Login
Section Law

Analysis of Legal Protection Concepts for Workers in the Informal Sector Based on Indonesian Laws and Regulations

Analisis Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja di Sektor Informal Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Grace Avianti (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Informal sector workers play a crucial role in Indonesia’s labor market yet remain highly vulnerable due to limited legal protection. Specific Background: Existing regulations—including the Manpower Act, Job Creation Law, BPJS Law, and Government Regulation No. 35/2021—primarily regulate formal employment, leaving informal workers without explicit safeguards. Knowledge Gap: Despite their dominant share in the workforce, the normative framework insufficiently addresses the unique characteristics of informal employment and the widespread misclassification practices used to avoid employers’ legal obligations. Aims: This study analyzes the legal concept of protection for informal workers and evaluates how judicial reasoning in Supreme Court Decision No. 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 reinforces such protection. Results: Findings indicate fragmented regulations that normatively recognize worker rights but fail to provide comprehensive operational mechanisms, requiring judicial interpretation to uphold substantive justice. Novelty: This study highlights how the Supreme Court’s substantive approach—affirming factual employment elements over formal documentation—fills normative gaps and corrects lower-court formalism. Implications: Strengthening explicit legal recognition of informal workers, enforcing BPJS obligations, and standardizing judicial tests for employment status are essential to ensure equitable and inclusive labor protection in Indonesia.


Highlights:




  • The legal framework for informal workers remains fragmented and insufficient.




  • The Supreme Court prioritizes factual employment elements over formal documents.




  • Strengthened regulation is needed to ensure equitable protection for informal labor.




Keywords: Legal Protection, Informal Workers, Employment Relationship, Supreme Court, Labor Regulation

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Sektor informal di Indonesia telah lama memainkan peran vital dan tak terhindarkan dalam menyerap angkatan kerja dalam jumlah yang sangat besar, menjadi katup pengaman sosial ekonomi ketika sektor formal mengalami stagnasi atau krisis. Meskipun kontribusinya terhadap roda perekonomian nasional begitu signifikan, pekerja yang bergerak di sektor ini secara ironis hidup dalam bayang-bayang kerentanan dan ketidakpastian perlindungan hukum yang mendasar. Sebagian besar dari mereka bekerja tanpa adanya kontrak tertulis yang jelas, menerima upah yang cenderung fluktuatif dan berada di bawah standar normatif, serta memiliki akses yang sangat lemah terhadap instrumen jaminan sosial wajib yang diamanatkan oleh negara. Kondisi ini menciptakan dualisme dalam pasar kerja, di mana sekelompok pekerja formal menikmati jaminan hukum penuh, sementara kelompok informal harus berjuang tanpa perisai perlindungan yang memadai [1].

Kerentanan ini diperparah oleh praktik-praktik pengusaha yang secara sengaja melakukan mis-klasifikasi hubungan kerja, memberikan label "mitra," "tenaga lepas," atau "kontraktor independen" kepada pekerja yang secara substansial memenuhi seluruh unsur hubungan kerja. Tujuan dari pelabelan yang menyesatkan ini adalah untuk menghindari kewajiban hukum yang melekat pada status "pekerja" atau "buruh," seperti pendaftaran pada program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS), pembayaran Upah Minimum Regional (UMR), penyediaan jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta kewajiban pembayaran pesangon atau penghargaan masa kerja. Praktik pengaburan hubungan kerja ini menjadi celah utama yang mengancam prinsip keadilan substantif dalam hubungan industrial, dan telah berlangsung secara endemik di banyak perusahaan [2].

Isu hukum utama yang menjadi inti perdebatan ini adalah bagaimana menegakkan unsur hubungan kerja yang tertera jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di tengah ketiadaan dokumen formal berupa kontrak tertulis. Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan secara tegas mendefinisikan hubungan kerja berdasarkan adanya unsur pekerjaan, upah, dan perintah; definisi ini bersifat faktual, tidak mensyaratkan adanya legalitas formal di atas kertas untuk membuktikan eksistensinya. Namun, pengadilan tingkat pertama dan menengah seringkali cenderung menganut pendekatan legalistik formal yang kaku, yang mensyaratkan adanya dokumen tertulis, sehingga secara tidak langsung memberikan keuntungan kepada pengusaha yang secara sengaja menghindari kontrak [3].

Sebagaimana terdapat salah satu contoh dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Kasus ini, yang melibatkan seorang pekerja sektor informal bernama Kamaru Zaini, memperlihatkan betapa pentingnya peran yudisial dalam mengoreksi praktik ketidakadilan yang disebabkan oleh formalisme hukum. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pontianak sebelumnya hanya mengabulkan sebagian kecil tuntutan dan memberikan tali asih, menolak pengakuan penuh hubungan kerja. Putusan MA kemudian membalikkan putusan tersebut, menetapkan adanya hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), dan menghukum pengusaha untuk membayar hak-hak normatif secara penuh kepada ahli waris pekerja yang meninggal [4].

