Muhammad Al Rasyed (1), Ridha Wahyuni (2)
General background: Indonesia recognizes customary law communities and their communal land rights as part of the national legal system, yet implementation often clashes with development agendas. Specific background: The indigenous Malay community of Rempang, settled since 1834, faces land acquisition for the Rempang Eco-City National Strategic Project, raising legal and socio-cultural disputes over displacement. Knowledge gap: Although constitutional and statutory frameworks acknowledge customary land rights, practical enforcement and administrative recognition remain weak, particularly when confronted with national development priorities. Aims: This study analyzes the legal status of the Rempang Malay community as a customary law community and evaluates the protection of their ulayat land rights in the context of land acquisition for national development. Results: Findings show that the Rempang Malay community fulfills all substantive legal elements of a customary law society, but lacks full administrative recognition, resulting in weak legal standing during land acquisition processes. The project also demonstrates insufficient meaningful participation and inadequate compensation mechanisms for cultural and spiritual losses. Novelty: This research highlights the discrepancy between de facto recognition of indigenous rights and de jure administrative acknowledgment in large-scale development cases. Implications: Strengthening formal recognition, ensuring free, prior, and informed consent, and adjusting compensation schemes are crucial to achieving development aligned with social justice and legal sustainability.
Highlights:
Keywords: Customary Land Rights, Rempang, Indigenous Community, Legal Protection, Land Acquisition
Sejak sebelum lahirnya negara Indonesia, tatanan hukum adat telah menjadi bagian hidup yang terus beradaptasi dan mengatur perilaku sosial masyarakat. Tatanan adat memperlihatkan keterikatan nilai-nilai tradisional dalam mengatur relasi manusia dengan lingkungannya, dimana tanah di pandang bukan hanya sumber ekonomi, melainkan juga simbol sosial, budaya dan spiritualitas.[1] Sistem hukum nasional yang bersifat majemuk menempatkan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai unsur penting yang wajib dijaga oleh negara melalui perlindungan dan perhormatan konstitusional atas hak-hak asal usul mereka. Sehingga tanah memiliki peran bagi masyarakat aday dalam aktivitas rutin masyarakat; hal tersebut tidak sekadar digunakan untuk mendirikan bangunan, tetapi juga dianggap sebagai rumah terakhir mereka, seperti yang dikatakan “dari tanah, kembali ke tanah”.[2] Karena tanah menjadi sumber utama penghidupan dan identitas masyarakat adat, serta tempat mereka menjalankan hak-hak kepemilikan terhadap sumber daya alam sesuai ketentuan pada Article 15 No. 1 Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989 (No. 169).
Perlindungan konstitusional bagi masyarakat adat ditegaskan melalui rumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional nya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Ketentuan ini mencerminkan pengakuan resmi terhadap kelompok adat sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan resmi diberikan kepemilikan komunal atas area teritorialnya serta lahan yang menjadi peningalan generasi pendahulu. Kepemilikan tanah ulayat dimaknai sebagai harta komunal yang berasal dari pemberian leluhur atau kuasa ilahi, berperan penting dalam menompang kehidupan dan kemakmurah masyarakat adat lintas generasi.[3] Menindaklanjuti mandat konstitusi, pemerintah telah mengatur pengesahan keberadaan komunitas adat beserta hak tradisionalnya melalui beragam instrumen hukum nasional. Ketentuan pada sebagaimana diatur pada Pasal 3 UU No. 5/1960 ditegaskan “hak ulayat diakui selama masih dijalankan dan tidak berseberangan dengan tujuan nasional”. Selanjutnya, terdapat pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) dalam UU No. 39/1999 “menugaskan negara untuk menjaga keberlanjutan identitas kultural masyarakat adat, termasuk hak kolektif mereka atas tanah”. Kemudian pada UU No. 32/2009 dan UU No. 23/2014 turut menyatakan “membuka peluang bagi pengakuan masyarakat adat selama komunitas tersebut masih eksis, dinamis, dan tidak bertentangan dengan prinsip kesatuan negara”. UU No. 27/2007 mempertegas legitimasi hak istimewa kelompok adat pesisir dalam mengelola kekayaan hayati dan non-hayati di wilayah tradisionalnya.
