Login
Section Law

Harmonization of Standard Insurance Clauses: A Consumer Protection and Fairness Perspective

Harmonisasi Klausula Baku Asuransi: Perspektif Perlindungan Konsumen dan Keadilan
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Margareta Kristiani Hartono (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Standardized insurance contracts containing boilerplate clauses dominate the industry due to efficiency demands. Specific Background: However, these clauses create structural inequalities in bargaining power and limit consumers’ ability to understand or negotiate policy terms. Knowledge Gap: Existing regulations, including the Consumer Protection Law, prohibit unfair terms yet remain insufficient to address ambiguities, exoneration clauses, and inconsistencies between legal norms and market practice. Aims: This study analyzes the legal implications of standard insurance clauses, their impact on contractual fairness, and the necessity of harmonized regulation to protect consumers. Results: Findings reveal that unilateral clause drafting perpetuates information asymmetry and facilitates claim denials, while oversight by regulators and dispute-resolution bodies remains fragmented. Novelty: The study proposes a responsive regulatory model that integrates preventive supervision by the Financial Services Authority, normative statutory safeguards, and corrective judicial interpretation—particularly through doctrines such as contra proferentem and reasonable expectations. Implications: Harmonizing essential clauses can balance contractual freedom with substantive fairness, strengthen consumer protection, and enhance transparency and trust in Indonesia’s insurance ecosystem.


Highlights:




  • Highlights how boilerplate insurance clauses create structural bargaining power imbalances and legal uncertainty for consumers.




  • Identifies the gap between consumer protection norms and their implementation in regulating standard insurance policy terms.




  • Proposes a responsive regulatory model combining OJK supervision, statutory safeguards, and judicial doctrines such as contra proferentem.




Keywords: Boilerplate Clauses, Insurance Contracts, Consumer Protection, Contractual Fairness, Harmonization


 

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Dalam dinamika bisnis modern, efisiensi telah menjadi salah satu pilar utama. Di sektor jasa keuangan, khususnya industri asuransi, efisiensi ini diwujudkan melalui standardisasi kontrak dalam bentuk polis asuransi. Polis tersebut didominasi oleh boilerplate clause atau klausula baku, yakni serangkaian ketentuan yang telah ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan asuransi (penanggung) untuk diberlakukan seragam kepada seluruh nasabahnya (tertanggung).

Meskipun bertujuan untuk menyederhanakan proses dan menciptakan kepastian, model kontrak baku ini melahirkan sebuah dilema yuridis yang fundamental. Di satu sisi, terdapat asas kebebasan berkontrak yang dijamin oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Di sisi lain, realitas menunjukkan adanya ketimpangan posisi tawar (inequality of bargaining power) yang ekstrem. Konsumen sering kali tidak memiliki pilihan selain menerima (take it) atau menolak (leave it) seluruh ketentuan polis tanpa adanya kesempatan untuk bernegosiasi. Kondisi ini menjadi semakin berisiko ketika klausula yang tercantum di dalamnya bersifat kompleks, ambigu, atau bahkan mengandung ketentuan eksonerasi yang membebaskan penanggung dari tanggung jawabnya.

Kerangka hukum di Indonesia, melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”), telah berupaya mengatasi masalah ini. Pasal 18 UUPK secara eksplisit melarang pencantuman klausula baku yang substansinya merugikan konsumen. Akan tetapi, sengketa yang bersumber dari interpretasi klausula baku dalam polis asuransi masih menjadi fenomena yang kerap terjadi. Hal ini menunjukkan adanya jurang antara norma hukum (das sollen) dan praktik di lapangan (das sein).

