja dan korporasi dapat terakomodasi secara paralel tanpa menimbulkan potensi konflik sosial maupun ketidakpastian hukum.

References

A. D. Aponno and A. P. Arifiani, “Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak Berdasarkan UU Cipta Kerja (Studi Kasus PT. Indosat Tbk),” Kertha Semaya: Journal of Legal Studies, vol. 9, no. 10, p. 1897, 2021.

G. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan: Pancasila dalam Pelaksanaan Hubungan Kerja. Bandung, Indonesia: Armico, 1983.

Djumadi, Hukum Perburuhan: Perjanjian Kerja. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2007.

Abdulsalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan). Jakarta, Indonesia: Restu Agung, 2009.

T. Ratnasari and S. Ishak, “Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak oleh Pengusaha Terhadap Pekerja Wanita Sakit: Contoh Kasus Putusan Nomor 74/PDT.SUS-PHI/2019/PN.BDG Jo. Putusan Nomor 1016 K/PDT.SUS-PHI/2019,” Jurnal Hukum Adigama, vol. 3, no. 2, p. 661, 2020.

N. S. Widiastiani, “Justifikasi Pemutusan Hubungan Kerja Karena Efisiensi Masa Pandemi Covid-19 dan Relevansinya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011,” Jurnal Konstitusi, vol. 18, no. 2, pp. 413–436, Nov. 2021.

D. S. Kelana, “Perlindungan Hukum bagi Buruh dalam Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak (Tinjauan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan),” Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, vol. 9, no. 2, pp. 1–14, 2022.

T. E. Dharmanto and R. D. P. Sari, “Problematika Kekuatan Hukum Perjanjian Kerja Lisan,” Repertorium: Jurnal Ilmiah Hukum Kenotariatan, vol. 12, no. 1, 2023.

Z. Asikin et al., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2010.

C. A. Nugroho, “Perlindungan Hukum pada Tenaga Kerja yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena Dampak Pandemi Covid-19,” Hukum dan Dinamika Masyarakat, vol. 21, no. 1, p. 25, 2023.

U. Kasim, “Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja,” Informasi Hukum, vol. 2, p. 8, 2004.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta, Indonesia: Pemerintah Republik Indonesia, 2003.

A. Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Yogyakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2010.

Z. Asyhadie, Hukum Kerja. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2007.

A. P. P. Rasji, “Kajian Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Agung atas Perkara No. 825K/PDT.SUS-PHI/2015 Tentang PHK Karena Alasan Efisiensi,” Jurnal Hukum Adigama, vol. 1, no. 1, 2018.

A. R. H. Putri, Sonhaji, and Solechan, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja yang Terkena Hubungan Kerja Akibat Efisiensi Perusahaan,” Jurnal Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, vol. 5, no. 2, 2016.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2016.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja,” 2011.

M. Mahmudah, “Tinjauan Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja dengan Alasan Efisiensi Tanpa Perusahaan Tutup Permanen dalam Putusan Mahkamah Agung No. 830 K/Pdt.Sus-PHI/2019,” Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2020.

M. F. Adhistianto, “Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Studi Klaster Ketenagakerjaan),” Pamulang Law Review, vol. 3, no. 1, pp. 5–6, 2020.

S. H. Wibowo and J. Matheus, “Tinjauan Yuridis Pemberian Uang Pesangon Kepada Karyawan yang Di-PHK Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja,” Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, vol. 10, no. 5, pp. 2560–2565, 2023.

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D ayat (2). Jakarta, Indonesia: Pemerintah Republik Indonesia, 1945.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja. Jakarta, Indonesia: Pemerintah Republik Indonesia, 2021.

C. Ahmad, 5 Hal yang Menentukan Efektivitas Efisiensi Ketenagakerjaan. 2023.