Login
Section Law

Legal Policy on Changes to Copyright Law in the Digital Space

Politik Hukum Atas Perubahan Undang-Undang Hak Cipta di Ruang Digital
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Romandelas Manurung (1), Gunardi Lie (2)

(1) Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Indonesia's rapid digital transformation has reshaped the creation, distribution, and use of copyrighted works, intensifying the urgency for adaptive legal protection. Specific Background: Despite the 2014 Copyright Law addressing digital elements, its provisions remain insufficient to manage algorithm-driven, cross-border infringements proliferating on user-generated content platforms. Knowledge Gap: Existing regulations have not fully anticipated technological developments nor clearly defined the responsibilities of digital platform operators, especially after the Constitutional Court’s reinterpretation of liability under Article 10. Aims: This study examines the legal politics underlying the amendment of the Copyright Law to strengthen protection mechanisms in the digital environment. Results: Findings reveal the need for more responsive regulation, expanded obligations for digital platforms, harmonized protection of moral and economic rights, and enhanced enforcement tools, including integrated digital surveillance and more effective access-blocking procedures. Novelty: The study offers a conceptual model that links legislation theory with legal protection theory to propose an adaptive copyright protection framework suited to digital-era challenges. Implications: These insights provide strategic direction for policymakers in formulating reforms that ensure legal certainty, fairness, and public benefit within Indonesia’s evolving digital copyright ecosystem.


Highlights:




  • The digital environment demands stronger, adaptive copyright protection responsive to technological change.




  • Constitutional Court Decision No. 84/PUU-XXI/2023 expands platform liability, revealing gaps in current regulation.




  • A revised legal framework must integrate surveillance, platform obligations, and balanced protection of creators’ rights.




Keywords: Copyright Law, Digital Platforms, Legal Politics, Enforcement, Regulation

Author Biography

Gunardi Lie, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Dorongan untuk melakukan pembaruan terhadap regulasi hak cipta di Indonesia pada masa kini tidak lagi dapat dianggap sekadar pilihan, tetapi telah berkembang menjadi sebuah keniscayaan yang lahir dari dinamika pesat transformasi digital. Gelombang disrupsi teknologi telah mengubah wajah penciptaan, distribusi, dan pemanfaatan karya intelektual secara fundamental, sehingga kerangka hukum yang ada perlu menyesuaikan diri agar tetap mampu memberikan perlindungan yang efektif bagi para pencipta maupun pemegang hak cipta. Dalam konteks tersebut, upaya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut sebagai “UU Hak Cipta”) telah resmi dimasukkan ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (selanjutnya disebut sebagai “Prolegnas”) untuk kurun waktu 2025–2029. Menarik untuk dicermati bahwa di antara 176 rancangan undang-undang yang diusulkan dalam periode legislasi lima tahunan tersebut, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Hak Cipta justru ditempatkan sebagai salah satu prioritas dengan masuk ke dalam 41 RUU yang akan dibahas pada tahun 2025. Penempatan tersebut mencerminkan kesadaran dan urgensi dari pembentuk undang-undang bahwa perlindungan hukum hak cipta harus mampu bergerak seiring perkembangan zaman, terutama untuk menjawab tantangan baru seperti eksploitasi ekonomi digital, maraknya pelanggaran berbasis platform daring, serta kebutuhan untuk memberikan keseimbangan yang lebih proporsional antara kepentingan komersial pelaku industri kreatif dan hak publik atas akses informasi serta perkembangan ilmu pengetahuan.

Sebagai bagian dari sistem hukum nasional, pengaturan mengenai hak cipta di Indonesia telah melalui proses perkembangan yang cukup panjang. Sejak pertama kali diatur melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982, regulasi hak cipta telah beberapa kali mengalami penyempurnaan seiring dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terus bergerak. Undang-undang tersebut kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan kembali mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997. Reformasi lebih lanjut dilakukan dengan pencabutan dan penggantian regulasi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, hingga pada akhirnya diperbarui oleh UU Hak Cipta yang berlaku hingga saat ini [1]. Jejak perubahan tersebut menunjukkan adanya kesadaran pembentuk undang-undang untuk terus menyesuaikan perlindungan hak cipta dengan perkembangan zaman, termasuk kemajuan teknologi.

Jika ditelusuri lebih cermat, perhatian terhadap aspek teknologi dalam perlindungan hak cipta sesungguhnya telah muncul sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam Penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan bahwa salah satu latar belakang perubahan hukum adalah kebutuhan akan pengaturan “hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi,” serta urgensi untuk memperkuat “mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi.” Ketentuan tersebut menggambarkan adanya kesadaran awal bahwa kemajuan teknologi tidak hanya menghadirkan peluang bagi pengembangan industri kreatif, tetapi juga membawa tantangan baru dalam bentuk potensi penyalahgunaan dan pelanggaran hak cipta yang semakin kompleks. Oleh karena itu, setiap perubahan regulasi selanjutnya, termasuk wacana revisi terhadap UU Hak Cipta yang kini masuk prioritas legislasi, tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan untuk terus memperbaharui instrumen hukum agar tetap adaptif dan responsif terhadap perkembangan teknologi digital yang semakin pesat.

Sarana kontrol teknologi yang dimaksud dalam rezim perlindungan hak cipta merupakan perangkat atau instrumen teknis yang berfungsi sebagai benteng keamanan bagi suatu ciptaan agar tidak mudah diakses, diperbanyak, atau disebarluaskan tanpa izin pihak yang berhak. Instrumen ini dapat berupa penerapan kode pengamanan, kata sandi, barcode, nomor seri, hingga teknologi dekripsi dan enkripsi yang beroperasi sebagai lapisan perlindungan digital. Keberadaan sarana kontrol teknologi tersebut mencerminkan upaya hukum untuk mengantisipasi modus pelanggaran yang semakin canggih seiring berkembangnya teknologi. Namun, jika dikaitkan dengan konteks Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, fokus regulasi pada saat itu secara eksplisit masih berada pada perlindungan sarana produksi berteknologi tinggi di bidang cakram optik (optical disc), sebagaimana tercantum dalam Pasal 28. Ketentuan tersebut sangat relevan pada masanya, ketika reproduksi karya cipta melalui media fisik seperti CD dan DVD menjadi salah satu bentuk pelanggaran yang paling marak terjadi. Akan tetapi, seiring kemajuan teknologi informasi yang telah beralih ke era digital dan berbasis internet, cakram optik tidak lagi menjadi media utama dalam distribusi maupun pelanggaran hak cipta. Dominasi layanan streaming, platform berbagi konten digital, hingga kecerdasan buatan dalam proses penciptaan karya telah menggeser lanskap penggunaan teknologi secara signifikan.

Pembaharuan substansi mengenai ruang digital semakin mendapatkan penegasan ketika UU Hak Cipta diundangkan sebagai regulasi hak cipta yang berlaku saat ini. Penggunaan istilah “digital” yang muncul tidak kurang dari sepuluh kali dalam sejumlah ketentuan di dalam pasal maupun ayat menunjukkan adanya perubahan paradigma hukum dari yang sebelumnya masih berorientasi pada media fisik, menjadi lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi. Pengertian “digital” dalam konteks ini tidak lagi terbatas pada format berbasis cakram optik seperti compact disc (CD), video compact disc (VCD), atau digital video disc (DVD), melainkan juga mencakup format konten modern seperti Mpeg-1 Layer 3 Audio (MP3), Waveform Audio Format (WAV), Mpeg-1 Layer 4 Audio (MP4), hingga konversi karya berbasis teks menjadi bentuk audio book. Perluasan substansi tersebut mencerminkan kesadaran hukum bahwa distribusi dan konsumsi karya cipta kini berlangsung melalui beragam platform digital yang memungkinkan akselerasi penyebaran karya tanpa batas ruang dan waktu.