Perlindungan hukum bagi pekerja sektor informal menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia namun belum memperoleh jaminan perlindungan yang memadai dari negara. Pekerja informal seringkali beroperasi tanpa kontrak tertulis, tanpa jaminan sosial, serta tidak mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan atau pemutusan kerja.Kondisi ini menimbulkan ketimpangan antara perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja formal dan informal. Di sisi lain, peraturan perundang-undangan yang berlaku masih berfokus pada hubungan kerja formal, sehingga aspek hukum bagi pekerja informal belum diatur secara eksplisit dan komprehensif. Hal ini menjadikan penelitian ini penting untuk mengkaji kembali efektivitas sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada seluruh lapisan tenaga kerja.

Selain itu, perlunya pembaruan paradigma hukum ketenagakerjaan yang lebih inklusif terhadap realitas sosial ekonomi di Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah pekerja sektor informal akibat perubahan struktur ekonomi dan keterbatasan lapangan kerja formal, negara dituntut untuk memperluas cakupan perlindungan hukumnya. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baik dari segi teori maupun praktik terhadap pengembangan kebijakan hukum ketenagakerjaan yang lebih responsif, adil, dan mendukung kelompok pekerja yang hingga kini terpinggirkan dari sistem hukum formal. Dengan demikian, hasil kajian ini dapat menjadi dasar bagi pembuat kebijakan dalam merumuskan regulasi yang lebih responsif terhadap kebutuhan perlindungan pekerja sektor informal.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini Adalah bagaimana konsep perlindungan hukum bagi pekerja sektor informal menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia?dan bagaimana pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 mencerminkan perlindungan terhadap pekerja sektor informal? Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut memperkaya khazanah ilmu Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial dengan menganalisis secara mendalam pergeseran paradigma yudisial dari keadilan formal menuju keadilan substantif dalam konteks hubungan kerja. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi teoretis mengenai penggunaan ratio decidendi MA sebagai sumber hukum untuk mengisi kekosongan normatif di sektor informal. Memberikan kontribusi nyata bagi Majelis Hakim PHI, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Serikat Pekerja dalam merumuskan strategi penegakan hukum dan advokasi yang fokus pada pembuktian unsur faktual hubungan kerja (pekerjaan, upah, perintah) sebagai senjata utama melawan praktik mis-klasifikasi dan pengabaian hak normatif di sektor informal.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau doctrinal legal research yang berfokus pada analisis terhadap norma-norma hukum, prinsip-prinsip hukum, dan doktrin hukum yang relevan. Pendekatan ini dipilih karena objek kajian utama adalah evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan (norma) dan analisis terhadap ratio decidendi (pertimbangan hukum) dari suatu putusan pengadilan yang bersifat yuridis. Studi ini bersifat murni normatif, dengan fokus utama pada interpretasi teks-teks hukum dan prinsip-prinsip ketenagakerjaan sebagai sumber data utama, bertujuan untuk menilai kecukupan perlindungan hukum yang ada.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji secara sistematis berbagai peraturan hukum yang relevan, yaitu UUD 1945 Pasal 27(2) dan 28D(1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi landasan normatif perlindungan.

Selanjutnya, pendekatan kasus digunakan untuk membedah secara rinci dua putusan yang menjadi pusat studi ini, yaitu PHI Pontianak Nomor 12/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Ptk dan Mahkamah Agung Nomor 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023. Analisis kasus dilakukan untuk memahami bagaimana norma-norma ketenagakerjaan diimplementasikan dan diinterpretasikan pada tingkat yudisial, serta untuk mengidentifikasi pergeseran pemikiran hukum antara pengadilan tingkat pertama dan kasasi.

Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif dengan metode interpretasi sistematis, gramatikal, dan teleologis terhadap norma-norma hukum dan ratio decidendi putusan. Interpretasi sistematis digunakan untuk memetakan harmonisasi antara UU Ketenagakerjaan dan UU BPJS. Interpretasi gramatikal digunakan untuk memahami arti literal dari frasa kunci seperti "pekerjaan, upah, dan perintah." Sementara itu, interpretasi teleologis digunakan untuk menafsirkan norma-norma tersebut sesuai dengan tujuan akhir (teleologi) dari hukum ketenagakerjaan, yaitu perlindungan pekerja (pro-labour principle) dan perwujudan keadilan sosial. Analisis ini bertujuan untuk tidak hanya menjelaskan "apa" yang diatur, tetapi juga "bagaimana" putusan MA menjadi koreksi terhadap formalisme hukum.

Hasil dan Pembahasan

A. Konsep Perlindungan Hukum Pekerja Informal Menurut Peraturan Perundang-undangan

Konsep perlindungan hukum bagi pekerja sektor informal di Indonesia memiliki landasan yang paling fundamental dan tak terbantahkan dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), khususnya pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Titik tolak konstitusional ini dimulai dari Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang secara imperatif menyatakan, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Norma ini tidak membeda-bedakan status formal hubungan kerja apakah pekerja tersebut di sektor formal dengan kontrak tertulis atau di sektor informal tanpa dokumen resmi sehingga secara yuridis, perlindungan atas "penghidupan yang layak" berlaku universal bagi seluruh warga negara yang berstatus pekerja. Interpretasi teleologis dari pasal ini harus diarahkan pada penjaminan keadilan sosial dalam hubungan kerja, yang berarti bahwa kerentanan pekerja informal harus direspons oleh hukum melalui mekanisme perlindungan substantif, bukan malah diabaikan karena alasan formalitas administrasi. Kehadiran frasa "layak bagi kemanusiaan" menegaskan bahwa hak buruh untuk mendapatkan upah, jaminan kesehatan, dan keamanan kerja bukanlah sekadar benefit komersial, melainkan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh negara dan setiap pemberi kerja [5].