Secara hukum formal, Indonesia memiliki dasar yuridis yang kokoh untuk menjamin keberadaan dan hak komunal masyarakat adat. Namun penerapan terhadap masyarakat adat sering menemui hambatan dan tidak terlaksana secara optimal. Ketidakharmonisan antar peraturan dan lemahnya implementasi di lapangan kerap menimbulkan konflik agraria, di mana hak masyarakat adat diabaikan atas nama kepentingan investasi dan proyek strategis.[4] Eksistensi kasus di Indonesia seperti konflik adat di Rempang menunjukkan terjadinya tumpang tindih antara kepentingan pembangunan nasional dan keberlanjutan hak ulayat masyarakat adat.[5] Keadaan ini menandakan ketidaksinkronan antara ketentuan hukum yang bersifat ideal dengan kenyataan praktis yang dihadapi oleh kelompok adat di berbagai wilayah. Salah satu konflik yang merepresentasikan permasalahan tersebut terjadi pada komunitas etnis Melayu Rempang, Kepulauan Riau. Berdasarkan Permenko No. 7 / 2023, “pemerintah menetapkan Rempang Eco-City sebagai Proyek Strategis Nasional guna mempercepat laju investasi dan pembangunan ekonomi nasional”. Namun, proyek tersebut dilakukan di atas tanah yang telah dihuni masyarakat Melayu asli Rempang yang mereka klaim telah berada di sana secara turun-temurun.[6] Apabila ditelusuri lebih jauh, akar dari pertentangan sosial yang muncul di wilayah Rempang dapat dipisahkan dari persoalan pertanahan yang telah berlangsung lama antara komunitas, terutama masyarakat adat di Kampung Tua dengan BP Batam.
Konflik bermula dari rencana BP Batam untuk membangun PSN Rempang Eco-City sehingga masyarakat harus direlokasi dari tempat tinggal asal mereka di Rempang Galang, Kepulauan Riau untuk proyek Rempang Eco-City.[7] Dampak proyek ini menyebabkan sejumlah warga harus direlokasi ke Tanjung Banun, Batam, sekitar 17 kilometer dari lokasi semula, sebagai kawasan hunian pengganti. Kepala BP Batam menyatakan pemerintah berjanji menyediakan hunian tipe 45 dengan luas tanah 500 meter2 dan harga 120 juta.[8] PSN Rempang Eco-City ditolak oleh masyarakat adat sebab sejumlah perkampungan lama di Rempang mengandung nilai historis dan budaya yang signifikan.[9] Tanah tersebut telah menjadi lingkungan tempat tinggal yang aktif dan terus digunakan oleh masyarakat selama bertahun-tahun, sekaligus menjadi ruang utama bagi aktivitas sosial dan ekonomi mereka. Masyarakat di kawasan itu sudah memiliki status resmi sebagai pembayar pajak tanah dan bangunan, disertai dokumen identitas yang menunjukkan keterikatan mereka dengan lingkungan sosial di daerah tersebut.[10] Apabila mengacu pada pengaturan dalam Pasal 3 UU No. 5 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menegaskan bahwa “hak ulayat masyarakat hukum adat diakui selama masih dijalankan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”, maka sudah seharusnya tujuan pembangunan tidak mengabaikan maupun mengurangi hak-hak pihak yang memiliki tanah.[11] Masyarakat Melayu asli Rempang menilai lahan yang diwarisi dari leluhur adalah bagian dari hak ulayat mereka yang memiliki fungsi sosial, ekonomi, dan spiritual yang melekat, sementara pembangunan Rempang Eco-City dikhawatirkan akan mengubah kondisi sosial ekonomi dan aktivitas keseharian masyarakatnya.[1] Meskipun berbagai peraturan telah menjamin perlindungan yuridis bagi hak-hak komunitas adat termasuk eksistensi tanah hak ulayat nya, namun di dalam implementasi nya tidak demikian ada nya.
