Olivia Medianna (1), Gunardi Lie (2)
General Background Patent protection plays a vital role in supporting technological innovation and economic development. Specific Background In Indonesia, the obligation to pay annual patent fees as mandated by Law No. 13/2016 and Law No. 65/2024 aims to ensure administrative order, yet in practice creates financial barriers for individual inventors, universities, and small enterprises. Knowledge Gap Existing policies do not fully resolve issues of accumulated arrears under earlier regulations and have not provided mechanisms that ensure fair treatment for patent holders with limited financial resources. Aim This study analyzes the urgency of reformulating annual patent fee regulations to prevent the loss of patent rights caused by delays in payment. Results Findings show that regulatory weaknesses, insufficient monitoring systems, and financial limitations among patent holders contribute to high patent deletion rates and low commercialization of research outcomes. Novelty This research proposes a new policy model including progressive fee structures, early warning systems, reinstatement opportunities, creation of a national patent support fund, and digital management through a Patent Information Management System. Implications These reforms are expected to build a more equitable and inclusive intellectual property governance framework that strengthens innovation-driven economic growth in Indonesia.
Highlights:
High annual fees cause loss of patent rights among financially limited holders.
Policy reform is needed to improve fairness and administrative effectiveness.
Proposed solutions include progressive fees, early warnings, and system digitalization.
Keywords: Patent Policy, Annual Fees, Legal Reform, Innovation Governance
Secara mendasar, hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya di bidang teknologi dalam jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya [1]. Dalam kaitannya dengan hal sebelumnya, hak paten menjadi penting dan strategis karena perkembangan teknologi di berbagai bidang saat ini telah berkembang sedemikian pesat memerlukan adanya peningkatan perlindungan bagi inventor dan pemegang paten [2]. Peningkatan perlindungan paten sangat penting bagi inventor dan pemegang paten karena dapat memotivasi inventor untuk meningkatkan hasil karya, baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang sehat [3]. Terlebih Hak Paten tidak hanya memberikan insentif kepada para inventor untuk terus berinovasi, tetapi juga menjadi salah satu instrumen strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy).
Hak Paten memegang peranan krusial sebagai mekanisme hukum untuk melindungi invensi dan mendorong kreativitas [4]. Melalui pendaftaran, paten tidak lagi sekadar urusan individual atau korporasi, melainkan menjadi isu strategis yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Keterlibatan masyarakat, baik sebagai inventor, pelaku industri, maupun konsumen, sangat penting untuk memastikan sistem paten berjalan secara efektif, seimbang, dan adil. Hal ini sejalan dengan Economic Growth Theory menyatakan bahwa perlindungan terhadap kekayaan intelektual merupakan stimulus untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. World Intellectual Property Organization (WIPO) dalam laporannya tahun 2024 menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem perlindungan terhadap paten yang kuat memiliki daya saing lebih tinggi di pasar global [5]. Selain itu, sistem perlindungan terhadap paten yang efektif pada suatu negara juga berpotensi menarik minat investor asing untuk menanam modal sehingga berimplikasi terhadap peningkatan perekonomian [5].
Kendati demikian dalam praktiknya terdapat sejumlah permasalahan dalam pengelolaan Paten yang dilaksanakan oleh Pemerintah di Indonesia. Hak eksklusif atas paten tidak diberikan secara cuma-cuma. Negara mewajibkan pemegang paten untuk memenuhi sejumlah kewajiban administratif, salah satunya adalah pembayaran biaya tahunan. Biaya ini berfungsi ganda: sebagai instrumen hukum untuk menjaga agar hanya paten yang benar-benar dimanfaatkan yang tetap berlaku, sekaligus sebagai Penerimaaan Negara Bukan Pajak (“PNBP”) yang berkontribusi pada keuangan negara. Paten berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi melalui inovasi, investasi, dan transfer teknologi. Permasalahan timbul ketika banyak pemegang paten tidak membayar biaya tahunan tepat waktu. Akibatnya, paten dapat hapus secara administratif. Hal ini menimbulkan dua persoalan besar: (1) negara kehilangan potensi penerimaan karena timbulnya piutang biaya tahunan paten yang tidak tertagih, dan (2) perlindungan inovasi terganggu karena ide-ide yang sebelumnya dilindungi menjadi tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat merugikan negara dari sisi fiskal maupun pembangunan ilmu pengetahuan.
Berkaitan dengan paten, negara Indonesia menghadapi persoalan dengan besarnya biaya pemeliharaan paten, khususnya di perguruan tinggi ataupun perusahaan yang didorong untuk terus mengembangkan invensinya dengan memproduksi sebanyak-banyaknya paten. Padahal dikarenakan keterbatasan pendanaan untuk membayar biaya tahunan paten, menyebabkan perguruan tinggi atau perusahaan belum mampu untuk menghasilkan paten untuk komersialisasi. Hal inilah ynag menjadi hambatan utama bagi Perguruan Tinggi khususnya EU (Education Unit) [6]. Dalam praktiknya, regulasi dan administrasi terkait pembayaran biaya tahunan paten masih menghadapi banyak kendala. Mekanisme administrasi belum sepenuhnya efektif, tingkat kepatuhan pemegang paten masih rendah, serta belum tersedia strategi komprehensif dalam menyelesaikan permasalahan piutang paten. Di sinilah pentingnya formulasi strategi kebijakan publik yang dapat memberikan solusi efektif, baik melalui reformulasi regulasi, perbaikan administrasi, maupun pemberian insentif bagi inventor yang taat.
Selaras dengan sebelumnya, hasil kajian dari Badan Strategi Kebijakan Kementerian Hukum pada Tahun 2023 mengemukakan bahwa Penyelesaian Piutang Biaya (Jasa) Tahunan Paten menjadi kendala dalam pelaksanaan paten di Indonesia [7]. Adapun faktor penyebabnya dibagi menjadi dua yakni faktor regulasi dan faktor non regulasi [7]. Faktor regulasi disebabkan karena materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU 13/2016”) tidak mengatur secara eksplisit terkait penyelesaian piutang paten yang timbul akibat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (“UU 14/2001”). Piutang paten timbul dikarenakan pada rezim UU 14/2001 tentang Paten pasal 115 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut Pemegang Paten tidak membayar biaya tahunan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18 dan Pasal 114, Paten dinyatakan Batal Demi Hukum terhitung sejak tanggal akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun ketiga tersebut”. Dari ketentuan tersebut tampak bahwa UU Paten (UU 13/2016 dan UU 14/2001) pada rezim sebelumnya lebih menekankan pada perlindungan hak pemegang paten dengan memberikan jangka waktu tertentu sebelum paten dinyatakan batal demi hukum. Namun, konsekuensinya adalah timbulnya piutang biaya tahunan paten yang masih menjadi beban administratif bagi negara.
Permasalahan dari sisi regulasi muncul karena materi muatan UU 13/2016 tidak mengatur secara eksplisit mekanisme penyelesaian piutang paten yang timbul berdasarkan ketentuan UU 14/2001. Piutang paten tersebut muncul sebagai akibat pengaturan dalam Pasal 115 ayat (1) UU 14/2001. Sementara faktor non regulasi disebabkan karena kurangnya kesadaran dan pemahaman pemegang paten terhadap kewajiban pembayaran biaya tahunan, baik dari kalangan individu, perusahaan, maupun lembaga penelitian dan perguruan tinggi; keterbatasan kemampuan finansial pemegang paten, khususnya bagi inventor perorangan atau institusi pendidikan yang masih menghadapi kendala pendanaan dalam menjaga keberlangsungan hak patennya; minimnya sistem penagihan dan pengawasan yang efektif dari instansi terkait, sehingga piutang biaya tahunan menumpuk tanpa mekanisme penyelesaian yang jelas; rendahnya komersialisasi paten di Indonesia, sehingga pemegang paten merasa terbebani untuk membayar biaya tahunan karena invensinya tidak menghasilkan keuntungan ekonomi; domisili pemilik paten luar negeri yang berada di luar negeri menimbulkan persepsi pemegang paten asing yang tidak menganggap sebagai utang dan biaya penagihannya dirasa akan tidak efisien; dan terakhir mengenai validitas data pemegang paten yang mana alamat email dan nomor handphone sudah tidak valid lagi [7].