Lebih lanjut, fondasi perlindungan pekerja informal diperkuat oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Prinsip non-diskriminasi yang terkandung dalam pasal ini menjadi perisai konstitusional bagi pekerja informal yang seringkali mengalami diskriminasi hanya karena status hubungan kerja mereka tidak diformalkan secara tertulis. Secara yuridis, pemberian label "mitra" atau "tenaga lepas" yang bertujuan untuk mengaburkan hubungan kerja dan menghindari kewajiban normatif adalah bentuk diskriminasi hukum yang bertentangan langsung dengan Pasal 28D ayat (1). Putusan-putusan pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, memiliki kewajiban konstitusional untuk menguji setiap perkara ketenagakerjaan, terutama yang melibatkan sektor informal, dengan lensa keadilan yang adil (just fairness) yang mengungguli legalitas formal, sehingga praktik mis-klasifikasi tidak dapat dijadikan alasan untuk meniadakan perlindungan yang seharusnya. Norma konstitusional ini menuntut pengadilan untuk berorientasi pada fakta substantif, bukan pada etiket yang diberikan oleh pengusaha [6].

Kerangka hukum yang menjembatani hak konstitusional dengan implementasi praktis diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003). UU ini secara normatif telah menyediakan definisi yang sangat jelas dan faktual mengenai siapa yang dikategorikan sebagai pekerja, siapa pemberi kerja, dan apa yang dimaksud dengan hubungan kerja, tanpa sedikitpun mensyaratkan adanya dokumen tertulis untuk membuktikan eksistensinya. Pasal 1 angka 3 UU 13/2003 mendefinisikan "pekerja/buruh" sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Definisi ini bersifat sangat inklusif, mencakup pekerja informal asalkan terbukti ada unsur menerima upah. Secara gramatikal, menerima upah adalah fakta materiil yang dapat dibuktikan melalui slip gaji, transfer bank, atau keterangan saksi, dan bukan hanya melalui kontrak resmi [7].

Definisi hubungan kerja ditegaskan secara sentral oleh Pasal 1 angka 15 UU 13/2003, yang menyatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang didasari dengan adanya perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Unsur-unsur ini dikenal sebagai Tiga Unsur Wajib hubungan kerja. Jika ketiga unsur ini terbukti secara faktual di lapangan yaitu, ada pekerjaan yang dilakukan, ada upah yang dibayarkan, dan ada perintah/subordinasi dari pemberi kerja maka secara yuridis, hubungan kerja tersebut sudah eksis, terlepas dari label yang diberikan oleh pengusaha. Ketiadaan kontrak tertulis tidak meniadakan hubungan kerja tersebut, melainkan hanya memengaruhi bentuk perjanjiannya (apakah PKWT atau PKWTT). Oleh karena itu, pengusaha yang mengaburkan hubungan kerja dengan label "Pekerja Informal" untuk pekerja yang menerima perintah kerja, secara normatif, telah melanggar prinsip dasar hukum ketenagakerjaan.

Rangkaian peraturan ketenagakerjaan secara jelas membedakan perjanjian kerja ke dalam dua kategori utama: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Pembagian ini, yang diatur dalam Pasal 59 dan Pasal 60 UU 13/2003 (sebelum revisi UU Cipta Kerja), merupakan mekanisme perlindungan yang dirancang untuk memberikan kepastian kerja kepada pekerja. PKWT hanya boleh diterapkan untuk jenis pekerjaan yang bersifat sementara, selesai sekali waktu, atau musiman. Sebaliknya, pekerjaan yang bersifat permanen, terus-menerus, dan merupakan core business perusahaan wajib diikat dalam PKWTT. PKWTT adalah status perlindungan hukum tertinggi bagi pekerja, karena memberikan hak penuh atas pesangon, penghargaan masa kerja, dan hak-hak normatif lainnya [8].

Pilar perlindungan hukum terhadap pekerja informal terletak pada sanksi hukum yang diberikan jika syarat-syarat formal PKWT dilanggar. Salah satu sanksi normatif yang paling kuat adalah konversi otomatis status kerja demi hukum menjadi PKWTT. Sanksi ini, yang ditegaskan dalam Pasal 59 ayat (7) UU 13/2003, menyatakan bahwa jika PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (misalnya, PKWT tidak dibuat tertulis, atau PKWT diterapkan untuk pekerjaan yang bersifat tetap), maka secara otomatis (ipso jure) status hubungan kerja tersebut berubah menjadi PKWTT. Aturan ini berfungsi sebagai mekanisme koreksi hukum yang melindungi pekerja informal dari eksploitasi dan pengabaian. Ketiadaan kontrak tertulis yang sah, padahal pekerja tersebut melakukan pekerjaan tetap, menjadi bukti kuat untuk penetapan PKWTT oleh pengadilan [9].

Perlindungan terhadap pekerja informal juga diamanatkan melalui rezim Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Prinsip dasar dari UU BPJS adalah universalitas dan wajib bagi seluruh pekerja. Pasal 15 ayat (1) UU BPJS mewajibkan setiap pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerja mereka sebagai peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). Kewajiban ini tidak boleh diakali dengan pelabelan hubungan kerja. Unsur pemberi kerja di sini adalah subyek hukum yang secara faktual terbukti menggunakan tenaga kerja, terlepas dari apakah ada kontrak tertulis atau tidak [10].