Perkembangan serupa juga tampak dalam definisi mengenai “sarana kontrol teknologi” yang mendapatkan pemaknaan lebih luas dibandingkan regulasi sebelumnya. Jika pada rezim terdahulu perhatian utamanya masih menyasar media fisik dan perlindungan melalui kode atau instrumen pengamanan konvensional seperti password, barcode, serial number, teknologi enkripsi dan dekripsi, maka UU Hak Cipta secara progresif memasukkan perangkat berbasis infrastruktur digital sebagai bagian dari mekanisme perlindungan hukum. Sarana seperti server, data center, dan cloud computing kini diakui sebagai bagian dari sistem pengamanan yang memiliki peran krusial dalam penyimpanan sekaligus pengendalian akses terhadap karya cipta. Perluasan cakupan tersebut menandai upaya untuk memastikan bahwa hukum tetap mampu mengimbangi sifat transnasional dan borderless dari pelanggaran hak cipta di ranah digital, sambil tetap menjamin bahwa kepentingan pemilik hak dapat dilindungi secara efektif dalam ekosistem teknologi yang terus berkembang.

Menarik untuk dicermati bahwa UU Hak Cipta tidak hanya memperluas konsepsi ruang perlindungan digital dalam pengertian teknologinya, tetapi juga menyediakan satu bab khusus yang secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan hak cipta dan hak terkait dalam ekosistem teknologi informasi dan komunikasi. Melalui ketentuan Pasal 54 hingga Pasal 56, undang-undang ini membangun dasar hukum bagi mekanisme pemutusan akses atau penonaktifan konten digital yang terbukti melanggar hak cipta serta hak terkait dalam suatu sistem elektronik. Pengaturan tersebut tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pencegahan terhadap praktik pelanggaran di ranah siber, tetapi juga sebagai bentuk penguatan kewenangan negara dalam melakukan pengawasan yang efektif terhadap peredaran konten ilegal berbasis teknologi informasi. Dengan kata lain, negara diberikan kapasitas hukum untuk melakukan tindakan afirmatif dalam melindungi kepentingan pencipta dan pemilik hak melalui intervensi langsung terhadap penyedia platform maupun penyelenggara sistem elektronik yang menjadi medium penyebaran pelanggaran.

Ketentuan normatif tersebut kemudian menjadi fondasi bagi pemerintah, khususnya Kementerian Hukum Republik Indonesia—yang pada saat tersebut masih bernama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia—serta Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia—yang sebelumnya dikenal sebagai Kementerian Komunikasi dan Informatika—untuk merumuskan instrumen hukum turunan berupa Peraturan Bersama Menteri. Regulasi pelaksana tersebut dirancang untuk menyediakan pedoman yang lebih teknis mengenai tata cara pemutusan akses, prosedur permintaan penghapusan konten, serta tata kelola koordinasi antarotoritas dalam menindak pelanggaran hak cipta di ruang digital yang sifatnya lintas-sektoral dan berlangsung secara cepat. Langkah ini menjadi bukti bahwa pembentuk undang-undang telah menempatkan isu perlindungan hak cipta di internet sebagai prioritas strategis, mengingat potensi kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh pembajakan dan penggunaan konten ilegal dalam lingkungan daring semakin tinggi dan sulit dikendalikan tanpa kerangka hukum yang adaptif.

Meskipun UU Hak Cipta dapat dikatakan lebih progresif dibandingkan rezim hukum sebelumnya, usia keberlakuannya ternyata tidak berjalan panjang tanpa tantangan. Perkembangan teknologi informasi yang bergerak dalam ritme cepat telah melahirkan tipologi pelanggaran hak cipta yang tidak sepenuhnya terjangkau oleh norma yang ada. Ketertinggalan normatif tersebut kemudian tampak jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XXI/2023 yang diucapkan pada tanggal 29 Februari 2024. Dalam putusan tersebut, sembilan Hakim Konstitusi secara bulat menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta—yang semula hanya membebankan larangan kepada pengelola tempat perdagangan fisik agar tidak membiarkan peredaran atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta—bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mahkamah menegaskan bahwa norma tersebut harus dimaknai secara lebih luas, yakni dengan memasukkan pula pengelola platform layanan digital berbasis user generated content (“UGC”) sebagai subjek yang memiliki tanggung jawab hukum untuk mencegah penjualan, penayangan, maupun penggandaan karya yang melanggar hak cipta di ruang digital yang mereka kelola. Putusan ini meneguhkan realitas bahwa transaksi serta distribusi konten ilegal pada era digital kini lebih banyak berlangsung pada platform daring dibandingkan pada ruang perdagangan konvensional.

Atas dasar perkembangan tersebut, upaya revisi terhadap UU Hak Cipta yang saat ini telah tercantum dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2025 harus mampu memberikan pembaruan substansial yang benar-benar menjawab tantangan pelanggaran hak cipta dan hak terkait di ruang digital. Pembaruan regulasi tidak boleh dilakukan secara fragmentaris dengan hanya menyentuh ketentuan tertentu seperti Pasal 10 atau Pasal 114, tetapi perlu dirumuskan secara menyeluruh agar mampu menciptakan sistem perlindungan hak cipta yang terpadu. Hal ini mencakup penyelarasan seluruh aspek pengaturan, mulai dari perlindungan hak moral dan hak ekonomi pencipta, mekanisme kontrol teknologi yang adaptif terhadap perkembangan digital, hingga penguatan prosedur penutupan akses terhadap konten ilegal dalam sistem elektronik. Di samping itu, konsistensi pengaturan terkait kewenangan penyidikan, tata cara penegakan hukum, dan pemidanaan harus dibangun secara terintegrasi supaya tidak menimbulkan kekosongan atau tumpang tindih norma di lapangan. Dengan pendekatan legislatif yang holistik ini, revisi UU Hak Cipta ke depan diharapkan mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan perlindungan hak eksklusif pencipta dan pemilik hak, serta kemudahan akses masyarakat terhadap karya cipta, tanpa mengabaikan kebutuhan penyesuaian hukum terhadap perkembangan teknologi yang semakin kompleks dan tidak mengenal batas yurisdiksi.

Perubahan terhadap UU Hak Cipta ini dapat mencerminkan arah politik hukum negara yakni legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan melalui pembuatan hukum baru maupun penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Revisi terhadap UU Hak Cipta nanti juga akan menunjukan apakah karakter UU Hak Cipta tersebut sebagai suatu produk hukum responsif/populistik yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat atau justru konservatif/elitis. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan terdapat dua rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana politik hukum perubahan UU Hak Cipta dalam mengakomodir perlindungan hukum hak cipta dan/atau hak terkait di ruang digital? dan bagaimana perlindungan hukum hak cipta dan/atau hak terkait di ruang digital berdasarkan UU Hak Cipta?

Metode

Dalam kajian mengenai social mapping, penelitian ini ditempatkan dalam kerangka penelitian hukum normatif. Pendekatan normatif pada dasarnya berangkat dari penelusuran dan analisis terhadap bahan hukum yang bersifat kepustakaan, mencakup seluruh instrumen hukum tertulis maupun referensi akademik yang membentuk dasar konseptual suatu pengaturan hukum. Pendekatan ini lazim disebut sebagai normative legal research dalam literatur berbahasa Inggris, atau dikenal pula sebagai normatieve juridische onderzoek dalam tradisi hukum Belanda, serta normative juristische recherche dalam perbendaharaan ilmu hukum Jerman [2]. Esensi metode ini terletak pada penempatannya terhadap hukum sebagai suatu sistem norma yang hidup, tersusun atas asas, kaidah, dan aturan yang termanifestasi dalam peraturan perundang-undangan, praktik peradilan, kontrak atau kesepakatan hukum, serta pemikiran teoretis para sarjana hukum terkemuka. Dengan memandang hukum sebagai sebuah konstruksi normatif yang berlapis, penelitian ini tidak hanya memeriksa keberlakuan aturan positif, melainkan juga menguraikan keterhubungan antara norma-norma tersebut dalam membentuk kerangka perlindungan hukum dan kepastian dalam praktik pemetaan sosial [3].