Permohonan paten sebagaimana tertuang dalam UU 13/2016 kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Paten (“UU 65/2024”) dinyatakan bahwa permohonan paten dapat diajukan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, yaitu Menteri Hukum melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”). Setelah permohonan paten disetujui dan terdaftar maka akan mendapatkan hak eksklusif, namun pemegang paten atau penerima lisensi memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, antara lain membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia serta wajib membayar biaya tahunan. Pembayaran biaya tahunan dimulai dari tanggal penerimaan sampai berakhirnya masa perlindungan.
Kewajiban pembayaran biaya tahunan (annual fee) merupakan salah satu aspek administratif penting dalam sistem perlindungan paten. Berdasarkan ketentuan Pasal 128 UU 65/2024, ditegaskan bahwa apabila pemegang paten tidak melakukan pembayaran biaya tahunan dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126, maka paten tersebut dinyatakan dihapus. Ketentuan ini menunjukkan bahwa keberlakuan hak eksklusif atas suatu invensi tidak hanya ditentukan oleh proses pendaftaran dan pengesahan, tetapi juga oleh pemenuhan kewajiban administratif secara berkelanjutan. Kewajiban pembayaran biaya tahunan pada dasarnya berfungsi untuk menjaga komitmen pemegang paten dalam mempertahankan haknya, sekaligus sebagai mekanisme seleksi alamiah terhadap paten-paten yang benar-benar memiliki nilai ekonomi dan diterapkan dalam industri. Dengan kata lain, apabila pemegang paten tidak lagi berminat atau tidak mampu membayar biaya tahunan, maka paten tersebut dianggap tidak aktif dan dihapus dari daftar umum paten, sehingga invensi tersebut dapat dimanfaatkan oleh publik. Dari perspektif hukum ekonomi, pengaturan ini mencerminkan prinsip efisiensi dan kemanfaatan sosial, di mana negara hanya melindungi paten yang memiliki relevansi dan nilai komersial yang nyata [8]. Selain itu, ketentuan ini juga mendukung terciptanya kepastian hukum dan ketertiban administratif, sebab sistem perlindungan paten harus berjalan secara tertib dan berkelanjutan.
Dari ketentuan tersebut tampak bahwa terjadi pergeseran rezim hukum. Pada masa berlakunya UU 14/2001, timbul piutang biaya tahunan karena paten baru dinyatakan batal demi hukum setelah pemegang paten tidak membayar biaya tahunan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. Dengan demikian, terdapat jeda waktu yang memungkinkan akumulasi piutang biaya tahunan. Sedangkan dalam UU 13/2016 yang kini diperbarui menjadi UU 65/2024, sistem piutang biaya tahunan tidak lagi dikenal. Mekanismenya berubah menjadi pembayaran di muka: paten baru dapat terus dilindungi apabila biaya tahunannya telah dibayar terlebih dahulu. Apabila tidak dibayar, paten langsung dinyatakan dihapus.Perbedaan ini menunjukkan adanya upaya pembuat undang-undang untuk menyederhanakan sistem pemeliharaan paten, sekaligus mengurangi potensi timbulnya piutang negara akibat tunggakan biaya tahunan paten yang selama ini menjadi persoalan administratif.
Meskipun UU 13/2016 yang kemudian diperbarui dengan UU 65/2024 tidak lagi mengenal konsep piutang biaya tahunan, namun piutang paten yang timbul akibat rezim UU 14/2001 masih menjadi polemik. Hal ini disebabkan oleh ketentuan Pasal 115 ayat (1) UU 14/2001, yang memberikan masa 3 (tiga) tahun berturut-turut sebelum paten dinyatakan batal demi hukum. Akibatnya, selama tiga tahun biaya tahunan tetap tercatat sebagai kewajiban yang belum dibayar. Ketika paten kemudian dinyatakan batal demi hukum, piutang biaya tahunan yang sudah tercatat tidak serta-merta dihapus, melainkan tetap dibebankan kepada pemegang paten. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, karena:
a. Dari sisi negara, piutang tersebut dianggap sebagai kewajiban yang sah dan harus ditagih demi menjaga tertib administrasi keuangan negara.
b. Dari sisi pemegang paten, hak atas patennya sudah tidak lagi berlaku (batal demi hukum), sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai dasar keadilan dari kewajiban untuk tetap membayar piutang tersebut.
Dengan demikian, terdapat kontradiksi bahwa hak sudah tidak ada, tetapi kewajiban finansial masih ditagihkan. Inilah yang menyebabkan piutang paten dari rezim UU 14/2001 menjadi permasalahan hukum yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Sampai saat inipun DJKI mulai intensif melakukan penagihan debitur di luar negeri dengan mengirimkan surat informasi tagihan kepada kantor Kedutaan Besar negara asal pemegang paten terbesar yaitu: Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Swiss dan Belanda, serta konfirmasi piutang paten BDH dengan melakukan kunjungan langsung ke beberapa perusahaan di negara Jerman, Swiss, Jepang, dan Korea Selatan bersama BPK RI pada bulan November 2016. Pada 28 September 2018 Sub Direktorat Sertifikasi, Pemeliharaan, Mutasi dan Lisensi (“SPML”) melalui Bagian Humas dan Persuratan telah mengirimkan Fulfillment of the Obligation for Unpaid Patent Annual Fee kepada 42 Kedutaan Besar Asing di Jakarta. Walaupun DJKI telah berusaha menagih piutang paten yang macet dan telah menyerahkan penyelesaian piutang tersebut kepada KPKNL, namun berdasarkan telaahan lebih lanjut terhadap penyelesaian piutang paten BDH dan PAPS diketahui permasalahannya sebagai berikut:
1. DJKI belum mempunyai daftar piutang paten per pemegang paten yang masih aktif maupun yang tidak aktif, disebabkan:
a. Data piutang paten yang dimiliki oleh DJKI sampai dengan saat ini masih berdasarkan ID Paten, sehingga nama satu pemegang paten muncul beberapa kali pada beberapa ID;
b. Alamat belum secara otomatis termutakhirkan pada saat terdapat permohonan baru oleh pemohon yang sama;
c. DJKI belum memilah pemegang paten yang masih aktif dan pemegang paten yang tidak aktif;
2. Data nilai piutang paten BDH dan PAPS yang disajikan belum valid
Pada tahun 2019, Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum (Itjen Kemenkum) sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) melaksanakan Audit atas PNBP pada DJKI berdasarkan Surat Perintah Nomor: lTJ.KP.04.01.5-65 tanggal 24 Oktober 2019 yang dilaksanakan mulai dari tanggal 25 Oktober 2019 s.d. 11 November 2019. Salah satu hasil pelaksanaan audit tersebut adalah mengenai piutang biaya (jasa) tahunan paten yaitu temuan nomor 5 berupa “Piutang PNBP Belum Disetorkan ke Kas Negara”. Piutang biaya (jasa) tahunan paten yang disebutkan pada hasil audit tersebut terdiri dari 4 (empat) penamaan yang dibedakan atas asal terjadinya piutang, yaitu sebagai berikut:
a. Piutang Paten BDH merupakan piutang yang berasal dari tunggakan biaya tahunan paten sebagai implikasi dari UU 14/2001, khususnya pengaturan dalam Pasal 115.
b. Piutang Paten Pembatalan Atas Permintaan Sendiri (PAPS) merupakan piutang yang muncul karena masih adanya tunggakan biaya tahunan paten atas paten yang telah diajukan pembatalan atas permohonan pemegang paten sebagaimana diatur dalam Pasal 88 s.d. Pasal 90 UU 14/2001.
c. Apabila pemegang paten tidak membayar biaya tahunan untuk paten yang diajukan, diproses, dan disetujui selama tiga tahun berturut-turut, dikenal sebagai piutang paten. Ini terjadi setelah UU 14/2001, tetapi setelah UU 13/2016, paten tersebut dibatalkan.
d. Piutang Penghapusan Paten adalah piutang yang muncul karena paten tersebut masih memliki biaya tahunan pemeliharaan pada saat pemegang paten mengajukan permohonan pembatalan paten terhadap paten yang diajukan, diproses dan disetujui pada saat berlakunya UU 14/2001 tentang Paten, namun keputusan pembatalan atas paten tersebut terbit setelah berlakunya UU 13/2016.