Perlindungan Jamsostek, terutama JKK dan JKM, menjadi sangat vital bagi pekerja informal yang memiliki risiko tinggi terhadap kecelakaan kerja (seperti kasus Kamaru Zaini). Secara normatif, hak pekerja atas santunan JKK dan JKM seharusnya tidak gugur hanya karena pengusaha tidak mendaftarkan mereka; justru, kerugian yang timbul dari ketiadaan Jamsostek ini menjadi tanggung jawab mutlak pengusaha untuk mengganti rugi. Oleh karena itu, hukum BPJS berfungsi sebagai perisai sosial ekonomi yang wajib diterapkan tanpa pengecualian status kerja.

Secara tekstual, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur eksplisit kategori "pekerja informal." Hal ini menciptakan kekosongan normatif pada tingkat regulasi, yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mengklaim bahwa pekerja informal (seperti pedagang kaki lima atau pekerja harian lepas non-konstruksi) tidak termasuk dalam cakupan perlindungan undang-undang. Namun, asas dan unsur hubungan kerja yang diatur dalam UU 13/2003 secara teleologis membuka jalan bagi imputasi perlindungan hukum. Artinya, meskipun kategorinya tidak diatur, perlindungan wajib berlaku bila fakta pekerjaan-upah-perintah terbukti secara substantif. Kekosongan ini harus diisi oleh interpretasi yudisial, yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung [11].

Asumsi bahwa "Semua pekerja informal otomatis terlindungi" perlu diuji dengan skeptisisme. Perlindungan hukum sejatinya tidak dapat berlaku secara otomatis melainkan memerlukan beban pembuktian unsur faktual yang krusial. Dalam konteks ini, pekerja informal wajib membuktikan adanya unsur perintah/subordinasi dan integrasi bisnis dengan pengusaha. Bila tidak ada perintah dan subordinasi yang jelas, serta pekerja bekerja secara mandiri dan menanggung risiko usahanya sendiri, maka relasi tersebut cenderung diklasifikasikan sebagai hubungan jasa independen (kontraktor mandiri), bukan hubungan kerja buruh. Penetapan status ini penting untuk keadilan.

Kontra-argumen cerdas dari perspektif ekonomi seringkali menyatakan bahwa pengaturan Perlindungan yang berlebihan mungkin memberatkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sehingga berpotensi menghalangi penciptaan lapangan kerja serta mengurangi fleksibilitas kerja informal yang dibutuhkan. Jika UMKM dipaksa mematuhi semua kewajiban PKWTT (pesangon, Jamsostek) untuk setiap pekerja lepas, mereka mungkin memilih untuk tidak merekrut. Namun, argumen ini harus dijawab dengan tegas: fleksibilitas tidak boleh melegalkan de-facto employment tanpa perlindungan [12].

Jawaban hukum terhadap kontra-argumen ini terletak pada penegasan Instrumen Tes Subordinasi dan Integrasi Bisnis. Pengadilan (seperti yang dilakukan MA dalam putusan ini) harus menerapkan control test dan integration test secara ketat untuk membedakan antara pekerja buruh sejati (employee) dan kontraktor independen (independent contractor). Dengan demikian, UMKM yang menggunakan kontraktor independen asli (yang bekerja mandiri, tidak di bawah perintah, dan menanggung risiko sendiri) tidak akan dibebani. Sebaliknya, UMKM yang secara faktual menggunakan pekerja buruh dengan label "Pekerja Informal" wajib memberikan perlindungan normatif [13].

Kesimpulan normatif menunjukkan bahwa perlindungan hukum pekerja informal di Indonesia berbasis pada asas-asas konstitusional dan imputasi unsur hubungan kerja. Ketika unsur pekerjaan, upah, dan perintah terbukti secara faktual (meskipun tanpa kontrak tertulis), maka perisai UU Ketenagakerjaan dan rezim Jaminan Sosial harus diberlakukan. Fungsi yurisprudensi, sebagaimana akan dibahas di bagian B, adalah mengisi kekosongan operasional ini dengan mengoreksi formalisme dan memastikan bahwa hukum berpihak pada keadilan substantif yang diamanatkan oleh UUD 1945.

B. Pertimbangan Hukum MA No. 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 sebagai Wujud Perlindungan Pekerja Informal

Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 menjadi momentum kritis dalam penegakan hukum ketenagakerjaan pro-buruh di Indonesia, yang secara langsung mengoreksi putusan yang terlalu formalistik dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pontianak Nomor 12/Pdt.Sus-PHI/2023/PN.Ptk. Kasus ini bermula dari fakta materiil yang tragis: Almarhum Kamaru Zaini, yang bekerja selama kurang lebih 24 tahun pada pengusaha (terkait dengan PD. Candra dan PT. Multi Depo), meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Selama masa kerjanya, Almarhum menerima upah rutin, bekerja berdasarkan perintah dan pengawasan, namun tidak pernah memiliki kontrak tertulis dan tidak didaftarkan pada program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS). Pihak pengusaha hanya menawarkan tali asih sebesar Rp10 juta, yang ditolak oleh ahli waris [14].