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif, yakni suatu metode yang bertumpu pada penelaahan sumber-sumber hukum melalui studi kepustakaan dan pemanfaatan data sekunder [4]. Dalam pendekatan ini, hukum diposisikan sebagai suatu sistem norma yang tersusun dari asas, kaidah, serta ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, jurisprudensi, perjanjian, dan doktrin para ahli hukum [3]. Objek kajian tidak hanya diarahkan pada keberadaan aturan positif semata, melainkan juga pada hubungan sistemik antara norma-norma tersebut dalam membentuk kepastian dan perlindungan hukum terhadap isu yang diteliti.

Sumber data yang digunakan mencakup data primer dan data sekunder yang saling melengkapi. Data primer diperoleh dari institusi resmi pemerintah seperti kementerian dan lembaga yang memiliki kewenangan terkait dengan substansi penelitian, sehingga memberikan pijakan otoritatif mengenai kebijakan serta praktik implementasi hukum, sementara data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka yang relevan dengan permasalahan penelitian [4], meliputi sumber hukum primer seperti buku ilmiah, hasil penelitian, laporan teknis, jurnal akademik, hingga karya ilmiah tingkat tesis dan disertasi [5]. Selain itu, penelitian ini juga merujuk pada sumber hukum sekunder berupa abstrak, indeks, bibliografi, publikasi pemerintah, serta berbagai bahan rujukan lain yang memperkaya analisis. Melalui pendekatan metodologis tersebut, penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan argumentasi hukum yang berlandaskan dasar normatif yang kuat, analitis, serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Hasil dan Pembahasan

Dalam penelitian ini, teori legislasi dan teori perlindungan hukum dipandang sebagai landasan konseptual yang tepat untuk menganalisis berbagai persoalan hukum terkait pembaruan regulasi hak cipta di era digital. Melalui perspektif teori legislasi, dapat dipahami bagaimana arah kebijakan atau politik hukum diterjemahkan secara konkret ke dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk bagaimana setiap norma yang dimuat dalam undang-undang harus dirumuskan secara cermat agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip konstitusional yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang untuk selanjutnya disebut “UUD NRI 1945”). Pada saat yang bersamaan, teori ini juga menegaskan pentingnya keselarasan antara hukum nasional dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, perkembangan yurisprudensi, khususnya putusan Mahkamah Konstitusi, serta berbagai sumber hukum lainnya. Dengan demikian, teori legislasi memberikan kerangka evaluatif untuk memastikan bahwa pembaruan terhadap UU Hak Cipta tidak hanya dilakukan sebagai respons atas tekanan perkembangan teknologi, tetapi juga memperhatikan kepastian hukum, konsistensi sistem norma, dan integrasi Indonesia dalam tatanan hukum global.

Sementara itu, teori perlindungan hukum akan mengkaji secara mendalam mekanisme perlindungan hak cipta dan/atau hak terkait sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan hak cipta yang berlaku saat ini, bahkan jika diperlukan dengan menelusuri ketentuan dalam undang-undang sebelumnya. Mengacu pada pandangan Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum harus diberikan baik secara preventif maupun represif, sehingga kajian ini akan mengevaluasi sejauh mana instrumen hukum yang ada mampu memberikan pencegahan terhadap pelanggaran serta menyediakan penegakan hukum yang efektif bagi pemegang hak [6]. Selain itu, merujuk pada pemikiran Satjipto Rahardjo yang menekankan hukum sebagai sarana untuk mencapai keadilan substantif, teori ini juga akan menilai kemampuan hukum hak cipta dalam menjamin keseimbangan kepentingan antara pencipta, pelaku industri, serta masyarakat sebagai pengguna karya cipta dalam ruang digital [7]. Kajian ini tidak hanya bersifat evaluatif terhadap efektivitas pengaturan saat ini, tetapi juga bersifat prospektif dengan memberikan rekomendasi mengenai model perlindungan hak cipta dan/atau hak terkait yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi informasi dan karakteristik penyebaran karya dalam ekosistem digital.

Negara Indonesia secara tegas menegaskan dirinya sebagai negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 [8]. Dalam konsep negara hukum modern, khususnya pada negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia, istilah yang digunakan adalah Rechtsstaat [9]. Sementara itu, pada negara-negara dengan tradisi Common Law atau Anglo-Saxon dikenal konsep The Rule of Law [9]. Kedua konsep tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni memastikan bahwa kekuasaan negara dijalankan berdasarkan hukum serta menjamin perlindungan hak-hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang pemerintah. Philipus M. Hadjon menjelaskan bahwa Rechtsstaat memiliki sejumlah karakteristik utama, yaitu [10]:

1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis mengenai pembatasan kekuasaan serta pengaturan hubungan antara penguasa dan rakyat;

2. Adanya prinsip pembagian kekuasaan negara yang menjadi mekanisme check and balance guna mencegah penyalahgunaan kewenangan;

3. Diakuinya serta dilindunginya hak asasi dan kebebasan warga negara melalui instrumen hukum yang efektif.

Pengakuan dan perlindungan hak warga negara tersebut tentunya mencakup hak kekayaan intelektual sebagai bagian dari hak atas hasil karya dan kreativitas manusia. Oleh karena itu, pengaturan mengenai hak cipta beserta mekanisme penegakannya merupakan manifestasi nyata dari prinsip negara hukum dalam menjamin kepastian hukum, keadilan, serta perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait, termasuk dalam ruang digital yang berkembang pesat dewasa ini.

Dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat tersebut, negara perlu menetapkan legal policy (garis kebijakan hukum) yang menjadi arah politik hukum nasional [11]. Kebijakan tersebut diwujudkan melalui tindakan konkret lembaga legislatif dan eksekutif dalam memformulasikan regulasi, baik dengan membentuk hukum baru, mengubah ketentuan yang sudah ada, maupun mencabut peraturan yang tidak lagi relevan dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, legislasi menjadi instrumen utama dalam memastikan bahwa pengaturan hukum selalu sesuai dengan kebutuhan publik dan perkembangan zaman. Proses legislasi sendiri merupakan mekanisme yang sah dan konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 serta berbagai undang-undang yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan.

Legislasi merupakan proses pembentukan hukum yang menghasilkan norma positif yang berlaku mengikat dalam suatu negara. Proses ini tidak hanya mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, perumusan norma, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan, tetapi juga memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan dapat diimplementasikan melalui sosialisasi dan penegakan yang efektif [12]. Dalam perspektif politik hukum, legislasi bukanlah proses yang netral dan steril dari kepentingan. Ia merupakan arena politik yang menjadi tempat kontestasi antara berbagai aktor—legislatif, eksekutif, bahkan kelompok masyarakat—yang memiliki orientasi, kepentingan, dan kekuatan yang berbeda-beda. Karena itu, Mahfud MD menekankan bahwa legislasi memiliki karakteristik politis, dinamis, dan kompromistis: politis karena sarat kepentingan, dinamis karena selalu beradaptasi dengan perubahan sosial, dan kompromistis karena hasil akhirnya merupakan titik temu dari berbagai kepentingan yang berhadapan [13]:

Gambar 1. Legislasi Undang-Undang

Konfigurasi politik dalam suatu negara memiliki pengaruh langsung terhadap karakter produk hukum yang dihasilkan. Ketika politik bergerak dalam iklim demokratis dan menjamin partisipasi publik, maka hukum yang lahir cenderung responsif, progresif, dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, dalam konfigurasi politik yang otoriter, produk hukum yang muncul umumnya ortodoks, konservatif, dan lebih menekankan pada kepentingan penguasa. Arah politik hukum tersebut dapat ditelusuri melalui naskah akademik, konsideran peraturan perundang-undangan, hingga rumusan norma dalam batang tubuh undang-undang, yang mencerminkan bagaimana kekuasaan mengartikulasikan kepentingannya ke dalam regulasi yang berlaku mengikat.