Data terbaru dari Inspektorat Jenderal pada tahun 2024 berkenaan dengan paten menjelaskan bahwa pelaksanaan pemeliharaan paten belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan. Adapun gambaran umum terhadap temuan menjelaskan bahwa paten belum dihapus meski tidak membayar biaya tahunan (terdapat total 448 ID Paten belum dihapus padahal sudah melewati batas waktu pembayaran biaya tahunan sesuai dengan UU 13/2016 jo. UU 65/2024 kemudian sistem SAKI belum otomatis mengubah status menjadi dihapuskan atau memblokir pembayaran setelah jatuh tempo, DJKI belum melakukan pemantauan terhadap status menjadi dihapuskan atau memblokir pembayaran setelah jatuh tempo. Beberapa permasalahan sebelumnya mengakibatkan:
1. Pelindungan paten berpotensi menimbulkan permasalahan hukum;
2. Terdapat paten yang seharusnya dihapuskan sebanyak 448 ID Paten sesuai dengan UU 13/2016 sebagaimana diubah dalam UU 65/2024;
3. Potensi kehilangan PNBP dari pemegang paten atas sertifikat paten yang telah terbit.
Di sisi lain, penghapusan paten membawa konsekuensi hukum yang signifikan bagi para pihak yang terkait dengan hak tersebut. Ketika suatu paten dihapus, maka pemegang paten secara otomatis kehilangan hak eksklusifnya, termasuk hak untuk melarang pihak lain memproduksi, menggunakan, menjual, atau mendistribusikan invensi yang sebelumnya dilindungi. Kondisi ini tentu dapat menimbulkan kerugian ekonomi dan hukum bagi pihak-pihak yang terlibat, seperti pemegang paten yang kehilangan potensi keuntungan dari hasil komersialisasi, maupun penerima lisensi yang telah menginvestasikan modal, waktu, dan sumber daya untuk mengembangkan produk berbasis paten tersebut. Meskipun demikian, Pasal 141 UU 13/2016 tidak memberikan penjelasan yang terperinci mengenai mekanisme rehabilitasi atau penghidupan kembali paten yang telah dihapus. Pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa “Paten yang sudah dihapuskan tidak dapat dihidupkan kembali kecuali berdasarkan putusan Pengadilan Niaga.” Rumusan norma ini menunjukkan bahwa satu-satunya jalan hukum untuk memulihkan status paten yang telah dihapus adalah melalui mekanisme peradilan, bukan melalui proses administratif di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
Namun, tidak adanya ketentuan yang lebih spesifik mengenai prosedur, syarat, atau dasar hukum untuk mengajukan pemulihan paten menimbulkan kekosongan norma (normative gap) dalam praktik. Akibatnya, terdapat ketidakpastian hukum bagi para pemegang paten yang beritikad baik namun mengalami kendala administratif, seperti keterlambatan pembayaran biaya tahunan atau force majeure. Dalam konteks ini, kejelasan mekanisme penghidupan kembali paten melalui pengaturan yang lebih rinci menjadi penting untuk menjamin perlindungan hak ekonomi, kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi para pemegang hak kekayaan intelektual. Berdasarkan permasalahan sebelumnya maka penulis akan mencoba menganalisis rumusan masalah sebagai berikut: pertama, bagaimana peran negara untuk mengatur hak atas paten sampai dengan konsep pembayaran biaya tahunan; dan kedua, bagaimana strategi dalam menyelesaikan permasalahan hapusnya hak atas paten akibat keterlambatan pembayaran biaya tahunan paten?
Metode dalam penulisan naskah ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell dalam Ardiansyah, Risnita, dan Jailani, makna, konstruksi sosial, dan kompleksitas fenomena yang diteliti adalah fokus penelitian kualitatif [9]. Sementara jenis penelitian dalam tulisan ini merupakan yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif). Penelitian yuridis normatif (juga dikenal sebagai metode penelitian hukum normatif) merupakan jenis penelitian yuridis kepustakaan yang memeriksa data sekunder atau bahan kepustakaan [10]. Bahan kepustakaan termasuk peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer, serta bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti pendapat ahli, buku, atau karya tulis ilmiah [11].
Pada tahap selanjutnya adalah ialah kegiatan pengumpulan bukti yang menegaskan keberadaan permasalahan penelitian [12]. Pada tahapan ini, kajian ini merujuk kepada empat teknik pengumpulan data menurut Creswell yakni hasil observasi, wawancara, pengumpulan dokumen, dan pengumpulan suara/gambar [9]. Secara mendetail, kajian ini melakukan serangkaian tindakan pengumpulan bukti yang menggunakan studi kepustakaan dan wawancara sebagai sumber data lain. Penelitian ini seyogyanya mempertimbangkan praktik terbaik yang digunakan oleh Kemenkum dalam hal pelayanan paten sehingga proses ini akan menghasilkan analisis masalah.
Kemudian, dalam melakukan analisis data, penulis berpedoman pada konsep yang dikemukakan oleh Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, Johnny Saldana yang menyatakan bahwa ”analisis data meliputi kegiatan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan” [13]. Dalam hal reduksi data penulis melakukan proses yang berfokus pada pemilihan, fokus pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang berasal dari catatan tertulis di lapangan. Dengan kata lain, reduksi data adalah jenis analisis yang mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan mengorganisir data sehingga kesimpulan dapat ditarik dan dijelaskan dengan mudah dan jelas. Selanjutnya dalam hal penyajian data, penulis melakukan tindakan untuk membatasi kumpulan informasi yang terstruktur sehingga dimungkinkan untuk menarik kesimpulan atau mengambil tindakan. Data yang disajikan dalam kajian mencakup data yang telah direduksi atau diklasifikasikan sesuai dengan masalah dan kemudian dianalisis dengan lebih mendalam. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan, yang dibuat berdasarkan reduksi dan analisis data yang mendalam secara kuantitatif dan kualitatif untuk membuat saran tentang masalah yang dibahas.
Di Indonesia Paten diatur melalui UU 65/2024 sebagai perubahan ketiga dari UU 13/2016. Secara internasional dasar hukum pengaturan Paten adalah Paris Convention, Paten Cooperation Treaty (PCT), European Patent Convention (EPC), dan TRIPs Agreement. Beberapa peraturan hukum terkait Paten, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Estabishing the Word Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pencatatan Pengalihan Paten.
3. Permenkumham Nomor 13 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2018 tentang Permohonan Paten
4. Permenkumham Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 30 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pemberian Lisensi-Wajib Paten
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pencatatan Pengalihan Paten.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 65/2024, yang dimaksud dengan paten adalah “hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu untuk melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.” Definisi ini menegaskan bahwa paten merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan hukum negara terhadap hasil karya intelektual manusia di bidang teknologi, yang memberikan hak monopoli terbatas kepada inventor untuk menguasai, memanfaatkan, atau mengalihkan invensinya dalam kurun waktu tertentu.