Proyek Rempang Eco City berpotensi mengakibatkan hilangnya ruang hidup masyarakat, rusaknya tatanan sosial dan ekonomi, serta terancamnya kelestarian nilai-nilai adat yang telah diwariskan lintas generasi. Permasalahan hukum pun timbul karena terjadi benturan antara hak ulayat masyarakat adat dengan kebijakan pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional. Dengan memperhatikan dampak yang dialami masyarakat dan permasalahan yang muncul, Penulis menilai urgensi penelitian tentang eksistensi dan perlindungan hak ulayat Melayu asli Rempang terhadap pengadaan tanah untuk realisasi proyek prioritas nasional Rempang Eco-City. Guna memperjelas arah dan fokus kajian pada riset ini, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: apakah eksistensi masyarakat Melayu asli Rempang dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat berdasarkan konsepsi hukum nasional, dan bagaimana perlindungan hak ulayat masyarakat Melayu asli Rempang terhadap pengadaan tanah untuk pembangunan PSN.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang berfokus pada norma-norma hukum tertulis dan penerapannya terhadap kasus konkret. Metode ini digunakan untuk menelaah kesesuaian antara ketentuan hukum positif dengan praktik perlindungan hak ulayat masyarakat Melayu asli Rempang dalam pengadaan tanah untuk pembangunan PSN Rempang Eco-City.[13] Penelitian ini menggunakan pendekekatan perundang-undangan dan konseptual. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah berbagai regulasi seperti UUD 1945, UUPA No. 5/1960, UU No. 39/1999, UU No. 2/2012, Perpres No. 78/2023, Keppres No. 28/1992, serta Permendagri No. 52/2014. Pendekatan konseptual digunakan untuk memahami makna dan ruang lingkup konsep masyarakat hukum adat, hak ulayat, serta hubungan antara negara dan masyarakat adat berdasarkan hukum nasional. Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan menganalisis konflik agraria antara masyarakat Melayu asli Rempang dan BP Batam dalam pelaksanaan proyek Rempang Eco-City.[13]
Sumber bahan hukum yang digunakan terdiri atas bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan, putusan MK No. 31/PUU-V/2007 dan No. 6/PUU-VI/2018. Bahan hukum sekunder diperoleh dari literatur, buku, artikel ilmiah, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan hukum agraria, masyarakat adat dan hak ulayat. Bahan hukm tersier mencakup kamus hukum dan ensiklopedia hukum yang digunakan untuk memperjelas istilah hukum dalam penelitian ini.[14] Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitis, yaitu dengan menggambarkan ketentuan hukum yang berlaku kemudian menganalisis penerapannya terhadap fakta hukum di lapangan. Analisis ini bertujuan untuk menilai sejauh mana hukum nasional memberikan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat Melayu asli Rempang di tengah kebijakan pembangunan nasional.