Jurang antara norma dan praktik ini mengindikasikan bahwa larangan umum dalam UUPK belum cukup spesifik untuk menjangkau kompleksitas teknis dalam polis asuransi. Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) sebagai regulator utama sektor jasa keuangan memang telah mengeluarkan berbagai peraturan, namun sering kali fokusnya lebih pada kesehatan finansial perusahaan asuransi, dan belum secara komprehensif merumuskan standar minimum klausula baku yang adil bagi konsumen [1]. Akibatnya, tercipta sebuah area abu-abu yuridis di mana perusahaan asuransi dapat merancang klausula yang secara teknis tidak melanggar hukum secara harfiah, namun secara substansial mengalihkan risiko secara tidak proporsional kepada konsumen. Fenomena ini dikenal sebagai bentuk eksploitasi kelemahan posisi tawar konsumen yang tersembunyi di balik legalitas formal sebuah perjanjian.

Kondisi tersebut pada akhirnya tidak hanya merugikan konsumen secara individual, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap industri asuransi secara keseluruhan. Ketika sengketa terjadi, konsumen dihadapkan pada proses pembuktian yang sulit karena terikat oleh klausula yang tidak pernah mereka negosiasikan. Prinsip interpretasi kontrak seperti contra proferentem yang menyatakan bahwa ambiguitas dalam kontrak harus ditafsirkan untuk merugikan pihak yang menyusunnya seringkali belum menjadi acuan utama dalam penyelesaian sengketa di Indonesia [2]. Hal ini mendorong urgensi untuk bergerak melampaui pendekatan yang hanya melarang, menuju sebuah pendekatan yang proaktif melalui harmonisasi klausula baku.

Harmonisasi dalam konteks ini tidak berarti penyeragaman total yang menghilangkan inovasi produk, melainkan perumusan sebuah koridor atau batasan yang jelas mengenai klausula-klausula esensial, terutama yang berkaitan dengan pengecualian (eksonerasi), kewajiban para pihak, dan prosedur klaim. Upaya ini bertujuan untuk menciptakan sebuah level playing field, di mana efisiensi operasional bagi perusahaan asuransi dapat berjalan selaras dengan perlindungan hak-hak fundamental konsumen. Tanpa adanya harmonisasi yang efektif, polis asuransi berisiko menjadi instrumen yang hanya memberikan ilusi perlindungan, sementara keadilan substantif bagi konsumen tetap menjadi sebuah cita-cita yang sulit tercapai [3]. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi krusial untuk menganalisis model harmonisasi klausula baku asuransi yang ideal dalam sistem hukum Indonesia, dengan menyeimbangkan kepastian hukum bagi pelaku usaha dan keadilan bagi konsumen.

Dalam konteks pengaturan klausula baku pada polis asuransi di Indonesia, harmonisasi tidak semata-mata bertujuan untuk meniadakan keberagaman produk asuransi, melainkan untuk merumuskan batasan yang jelas dan adil dalam klausula-klausula esensial, khususnya terkait klausula pengecualian (eksonerasi), kewajiban para pihak, dan prosedur klaim. Klausula baku sering kali dibuat sepihak oleh perusahaan asuransi untuk efisiensi operasional, namun hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi konsumen yang memiliki posisi tawar dan pemahaman yang lebih lemah [4]. Oleh karena itu, pengaturan yang harmonis menjadi penting sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang polis, di mana kepastian hukum bagi pelaku usaha dapat dipertahankan sementara hak-hak fundamental konsumen tetap dijaga. Upaya harmonisasi ini juga sejalan dengan prinsip keadilan, keseimbangan, dan kepastian hukum yang menjadi fondasi dalam perlindungan konsumen asuransi, sebagaimana diatur dalam UUPK dan pengawasan OJK [5].