Secara historis, istilah paten dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda “octrooi”, yang berakar dari kata Latin “auctor” atau “auctorizare”, yang berarti “dibuka” atau “terbuka.” Istilah ini menggambarkan konsep dasar dari sistem paten modern, yakni bahwa penemuan yang diberikan perlindungan hukum harus “dibuka” atau diungkapkan kepada publik agar dapat diakses oleh masyarakat luas setelah masa perlindungannya berakhir. Dengan demikian, terdapat hubungan timbal balik antara hak eksklusif dan keterbukaan informasi teknologi: inventor memperoleh hak monopoli untuk jangka waktu tertentu, namun sebagai imbalannya ia wajib mengungkapkan detail teknis dari invensinya secara transparan. Dalam bahasa Inggris, kata “patent” juga memiliki makna “open” atau “publicly disclosed”. Konsep keterbukaan ini terwujud dalam kewajiban inventor untuk menyertakan spesifikasi paten saat mengajukan permohonan, yang berisi uraian teknis lengkap mengenai invensi, cara kerja, serta klaim perlindungan yang diminta. Tujuan utama dari kewajiban ini adalah agar invensi dapat dipahami, dinilai kebaruannya, dan direplikasi oleh masyarakat ilmiah dan industri setelah masa perlindungan berakhir.
Teknologi yang dimaksud dalam bidang paten mencakup semua bentuk-bentuk teknologi, baik dari teknologi yang sangat sederhana sampai yang paling mutakhir. Pengertian dari hak eksklusif pada paten adalah hak untuk menggunakan dan menjalankan paten yang dimiliki dan berhak melarang pihak lain untuk menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, atau menyerahkan paten tersebut. Dalam hal ini yang berhak menguasai paten adalah inventor itu sendiri atau pihak lainnya yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan. Maksud dari pihak lain yang menerima lebih lanjut hak inventor seperti karena proses pewarisan, hibah, wasiat atau perjanjian-perjanjian tertulis, ataupun karena melalui proses lisensi.
Paten dapat pula dipahami sebagai hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada seorang penemu (inventor) atas suatu penemuan di bidang teknologi tertentu, yang memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk melaksanakannya dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian, paten berfungsi sebagai bentuk pengakuan hukum dan penghargaan negara terhadap kemampuan intelektual manusia dalam menciptakan inovasi yang memiliki nilai guna dan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Hak ini tidak hanya bersifat melindungi hasil karya intelektual dari peniruan atau penyalahgunaan, tetapi juga mendorong terciptanya iklim kompetisi yang sehat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan dengan subjek paten atau yang berhak memperoleh paten adalah inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan yang diatur dalam Pasal 10 sampai Pasal 13 UU 13/2016 meliputi:
1. Perorangan, yaitu inventor;
2. Beberapa orang jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama; dan
3. Perusahaan (pihak pemberi kerja) jika suatu invensi dihasilkan dari sebuah hubungan kerja, kecuali diperjanjikan lain.
Hubungan hukum antara para pihak dalam sistem paten dapat muncul dari adanya hubungan kerja antara pencipta invensi (inventor) dan pihak yang memberikan pekerjaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU 13/2016, ditegaskan bahwa pemegang paten atas invensi yang dihasilkan dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali apabila telah diperjanjikan lain antara para pihak. Ketentuan ini menegaskan adanya prinsip atribusi kepemilikan hasil karya intelektual dalam konteks hubungan kerja, di mana pemberi kerja memperoleh hak hukum atas hasil inovasi yang diciptakan oleh karyawannya, sepanjang tidak ada kesepakatan yang menyatakan sebaliknya. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa hak kekayaan intelektual, termasuk paten, memiliki nilai ekonomi yang signifikan, sehingga inventor yang secara langsung menciptakan invensi berhak memperoleh kompensasi atau imbalan yang layak sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Prinsip ini sejalan dengan asas keadilan dalam hubungan kerja, yakni pengakuan terhadap kontribusi kreatif individu dalam menciptakan nilai ekonomi melalui invensi.
Lebih lanjut, Pasal 13 UU 13/2016 mengatur ketentuan serupa bagi inventor yang bekerja di instansi pemerintah. Dalam hal invensi dihasilkan dalam hubungan dinas, maka pemegang paten atas invensi tersebut adalah instansi pemerintah yang bersangkutan bersama inventor, kecuali ditentukan lain melalui perjanjian. Artinya, kepemilikan paten dalam konteks hubungan dinas bersifat kooperatif, di mana kedua pihak—instansi dan inventor—berbagi hak atas manfaat yang dihasilkan dari invensi tersebut. Apabila invensi yang dihasilkan telah berhasil dikomersialisasikan atau dipasarkan, maka pemegang paten dan inventor bersama-sama berhak menerima imbalan atas invensi tersebut, yang bersumber dari PNBP. Ketentuan ini menunjukkan adanya pengakuan negara terhadap kontribusi intelektual individu sekaligus mekanisme penghargaan ekonomi yang proporsional antara lembaga dan inventor, guna mendorong iklim inovasi yang berkelanjutan dan adil dalam pengelolaan kekayaan intelektual nasional.
Dalam sistem hukum paten, dikenal konsep pemakai terdahulu (prior user), yaitu pihak yang telah menggunakan atau menjalankan suatu invensi sebelum invensi yang sama diajukan permohonan patennya oleh pihak lain, dan kemudian permohonan tersebut memperoleh hak paten. Keberadaan pemakai terdahulu merupakan bentuk pengakuan hukum terhadap pihak yang secara nyata telah memanfaatkan suatu teknologi atau invensi sebelum adanya hak eksklusif yang diberikan kepada pemegang paten baru. Dengan demikian, meskipun secara yuridis pemegang paten memperoleh hak eksklusif atas invensi tersebut, pemakai terdahulu tetap diberikan hak terbatas untuk melanjutkan penggunaan invensi yang sama sepanjang dapat dibuktikan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan sebelum tanggal pengajuan paten.
Sesuai ketentuan dalam UU 13/2016, pengakuan terhadap status pemakai terdahulu hanya dapat diberikan apabila pihak yang bersangkutan mengajukan permohonan resmi kepada Menteri dan dapat membuktikan bahwa kegiatan penggunaan invensi tersebut memang telah dilakukan secara sah sebelum paten diberikan. Pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum yang seimbang antara kepentingan pemegang paten dengan pihak lain yang telah terlebih dahulu memanfaatkan invensi secara bona fide. Namun demikian, hak yang dimiliki oleh pemakai terdahulu bersifat terbatas dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik melalui perjanjian lisensi maupun bentuk pengalihan hak lainnya. Pembatasan ini dimaksudkan untuk menjaga agar status pemakai terdahulu tidak disalahgunakan sebagai sarana komersialisasi yang dapat mengganggu hak eksklusif pemegang paten yang sah. Satu-satunya pengecualian terhadap larangan pengalihan tersebut adalah dalam hal pewarisan, di mana hak pemakaian terdahulu dapat beralih kepada ahli waris secara hukum [2].