Jika ditelisik secara historis, perjalanan pembentukan UU Hak Cipta di Indonesia memperlihatkan adanya upaya gradual untuk melepaskan diri dari konstruksi hukum warisan kolonial dan menghadirkan regulasi yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat nasional. Penggantian peraturan peninggalan pemerintah kolonial menjadi tonggak awal hadirnya desain politik hukum yang menempatkan perlindungan hak cipta sebagai bagian integral dari pemajuan kebudayaan, kreativitas, dan ekonomi nasional. Namun, responsivitas suatu undang-undang tidak semata dinilai dari keberhasilannya menggantikan rezim hukum sebelumnya, melainkan dari kemampuan materi muatannya dalam mengantisipasi perubahan sosial dan kemajuan teknologi yang mempengaruhi cara masyarakat berkarya serta menikmati karya cipta itu sendiri.

Dalam konteks perkembangan ekonomi digital saat ini, UU Hak Cipta dituntut untuk terus berevolusi mengikuti pola produksi, distribusi, dan konsumsi konten kreatif yang semakin berbasis ruang siber. Di titik ini, pengujian terhadap karakter undang-undang menjadi relevan: apakah ia benar-benar telah mencerminkan asas keterbukaan, menjamin pelibatan aspirasi publik, serta mengakomodasi kebutuhan nyata para pencipta, pelaku ekonomi kreatif, platform digital, dan masyarakat sebagai pengguna? Tantangan tersebut akan semakin kompleks seiring pergeseran modus pelanggaran hak cipta yang tidak lagi bersifat konvensional, tetapi beroperasi melalui mekanisme algoritmik, komputasi awan, dan platform berbasis UGC.

Oleh karena itu, agenda revisi terhadap UU Hak Cipta yang saat ini masuk dalam daftar prioritas Prolegnas bukan sekadar penyempurnaan teknis perundang-undangan, melainkan bentuk keberlanjutan politik hukum nasional agar produk hukum di bidang hak cipta tetap relevan, progresif, dan berkeadilan. Reformulasi tersebut harus menjamin bahwa seluruh instrumen pengaturan—mulai dari perlindungan hak moral dan ekonomi hingga mekanisme penegakan hukum di ruang digital—dibangun secara holistik, berjangkauan jauh ke depan, dan tidak terjebak pada pendekatan parsial yang berpotensi kehilangan konteks perkembangan teknologi informasi global. Dengan demikian, karakter responsif yang sedari awal diupayakan dalam pembentukan UU Hak Cipta benar-benar terwujud dan berkontribusi terhadap penguatan sistem hukum nasional dalam era transformasi digital.

Berbicara mengenai politik hukum dalam konteks Indonesia hampir tidak dapat dilepaskan dari kontribusi pemikiran Moh. Mahfud MD, seorang Guru Besar Ilmu Hukum yang telah memberikan fondasi teoretik dan praktik yang kuat bagi pengembangan kebijakan hukum nasional. Dalam karyanya yang merupakan adaptasi dari disertasi berjudul “Politik Hukum di Indonesia”, Moh. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai legal policy, yakni garis kebijakan resmi negara mengenai hukum yang hendak diberlakukan—baik melalui pembentukan hukum baru maupun dengan mengganti hukum yang sudah tidak relevan—guna mencapai tujuan penyelenggaraan negara sebagaimana diamanatkan konstitusi [14]. Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak berdiri secara netral, melainkan selalu berada dalam tarikan kepentingan dan arah kebijakan negara yang bersifat dinamis, mengikuti perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi [15].

Jika konsepsi tersebut dikaitkan dengan isu yang diangkat dalam penelitian ini, maka politik hukum di bidang hak cipta merupakan wujud nyata bagaimana negara merespons perkembangan ekosistem digital yang telah mengubah pola produksi, distribusi, dan pemanfaatan karya cipta oleh masyarakat. Revisi Undang-Undang Hak Cipta yang sedang diusulkan dalam Prolegnas Prioritas 2025 mencerminkan kebutuhan negara untuk menata ulang perangkat perlindungan hukum agar tetap adaptif terhadap fenomena pelanggaran dalam ruang digital yang semakin kompleks dan lintas yurisdiksi:

1. Garis (Kebijakan) Resmi Negara

Dalam kerangka teori politik hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD, arah dan kebijakan hukum suatu negara senantiasa bergerak dalam dua dimensi yang saling melengkapi, yakni dimensi permanen dan dimensi periodik [14]. Dimensi permanen berakar pada prinsip-prinsip fundamental yang menjadi pedoman mutlak dalam setiap pembentukan regulasi, seperti asas kepastian hukum, asas keadilan, serta asas kemanfaatan bagi masyarakat luas. Nilai-nilai tersebut tidak berubah oleh waktu, karena merupakan fondasi filosofis bagi tegaknya hukum dalam negara yang menganut prinsip rechtstaat. Di sisi lain, politik hukum juga memiliki sifat periodik yang lebih bersifat adaptif dan kontekstual. Dimensi ini mencerminkan bahwa hukum dapat—dan pada kondisi tertentu harus—mengalami perubahan, baik melalui pembentukan regulasi baru maupun pencabutan aturan yang telah kehilangan relevansinya. Sifat periodik inilah yang menjadikan hukum sebagai instrumen yang tanggap terhadap perkembangan zaman, dinamika sosial, transformasi teknologi, serta kebutuhan masyarakat yang terus berubah.

Dalam konteks perkembangan hukum modern, sifat periodik dalam politik hukum nasional menemukan manifestasinya melalui mekanisme prolegnas sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang yang bersifat jangka panjang dan berorientasi pada kebutuhan hukum masyarakat. Prolegnas disusun melalui proses perencanaan yang terukur dan sistematis agar setiap legislasi yang dilahirkan bukan merupakan respon sporadis, tetapi bagian dari arah kebijakan hukum yang terpadu serta selaras dengan dinamika sosial, ekonomi, dan teknologi yang berkembang di Indonesia. Hal ini tercermin dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 64/DPR RI/I/2024–2025 mengenai Prolegnas Rancangan Undang-Undang Tahun 2025–2029 dan Daftar Prioritas Tahun 2025, yang secara tegas memasukkan RUU tentang Perubahan atas UU Hak Cipta sebagai salah satu RUU prioritas untuk dibahas pada tahun 2025. Penetapan tersebut menunjukkan bahwa negara menyadari urgensi pembaruan hukum di bidang hak cipta sebagai respons atas tantangan yang muncul akibat percepatan transformasi digital dan intensifikasi pemanfaatan teknologi informasi dalam distribusi dan konsumsi karya cipta

Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta perubahannya, penetapan skala prioritas dalam Prolegnas merupakan instrumen untuk memastikan bahwa setiap pembentukan undang-undang berjalan searah dengan tujuan besar pembaruan dan pembangunan sistem hukum nasional. Dengan demikian, prioritas suatu RUU bukanlah sekadar klasifikasi administratif, tetapi mencerminkan urgensi politik hukum negara dalam menjawab kebutuhan masyarakat serta perkembangan zaman. Dari konstruksi normatif tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa RUU Perubahan atas UU Hak Cipta merupakan bagian dari legal policy negara yang bersifat periodik, karena diarahkan untuk memperbaharui regulasi yang sudah tidak sepenuhnya efektif dalam menghadapi tantangan hukum di ranah digital. Sekaligus, posisinya sebagai RUU prioritas menegaskan bahwa pembentuk undang-undang memandang isu perlindungan hak cipta dalam ruang digital sebagai kepentingan strategis yang harus segera ditangani agar sistem hukum nasional tetap adaptif, berkeadilan, dan mampu memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan.