PHI Pontianak, dalam putusannya, menunjukkan kecenderungan formalisme hukum yang dikritik oleh banyak ahli. PHI Pontianak hanya mengabulkan sebagian tuntutan ahli waris, menetapkan adanya tali asih sebesar Rp40 juta, tetapi menolak pengakuan hubungan kerja secara penuh dan menolak pembayaran pesangon serta penghargaan masa kerja. PHI berargumen bahwa ketiadaan kontrak tertulis yang jelas dan status pekerja yang dianggap lepas menjadi penghalang untuk menetapkan hak normatif secara penuh. Meskipun PHI mengakui adanya kerugian, solusi yang ditawarkan (tali asih) tidak merefleksikan hak-hak yang seharusnya dijamin oleh UU Ketenagakerjaan. Putusan PHI ini merupakan representasi kegagalan peradilan tingkat pertama dalam mengimplementasikan asas perlindungan pekerja yang substantif [15].

Mahkamah Agung, melalui majelis hakim kasasi, membatalkan putusan PHI Pontianak dengan ratio decidendi (dasar pertimbangan hukum) yang berani dan progresif, yaitu kembali secara fundamental pada unsur faktual hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan. MA menegaskan bahwa kontrak tertulis bukanlah syarat ontologis untuk eksistensi hubungan kerja. Yang menentukan adalah fakta adanya pekerjaan, upah, dan perintah (subordinasi) yang terbukti secara materiil. MA berpendapat bahwa bukti yang diajukan oleh ahli waris (termasuk dokumen bipartit, mediasi, dan penetapan pengawas) sudah cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur upah rutin dan subordinasi yang berlangsung selama 24 tahun.

Penegasan MA ini memiliki implikasi normatif yang sangat mendalam: label yang diberikan pengusaha tidak meniadakan hubungan kerja substantif. MA secara eksplisit mengesampingkan label "mitra" atau "lepas" yang digunakan pengusaha, dengan menyatakan bahwa kriteria faktual adanya kontrol (control test) dan integrasi (integration test) dalam pekerjaan sehari-hari mengungguli formalitas dokumen. Dalam kasus Kamaru Zaini, fakta bahwa Almarhum bekerja rutin dan di bawah pengawasan/perintah perusahaan selama puluhan tahun menjadi bukti tak terbantahkan bahwa hubungan tersebut adalah hubungan kerja buruh, bukan jasa independen. Ini merupakan koreksi yudisial yang tegas terhadap praktik pengaburan hubungan kerja [16].

Langkah MA yang paling protektif adalah penetapan status hubungan kerja menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Logika hukum yang digunakan MA adalah bahwa, bahkan jika pengusaha mengklaim hubungan tersebut adalah PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), ketiadaan kontrak tertulis yang sah (sebagaimana diwajibkan oleh UU Ketenagakerjaan) secara otomatis dan demi hukum (ipso jure) mengkonversi hubungan kerja tersebut menjadi PKWTT. Ini adalah mekanisme perlindungan yang dirancang oleh UU untuk menjaga kepastian dan hak-hak pekerja. Dengan menetapkan status PKWTT, MA secara efektif membuka pintu bagi ahli waris untuk mendapatkan hak-hak normatif yang setara dengan karyawan tetap [17].

Penetapan PKWTT ini menjadi dasar hukum bagi MA untuk menghukum pengusaha. Almarhum Kamaru Zaini dianggap telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena meninggal dunia, yang merupakan salah satu alasan PHK yang sah. Dengan status PKWTT dan alasan PHK karena meninggal, ahli waris berhak atas pembayaran Pesangon (berdasarkan masa kerja) dan Penghargaan Masa Kerja (PMK) sesuai dengan ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan dan PP pelaksana. MA kemudian menghitung total hak normatif tersebut menjadi Rp72.229.248, yang jauh lebih besar dan lebih adil dibandingkan tali asih Rp40 juta yang diputuskan oleh PHI.

Putusan MA Nomor 1049/2023 menandai pergeseran paradigma yudisial yang sangat penting dari keadilan formal menuju keadilan substantif (pro-labour). PHI Pontianak cenderung formalistis, menghargai dokumen (atau ketiadaan dokumen) di atas fakta materiil. MA mengoreksi hal ini dengan pembacaan teleologis hukum ketenagakerjaan, yaitu bahwa hukum harus selalu ditafsirkan untuk melindungi pihak yang lebih lemah dalam hubungan industrial. Dalam hal ini, pekerja yang berada pada posisi subordinasi dan rentan harus diutamakan.

Pembacaan teleologis MA ini memberikan pesan tegas: pengadilan tidak boleh menjadi alat untuk melegalkan eksploitasi. Ketika pengusaha menggunakan label "Informal" untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari pekerja yang secara faktual di bawah perintahnya, pengadilan wajib membatalkan label tersebut dan menegakkan hak normatif. Hal ini menguatkan azas in dubio pro reo dalam versi ketenagakerjaan, di mana keraguan dalam pembuktian harus diinterpretasikan untuk kepentingan pekerja [18].