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 13/2016, yang dimaksud dengan invensi adalah ide yang muncul dari seorang atau beberapa orang inventor, yang dituangkan dalam bentuk konkret di bidang teknologi, baik berupa produk maupun proses, termasuk pula penyempurnaan atau pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebelumnya. Definisi ini menegaskan bahwa hakikat invensi tidak hanya terbatas pada penemuan baru secara mutlak (absolute novelty), tetapi juga mencakup hasil pengembangan yang memberikan peningkatan fungsi, efisiensi, atau nilai guna terhadap teknologi yang sudah ada. Secara prinsip, terdapat dua cara utama dalam menghasilkan suatu invensi. Pertama, melalui penemuan cara baru yang lahir dari kreativitas intelektual manusia dalam mengembangkan ide dan mengidentifikasi solusi atas suatu persoalan teknis tertentu. Proses ini menekankan aspek orisinalitas dan daya cipta yang tinggi dari individu atau kelompok inventor. Kedua, melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) yang menghasilkan temuan baru di bidang teknologi. Hasil pengembangan tersebut, sepanjang memenuhi unsur kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri, dapat diajukan sebagai invensi baru untuk memperoleh perlindungan hukum berupa paten.
Selain inventor sebagai pencipta ide, paten juga dapat dimiliki oleh pihak lain berdasarkan persetujuan atau pengalihan hak dari inventor. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 6 UU 13/2016, yang menyatakan bahwa pemegang paten adalah inventor sebagai pemilik paten, pihak yang menerima hak atas paten dari pemilik paten, atau pihak lain yang secara sah memperoleh hak tersebut lebih lanjut dan telah terdaftar dalam daftar umum paten. Dengan demikian, sistem hukum paten Indonesia mengakui adanya alih kepemilikan hak atas paten, baik melalui perjanjian maupun pewarisan, asalkan dilakukan dengan persetujuan inventor dan dicatatkan secara resmi. Ketentuan ini mencerminkan prinsip kepastian hukum dan penghormatan terhadap hak ekonomi inventor, di mana perlindungan tidak hanya diberikan kepada pencipta ide, tetapi juga kepada pihak yang secara sah menerima atau mengelola hak tersebut. Dengan adanya mekanisme pendaftaran dalam daftar umum paten, negara memastikan bahwa setiap peralihan atau penetapan kepemilikan paten memiliki legitimasi hukum yang jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan [2].
Dalam hal objek paten, invensi yang dibuat oleh inventor harus memiliki karakteristik teknis, yaitu berhubungan dengan bidang teknologi, merupakan solusi untuk masalah teknologi, dan didefinisikan dalam suatu fitur teknis. Adapun invensi yang tidak dapat diberi paten, yaitu:[4]
a. Pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaan invensi tersebut melanggar peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
b. Pelaksanaan invensi tersebut diterapkan kepada manusia dan/atau hewan. Maksud dari pelaksanaan adalah pemeriksaan, perawatan, dan/atau pembedahan;
c. Invensi berkaitan dengan ilmu matematika yang biasanya tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan teknologi;
d. Semua makhluk hidup tidak dapat dipatenkan kecuali jasad renik;
e. Proses memproduksi tanaman atau hewan, misalnya cangkok, teknik stek atau penyerbukan; dan
f. Program dalam komputer yang hanya memiliki program tanpa memiliki instruksi teknis dan tidak dapat berfungsi dalam penyelesaian permasalahan.
Paten dan paten sederhana adalah dua kategori objek paten. Paten merupakan paten yang memenuhi persyaratan penemuan yang dapat diberikan paten, yaitu syarat kebaruan (novelty), mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Dalam sistem paten, invensi yang dapat dilindungi paten meliputi proses, metode, alat, penggunaan, komposisi, dan produk yang dihasilkan oleh proses. Di sisi lain, paten sederhana merupakan paten yang diberikan untuk setiap invensi baru, pengemban, atau produk yang dihasilkan oleh proses.[2]
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, diatur bahwa paten diberikan perlindungan hukum selama dua puluh (20) tahun, sedangkan paten sederhana memperoleh jangka waktu perlindungan selama sepuluh (10) tahun. Masa perlindungan tersebut dihitung sejak tanggal penerimaan permohonan paten, dan tidak dapat diperpanjang setelah jangka waktunya berakhir. Ketentuan ini menegaskan sifat terbatas dan temporer dari hak paten, di mana setelah masa perlindungan berakhir, invensi akan menjadi milik publik dan dapat digunakan secara bebas tanpa memerlukan izin dari pemegang paten. Perbedaan jangka waktu antara paten dan paten sederhana mencerminkan adanya pertimbangan proporsionalitas oleh pembentuk undang-undang.
Pemerintah menilai bahwa paten sederhana umumnya melindungi invensi yang memiliki tingkat kompleksitas teknologi yang lebih rendah, dengan proses penciptaan yang relatif singkat, biaya penelitian yang lebih ringan, serta metode pembuatan yang sederhana. Oleh karena itu, jangka waktu perlindungan selama sepuluh tahun dianggap memadai bagi inventor untuk memperoleh manfaat ekonomi secara adil dari hasil invensinya, tanpa menghambat akses publik terhadap teknologi tersebut dalam jangka panjang. Secara filosofis, pengaturan ini mencerminkan prinsip keseimbangan antara hak eksklusif dan kepentingan umum. Negara memberikan penghargaan kepada inventor melalui hak monopoli terbatas agar mereka memperoleh insentif ekonomi sebagai balasan atas kontribusinya terhadap kemajuan teknologi. Namun, setelah jangka waktu perlindungan berakhir, invensi tersebut akan terbuka untuk umum agar dapat dimanfaatkan secara lebih luas bagi kemaslahatan sosial dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pembatasan waktu perlindungan paten tidak hanya berfungsi sebagai instrumen administratif, tetapi juga sebagai mekanisme hukum untuk mendorong inovasi berkelanjutan dan keadilan distribusi manfaat teknologi di masyarakat.
Pelanggaran hak paten biasanya melibatkan penggunaan ciptaan atau temuan tanpa izin atau lisensi dari pemegang hak paten. Jika seseorang menggunakan invensi tanpa lisensi, mereka melanggar hak paten dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan. Penggunaan invensi tanpa izin dapat melanggar hukum. Pasal 1365 BW mengatur perbuatan melanggar hukum. Biasanya, pihak yang menderita kerugian melakukan teguran terlebih dahulu kepada pihak yang melanggar. Dalam praktiknya, teguran dilakukan dengan mengumumkan di koran atau berita bahwa ada dugaan pelanggaran hukum terhadap KI. Jika teguran ini diabaikan dan pelanggaran terus terjadi, maka gugatan dapat dilanjutkan ke Pengadilan Niaga.
Hak paten sebagai salah satu bentuk perlindungan kekayaan intelektual memiliki posisi strategis dalam mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Melalui hak eksklusif yang diberikan oleh negara, seorang inventor memperoleh kesempatan untuk mengelola dan memanfaatkan hasil penemuannya secara ekonomi. Namun, dalam praktiknya, hak eksklusif ini tidak terlepas dari kritik. Di satu sisi, paten melindungi kreativitas individu; di sisi lain, dapat membatasi akses publik terhadap teknologi. Oleh karenanya, keadilan dan kemanfaatan hukum harus dijadikan prinsip dasar dalam setiap kebijakan paten agar hukum tidak menjadi instrumen monopoli yang merugikan kepentingan umum.
Dalam kerangka teori hukum, hak paten berakar pada teori keadilan korektif dan keadilan distributif. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan korektif menuntut keseimbangan antara apa yang diberikan dan diterima, sedangkan keadilan distributif menekankan pembagian yang proporsional sesuai kontribusi dan kebutuhan masyarakat [14]. Dalam konteks paten, pemberian hak eksklusif adalah bentuk keadilan korektif karena menghargai jerih payah dan modal yang telah dikeluarkan inventor. Namun, keadilan distributif juga menuntut agar hasil invensi tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi memberikan nilai bagi kesejahteraan masyarakat. Secara substantif, keadilan dalam hak paten tercermin melalui pemberian hak eksklusif yang proporsional terhadap upaya dan risiko yang diambil oleh inventor. Hak ini memberi kepastian hukum, memungkinkan inventor atau perusahaan untuk menarik investasi dan melakukan komersialisasi teknologi. Namun, hak eksklusif ini bukan hak absolut: negara tetap memiliki kewenangan mengatur batasannya melalui lisensi wajib atau penggunaan oleh pemerintah demi kepentingan umum. Asas keadilan juga tercermin dalam prosedur hukum yang mengatur permohonan, pemeriksaan, pengumuman, dan keberatan. Proses yang transparan dan dapat diprediksi menjadi bagian dari keadilan prosedural (procedural justice), yang memastikan tidak ada pihak yang dirugikan secara tidak proporsional dalam pengelolaan hak.