Masyarakat hukum adat yang selanjutnya akan disebut dengan MHA telah bermukim di Rempang sebagai bagian dari sistem masyarakat hukum adat sebab telah menghuni daerah itu sejak masa lampau. Berdasarkan data historis, mereka sudah hidup di sana sejak tahun 1834 di bawah pemerintahan Kerajaan Riau Lingga, memandakan keberadaan mereka mendahului terbentuknya negara Indonesia modern.[15] Pengakuan formal dan dasar hukum atas eksistensi masyarakat Melayu Asli Rempang diatur secara eksplisit pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang isi lengkapnya tercantum “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Sehingga, eksistensi masyarakat adat mendahului terbentuknya Indonesia sebagai negara, maka pemerintah berkewajiban menjaga pengakuan atas keberadaan mereka selama masih berlangsung dan tidak bertentangan dengan nilai kemajuan bangsa serta dasar konstitusional NKRI sebagaimana diatur oleh hukum.[16]
Lebih lanjut, Pasal 3 UU No. 5 / 1960 menegaskan bahwa “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi”. Sehingga, hukum nasional mengakui dua syarat pokok pengakuan MHA: (a) eksistensi masyarakat adat secara nyata masih hidup, dan; (b) pelaksanaan hak-hak adat mereka tetap sejalan dengan kepentingan nasional maupun peraturan yang berlaku. Kendati regulasi spesifik mengenai ketika status MHA belum ditentukan, MK mengacu pada Putusan No. 31/PUU/V/2007 dan Putusan No. 6/PUU-6/2018, keduanya bertanggal 18 Juni, telah memberikan makna konstitusional terhadap istilah “kesatuan masyarakat hukum adat” pada ketentuan pasal 18B ayat (2) dalam UUD 1945. Berdasarkan amar keputusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan secara eksplisit “keberadaan masyarakat adat diakui secara nyata (actual existence) jika dari aspek lokasi, garis keturunan, serta fungsi sosialnya” menunjukkan pemenuhan unsur-unsur sebagai berikut: (a) terdapat komunitas yang memegang rasa kebersamaan dan identitas kolektif sebagai satu kesatuan sosial; (b) terdapat pranata sistem kepemimpinan tradisional; (c) terdapat aset budaya serta barang-barang bernilai tradisional; (d) terdapat sistem aturan dan ketentuan tradisional; (e) terdapat area tertentu, terutama bagi komunitas hukum adat yang berbasis wilayah.[17]
Sementara itu, di dalam UU No. 32 / 2009 memberikan dimensi ekologis terhadap definisi MHA, yaitu “masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukin di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”. Senada dengan itu, UU No 27 / 2007 juga mengenal “istilah masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional, dengan penekananan pada keterikatan masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan nilai-nilai tradisional yang diwariskan secara turun-temurun”. Meskipun UU No. 39/ 1999 tidak memberikan definisi yang jelas untuk MHA, di dalam nya menjamin “identitas budaya masyarakat adat, termasuk hak atas tanah ulayat, yang dianggap sebagai hak asasi manusia oleh negara.[18]
Berdasarkan temuan normatif, masyarakat Melayu asli Rempang memiliki struktur sosial yang berlandaskan adat dan genealogis, dengan keberadaan Datuk atau tokoh adat yang memimpin dalam urusan sosial maupun ritual budaya.[19] Mereka menempati wilayah turun-temurun di Pulau Rempang dengan batas-batas yang diketahui secara adat, menjalankan sistem hukum adat dalam hal perkawinan, warisan, dan pemanfaatan sumber daya alam.[20] Dengan karakteristik tersebut, secara sosiologis dan antropologis, masyarakat Melayu Rempang telah memenuhi parameter sebagai MHA yang sebagaimana ditetapkan dalam hukum nasional. Namun demikian, secara yuridis formal, pengakuan tersebut masih terkendala karena belum adanya penetapan resmi oleh pemerintah daerah sesuai mekanisme Permendagri No. 52 / 2014. Artinya, walaupun secara faktual masyarakat Melayu asli Rempang memenuhi unsur sebagai MHA, eksistensi nya masih dalam tahap pengakuan sosial, belum sampai pada pengakuan administratif oleh pemerintah.[21]