Meskipun MA tidak dapat langsung memberikan santunan Jamsostek (karena itu adalah klaim administratif BPJS), putusan MA ini secara tidak langsung menegaskan implikasi sistemik ketidaktaatan pengusaha terhadap UU BPJS. Kasus Kamaru Zaini, yang meninggal karena kecelakaan kerja, seharusnya dilindungi oleh Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Faktanya, ketidakikutsertaan Almarhum dalam program BPJS telah memperparah kerugian ahli waris [19].

MA secara tidak langsung menghukum pengusaha atas kelalaian BPJS melalui pembayaran hak normatif PHK yang lebih besar. Meskipun pengawas dan mediator ketenagakerjaan telah menghitung hak JKK yang seharusnya sebesar Rp145.821.568, putusan MA yang menetapkan hak PHK penuh menjadi mekanisme remediasi yudisial untuk mengompensasi kerugian yang timbul. Ketidaktaatan pengusaha terhadap kewajiban BPJS tidak menggugurkan hak pekerja atas perlindungan, melainkan mentransfer tanggung jawab finansial Jamsostek (santunan) menjadi tanggung jawab ganti rugi perdata/normatif pengusaha secara langsung kepada ahli waris.

Putusan ini menunjukkan adanya dalil tanggung renteng (joint liability) antara PD. Candra dan PT. Multi Depo karena keterkaitan dan integrasi operasional. Penetapan tanggung renteng ini penting untuk mencegah pengusaha menghindari tanggung jawab melalui fragmentasi entitas usaha. Kekuatannya: MA mencegah pengusaha menggunakan tabir korporasi sebagai perisai. Namun, analisis joint liability ini perlu dikawal secara kritis untuk menghindari risiko over-reach [20].

MA (dan pengadilan ke depan) perlu menegaskan kembali batasan penerapan joint liability melalui tes pengendalian (control test) dan derajat integrasi (integration test). Control test harus membuktikan sejauh mana PT. Multi Depo memiliki kewenangan de facto dalam mengendalikan pekerjaan sehari-hari Almarhum. Integration test harus membuktikan seberapa erat Almarhum terintegrasi dengan struktur bisnis inti kedua entitas. Penerapan tanggung renteng tanpa uji kontrol yang memadai dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pihak afiliasi yang tak mengendalikan pekerjaan sehari-hari, yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum perdata [21].

Putusan MA No. 1049/2023 menciptakan preseden yang sangat kuat dan berfungsi sebagai peta jalan bagi penegakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Preseden ini memiliki implikasi langsung bagi seluruh pemangku kepentingan:

1. Bagi Pengusaha: Putusan ini adalah peringatan keras untuk menghindari mis-klasifikasi hubungan kerja. Pengusaha wajib melakukan audit status tenaga kerja mereka; bila ada unsur perintah, jadwal, evaluasi kinerja, dan upah rutin, pengusaha harus segera melakukan konversi ke PKWT/PKWTT dan mendaftarkan BPJS secara penuh.

2. Bagi Pekerja/Serikat: Putusan ini memberikan panduan pembuktian yang efektif. Pekerja harus fokus pada pendokumentasian faktual seperti jadwal kerja, bukti upah, perintah tertulis (jika ada), atau bukti pengawasan/subordinasi. Bukti-bukti ini terbukti "menang" di tingkat MA, mengungguli ketiadaan kontrak.

3. Bagi Pemerintah: Putusan ini mendesak pemerintah untuk menyusun norma eksplisit bagi pekerja informal. Ketergantungan pada remediasi yudisial oleh MA harus diminimalkan dengan menyediakan regulasi yang jelas untuk mengurangi sengketa di tingkat awal.

Putusan MA 1049/2023 ini bukanlah putusan tunggal yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari tren konsolidasi yurisprudensi yang telah lama dianut oleh MA, yaitu asas perlindungan pekerja yang substantif. Putusan-putusan MA sebelumnya juga telah secara konsisten membatalkan putusan PHI yang bersifat formalistik dalam kasus outsourcing dan penetapan hubungan kerja. Konsistensi ini menunjukkan adanya komitmen institusional MA untuk mengoreksi ketidakadilan yang disebabkan oleh praktik pengaburan hubungan kerja. Hal ini memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi pekerja informal yang selama ini rentan.

Kunci keberhasilan MA dalam kasus ini adalah penggunaan instrumen tes subordinasi yang efektif. MA tidak hanya melihat apakah ada surat perintah, tetapi melihat apakah ada keterikatan organisatoris dan ketergantungan ekonomis pekerja kepada perusahaan. Ketergantungan ekonomis (upah rutin sebagai satu-satunya sumber penghasilan) dan keterikatan organisatoris (bekerja dalam jam kantor, menggunakan alat perusahaan) adalah indikator kuat bahwa Almarhum Kamaru Zaini adalah pekerja buruh sejati, dan bukan kontraktor independen. Pengadilan di masa depan harus menggunakan indikator ini secara ketat untuk membedakan status kerja [22].

Putusan MA No. 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 secara mutlak mengokohkan paradigma perlindungan substantif dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia: ketika fakta hubungan kerja terbukti, hukum wajib melindungi, sekalipun label dan formalia berkata lain. MA bertindak sebagai korektor yudisial terhadap kegagalan PHI dalam melihat esensi dari hubungan kerja. Putusan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah peradilan industrial, yang mendukung implementasi penuh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bagi seluruh warga negara, termasuk pekerja di sektor informal yang paling rentan.