Selain berlandaskan pada prinsip keadilan, legitimasi keberadaan sistem paten juga memiliki dasar filosofis yang kuat dalam teori utilitarianisme yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Stuart Mill. Dalam kerangka pemikiran utilitarian, keberlakuan suatu norma hukum—termasuk hak paten—dianggap sah dan bernilai moral apabila mampu menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the greatest number) [15].Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap paten tidak dimaksudkan semata-mata untuk memberikan keuntungan eksklusif kepada individu inventor, tetapi lebih sebagai instrumen sosial yang mendorong terciptanya inovasi dan kemajuan teknologi yang berdampak positif bagi masyarakat luas.
Dari sudut pandang ini, sistem paten berfungsi sebagai insentif ekonomi dan sosial, di mana pemberian hak monopoli dalam jangka waktu tertentu bertujuan untuk merangsang kegiatan penelitian dan pengembangan. Dengan memberikan kepastian hukum dan keuntungan ekonomi bagi para inventor, negara mendorong lahirnya inovasi baru yang pada akhirnya memperkuat daya saing nasional serta meningkatkan kesejahteraan umum. Namun demikian, teori utilitarian juga menekankan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik [16], sehingga setelah jangka waktu perlindungan berakhir, invensi tersebut harus terbuka untuk dimanfaatkan oleh masyarakat.
Penerapan prinsip keadilan dan kemanfaatan seyogyanya harus bersifat dinamis. Dalam praktik, negara berperan sebagai penyeimbang antara kepentingan privat (inventor) dan kepentingan publik (akses teknologi). Rezim paten yang terlalu protektif sejatinya dapat menimbulkan deadweight loss ekonomi, sementara perlindungan yang terlalu longgar dapat menurunkan minat inovasi. Oleh karenanya, desain hukum paten yang ideal adalah menempatkan negara sebagai fasilitator keseimbangan antara dua kutub kepentingan ini. Dari perspektif kemanfaatan, perlindungan paten harus memberikan nilai tambah sosial dan ekonomi. Pemerintah melalui DJKI)berperan strategis dalam memastikan bahwa paten yang diberikan bukan sekadar simbol administratif, tetapi benar-benar dimanfaatkan dalam industri nasional. Kewajiban pelaksanaan paten di wilayah Indonesia, sebagaimana diatur dalam ketentuan UU, menunjukkan bahwa paten tidak hanya bersifat pasif, tetapi harus mendukung pengembangan teknologi domestik. Bila hak eksklusif tidak dimanfaatkan, pemerintah dapat memberikan lisensi wajib kepada pihak lain agar invensi tersebut tetap memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Hapusnya hak paten dikarenakan keterlambatan pembayaran biaya tahunan sejatinya merupakan bentuk pengendalian agar sistem paten tidak disalahgunakan. Dari perspektif keadilan prosedural, mekanisme penghapusan ini harus dilaksanakan dengan pemberitahuan yang jelas dan kesempatan memperbaiki keterlambatan. Di sisi lain, dari perspektif kemanfaatan hukum, penghapusan hak berfungsi mengembalikan invensi ke domain publik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dan industri lain. Mekanisme ini menunjukkan keseimbangan antara keadilan dan kemanfaatan: keadilan bagi negara dan publik untuk tidak menanggung beban hak yang tidak aktif, serta kemanfaatan bagi pihak lain yang dapat menggunakan kembali teknologi tersebut.
Hak paten dalam kerangka keadilan dan kemanfaatan hukum menuntut keseimbangan antara penghargaan terhadap kreativitas individu dan jaminan kemaslahatan sosial. Keadilan diwujudkan melalui pemberian hak eksklusif yang proporsional, sedangkan kemanfaatan terwujud melalui pembatasan yang dirancang untuk mendukung akses dan inovasi berkelanjutan. Perubahan UU 65/2024 menunjukkan bahwa negara terus menyesuaikan rezim paten agar selaras dengan kebutuhan ekonomi dan perkembangan teknologi. Dengan memperkuat prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas kelembagaan, sistem paten di Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi perlindungan hukum semata, tetapi juga pendorong inovasi nasional dan instrumen keadilan sosial yang berorientasi pada kemajuan masyarakat.
Negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi hasil karya intelektual warganya sebagai wujud penghormatan terhadap hak cipta dan inovasi [17]. Berdasarkan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, termasuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Prinsip ini menjadi dasar bagi negara untuk membentuk rezim hukum kekayaan intelektual yang menjamin keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan publik. Dalam konteks ini, negara bukan hanya sebagai pemberi hak eksklusif melalui sistem paten, tetapi juga sebagai pengatur, pengawas, dan penjamin agar hak tersebut dijalankan sesuai tujuan sosialnya.
Sementara jika negara bertindak sebagai regulator utama, maka Negara berhak menentukan batas, ruang lingkup, dan jangka waktu perlindungan hak paten. Fungsi ini diwujudkan melalui pembentukan dan pelaksanaan UU 13/2016 sebagaimana diubah dengan UU 65/2024. Melalui perangkat hukum ini, negara menetapkan standar substantif seperti kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan secara industri (industrial applicability). Negara juga berperan menyeimbangkan antara keadilan bagi inventor dan kemanfaatan bagi publik. Misalnya, dengan menetapkan lisensi wajib dan penggunaan oleh pemerintah dalam kondisi tertentu, negara memastikan bahwa perlindungan hak tidak menjadi hambatan terhadap kepentingan masyarakat luas.
Selain sebagai pengatur, negara juga memiliki fungsi sebagai fasilitator inovasi. Melalui kebijakan kekayaan intelektual nasional dan program hilirisasi, pemerintah berupaya menghubungkan hasil riset dari perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan industri dengan sistem perlindungan paten yang efektif. DJKI di bawah Kementerian Hukum menjadi lembaga pelaksana yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pemeriksaan, dan pendaftaran paten. Upaya ini sejalan dengan visi pemerintah untuk menjadikan kekayaan intelektual sebagai aset ekonomi berbasis inovasi. Dengan demikian, negara berfungsi mendorong terciptanya ekosistem inovatif yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui perlindungan hukum yang pasti dan efisien.
Salah satu bentuk konkret pengaturan negara dalam sistem paten adalah konsep pembayaran biaya tahunan (annual fees atau annuities). Biaya tahunan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang paten agar haknya tetap berlaku. Ketentuan ini mencerminkan prinsip keadilan prosedural, di mana hak eksklusif disertai dengan tanggung jawab administratif. Dari sisi efisiensi, mekanisme ini membantu negara mengelola basis data paten yang aktif dan menghapus hak-hak yang tidak dimanfaatkan. Dengan demikian, pembayaran biaya tahunan menjadi filter alami untuk memisahkan invensi yang benar-benar memiliki nilai ekonomi dari paten yang tidak produktif.