Dengan mencermati ketentuan konstitusional dan doktrin hukum yang berlaku, masyarakat Melayu asli Rempang dapat dikategorikan sebagai MHA de facto, yakni komunitas yang memiliki seluruh unsur substantif masyarakat hukum adat namun belum memperoleh pengakuan de jure.[22] Status ini menimbulkan konsekuensi hukum bahwa mereka secara normatif berhak atas perlindungan terhadap hak-hak adatnya, namun impelementasinya sangat bergantung pada pengakuan dan kebijakan pemerintah daerah. Dengan demikian, eksistensi masyarakat Melayu asli Rempang secara konseptual telah memenuhi kualifikasi MHA berdasarkan hukum nasional, tetapi secara adminsitratif masih membutuhkan penguatan melalui proses pengakuan formal oleh pemerintah daerah.[23]
Secara konstitusional, dasar utama pengaturan kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia berakar pada UUD 1945. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan tersebut menempatkan negara sebagai pemegang mandat publik untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam demi kepentingan umum. Konsep “penguasaan oleh negara” tidak dapat dimaknai sebagai kepemilikan absolut negara atas tanah. Kewenangan tersebut tidak dapat digunakan secara absolut karena harus tetap menghormati hak ulayat masyarakat hukum adat yang diakui oleh konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Perlindungan serta pengakuan negara terhadap hak ulayat bukan hanya bersifat deklaratif, melainkan merupakan jaminan konstitusional yang termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Dalam Pasal 2 UUPA No. 5 /1960 disebutkan bahwa ”memberikan kewenangan kepada negara untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pemanfaatan tanah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga, negara berkewajiban untuk mengharmonisasikan antara kepentingan pembangunan nasional dengan perlindungan hak ulayat masyarakat adat, agar tidak terjadi pengingkaran terhadap prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan hukum adat.
Dalam hal hak ulayat, Pasal 3 UU No. 5 / 1960 memberikan pengakuan melalui bunyi pasalnya, bahwa “mengakui hak kolektif masyarakat adat atas tanah sebagai hak ulayat”.[24] Kemudian, ditegaskan kembali dalam PP No. 18/2021 yang mengatur tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang pada prinsip nya adalah “pengakuan bersyarat di mana negara mengakui hak ulayat selama masyarakat adat masih ada dan pelaksanaanya tidak bertentangan dengan kepentingan umum”. Selain itu, Permendagri No. 52/2014 memberikan mekanisme bagi pemerintah daerah untuk melakukan verifikasi, validasi dan penetapan masyarakat hukum adat serta wilayah adatnya. Meskipun demikian, prinsip ini seringkali berhadapan dengan proyek strategis nasional, seperti halnya Rempang Eco-City, yang melibatkan kepentingan investasi dan pembangunan ekonomi.
Proyek strategis nasional yang bernama Rempang Eco-City, sebagai bagian dari PSN, didirikan pada kawasan yang memiliki total luas 567,6 ha serta telah lama menjadi hunian sekitar 1.000 keluarga dari lima kampung tua masyarakat Melayu asli Rempang, pada umum nya bekerja sebagai nelayan dan petani.[25] Negara berinisiatif dengan tujuan mengembangkan kawasan industri, perdagangan, dan wisata guna menarik investasi, memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Namun demikian, dalam hukum agraria nasional, keberadaan masyarakat Melayu asli Rempang berhadapan dengan pelaksanaan proyek Rempang Eco-City menimbulkan permasalahan yuridis tentang perlindungan hak ulayat mereka sebagai masyarakat hukum adat.