Selanjutnya, standar klausula baku yang diharmonisasi secara tepat dapat menciptakan level playing field yang sehat antara perusahaan asuransi dan konsumen, sehingga polis asuransi tidak lagi menjadi instrumen formalitas belaka tetapi memberikan perlindungan substantif yang nyata bagi konsumen. Hal ini juga relevan dengan perlindungan hukum di sektor asuransi jiwa yang selama ini menghadapi permasalahan klaim dan penyusunan klausula yang merugikan konsumen [6], sekaligus menjaga transparansi serta akuntabilitas perusahaan asuransi demi membangun kepercayaan konsumen dan keberlangsungan bisnis yang berkelanjutan [7]. Dengan demikian, penelitian tentang model harmonisasi klausula baku asuransi ini penting sebagai kontribusi untuk memformulasikan koridor hukum yang dapat menyeimbangkan efisiensi operasional perusahaan dengan perlindungan yang adil dan menyeluruh bagi konsumen di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana praktik penggunaan klausula baku dalam perjanjian asuransi di Indonesia saat ini berimplikasi terhadap keseimbangan kedudukan hukum antara konsumen (tertanggung) dan pelaku usaha (penanggung), terutama saat terjadi sengketa klaim? dan Bagaimana seharusnya model pengaturan (harmonisasi) klausula baku asuransi dirumuskan untuk menciptakan keadilan kontraktual dan memberikan perlindungan hukum yang efektif bagi konsumen tanpa mengabaikan asas kebebasan berkontrak?

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang berfokus pada analisis norma-norma hukum yang berkaitan dengan klausula baku dalam asuransi dan perlindungan konsumen. Pendekatan penelitian mencakup telaah peraturan perundang-undangan yang relevan, pemahaman konsep-konsep hukum utama seperti asas itikad baik dan keadilan kontraktual, serta analisis putusan pengadilan atau lembaga penyelesaian sengketa sebagai studi kasus untuk melihat penerapan hukum di lapangan. Data penelitian dikumpulkan melalui studi pustaka dari sumber hukum primer, sekunder, dan tersier yang diinventarisasi dan diklasifikasikan secara sistematis [8]. Analisis dilakukan secara kualitatif dengan menelaah kesesuaian norma hukum, menafsirkan ketentuan yang ambigu melalui metode interpretasi gramatikal, sistematis, dan teleologis, serta menyusun argumen hukum yang logis untuk mengatasi permasalahan. Temuan penelitian dirumuskan dalam kesimpulan yang menjadi dasar rekomendasi pengaturan klausula baku yang harmonis dan adil.

Hasil dan Pembahasan

A. Praktik Penggunaan Klausula Baku dalam Perjanjian Asuransi di Indonesia Saat Ini Berimplikasi Terhadap Keseimbangan Kedudukan Hukum Antara Konsumen (Tertanggung) dan Pelaku Usaha (Penanggung), Terutama Saat Terjadi Sengketa Klaim

Praktik penggunaan klausula baku dalam perjanjian asuransi di Indonesia saat ini menunjukkan ketidakseimbangan kedudukan hukum antara konsumen (tertanggung) dan pelaku usaha (penanggung). Klausula baku, yang umumnya disusun sepihak oleh perusahaan asuransi, memuat syarat dan ketentuan yang mengikat konsumen tanpa adanya ruang negosiasi. Hal ini menimbulkan posisi tertanggung yang relatif lemah (take it or leave it contract), dimana konsumen hanya dapat menerima atau menolak polis secara keseluruhan tanpa dapat mengubah isi klausula tersebut. Klausula ini sering kali mengandung ketentuan eksklausif seperti klausula eksonerasi yang membebaskan penanggung dari kewajiban tertentu, sehingga berpotensi merugikan konsumen [9].

Ketidakseimbangan ini semakin tampak saat terjadi sengketa klaim, di mana perusahaan asuransi dapat menolak klaim berdasarkan klausula yang sebelumnya telah ditetapkan secara sepihak. Praktik ini memicu ketidakadilan bagi konsumen yang terkadang tidak mendapatkan informasi yang cukup jelas mengenai isi polis dan hak-haknya. Namun, di sisi lain, regulasi nasional, khususnya UUPK dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Perasuransian”), berupaya memberikan perlindungan hukum kepada tertanggung termasuk pengaturan larangan klausula baku yang merugikan konsumen. Melalui mekanisme hukum dan badan penyelesaian sengketa, konsumen masih memiliki akses untuk memperjuangkan haknya apabila merasa dirugikan akibat klausula yang tidak adil [10].