Pengaturan mengenai biaya tahunan paten sejatinya merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari karena menyangkut dua aspek mendasar dalam tata kelola sistem kekayaan intelektual: keberlanjutan administratif dan efisiensi hukum. Negara perlu menetapkan mekanisme pembayaran biaya tahunan sebagai bentuk tanggung jawab pemegang hak terhadap perlindungan yang diterimanya dari negara. Tanpa adanya mekanisme tersebut, sistem paten akan menanggung beban administratif berupa penumpukan hak yang tidak aktif (non-working patents) dan menghambat perkembangan teknologi karena tidak ada pembaruan data status hukum. Namun demikian, fungsi pengaturan ini tidak boleh dimaknai semata-mata sebagai instrumen fiskal, melainkan sebagai alat kebijakan publik untuk mendorong inovasi dan memastikan bahwa hanya invensi yang benar-benar bernilai ekonomi yang dipertahankan. Dengan kata lain, biaya tahunan harus ditempatkan dalam kerangka keadilan prosedural yaitu memberikan insentif kepada inventor yang produktif sekaligus mengembalikan hak ke domain publik bila tidak digunakan.
Dalam praktiknya, ketentuan pembayaran biaya tahunan seringkali menjadi hambatan utama bagi inventor individu, perguruan tinggi, dan pelaku UMKM untuk mempertahankan patennya. Meskipun UU 13/2016 jo. UU 65/2024 telah memberikan landasan hukum yang jelas, masih banyak masyarakat yang enggan mengajukan paten karena khawatir tidak mampu menanggung biaya tahunan yang relatif tinggi. Inventor yang berasal dari kalangan akademik atau daerah dengan keterbatasan anggaran riset sering kehilangan haknya akibat keterlambatan pembayaran. Kondisi ini menimbulkan efek domino diantaranya riset yang berpotensi komersial menjadi tidak terlindungi, data paten nasional berkurang, dan iklim inovasi melemah. Padahal, banyak penemuan di sektor teknologi tepat guna, agrikultur, atau kesehatan rakyat yang memiliki nilai manfaat tinggi tetapi gagal dilindungi karena faktor finansial. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengaturan biaya tahunan belum sepenuhnya memperhatikan aspek keadilan sosial dan diferensiasi kemampuan ekonomi inventor.
Peran negara dalam mengatur hak paten hingga konsep pembayaran biaya tahunan menunjukkan adanya fungsi ganda negara sebagai pelindung hak individu dan penjamin kepentingan kolektif. Negara mengatur batas waktu, biaya, dan prosedur paten bukan untuk membatasi kebebasan inventor, tetapi untuk memastikan bahwa hak eksklusif berfungsi sesuai tujuan sosialnya: mendorong inovasi, memperluas akses teknologi, dan menciptakan kemanfaatan ekonomi bagi masyarakat. Dengan memperkuat kapasitas kelembagaan, transparansi sistem, dan fleksibilitas kebijakan, negara dapat menjaga keseimbangan antara keadilan dan kemanfaatan hukum. Oleh karena itu, sistem paten yang baik bukan hanya mencerminkan perlindungan hak, tetapi juga instrumen pembangunan hukum dan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Kebijakan pembayaran biaya tahunan (annual fees atau annuities) dalam sistem paten Indonesia pada dasarnya dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan administratif, memastikan kepastian hukum, dan mendorong efisiensi pengelolaan data kekayaan intelektual. Namun dalam praktiknya, biaya tahunan sering kali menjadi beban ekonomi bagi inventor individu, peneliti universitas, serta pelaku usaha mikro dan kecil. Banyak invensi yang memiliki nilai sosial tinggi tidak dilanjutkan proses perlindungannya karena keterbatasan anggaran. Akibatnya, tingkat komersialisasi hasil riset nasional rendah, dan terjadi fenomena “patent drop-out”, yaitu penghapusan paten bukan karena kehilangan kebaruan, melainkan karena ketidakmampuan finansial pemegang hak. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara tujuan keadilan hukum dan kemanfaatan sosial dalam implementasi kebijakan biaya tahunan.
Dapat dipahami bahwa dasar pengaturan mengenai biaya tahunan tercantum dalam UU 13/2016 sebagaimana telah diubah dengan UU 65/2024. Regulasi ini menegaskan bahwa setiap pemegang paten wajib membayar biaya tahunan kepada negara agar patennya tetap berlaku, dan apabila tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu, hak tersebut dapat dihapus. Ketentuan ini selaras dengan prinsip territoriality dan exclusive right dalam Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Pasal 7-8, yang menegaskan bahwa hak kekayaan intelektual harus mendukung inovasi dan transfer teknologi secara adil serta berkontribusi pada kesejahteraan sosial-ekonomi. Dengan demikian, peran negara dalam mengatur biaya tahunan bukan hanya bersifat administratif, melainkan bagian dari mandat konstitusional untuk menyeimbangkan kepentingan privat (inventor) dan kepentingan publik (akses masyarakat terhadap teknologi).
Dalam perspektif teori keadilan distributif yang dikemukakan oleh John Rawls, kebijakan publik harus dirancang agar memberikan keuntungan terbesar bagi kelompok yang paling tidak beruntung (the least advantaged). Menerapkan prinsip ini pada sistem paten berarti negara wajib memperhitungkan disparitas ekonomi antar-inventor. Hapusnya hak atas paten akibat keterlambatan pembayaran biaya tahunan merupakan persoalan klasik dalam tata kelola kekayaan intelektual di Indonesia. Meskipun ketentuan ini secara normatif memiliki tujuan menjaga ketertiban administratif dan efisiensi sistem paten, dalam praktiknya justru menimbulkan kerugian substantif bagi inventor yang kehilangan hak eksklusif hanya karena faktor administratif, bukan karena hilangnya nilai invensi. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif, terutama bagi individu, peneliti, dan pelaku usaha kecil yang memiliki keterbatasan finansial. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi hukum dan kelembagaan yang tidak hanya menegakkan aturan secara formal, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap inovator agar haknya tidak hilang semata karena kendala teknis atau ekonomi.
Penulis memberikan beberapa strategi yang dapat dimungkinkan untuk mengatasi permasalahan mengenai biaya tahunan paten, antara lain:
1. Strategi pertama adalah memperkuat sistem peringatan dini (early warning system) terhadap jatuh tempo pembayaran biaya tahunan. DJKI sebagai otoritas nasional paten dapat mengembangkan sistem notifikasi otomatis berbasis email, SMS, atau aplikasi daring yang terhubung langsung dengan pemegang paten. Mekanisme ini berfungsi sebagai pengingat administratif yang efisien, sekaligus wujud keadilan prosedural yang menjamin setiap pemegang hak mendapat kesempatan untuk memenuhi kewajibannya tepat waktu. Selain itu, perlu diterapkan sistem grace period atau masa tenggang selama enam hingga dua belas bulan setelah jatuh tempo, sebagaimana diatur dalam praktik European Patent Office (EPO) dan Japan Patent Office (JPO). Masa tenggang ini memungkinkan pemegang paten melunasi biaya dengan denda administratif ringan, tanpa kehilangan hak secara langsung.
2. Strategi kedua adalah melakukan reorientasi struktur biaya tahunan agar lebih proporsional dan adaptif terhadap jenis pemegang paten. Negara perlu menerapkan skema tarif progresif berdasarkan kategori pemohon, misalnya: individu, perguruan tinggi, UMKM, dan korporasi besar. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip keadilan distributif sebagaimana dikemukakan oleh John Rawls, bahwa perbedaan perlakuan dapat dibenarkan jika memberi manfaat lebih besar bagi kelompok yang paling lemah. Dengan kebijakan yang diferensiatif, beban administratif tidak lagi menjadi penghalang bagi kalangan akademik dan inovator kecil untuk mempertahankan patennya. Negara juga dapat memberikan subsidi silang antara paten komersial bernilai tinggi dan paten riset publik agar tidak terjadi ketimpangan antara kepentingan industri besar dan masyarakat ilmiah.