2. Hukum yang Akan Diberlakukan Melalui Pembuatan Hukum Baru atau Penggantian Hukum Lama

RUU tentang Perubahan atas UU Hak Cipta yang saat ini telah masuk dalam daftar prioritas Prolegnas merupakan bentuk konkret dari proses pembaruan hukum yang akan diberlakukan melalui mekanisme perubahan terhadap undang-undang yang sudah ada. Kerangka regulasi hak cipta yang berlaku saat ini tidak akan dicabut seluruhnya, melainkan hanya mengalami penyesuaian pada bagian-bagian tertentu yang dianggap tidak lagi relevan atau belum mampu menjawab tantangan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat di era digital. Model perubahan seperti ini menegaskan bahwa pembentuk undang-undang masih menilai sistem perlindungan hak cipta yang dianut UU Hak Cipta memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang tetap valid, namun memerlukan penguatan dan penyempurnaan agar mampu mengikuti dinamika kemajuan ilmu pengetahuan, pola pemanfaatan teknologi informasi, serta pertumbuhan ekonomi kreatif nasional. Perubahan bersifat parsial ini turut mencerminkan bahwa negara menjalankan politik hukum yang bersifat evolutif—bukan revolutif—dalam upaya menjaga kesinambungan hukum (legal continuity) sekaligus memberikan ruang bagi inovasi regulasi. Dengan kata lain, pembaruan UU Hak Cipta yang sedang disiapkan merupakan langkah untuk memastikan bahwa perangkat hukum terkait hak moral, hak ekonomi, mekanisme penegakan hukum di ruang digital, hingga tata kelola platform berbasis konten pengguna dapat berfungsi secara optimal untuk melindungi kepentingan pencipta maupun masyarakat sebagai pengguna dalam ekosistem digital yang semakin kompleks.

Salah satu unsur penting dalam perumusan materi muatan suatu undang-undang adalah kewajiban untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, di samping upaya pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks perlindungan hak cipta di era digital, terdapat satu putusan Mahkamah Konstitusi yang menurut penulis memiliki dampak signifikan terhadap urgensi perubahan UU Hak Cipta, khususnya dalam aspek penegakan hak di ruang siber. Pada tahun 2024, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 84/PUU-XXI/2023 tertanggal 29 Februari 2024 telah mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan oleh PT Aquarius Pustaka Musik, PT Aquarius Musikindo, serta Melly Goeslaw selaku Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta. Permohonan tersebut ditujukan terhadap ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta yang dianggap belum sepenuhnya memberikan perlindungan efektif atas pelanggaran hak cipta yang terjadi melalui platform digital.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pengaturan Pasal 10 UU Hak Cipta sebelum perubahan tidak lagi relevan dengan perkembangan teknologi dan pola pelanggaran hak cipta di era digital. Norma tersebut hanya membatasi tanggung jawab pada pengelola tempat perdagangan yang bersifat fisik, sementara pelanggaran hak cipta kini lebih masif terjadi melalui platform digital, khususnya layanan berbasis UGC. Oleh karena itu, dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai perluasan subjek hukum yang dimaksud. Mahkamah kemudian memberikan constitutional interpretation bahwa frasa “pengelola tempat perdagangan” harus dimaknai sebagai “pengelola tempat perdagangan dan/atau Platform Layanan Digital berbasis UGC”.

Putusan ini secara tegas menegaskan urgensi pembaruan hukum dalam rangka memperkuat perlindungan hak cipta di ruang digital. Mahkamah Konstitusi pada dasarnya mengonfirmasi bahwa rezim pengaturan dalam UU Hak Cipta saat ini belum sepenuhnya mampu menjangkau dinamika perkembangan teknologi informasi, di mana proses distribusi, penggandaan, hingga pemanfaatan ekonomi atas karya cipta berlangsung secara cepat, masif, dan lintas yurisdiksi. Kondisi tersebut semakin menempatkan karya berhak cipta sebagai objek yang rawan terhadap praktik pembajakan maupun eksploitasi tanpa izin melalui platform digital berbasis UGC. Dengan adanya ketidaksesuaian antara norma yang berlaku dan realitas sosial yang berkembang, kebutuhan untuk melakukan perubahan regulasi menjadi tidak terelakkan. Oleh karena itu, arah politik hukum pembentuk undang-undang melalui revisi UU Hak Cipta dapat dikatakan telah memiliki landasan keterdesakan yang jelas, baik dari sisi law in action maupun dari perspektif pemenuhan hak konstitusional pencipta untuk memperoleh perlindungan dan kepastian hukum yang efektif.

3. Dalam Rangka Mencapai Tujuan Negara

Tujuan Negara Republik Indonesia secara tegas dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945, yang dalam struktur tata norma disebut sebagai staatsfundamentalnorm. Konsep staatsfundamentalnorm ini dipopulerkan oleh Hans Nawiasky melalui teori yang dikenal sebagai Theorie von Stufenbau der Rechtsordnung yang menjelaskan bahwa sistem hukum memiliki susunan berjenjang dan bertingkat [16]. Dalam teori tersebut, staatsfundamentalnorm dipahami sebagai norma dasar yang memiliki kedudukan tertinggi dalam hierarki tata hukum dan menjadi sumber legitimasi pembentukan norma hukum di bawahnya. Dengan demikian, setiap kebijakan hukum (legal policy), termasuk pembentukan dan perubahan undang-undang, harus senantiasa bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana termaktub dalam UUD NRI 1945. Kedudukan konstitusi sebagai staatsfundamentalnorm sekaligus menjadi tolok ukur untuk memastikan bahwa setiap perkembangan hukum, terutama dalam konteks respons terhadap tantangan dunia digital seperti perlindungan hak cipta di ruang siber, tetap berpijak pada mandat konstitusional untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan memberikan kepastian, keadilan, serta perlindungan bagi seluruh warga negara

Apabila konsep yang dikemukakan Hans Nawiasky tersebut diselaraskan dengan konteks sistem hukum Indonesia, maka susunan atau tingkatan peraturan perundang-undangan dapat dihubungkan dengan hierarki norma sebagaimana tertuang dalam teori Stufenbau sebagai berikut [16]:

1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara), yaitu Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dan menjadi landasan filosofis pembentukan norma hukum di bawahnya;

2.Staatsgrundgesetz (aturan dasar negara), dalam konteks Indonesia meliputi UUD NRI 1945 (Batang Tubuh), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), serta konvensi ketatanegaraan yang tidak tertulis namun dijalankan secara konsisten dalam praktik ketatanegaraan;

3.Formell gesetz (undang-undang formal, yaitu undang-undang yang dibentuk melalui proses legislasi antara DPR dan Presiden, termasuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang kemudian harus memperoleh persetujuan DPR. Pada tingkat inilah UU Hak Cipta dan perubahan terhadapnya (RUU Hak Cipta) diletakkan dalam sistem hukum nasional;

4.Verordnung en Autonome Satzung (peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom), terdiri atas peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), hingga peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah seperti Peraturan Daerah (Perda), serta berbagai aturan otonom lainnya yang berfungsi menjabarkan ketentuan dalam undang-undang agar dapat dilaksanakan secara efektif.

Dengan demikian, berdasarkan tata urutan norma hukum sebagaimana dijelaskan dalam teori Hans Nawiasky yang telah diadopsi dalam sistem hukum Indonesia, dapat ditegaskan bahwa UU Hak Cipta sebagai formell gesetz (undang-undang formal) tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945 sebagai staatsgrundgesetz (aturan dasar negara). Kedudukan hierarkis ini mencerminkan asas fundamental dalam pembentukan hukum nasional: setiap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori). Prinsip tersebut tidak hanya menjadi kaidah doktrinal, tetapi telah dilembagakan secara normatif yang menegaskan bahwa kekuatan mengikat suatu peraturan ditentukan oleh posisi hierarkinya. Oleh sebab itu, setiap perubahan terhadap UU Hak Cipta, termasuk RUU Hak Cipta yang saat ini masuk dalam Prolegnas Prioritas, wajib memperhatikan dan menjamin kesesuaian materi muatan dengan nilai-nilai konstitusional yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI 1945.

Oleh karena itu, Pembukaan UUD NRI 1945 yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) merupakan sumber tujuan negara sekaligus fondasi nilai dasar (Pancasila) dalam seluruh penyelenggaraan kehidupan bernegara. Secara eksplisit, tujuan negara Republik Indonesia meliputi: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) memajukan kesejahteraan umum; (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, penyelenggaraan negara wajib berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filosofis, ideologis, serta sumber dari segala sumber hukum nasiona [16].