Praktik penggunaan klausula baku dalam perjanjian asuransi di Indonesia saat ini menunjukkanketidakseimbangan kedudukan hukum antara konsumen (tertanggung) dan pelaku usaha (penanggung). Klausula baku, yang umumnya disusun sepihak oleh perusahaan asuransi, memuat syarat dan ketentuan yang mengikat konsumen tanpa adanya ruang negosiasi. Hal ini menimbulkan posisi tertanggung yang relatif lemah (take it or leave it contract), di mana konsumen hanya dapat menerima atau menolak polis secara keseluruhan tanpa dapatmengubah isi klausula tersebut. Klausula ini sering kali mengandung ketentuan eksklausifseperti klausula eksonerasi yang membebaskan penanggung dari kewajiban tertentu, sehingga berpotensi merugikan konsumen.

Ketidakseimbangan ini semakin tampak saat terjadi sengketa klaim, di mana perusahaan asuransi dapat menolak klaim berdasarkan klausula yang sebelumnya telah ditetapkan secara sepihak. Praktik ini dapat menimbulkan ketidakadilan, terutama ketika konsumen tidak memperoleh informasi yang transparan dan memadai mengenai isi dan konsekuensi klausula dalam polis. Dalam banyak kasus, konsumen merasa sulit untuk membuktikan ketidakwajaran klausula karena dokumen polis sudah diikatkan sejak awal, sehingga posisinya lemah saat melakukan negosiasi atau perlindungan hukum. Namun, perlindungan terhadap konsumen asuransi terus diperkuat melalui regulasi yang mengatur klausula baku agar tidak bersifat merugikan konsumen secara sepihak. UUPK mengatur larangan terhadap klausula-klausula yang memberatkan konsumen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 yang menegaskan klausula baku tidak boleh bersifat menipu atau merugikan konsumen secara signifikan. Demikian pula, UU Perasuransian serta Peraturan OJK mengatur kewajiban transparansi dan keadilan dalam pembuatan klausula polis asuransi.

Selain itu, keterlibatan lembaga penyelesaian sengketa seperti Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) memberi alternatif bagi konsumen untuk memperjuangkan haknya tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang dan mahal. Meskipun demikian, efektivitas mekanisme tersebut sangat bergantung pada pemahaman konsumen terhadap hak-haknya dan dukungan penegakan hukum yang adil dan proporsional. Pada akhirnya, agar keseimbangan kedudukan hukum antara tertanggung dan penanggung dapat terwujud, diperlukan peran aktif dari regulator untuk melakukan pengawasan dan pembaruan regulasi yang menyesuaikan praktik di lapangan. Pendekatan itikad baik (good faith) dalam setiap proses perjanjian asuransi harus ditegakkan agar klausula baku yang disusun tidak hanya efisien secara bisnis tetapi juga responsif terhadap perlindungan hak konsumen.

Langkah penting berikutnya untuk mencapai ekuitas kontraktual adalah reformasi tata kelola perusahaan (corporate governance) di sektor asuransi, khususnya terkait transparansi dan komunikasi klausula polis. Keseimbangan tidak hanya dapat dicapai melalui intervensi eksternal (regulator), tetapi juga melalui komitmen internal perusahaan untuk mengadopsi standar perilaku yang lebih tinggi. Secara historis, asuransi telah dicirikan oleh asimetri informasi yang signifikan, di mana penanggung memiliki pengetahuan yang jauh lebih unggul mengenai risiko, harga, dan syarat-syarat polis [11].

Temuan ini selaras dengan argumen yang diusulkan oleh para ahli hukum bisnis, yang menyatakan bahwa model perlindungan konsumen yang efektif harus bergeser dari fokus ex-post (penyelesaian sengketa setelah kerugian terjadi) menjadi pendekatan ex-ante yang mengutamakan keterbukaan dan keterbacaan kontrak sejak awal [12]. Dalam konteks ini, klausula yang disusun secara sepihak (adhesion contract) harus tunduk pada pengawasan ketat, tidak hanya untuk memastikan keadilan substansialnya, tetapi juga untuk menjamin bahwa bahasa dan kerangka polis dapat dipahami secara wajar oleh konsumen awam. Oleh karena itu, reformasi perlu diarahkan pada penegasan kewajiban pra-kontraktual (pre-contractual duties) penanggung, bukan hanya kewajiban pasca-kontraktual (post-contractual).