3. Strategi ketiga adalah reformulasi norma penghapusan hak (revocation) agar tetap memberikan ruang pemulihan bagi pemegang hak yang lalai karena alasan rasional. Pemerintah dapat menetapkan kebijakan pemulihan hak(reinstatement of lapsed patent) yang memungkinkan inventor mengajukan permohonan pemulihan dengan bukti itikad baik dan alasan yang dapat diterima (seperti keterlambatan teknis, bencana, atau kendala keuangan sementara). Kebijakan semacam ini telah diterapkan di berbagai yurisdiksi seperti WIPO Model Law on Patents, United Kingdom Patent Act 1977, dan United States Code Title 35, Section 41(c). Reformulasi ini tidak hanya memberikan jaminan keadilan substantif, tetapi juga menegaskan bahwa hukum tidak boleh kehilangan sisi kemanusiaannya dalam melindungi hasil ciptaan intelektual.
4. Strategi keempat, yang tak kalah penting adalah optimalisasi digitalisasi sistem patennasional agar seluruh proses administratif termasuk pembayaran biaya tahunan, peringatan, dan status hukum dapat diakses secara transparan dan real-time. Implementasi Patent Information Management System (PIMS) yang terintegrasi dengan sistem pembayaran elektronik dan basis data nasional akan meminimalkan kesalahan administratif. Dengan dukungan data analytics, pemerintah juga dapat mengidentifikasi pola keterlambatan dan merumuskan intervensi kebijakan yang tepat sasaran. Strategi digitalisasi ini sejalan dengan agenda Reformasi Birokrasi dan Transformasi Digital Layanan Publik di Kementerian Hukum.
Secara keseluruhan, berbagai strategi yang telah dirumuskan sebelumnya mulai dari penguatan sistem peringatan dini, reorientasi kebijakan biaya tahunan, reformulasi mekanisme penghapusan hak, penguatan koordinasi lintas lembaga, hingga digitalisasi tata kelola paten mencerminkan upaya komprehensif negara dalam mewujudkan keseimbangan antara keadilan hukum dan kemanfaatan sosial dalam sistem kekayaan intelektual. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa perlindungan terhadap hak paten tidak dapat dipahami hanya sebagai proses administratif, melainkan sebagai bagian dari ekosistem inovasi nasional yang membutuhkan kepastian hukum, dukungan finansial, dan tata kelola yang adaptif terhadap dinamika masyarakat. Dengan implementasi strategi tersebut secara konsisten dan terintegrasi, diharapkan permasalahan hapusnya hak paten akibat keterlambatan pembayaran tidak lagi menjadi hambatan bagi lahirnya inovasi, tetapi justru menjadi momentum untuk memperkuat kebijakan paten yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan dalam kerangka pembangunan hukum dan ekonomi nasional.
Secara keseluruhan, pengaturan pembayaran biaya tahunan paten memiliki urgensi yang tinggi sebagai instrumen hukum untuk menjamin keberlanjutan perlindungan terhadap invensi sekaligus menjaga tertib administrasi sistem kekayaan intelektual nasional. Namun, hasil kajian menunjukkan bahwa sistem yang berlaku saat ini masih menghadapi berbagai kendala, baik dari aspek regulasi, kelembagaan, maupun sosial-ekonomi. Pergeseran rezim hukum dari UU 14/2001 menuju UU 13/2016 jo. UU 65/2024 telah mengubah mekanisme penghapusan hak dan meniadakan sistem piutang paten, tetapi belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan administratif dan keadilan substantif bagi inventor. Permasalahan keterlambatan pembayaran biaya tahunan yang berujung pada penghapusan hak paten menandakan bahwa kebijakan yang ada masih bersifat reaktif dan belum mampu menampung disparitas kemampuan finansial di antara pemegang paten, khususnya bagi inventor individu, lembaga riset, dan perguruan tinggi yang menghadapi keterbatasan anggaran.
Oleh karena itu, diperlukan reformulasi kebijakan yang lebih inklusif dan adaptif agar sistem paten tidak hanya menegakkan kepastian hukum, tetapi juga mewujudkan keadilan sosial serta kemanfaatan hukum. Strategi yang disarankan meliputi: penerapan sistem peringatan dini dan masa tenggang (grace period) sebelum penghapusan hak, penetapan skema biaya tahunan yang proporsional dan progresif berdasarkan kategori pemegang paten, penguatan koordinasi lintas lembaga dalam penyediaan dukungan pembiayaan paten, serta optimalisasi digitalisasi manajemen data paten nasional. Melalui langkah-langkah tersebut, negara diharapkan dapat menyeimbangkan fungsi fiskal dan sosial dari kebijakan biaya tahunan, sekaligus memperkuat ekosistem inovasi nasional yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2024 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten. Jakarta, Indonesia: Pemerintah Republik Indonesia, 2024.
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Paten. Jakarta, Indonesia: Pemerintah Republik Indonesia, 2016.
E. Purwaningsih, Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights: Kajian Hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual dan Kajian Komparatif Hukum Paten, 1st ed. Bogor, Indonesia: Ghalia Indonesia, 2005.
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Modul Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Paten. Jakarta, Indonesia: Kementerian Hukum dan HAM RI, 2020.
A. I. Nashrullah, Y. Pebriani, and R. A. P. Sakana, “Optimalisasi Aksesibilitas Pemegang Paten melalui Implementasi Sistem Peringatan Dini dan Penghidupan Kembali (SIPARKA) Guna Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Nasional,” Forschungsforum Law Journal, vol. 2, no. 02, pp. 96–118, 2025, doi: 10.35586/flj.v2i02.11163.
I. Mayasari, “Advokasi Kebijakan Penghapusan Biaya Pemeliharaan Paten pada Entrepreneurial University,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, vol. 17, no. 3, pp. 255–268, 2023, doi: 10.30641/kebijakan.2023.v17.255-268.
Badan Strategi Kebijakan Hukum, Analisis Kebijakan Penyelesaian Piutang Biaya (Jasa) Tahunan Paten. Jakarta, Indonesia: Badan Strategi Kebijakan Hukum, 2023.
J. Matheus and W. C. Shafira, “Legal Protection of Crypto Art Copyright as a Digital Asset Intellectual Property,” Lex Jurnalica, vol. 20, no. 1, pp. 27–36, 2023, doi: 10.47007/lj.v20i1.6162.
Ardiansyah, Risnita, and M. S. Jailani, “Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Ilmiah Pendidikan pada Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,” IHSAN: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 1, no. 2, pp. 1–9, 2023, doi: 10.61104/ihsan.v1i2.57.
P. M. Marzuki, Penelitian Hukum, 19th ed. Jakarta, Indonesia: Prenada Media Group, 2019.
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram, Indonesia: Mataram University Press, 2020.
E. Bardach and E. M. Patashnik, A Practical Guide for Policy Analysis: The Eightfold Path to More Effective Problem Solving, 5th ed. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2016.
M. B. Miles, A. M. Huberman, and J. Saldana, Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook. Tucson, AZ: SAGE Publications, 2014.
A. G. Wibisana, “Keadilan dalam Satu (Intra) Generasi: Sebuah Pengantar Berdasarkan Taksonomi Keadilan Lingkungan,” Mimbar Hukum, vol. 29, no. 2, p. 292, 2017, doi: 10.22146/jmh.19143.
K. Leback, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis terhadap Pemikiran J. S. Mill, John Rawls, Robert Nozick, Reinhold Niebuhr, Jose Porfirio Miranda. Bandung, Indonesia: Nusa Media, 2012.
M. Rohman, “Modernisasi Peradilan melalui E-Litigasi dalam Perspektif Utilitarianisme Jeremy Bentham,” MIYAH: Jurnal Studi Islam, vol. 16, no. 2, pp. 288–301, 2020.
N. D. Rizkia and H. Fardiansyah, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar. Bandung, Indonesia: Widina Bhakti Persada, 2022.