Maka selanjutnya, Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban menyelenggarakan pembangunan hukum nasional melalui pembentukan suatu sistem hukum nasional yang berlandaskan pada UUD NRI 1945. Dalam kerangka tersebut, UU Hak Cipta yang berlaku saat ini maupun RUU Hak Cipta yang telah ditetapkan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 merupakan bagian integral dari upaya pembaruan hukum guna mencapai tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Penegasan atas fungsi hak cipta dalam mendukung tujuan bernegara tersebut juga telah diakomodasi secara eksplisit dalam UU Hak Cipta sebagai ius constitutum, yang menyatakan bahwa hak cipta sebagai bagian dari rezim kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra memiliki peran strategis dalam menunjang pembangunan nasional serta memajukan kesejahteraan umum.

  • A. Analisis terhadap Politik Hukum Perubahan Undang-Undang Hak Cipta Dalam Mengakomodir Aspek Perlindungan Hak Cipta di Ruang Digital
  • B. Analisis terhadap Politik Hukum Undang-Undang Hak Cipta Dalam Aspek Perlindungan Hak Cipta di Ruang Digital

Terminologi “perlindungan hukum” diambil dari Bahasa Inggris yaitu “legal protection theory” [4].Secara gramatikal, “perlindungan” memiliki dua makna, yaitu: (i) sebagai tempat berlindung, dan (ii) sebagai tindakan melindungi. Kedua makna tersebut melekat pada dua kata kerja utama, yaitu “berlindung” dan “melindungi”. Kata “berlindung” merujuk pada tindakan subjek untuk: (1) menempatkan diri agar tidak mudah diserang atau dirugikan, (2) bersembunyi, atau (3) meminta pertolongan. Sementara itu, kata “melindungi” merujuk pada tindakan pihak lain untuk: (1) menutup atau menempatkan sesuatu agar tidak terekspos terhadap ancaman, (2) menjaga, merawat, atau memelihara, serta (3) menyelamatkan atau memberikan pertolongan. Dari pemaknaan tersebut dapat ditarik suatu konsepsi dasar bahwa perlindungan hukum mengandung hubungan antara dua subjek yang saling berkaitan: subjek pasif yang memerlukan perlindungan karena mempunyai potensi atau kerentanan untuk dirugikan; dan subjek aktif yang memiliki kewenangan, kemampuan, serta tanggung jawab memberikan perlindungan agar hak subjek pasif tetap terjamin.

H. Salim HS bersama Erlies Septiana Nurbani menjelaskan bahwa perlindungan hukum pada hakikatnya merupakan serangkaian tindakan atau pelayanan yang disediakan oleh hukum kepada setiap pihak yang diakui sebagai subjek hukum, sekaligus mencakup segala kepentingan yang menjadi objek perlindungan tersebut [16]. Rumusan ini dipandang lebih komprehensif karena tidak hanya menyoroti keberadaan pihak yang dilindungi (subjek hukum), tetapi juga menegaskan bahwa terdapat unsur lain yang tidak terpisahkan, yakni objek yang memperoleh jaminan perlindungan hukum. Berdasarkan pemikiran tersebut, teori mengenai perlindungan hukum seyogianya dibangun atas tiga pilar utama. Pilar pertama menyangkut bentuk atau manifestasi dari perlindungan itu sendiri, termasuk tujuan yang ingin dicapai oleh hukum dalam memberikan jaminan kepastian dan rasa aman kepada masyarakat. Pilar kedua berfokus pada kedudukan subjek hukum sebagai pihak yang berhak memperoleh perlindungan berdasarkan legitimasi hukum yang melekat padanya. Sedangkan pilar ketiga menegaskan adanya objek tertentu, baik berupa hak maupun kepentingan hukum lainnya, yang perlu dijaga dari potensi pelanggaran.

UU Hak Cipta dapat diposisikan sebagai instrumen hukum yang paling kompleks dalam mengatur hubungan antara aspek ekonomi dan mekanisme perlindungan atas hak cipta di Indonesia. Kompleksitas tersebut tercermin dari ruang lingkup materi muatan yang tidak hanya berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar konstitusi, tetapi juga mengakomodasi pembaruan hukum sejalan dengan dinamika global serta kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Secara konstitusional, UU Hak Cipta merupakan pengejawantahan dari amanat UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa negara berkewajiban melindungi hak asasi manusia dan mengupayakan kesejahteraan umum, termasuk memberikan penghargaan serta jaminan atas manfaat yang lahir dari perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya demi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, substansi undang-undang ini juga merupakan konsekuensi logis dari ratifikasi berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur rezim perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, seperti ketentuan TRIPs dalam Persetujuan WTO, Konvensi Bern, serta dua perjanjian WIPO lainnya yang mengatur perlindungan karya cipta, pertunjukan, dan fonogram. Seluruh kerja sama internasional ini memperkuat komitmen negara untuk melakukan harmonisasi regulasi Hak Cipta dengan standar hukum global. Tidak berhenti di situ, UU Hak Cipta juga hadir sebagai jawaban terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang telah mengubah lanskap pemanfaatan karya cipta, sehingga diperlukan pembaruan norma untuk menyeimbangkan kepentingan pencipta, pemegang hak, pelaku industri, dan masyarakat luas.

Apabila merujuk pada ketentuan dalam UU Hak Cipta, maka unsur-unsur utama yang membentuk perlindungan hukum di bidang Hak Cipta dapat dipahami melalui tiga dimensi pokok yang saling terhubung, antara lain:

1. Dimensi pertama berkaitan dengan wujud serta tujuan dari perlindungan yang diberikan oleh hukum. Perlindungan tersebut terwujud dalam dua kategori hak, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral merupakan hak yang bersifat melekat secara permanen pada diri pencipta sebagai bentuk pengakuan terhadap kreativitas dan integritas pribadinya. Hak ini mencakup kebebasan pencipta untuk menentukan pencantuman namanya pada ciptaan, menggunakan nama samaran, melakukan perubahan sepanjang tidak bertentangan dengan norma masyarakat, menyesuaikan judul karya, serta mempertahankan kehormatan ciptaannya dari setiap bentuk perubahan yang dapat merendahkan reputasi pencipta. Berbeda dari itu, hak ekonomi memberikan otoritas eksklusif kepada pencipta atau pemegang hak untuk memperoleh keuntungan finansial dari pemanfaatan ciptaannya. Perlindungan terhadap dua bentuk hak tersebut secara esensial bertujuan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan kreativitas nasional, sekaligus mendukung kontribusi nyata sektor ekonomi kreatif bagi kesejahteraan masyarakat sesuai amanat konstitusi.

2. Dimensi kedua menyangkut keberadaan pihak-pihak yang menjadi penerima manfaat perlindungan hukum atau subjek hukum dalam bidang Hak Cipta. Mereka terdiri dari pencipta sebagai pemilik ide dan ekspresi kreatif, pemegang Hak Cipta, serta pemegang Hak Terkait yang memperoleh hak atas kontribusi dalam proses eksistensi dan pemanfaatan suatu ciptaan. Adapun negara, melalui kewenangannya yang dijalankan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum, berkedudukan sebagai subjek hukum yang memberikan perlindungan dan memastikan jalannya mekanisme penegakan hukum di bidang ini.