Efektivitas intervensi regulator sangat bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan inovasi produk dan risiko baru. Model pengawasan yang ideal harus mencakup mekanisme regulatory sandbox yang mendorong inovasi sambil melindungi konsumen dari risiko yang tidak terduga [13]. Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas BMAI, diperlukan harmonisasi antara putusan arbitrase dan yurisprudensi pengadilan agar tidak terjadi tumpang tindih atau inkonsistensi penegakan hukum. Inkonsistensi ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, dan pada akhirnya, mendorong konsumen kembali ke jalur litigasi yang lambat.

Dengan demikian, walaupun klausula baku diperlukan untuk efisiensi dalam penyusunan perjanjian asuransi, tetapi praktik penyusunannya yang sepihak seringkali mengakibatkan ketidakseimbangan kedudukan hukum. Penting adanya pengawasan ketat dari regulator dan penegakan hukum yang tegas agar klausula baku tidak menghilangkan asas itikad baik dan keberpihakan kepada perlindungan konsumen, sehingga terjadi keseimbangan yang lebih adil antara tertanggung dan penanggung dalam perjanjian asuransi di Indonesia [14].

B. Model Pengaturan (Harmonisasi) Klausula Baku Asuransi Dirumuskan untuk Menciptakan Keadilan Kontraktual dan Memberikan Perlindungan Hukum yang Efektif Bagi Konsumen Tanpa Mengabaikan Asas Kebebasan Berkontrak

Perumusan model pengaturan klausula baku dalam industri asuransi merupakan upaya menavigasi dilema yuridis klasik antara dua kutub: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan keharusan perlindungan konsumen (consumer protection). Perjanjian asuransi, dalam manifestasinya yang paling umum, adalah perjanjian adhesi (adhesion contract), di mana klausula-klausulanya telah dirumuskan secara sepihak oleh penanggung (perusahaan asuransi) [15]. Situasi "ambil atau tinggalkan" (take-it-or-leave-it) ini secara inheren menciptakan ketidakseimbangan posisi tawar (inequality of bargaining power) dan asimetri informasi, yang menjadi akar permasalahan bagi terwujudnya keadilan kontraktual.

Asas kebebasan berkontrak, yang diagungkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, tidak dapat lagi ditafsirkan secara absolut dalam konteks perjanjian adhesi. Intervensi negara diperlukan bukan untuk menghapus kebebasan tersebut, melainkan untuk menggeser paradigmanya dari "kebebasan absolut" menjadi "kebebasan yang bertanggung jawab" (responsible freedom). Model harmonisasi yang paling ideal dalam konteks ini adalah Model Regulasi Responsif (Responsive Regulation), sebuah model yang tidak kaku, namun mengkombinasikan berbagai strategi intervensi untuk mencapai kepatuhan dan keadilan [16]. Model ini dapat diuraikan ke dalam tiga pilar intervensi yang saling melengkapi: administratif (preventif), legislatif (normatif), dan yudisial (represif).

C. Peran Preventif Otoritas (OJK)

Garda terdepan harmonisasi adalah pengawasan preventif (ex-ante) yang dilakukan oleh OJK. Intervensi ini berbentuk kewajiban persetujuan produk (product approval) sebelum sebuah polis dilempar ke pasar. OJK di sini bertindak sebagai filter. Filter ini harus memiliki dua lapisan pengujian. Pertama, pengujian prosedural. OJK wajib memastikan klausula itu transparan, ditulis dalam bahasa yang jernih (plain language), tidak ambigu, dan tidak dicetak tersembunyi. Kedua, pengujian substantif. OJK harus berani menguji isi atau kewajaran (reasonableness) dari klausula tersebut [17]. Klausula eksonerasi yang jelas-jelas bertujuan menghindari kewajiban inti (membayar klaim) atau bertentangan dengan prinsip indemnity, seharusnya tidak boleh lolos. Model ini menghormati kebebasan perusahaan asuransi untuk berinovasi, namun OJK memastikan inovasi itu tidak eksploitatif.