Tabel 1. Dasar Pertimbangan PHI dan MA

Meskipun Putusan MA No. 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 berada di ranah hukum publik (Hukum Ketenagakerjaan), analisisnya secara mendasar bersandar pada prinsip-prinsip hukum perdata, khususnya terkait keabsahan perjanjian dan itikad baik, yang diatur dalam KUH Perdata. Dalam kasus Kamaru Zaini, pengusaha mengklaim tidak adanya hubungan kerja karena ketiadaan kontrak formal yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata (syarat sah perjanjian). Namun, MA secara implisit menegaskan bahwa ketiadaan kontrak tertulis tidak meniadakan kesepakatan dan pokok persoalan (yaitu pekerjaan itu sendiri). Lebih krusial lagi, klaim pengusaha tersebut berpotensi melanggar syarat keempat Pasal 1320, yaitu sebab yang tidak terlarang.

Pelabelan "mitra" atau "tenaga lepas" yang digunakan pengusaha, padahal faktanya ada unsur pekerjaan, upah, dan perintah, dapat ditafsirkan sebagai causa yang terlarang karena bertujuan untuk menghindari kewajiban hukum yang bersifat imperatif (wajibnya perlindungan Jamsostek dan hak normatif). Tindakan menghindari kewajiban ini bertentangan dengan ketertiban umum (openbare orde) di bidang ketenagakerjaan. Selain itu, praktik ini secara terang-terangan melanggar Pasal 1338 KUH Perdata yang mewajibkan pelaksanaan persetujuan dengan itikad baik (goede trouw). Tindakan pengusaha yang secara sengaja mengaburkan hubungan kerja untuk tujuan efisiensi biaya, yang berujung pada kerugian ahli waris akibat kecelakaan kerja tanpa JKK, merupakan tindakan tidak beritikad baik yang secara substansial dapat membatalkan atau memodifikasi konsekuensi hukum dari hubungan kerja yang ada. MA, dengan menetapkan status PKWTT dan menghukum pembayaran penuh, bertindak sebagai korektor yang menegakkan prinsip itikad baik dan sebab yang tidak terlarang dalam kerangka hubungan kerja [23].

Simpulan

Melalui analisis yang mendalam, dapat disimpulkan bahwa terdapat perlindungan hukum bagi pekerja di sektor informal di Indonesia, meskipun secara tekstual fragmentaris, namun secara normatif kuat berlandaskan pada asas konstitusional (Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) dan unsur faktual hubungan kerja (Pasal 1 angka 15 UU 13/2003). Kekuatan normatif ini memungkinkan imputasi perlindungan melalui sanksi konversi demi hukum menjadi PKWTT ketika unsur pekerjaan, upah, dan perintah terbukti, terlepas dari label formal yang diberikan oleh pengusaha.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1049 K/Pdt.Sus-PHI/2023 merupakan wujud koreksi yudisial yang progresif, menetapkan preseden pro-labour yang mengutamakan keadilan substantif di atas legalitas formal. MA secara tegas menolak argumen formalistik PHI, menegaskan bahwa ketiadaan kontrak tertulis tidak meniadakan hubungan kerja dan justru mengkonversi status menjadi PKWTT, yang berujung pada hukuman pembayaran penuh hak normatif (pesangon dan PMK) kepada ahli waris. Putusan ini mengokohkan peta jalan penegakan hukum bagi pekerja informal dengan memprioritaskan pembuktian unsur faktual dan menegaskan tanggung jawab pengusaha terhadap kewajiban Jamsostek.

Untuk menguatkan perlindungan hukum bagi pekerja sektor informal, disarankan beberapa langkah normatif-praktis yang harus segera diimplementasikan. Pertama, Badan Legislasi DPR RI harus memprakarsai amandemen UU Ketenagakerjaan untuk secara eksplisit mengakui dan mendefinisikan kategori pekerja informal, serta mewajibkan minimal jaring pengaman sosial (JKK/JKM) bagi mereka tanpa bergantung pada label kontrak, sehingga mengurangi ketergantungan pada remediasi yudisial. Kedua, Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan harus memperkuat pengawasan ketenagakerjaan dan mengenakan sanksi administratif dan pidana yang berat terhadap pengusaha yang terbukti melakukan mis-klasifikasi untuk menghindari kewajiban pendaftaran BPJS, sebagaimana kasus Kamaru Zaini menunjukkan perlunya penindakan yang tegas. Ketiga, Mahkamah Agung harus menyusun Pedoman Yurisprudensi yang menstandarkan tes kontrol (control test) dan tes integrasi (integration test) sebagai alat ukur yang wajib digunakan PHI di seluruh Indonesia untuk membedakan pekerja buruh sejati dari kontraktor independen, sehingga putusan menjadi lebih adil dan prediktabel. Keempat, Korporasi dan UMKM harus segera melakukan audit internal status tenaga kerja dan memastikan konversi status PKWT/PKWTT serta pendaftaran BPJS terpenuhi, karena putusan MA ini menegaskan bahwa menghindari kewajiban adalah risiko hukum yang sangat mahal. Kelima, Serikat Pekerja harus memfokuskan strategi advokasi dan edukasi pada pembuktian faktual (bukti upah, perintah, dan jadwal kerja) sebagai alat bukti paling efektif di hadapan Pengadilan.