Sementara itu, merujuk pada Permenko Perekonomian No. 7/2023 difokuskan pada peningkatan manfaat ekonomi bagi warga di sekitar wilayah proyek strategis nasional. Namun, di balik pengesahan ini, muncul ketegangan sosial yang melibatkan komunitas lokal, terutama masyarakat Melayu yang menjadi penduduk asli kawasan Rempang. Akar permasalahan tersebut bermula pada perselisihan lama terkait kepemilikan lahan antara warga Kampung Tua dan pihak BP Batam selaku otoritas pengelola kawasan perdagangan bebas.[26] Berdasarkan Kepres No. 41/1973, “BP Batam memperoleh otoritas penuh dalam pengaturan dan administrasi lahan di wilayah Batam, di mana hak kepemilikan tetap berada di bawah pengelolaan lembaga tersebut, sedangkan masyarakat hanya dapat menerima hak guna bangunan”. Ketentuan ini kemudian diperjelas dalam Peraturan Kepala BP Batam No. 11 Tahun 2023 mengenai Tata Kelola Pertanahan. Sehingga, peraturan ini menjadi dasar kewenangan bagi BP Batam dalam melakukan relokasi terhadap masyarakat Melayu asli Rempang guna mewujudkan pembangunan PSN Rempang Eco-City. Di sisi lain, dalam UU No. 2/2012 menegaskan bahwa “proses pengadaan tanah harus memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum, partisipasi, dan keberlanjutan.[27] Namun, pada fakta nya salah satu asas tersebut, yaitu partisipasi, tidak terpenuhi karena masyarakat adat tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan sejak tahap awal proyek strategis nasional ini direncana kan.[28]
Akibat nya, masyarakat Melayu asli Rempang tidak memiliki ruang untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya sejak tahap awal perencanaan. Kondisi ini menimbulkan penolakan terhadap kebijakan relokasi karena mereka merasa hak atas tanah dan ruang hidupnya diabaikan.[10] Tanah yang mereka tempati bukan hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga nilai sosial dan religius yang menjadi bagian penting dari identitas budaya mereka.[27] Ketidakterlibatan masyarakat adat juga menunjukkan lemahnya pelaksanaan prinsip keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA No. 5 / 1960, yang seharusnya menjamin kemakmuran rakyat secara adil dan berkelanjutan.[29]
Konflik Pulau Rempang menunjukan adanya benturan antara norma hak menguasai negara dan hak ulayat. Pemerintah melalui otoritas BP Batam, menggunakan legitimasi pembangunan PSN Rempang Eco-City berdasarkan kewenangan negara atas tanah. Namun, tindakan tersebut bertentangan dengan pengakuan terhadap MHA sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUPA yang menegaskan ”pengakuan terhadap hak ulayat selama masih dijalankan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.[24] Dalam praktiknya, pelaksanaan pengadaan tanah di Rempang tidak mencerminkan asas partisipasi, keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 2/2012, karena masyarakat adat tidak dilibatkan secara bermakna (meaningful participation) dalam proses musyawarah.
Selain itu, ganti rugi berupa uang dan rumah relokasi yang ditawarkan kepada masyarakat Melayu asli Rempang tidak sebanding dengan kehilangan hak ulayat yang bersifat spiritual, sosial, dan budaya.[2] Tanah ulayat tidak sekadat memiliki nilai ekonomi, tetapi merupakan bagian dari identitas dan keberlanjutan hidup komunitas adat.[22] Sehingga, persoalan hukum Rempang bukan hanya terkait pengadaan tanah, melainkan juga pelanggaran terhadap kewajiban konstitusional negara dalam menghormati dan melindungi hak masyarakat adat. Negara seharusnya mengharmonisasikan dua norma hukum ini tanpa mengorbankan hak asal-usul masyarakat adat yang telah eksis secara turun-temurun.[30]
Dengan demikian, masyarakat Melayu asli Rempang akan terancam keberadaanya mengingat pemerintah hanya menjanjikan untuk memberikan ganti kerugian kepada masyarakat Melayu asli Rempang. Padahal, ganti kerugian berupa uang kompensasi bagi masyarakat Melayu asli Rempang tidak sebanding dengan memindahkan masyarakat Melayu Asli Rempang dari tempat asalnya ke tempat yang lain. Kebijakan ini tidak sekadar menunjukkan kesewenang-wenangan penyelenggaran pemerintah, melainkan juga upaya secara terstruktur, sistematis, dan massif untuk mencabut identitas masyarakat Melayu asli Rempang dari tanah ulayatnya. Perbuatan demikian tidak sejalan dengan semangat konstitusi yang disampaikan secara gamblang pada bagian Pasal 18B ayat (2) Konstitusi 1945, yang menandaskan “tanggung jawab negara untuk mengakui serta melestarikan keberadaan masyarakat hukum adat”.