D. Pagar Normatif Undang-Undang

Pilar kedua adalah penetapan batasan yang jelas oleh undang-undang. Di sinilah UUPK memegang peran vital, khususnya melalui Pasal 18. Pasal ini menyediakan sebuah "daftar hitam" (blacklist) klausula-klausula yang dilarang, misalnya klausula pengalihan tanggung jawab atau klausula yang memberi hak pada penanggung untuk menafsirkan fakta secara sepihak. UUPK ini menjadi "pagar" hukum. Ia berfungsi sebagai lex generalis yang memberi mandat dan kekuatan hukum bagi OJK (sebagai lex specialis) untuk menolak draf polis yang melanggar [18]. Adanya daftar hitam ini memberi kepastian bahwa klausula tertentu otomatis dianggap tidak adil dan batal demi hukum, sekalipun sudah ditandatangani konsumen.

E. Intervensi Pengadilan

Jika klausula "bermasalah" itu tetap lolos dari filter OJK dan tidak secara spesifik dilarang UUPK, pengadilan menjadi benteng terakhir perlindungan. Intervensi yudisial (ex-post) ini terjadi ketika sengketa sudah pecah. Hakim tidak boleh kaku dan terpaku pada bunyi teks kontrak (pacta sunt servanda). Menggunakan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, hakim memiliki kewajiban untuk menilai pelaksanaan kontrak berdasarkan itikad baik. Jika sebuah klausula baku dinilai melanggar kepatutan dan itikad baik, hakim berwenang untuk mengesampingkannya (set aside). Selain itu, hakim wajib menerapkan doktrin Contra Proferentem. Ini adalah prinsip penafsiran universal dalam hukum asuransi: jika satu klausula bersifat ambigu, ia harus ditafsirkan untuk merugikan pihak yang menyusunnya (penanggung) dan menguntungkan pihak yang lemah (konsumen) [19]. Penerapan doktrin ini secara konsisten akan "mendidik" industri untuk mulai menulis polis dengan lebih jujur dan transparan. Penerapan doktrin ini secara konsisten akan "mendidik" industri untuk mulai menulis polis dengan lebih jujur dan transparan.

Akar dari urgensi penerapan Contra Proferentem terletak pada karakteristik fundamental polis asuransi sebagai contracts of adhesion (kontrak baku) [20]. Dalam skema ini, konsumen (tertanggung) tidak memiliki posisi tawar (bargaining power) untuk menegosiasikan isi klausula. Mereka dihadapkan pada pilihan "ambil atau tinggalkan" (take-it-or-leave-it). Akibatnya, penanggung (perusahaan asuransi), sebagai pihak yang memiliki sumber daya hukum dan keahlian aktuarial, dapat menyusun kontrak yang secara sistematis menguntungkan posisi mereka, seringkali dengan menggunakan bahasa yang teknis, berbelit-belit, dan sulit dipahami oleh orang awam.

Situasi ini diperparah oleh adanya asimetri informasi yang ekstrem. Penanggung memiliki pemahaman penuh atas risiko yang ditanggung dan makna sebenarnya dari setiap pengecualian, sementara konsumen seringkali hanya mengandalkan penjelasan lisan dari agen atau brosur pemasaran. Doktrin Contra Proferentem berfungsi sebagai penyeimbang yudisial (judicial counter-balance) terhadap kekuasaan penyusunan kontrak yang tidak seimbang ini. Doktrin ini memaksa penanggung untuk menanggung risiko dari ambiguitas yang mereka ciptakan sendiri. Namun, dalam praktiknya, mengandalkan Contra Proferentem saja seringkali tidak cukup. Doktrin ini baru dapat diterapkan setelah hakim memutuskan bahwa suatu klausula memang "ambigu". Dalam banyak kasus, pengadilan mungkin enggan menyatakan suatu klausula ambigu hanya karena klausula itu rumit. Untuk mengatasi keterbatasan ini, beberapa yurisdiksi, terutama di Amerika Serikat, telah mengembangkan doktrin pelengkap yang lebih pro-konsumen, yaitu Doctrine of Reasonable Expectations (Doktrin Harapan Wajar) [21].