References

S. H. Almaududi and R. Kusuma, Hukum Ketenagakerjaan (Hubungan Kerja) dalam Teori dan Praktik. Jakarta, Indonesia: RajaGrafindo Persada, 2021.

Z. Asyhadie, Hukum Ketenagakerjaan dalam Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta, Indonesia: PrenadaMedia Group, 2019.

C. Arifin, “Kedudukan Hukum Tenaga Kerja Outsourcing Sebelum dan Sesudah Berlakunya UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja,” Court Review, vol. 4, no. 1, pp. 1–20, 2022.

T. A. Ardelia et al., “Analisis Kedudukan Pekerja Outsourcing: Kajian Terhadap Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023,” Media Hukum Indonesia, vol. 2, no. 4, pp. 284–290, 2024.

A. B. Afriandi, “Penyelesaian Sengketa Antara 40 Buruh Wanita Melawan PT Philips Seafood Indonesia,” Risalah, vol. 5, no. 2, p. 205, 2024.

H. Alandi and D. E. Mayasari, “Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial dalam Menyelesaikan Perselisihan Pekerja,” Jurnal Hukum Ius Publicum, vol. 4, no. 2, pp. 43–60, 2023.

Y. N. Aini, D. Asiati, Y. A. Purba, and Ngadi, “Kesenjangan Kepesertaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia: Analisis Data SAKERNAS 2018,” Jurnal Ketenagakerjaan, vol. 15, no. 2, pp. 155–170, 2020.

S. Budiono and U. Basah, “Perlindungan Hukum Terhadap Serikat Pekerja dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan,” Bureaucracy, p. 16, 2016.

T. Hidayati, L. Faqrurrowzi, and Y. T. Tanjung, “Analisa Yuridis Pengawasan Manajerial Pekerja Outsourcing Setelah Berlaku Undang-Undang Cipta Kerja,” Jurnal Ketenagakerjaan, vol. 17, no. 3, pp. 45–62, 2022.

N. R. Izzati, “Eksistensi Yuridis dan Empiris Hubungan Kerja Tidak Standar dalam Perspektif Regulasi Ketenagakerjaan di Indonesia,” Jurnal Masalah-Masalah Hukum, vol. 52, no. 2, pp. 110–130, 2023.

A. Yuliastuti and E. Syarif, “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menggunakan Acte van Dading,” Jurnal Ketenagakerjaan, vol. 16, no. 2, pp. 88–98, 2021.

T. Alawiyah and E. R. Gultom, “Perjanjian Kerjasama Kemitraan PT Go-Jek dengan Driver Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,” UNES Law Review, vol. 5, no. 3, pp. 713–724, 2023.

Y. Kurniati et al., “Metode dan Skema Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) untuk Meningkatkan Efektivitas Sistem Hukum Ketenagakerjaan,” Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial dan Hukum, vol. 3, no. 4, pp. 4204–4211, 2025.

E. P. Manalu, “Perubahan Status Hukum Perjanjian Kerja Pasca Berlakunya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja,” Jurnal Hukum Prioris, vol. 10, no. 1, pp. 32–42, 2022.

R. Heber, B. Madiong, and M. Nur, “Analisis Perlindungan Hukum Perubahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu,” Indonesian Journal of Legal Law, vol. 5, no. 2, pp. 281–289, 2023.

A. P. Raska et al., “Tinjauan Yuridis Hubungan Kemitraan antara Driver dengan Platform Grab,” Civil Society Journal, vol. 4, no. 2, pp. 450–459, 2024.

D. G. G. Santosa and D. Gede, “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-Undang Cipta Kerja: Implementasi dan Permasalahannya,” DiH: Jurnal Ilmu Hukum, vol. 17, no. 2, pp. 178–191, 2021.

F. Mochamad, “Perlindungan Pekerja PKWT Pasca UU Cipta Kerja,” Deposito: Jurnal Publikasi Ilmu Hukum, vol. 1, no. 1, pp. 1–15, 2023.

S. H. Wibowo and J. Matheus, “Tinjauan Yuridis Pemberian Uang Pesangon kepada Karyawan yang di-PHK Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja,” Nusantara Journal of Social Sciences, vol. 10, no. 5, pp. 2560–2565, 2023.

S. N. Milinum, “Problematika Fleksibilitas Outsourcing Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan,” Jurnal Hukum Lex Generalis, vol. 3, no. 5, pp. 412–432, 2022.

D. P. Lestari, “Analisis Yuridis Normatif Pemberian Kompensasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja,” Jurnal Hukum Lex Generalis, vol. 3, no. 5, pp. 339–349, 2022.

E. Risdianto and M. Irayadi, “Analisis Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja yang Diputus Daluarsa oleh Pengadilan Hubungan Industrial (Studi Kasus Putusan Nomor: 26/Pdt.Sus-PHI/2024/PN.SRG),” Jurnal Humaniora: Jurnal Hukum dan Ilmu Sosial, vol. 3, no. 2, pp. 16–26, 2025.

T. Zhafirah and H. A. Mardijono, “Perlindungan Hukum atas Hak Pekerja dalam Perjanjian Kontrak Kerja,” Bureaucracy: Indonesian Journal of Law, Society, and Governance, vol. 3, no. 1, pp. 215–230, 2023.