3. Dimensi ketiga berhubungan dengan objek perlindungan hukum, yaitu ciptaan dan produk Hak Terkait yang lahir dari proses intelektual di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Objek yang dilindungi tersebut dapat berupa karya tulis seperti buku dan pamflet, karya seni berupa lagu atau musik dengan atau tanpa lirik, seni tari, seni rupa dalam berbagai medium, program komputer, sinematografi, pertunjukan, terjemahan, serta jenis ciptaan lainnya yang diatur secara tegas dalam UU Hak Cipta. Namun demikian, pemberlakuan perlindungan tersebut tidak bersifat universal tanpa batas. Undang-undang memberikan ruang pembatasan melalui prinsip teritorialitas dan asas timbal balik dengan menentukan bahwa perlindungan hanya berlaku terhadap ciptaan maupun produk Hak Terkait yang berasal dari warga negara, penduduk, atau badan hukum Indonesia; ciptaan asing yang pertama kali diumumkan di Indonesia; serta ciptaan asing yang berasal dari negara-negara yang terikat dalam perjanjian bilateral atau multilateral bersama Indonesia di bidang perlindungan Hak Cipta dan Hak Terkait. Ketentuan ini mencerminkan keseimbangan antara upaya melindungi kepentingan nasional dan tuntutan harmonisasi hukum internasional dalam rezim Hak Kekayaan Intelektual.

UU Hak Cipta memberikan perhatian yang lebih tegas terhadap perlindungan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam konteks pemanfaatan sarana multimedia sebagai respons atas pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaturan ini secara khusus dituangkan dalam Bab VIII yang mengatur mengenai “Konten Hak Cipta dan Hak Terkait dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi”, yang meliputi Pasal 54 hingga Pasal 56. Dalam ketentuan tersebut, negara melalui pemerintah diberi legitimasi untuk mengambil langkah-langkah preventif maupun represif dalam rangka menanggulangi pelanggaran yang terjadi melalui platform berbasis teknologi digital. Kewenangan tersebut mencakup fungsi pengawasan terhadap proses pembuatan, distribusi, dan pemanfaatan konten yang mengandung Hak Cipta atau Hak Terkait; membangun kerja sama lintas sektor baik dengan entitas dalam negeri maupun mitra internasional guna memperkuat upaya pencegahan pelanggaran; serta melakukan pengawasan terhadap praktik perekaman ilegal terhadap suatu ciptaan atau produk Hak Terkait yang dilakukan di lokasi pertunjukan. Ketentuan normatif ini kemudian menjadi fondasi hukum bagi lahirnya Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 14 Tahun 2015 dan Nomor 26 Tahun 2015, yang secara khusus mengatur mekanisme pemutusan akses dan/atau penutupan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait dalam sistem elektronik. Kehadiran peraturan pelaksana tersebut menjadi bukti konkret bahwa pemerintah tidak hanya menempatkan perlindungan Hak Cipta sebagai norma abstrak, tetapi benar-benar mengimplementasikannya dengan memanfaatkan instrumen teknologi untuk menjaga kepastian hukum, mendorong iklim industri kreatif yang sehat, dan memastikan penghormatan terhadap hak eksklusif para pencipta dan pelaku industri kreatif di ruang digital.

Kendati UU Hak Cipta hadir sebagai regulasi yang progresif pada masanya, laju perkembangan teknologi digital dalam satu dekade terakhir telah menciptakan perubahan yang begitu mendasar dan sulit dibendung. Transformasi yang dikenal sebagai era disrupsi digital ini menggeser banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk pola konsumsi dan aktivitas perdagangan. Interaksi ekonomi yang sebelumnya bergantung pada keberadaan pasar fisik—seperti toko, pusat perbelanjaan, mal, maupun plaza—kini semakin ditinggalkan dan beralih menuju ruang siber yang tidak mengenal batas geografis. Pasar digital melalui berbagai platform layanan berbasis teknologi, baik dalam bentuk situs daring maupun aplikasi e-commerce, telah menjadi preferensi utama masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Pergeseran ini tidak hanya menunjukkan perubahan selera atau kebiasaan, tetapi juga mencerminkan struktur ekonomi baru yang ditopang oleh pemanfaatan teknologi informasi sebagai medium transaksi utama. Dalam konteks demikian, tantangan regulasi, termasuk perlindungan Hak Cipta, menjadi semakin kompleks karena praktik pelanggaran hak kini dapat dilakukan dengan lebih cepat, tersebar luas, dan kerap terjadi secara lintas yurisdiksi. Konstelasi baru ini menegaskan pentingnya pembaruan kebijakan hukum yang adaptif terhadap realitas digital agar perlindungan Hak Cipta tetap efektif, relevan, dan mampu menjaga keseimbangan kepentingan antara pencipta, pemegang hak, pelaku usaha, dan konsumen dalam ekosistem ekonomi digital yang terus berkembang.

Phillipus M. Hadjon menjelaskan bahwa perlindungan hukum pada prinsipnya memiliki dua bentuk utama yang berfungsi menjaga hak-hak subjek hukum dalam relasinya dengan negara [10]. Pertama, perlindungan hukum yang bersifat preventif, yaitu mekanisme pengamanan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya sengketa sejak awal. Bentuk perlindungan ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, baik melalui penyampaian keberatan maupun pendapat sebelum pemerintah menetapkan suatu keputusan yang berpotensi mempengaruhi hak mereka. Dengan demikian, pemerintah dituntut untuk bertindak secara hati-hati dan proporsional dalam setiap tindakan pemerintahan. Kedua, perlindungan hukum yang bersifat represif, yaitu bentuk perlindungan yang diberikan ketika pelanggaran atau sengketa telah terjadi. Fungsi utamanya adalah memberikan penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia, baik litigasi maupun nonlitigasi, sehingga hak masyarakat yang dirugikan dapat dipulihkan sesuai prinsip keadilan.

Di sisi lain, pemahaman mengenai perlindungan hukum juga dapat dianalisis melalui perspektif kepentingan sebagaimana dikembangkan oleh Roscoe Pound [17]. Menurutnya, hukum harus mengakomodasi dan menyeimbangkan tiga kategori kepentingan. Pertama, kepentingan umum yang berkaitan dengan perlindungan terhadap eksistensi negara serta kewenangan pemerintah dalam mengatur kehidupan masyarakat. Kedua, kepentingan masyarakat yang mencakup nilai-nilai sosial, ketertiban umum, dan norma etika yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, kepentingan pribadi yang merujuk pada hak perseorangan yang timbul dari kebutuhan dasar manusia, termasuk kepentingan ekonomi, hak milik, serta hak-hak individual lainnya.

Apabila menelusuri perkembangan regulasi Hak Cipta sejak masa kolonial hingga rezim hukum yang berlaku saat ini, terlihat bahwa perlindungan hukum terhadap ciptaan dalam ranah digital mengalami evolusi yang sangat signifikan. Auteurswet 1912 yang menjadi fondasi awal perlindungan Hak Cipta di Hindia Belanda tidak memuat ketentuan yang berkaitan dengan teknologi digital, karena memang lahir pada era ketika media informasi masih terbatas pada bentuk fisik. Memasuki masa setelah kemerdekaan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 mulai menyebutkan adanya hubungan Hak Cipta dengan teknologi, namun belum memberikan pengaturan operasional dalam batang tubuhnya. Upaya pembaruan dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 sebagai perubahan pertama, yang secara lebih konkret memasukkan perlindungan terhadap program komputer sebagai objek Hak Cipta serta memperpanjang jangka waktu perlindungan untuk karya fotografi dari 15 tahun menjadi 25 tahun. Perubahan berikutnya melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 kembali menegaskan urgensi perlindungan hukum di bidang teknologi, meskipun fokus substansinya lebih diarahkan pada penyesuaian ketentuan nasional dengan persetujuan internasional, khususnya TRIPs sebagai bagian dari keanggotaan Indonesia dalam WTO.