Menurut doktrin ini, pengadilan tidak hanya melihat teks yang ambigu, tetapi juga akan melindungi harapan wajar tertanggung atas cakupan polis, bahkan jika analisis teknis dari bahasa polis (yang sangat rumit) sebenarnya akan meniadakan cakupan tersebut. Robert Keeton, pelopor doktrin ini, berargumen bahwa “Harapan wajar dari pemohon dan penerima manfaat [asuransi] mengenai syarat-syarat transaksi akan dihormati” [21]. Jika tujuan akhirnya adalah "mendidik" industri, kombinasi dari penafsiran yang ketat terhadap ambiguitas (Contra Proferentem) dan perlindungan terhadap harapan wajar konsumen (Reasonable Expectations) menawarkan kerangka kerja yang lebih kuat. Lebih jauh lagi, di yurisdiksi seperti Uni Eropa, pendekatan ini tidak hanya diserahkan pada interpretasi hakim (yudisial), tetapi juga didorong melalui langkah legislatif proaktif. Regulasi seperti Unfair Contract Terms Directive (UCTD) secara eksplisit menuntut agar kontrak—terutama dengan konsumen—ditulis dalam bahasa yang "jelas dan dapat dimengerti" (plain and intelligible language), dan setiap keraguan harus ditafsirkan untuk kepentingan konsumen.

Pada akhirnya, model harmonisasi yang efektif bukanlah model tunggal, melainkan sebuah ekosistem regulasi yang hidup. Ia memadukan pengawasan preventif OJK yang berbasis transparansi dan kewajaran, batasan normatif UUPK yang tegas, serta koreksi di hilir oleh pengadilan yang berani menafsirkan berdasarkan itikad baik dan doktrin contra proferentem [22].

Simpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa praktik penggunaan klausula baku dalam perjanjian asuransi di Indonesia saat ini secara nyata telah menciptakan ketimpangan hukum. Konsumen sebagai tertanggung ditempatkan pada posisi tawar yang lemah akibat sifat kontrak take-it-or-leave-it dan penyusunan syarat yang sepenuhnya sepihak oleh penanggung. Ketimpangan ini menjadi sangat krusial ketika terjadi sengketa, di mana klausula eksonerasi sering digunakan sebagai tameng yuridis untuk menolak klaim, sehingga mencederai rasa keadilan kontraktual. Untuk menjembatani kesenjangan ini tanpa harus menghapuskan asas kebebasan berkontrak, model harmonisasi yang paling tepat adalah pendekatan "Regulasi Responsif". Model ini tidak kaku, melainkan menggeser paradigma kebebasan absolut menjadi kebebasan yang bertanggung jawab, yang ditegakkan melalui tiga pilar terintegrasi: pengawasan preventif OJK yang substantif, batasan normatif yang jelas dari UUPK, serta peran korektif pengadilan melalui penafsiran berlandaskan itikad baik dan doktrin contra proferentem.

Untuk mencapai keseimbangan hukum di asuransi, tiga pihak utama harus bertindak. OJK harus meningkatkan pengawasan sejak awal (bukan sekadar formalitas) untuk menguji inti keadilan klausula polis, demi mencegah kerugian konsumen. Aparat Hukum (Hakim) wajib lebih maju: saat menghadapi kontrak standar yang timpang, mereka harus menggunakan prinsip penafsiran yang memihak konsumen dan itikad baik untuk mengembalikan keadilan, alih-alih berpegang teguh pada aturan bahwa "perjanjian adalah undang-undang." Terakhir, Perusahaan Asuransi harus menerapkan prinsip kejujuran dua arah; mereka wajib memberikan informasi yang transparan dan jujur, terutama mengenai semua pembatasan dan pengecualian polis, sebelum konsumen setuju pada kontrak.

References

A. Y. Hernoko, “Prinsip Proporsionalitas sebagai Dasar Keseimbangan Hak dan Kewajiban dalam Kontrak Komersial,” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 8, no. 3, p. 397, 2019.

M. N. S. Eisenberg, “The Limits of Cognition and the Limits of Contract,” Stanford Law Review, vol. 47, no. 2, p. 219, 1995.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta, Indonesia: Grasindo, 2004.

M. Harahap, “Perlindungan Hukum Terhadap Klausula Baku Asuransi Jiwa di Indonesia,” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, 2023.

T. Segara, “OJK Akan Atur Standardisasi Perjanjian Polis Asuransi,” Otoritas Jasa Keuangan, 2024.

S. Palyama, “The Legal Protection of Life Insurance Policyholders in Indonesia (Case Study of PT. Asuransi Jiwa Raya),” Jurnal Hukum dan Etika Kesehatan, 2022.

S. B. Aslamiyah and M. F. Siregar, “Kedudukan Hukum Pemegang Polis Asuransi dan Perlindungan Konsumen,” J-Innovative, 2023.

A. Kiemas, J. Matheus, and A. Gunadi, “Redefining Bankruptcy Law: Incorporating the Principle of Business Continuity for Fair Debt Resolution,” Rechtsidee, vol. 11, no. 2, pp. 1–18, Dec. 2023.

A. Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta, Indonesia: PT Rajagrafindo Persada, 2007.

S. I. Munggaran, “Perlindungan Konsumen Terhadap Klausula Baku Asuransi,” Acta Universitatis Padjadjaran, 2019.

B. L. Davies, “Reforming Insurance Governance: A Shift from Ex-Post Liability to Ex-Ante Transparency,” Journal of Financial Regulation, vol. 10, no. 1, pp. 45–62, 2024.

A. M. Rossi, Contractual Fairness and Consumer Protection in the Global Insurance Market. New York, NY, USA: Oxford University Press, 2023.

C. P. Kim and S. W. Lee, “Regulatory Sandboxes and InsurTech: Balancing Innovation and Consumer Risk,” Asian Journal of Law and Society, vol. 5, no. 3, pp. 301–320, 2022.

G. A. Kathleen, “Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung Atas Penolakan Klaim Asuransi Jiwa,” Jurnal Ilmu Hukum, 2021.

A. Y. Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta, Indonesia: Prenada Media Group, 2010.

I. Ayres and J. Braithwaite, Responsive Regulation: Transcending the Deregulation Debate. New York, NY, USA: Oxford University Press, 1992.

M. Fuady, Hukum tentang Klausula Baku: Dalam Rangka Perlindungan Konsumen. Bandung, Indonesia: Citra Aditya Bakti, 2017.

Shidarta, “Implikasi Yuridis Klausula Baku dalam Polis Asuransi terhadap Perlindungan Konsumen,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, vol. 27, no. 2, p. 289, 2020.

M. Clarke, The Law of Insurance Contracts, 6th ed. London, U.K.: Informa Law, 2009.

M. E. Boardman, “Contra Proferentem: The Allure of Ambiguous Boilerplate,” Michigan Law Review, vol. 104, no. 6, pp. 1105–1128, 2006.

R. E. Keeton, “Insurance Law Rights at Variance with Policy Provisions,” Harvard Law Review, vol. 83, no. 5, pp. 961–985, 1970.

R. Argama, “Keadilan Substantif dalam Perjanjian Adhesi: Peran Hakim Menafsirkan Klausula Baku Asuransi,” Mimbar Hukum, vol. 33, no. 1, p. 112, 2021.