Kemajuan paling menonjol terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 yang mulai menghadirkan norma kontrol teknologi sebagai alat pencegahan pelanggaran. Ketentuan ini mencakup mekanisme perlindungan berupa penggunaan sandi pengaman seperti password, barcode, serial number, hingga teknologi enkripsi, serta memperluas cakupan objek perlindungan termasuk database dan media optik yang rentan terhadap praktik pembajakan melalui sarana telekomunikasi. Transformasi ini kemudian dilanjutkan secara lebih progresif dalam UU Hak Cipta secara tegas menetapkan satu bab khusus mengenai konten Hak Cipta dan Hak Terkait dalam teknologi informasi dan komunikasi, yaitu melalui Pasal 54 hingga Pasal 56. Sejalan dengan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 24 dan 26 Tahun 2015 yang menyediakan mekanisme pemblokiran akses dan penutupan konten pelanggaran Hak Cipta di ruang digital. Perkembangan regulasi tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia terus berupaya beradaptasi dengan perubahan teknologi dan pola penyebaran ciptaan yang kini semakin bergantung pada platform digital. Evolusi ini tidak semata-mata memperketat penegakan hukum, tetapi juga dimaksudkan untuk menciptakan ekosistem digital yang adil, berkelanjutan, serta tetap menjamin hak eksklusif pencipta dalam menghadapi tantangan era ekonomi berbasis informasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, perlindungan Hak Cipta dirumuskan melalui beberapa kluster pengaturan yang menegaskan jaminan atas hak moral dan hak ekonomi seorang pencipta. Kluster pertama menempatkan hak moral sebagai bentuk perlindungan yang bersifat melekat dan tidak terbatas oleh waktu selama pencipta masih hidup maupun setelah ia meninggal dunia. Hak moral ini memastikan bahwa pencipta tetap memiliki kewenangan penuh untuk menentukan pencantuman identitasnya pada ciptaan yang digunakan untuk kepentingan publik, termasuk hak menggunakan nama samaran serta hak untuk menjaga keutuhan ciptaannya dari tindakan yang dapat mengurangi nilai kehormatan maupun merusak reputasi pribadi. Selain itu, terdapat pula hak moral yang keberlakuannya mengikuti jangka waktu perlindungan Hak Cipta terhadap ciptaan, seperti hak untuk mengubah isi ataupun judul ciptaan sejauh masih sejalan dengan nilai kepatutan dalam masyarakat.

Sementara itu, kluster kedua mengatur mengenai hak ekonomi sebagai hak eksklusif yang memungkinkan pencipta atau pemegang hak cipta mendapatkan manfaat finansial dari pemanfaatan ciptaan. Pengaturan jangka waktu perlindungan hak ekonomi berbeda-beda sesuai karakteristik objek ciptaan. Untuk kategori ciptaan yang mengandung nilai intelektual tinggi dalam bidang seni, sastra, pendidikan, serta musik—seperti buku, karya tulis, pidato, karya seni rupa, arsitektur, dan lagu—perlindungan berlaku selama pencipta hidup hingga 70 tahun setelah meninggal dunia. Ketentuan ini dimaksudkan agar manfaat ekonomi dari ciptaan dapat dinikmati tidak hanya oleh pencipta, tetapi juga ahli warisnya. Untuk kategori ciptaan yang erat kaitannya dengan teknologi serta media rekam seperti fotografi, sinematografi, permainan video, program komputer, perwajahan karya tulis, maupun karya turunan dari ekspresi budaya tradisional, perlindungan diberikan selama 50 tahun sejak ciptaan tersebut diumumkan atau dipublikasikan. Jangka waktu ini mencerminkan karakter ciptaan yang cenderung mengalami perubahan teknologi dan nilai ekonomi yang lebih cepat. Adapun untuk karya seni terapan, yang bersifat praktis dan digunakan dalam kegiatan sehari-hari, jangka waktu perlindungan ditetapkan selama 25 tahun, sejalan dengan siklus pemanfaatan dan potensi komersialisasinya yang lebih terbatas.

Pengaturan berjenjang tersebut menunjukkan bahwa hukum Hak Cipta di Indonesia berupaya menerapkan perlindungan yang proporsional dengan sifat dan nilai ekonomi masing-masing ciptaan. Dengan demikian, negara tidak hanya memberikan penghargaan atas karya intelektual, tetapi juga menjamin keberlangsungan industri kreatif melalui kepastian hukum dan perlindungan yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan dinamika pasar ekonomi kreatif.

Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa arah politik hukum perubahan UU Hak Cipta di Indonesia menunjukkan kecenderungan reformasi regulasi yang lebih responsif terhadap dinamika pemanfaatan ciptaan dalam ruang digital. Transformasi teknologi informasi telah memunculkan berbagai bentuk pelanggaran hak cipta yang bersifat masif, lintas batas, serta sulit dikontrol melalui mekanisme penegakan hukum konvensional. Kondisi tersebut menuntut hadirnya perangkat hukum yang lebih adaptif dan mampu memberikan jaminan perlindungan hukum yang efektif bagi pencipta maupun pemegang hak terkait. Perlindungan hak cipta dalam ruang digital mencakup isu-isu strategis yang meliputi penegasan objek ciptaan yang dilindungi, jangka waktu dan bentuk perlindungan, tanggung jawab penyelenggara platform digital, mekanisme pemutusan akses terhadap konten ilegal, hingga efektivitas sanksi pidana dalam menekan pelanggaran. Dengan demikian, kebutuhan harmonisasi norma menjadi semakin relevan untuk memastikan kepentingan privat, sosial, dan publik atas hak cipta dapat terlindungi secara proporsional.

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 84/PUU-XXI/2023, yang pada pokoknya memperluas makna Pasal 10 UU Hak Cipta dan menegaskan kewajiban platform layanan digital berbasis user-generated content untuk tidak membiarkan penyebaran konten pelanggaran hak cipta di dalam sistem elektronik yang dikelolanya, urgensi perubahan undang-undang menjadi semakin nyata. Putusan ini tidak hanya memperteguh prinsip perlindungan hukum secara preventif dan represif, tetapi juga menandai penguatan akuntabilitas aktor-aktor digital dalam ekosistem hak cipta. Dengan demikian, pembaruan UU Hak Cipta merupakan agenda mendesak dalam kerangka politik hukum nasional untuk memastikan sistem perlindungan hak cipta di Indonesia dapat menjawab tantangan era digital secara komprehensif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

References

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual (KI), 2024.

S. Soekanto and S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, 16th ed. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2014.

M. F. ND and Y. Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, 2010.

S. HS and E. S. Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Depok, Indonesia: Rajawali Pers, 2022.

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram, Indonesia: Mataram University Press, 2020.

P. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Peradilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Surabaya, Indonesia: Bina Ilmu, 1987.

S. Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan,” Jurnal Hukum Progresif, vol. 1, no. 1, pp. 1–24, 2011, doi: 10.14710/hp.1.1.1-24.

Diana, J. Matheus, and H. I. Nugroho, “Quo Vadis the Jakarta Special Regional Bill: Ideal Design Based on Constitutional Law Perspective,” Journal of Constitutional and Government Studies, vol. 1, no. 1, pp. 20–37, Jun. 2024, doi: 10.20885/JCGS.vol1.iss1.art2.

Z. A. Muabezi, “Negara Berdasarkan Hukum (Rechtsstaat) Bukan Kekuasaan (Machtstaat),” Jurnal Hukum dan Peradilan, vol. 6, no. 3, pp. 421–446, Nov. 2017, doi: 10.25216/jhp.6.3.2017.421-446.

P. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Surabaya, Indonesia: Bina Ilmu, 1987.

(Duplicate retained as required)

F. A. Samekto, “Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen tentang Stufentheorie dalam Pendekatan Normatif-Filosofis,” Jurnal Hukum Progresif, vol. 7, no. 1, pp. 1–19, Apr. 2019, doi: 10.14710/hp.7.1.1-19.

A. Ibrahim, “Legislasi dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaktif Politik dan Hukum dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah di Jawa Timur,” Ph.D. dissertation, Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia, 2008.

M. M. MD, Konfigurasi Politik dan Produk Hukum dalam Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Gama Media, 1999.

M. M. MD, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2011.

M. M. MD, “Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia,” Ph.D. dissertation, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia, 1993.

J. Asshiddiqie and M. A. Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, 2nd ed. Jakarta, Indonesia: Konstitusi Press, 2022.

L. Rasyid, Filsafat Hukum. Bandung, Indonesia: Remadja Karya, 1988.