Karena konflik agraria antara masyarakat Melayu asli Rempang dan BP Batam belum menemukan jalan keluar, kebijakan pemerintah yang tetap melanjutkan proyek Rempang Eco-City justru menimbulkan ambiguitas hukum bagi MHA. Proses relokasi terhadap penduduk sekitar menyebabkan lenyapnya aspek identitas adat karena mereka tidak lagi memiliki wilayah tetap, keberadaan suatu daerah merupakan bagian mendasar dari identitas Mahkamah Konstitusi komunitas adat hukum sesuai keputusan MK No. 31/PUU/V/2007 serta No. 6/PUU-6/2018. Di samping itu, dengan melanjutkan pembangunan Rempang Eco-City, maka pemerintah sejatinya telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat, khususnya masyarakat Melayu asli Rempang karena menggusur secara paksa tanpa persetujuan (meeting of mind). Hal ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat Melayu asli Rempang, melainkan juga menjadikan pembangunan Rempang Eco-City menjadi tidak memiliki dasar hukum yang memadai.
Dalam kerangka hukum nasional, negara memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan hak-hak MHA melalui kebijakan afirmatif, terutama dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan. Perlindungan ini dapat dilakukan melalui beberapa langkah yang melibatkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak adat. Salah satu langkah penting adalah penetapan formal masyarakat Melayu asli Rempang sebagai masyarakat hukum adat oleh pemerintah daerah, sesuai dengan Permendagri 52/2014, yang memberikan landasan hukum bagi pengakuan eksistensi mereka. Selain itu, penyusunan peta wilayah adat yang terintegrasi dalam rencana tata ruang daerah juga penting memastikan bahwa hak-hak atas tanah ulayat masyarakat adat terakomodasi dalam perencanaan pembangunan.
Penerapan prinsip free, prior, and informed consent dalam setiap tahapan pengadaan tanah menjadi aspek krusial untuk menjaga partisipasi aktif dan persetujuan masyarakat adat terhadap proyek pembangunan.[30] Selanjutnya, penyesuaian terhadap skema kompensasi atau ganti kerugian berpedoman pada UU No. 2 / 2012 dan PP No. 19 / 2021. Kedua regulasi tersebut mengatur bahwa pemberian ganti kerugian wajib memperhatikan keadilan, kelayakan, dan keberlanjutan sosial. Dalam hal masyarakat adat, kompensasi harus disesuaikan dengan nilai sosial dan budaya yang melekat pada tanah ulayat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 19 / 2021, sehingga dapat membantu menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan budaya lokal. Dengan langkah-langkah tersebut, pembangunan Rempang Eco-City dapat dilaksanakan tanpa mengorbankan eksistensi masyarakat adat, sehingga prinsip “pembangunan berkeadilan” dapat tercapai secara nyata dan memberikan manfaat yang merata bagi semua pihak yang terlibat.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi masyarakat Melayu asli Rempang dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat secara de facto berdasarkan konsepsi hukum nasional. Komunitas ini memiliki seluruh unsur substantif sebagai MHA yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi, mulai dari ikatan sosial, kepemimpinan tradisional, sistem hukum adat, hingga wilayah adat yang diwariskan turun-temurun. Mereka telah menetap di Pulau Rempang sejak masa pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga pada tahun 1834, jauh sebelum berdirinya negara Indonesia. Namun, secara adminisitratif, pengakuan terhadap status hukum adat mereka belum ditetapkan pemerintah daerah sesuai mekanisme Permendagri No. 52 / 2014. Dalam konteks pembangunan PSN Rempang Eco-City, perlindungan terhadap hak ulayat Melayu asli Rempang belum terlaksana secara efektif. Proses pengadaan tanah dilakukan tanpa partisipasi bermakna dari masyarakat adat, sehingga mengabaikan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan penghormatan terhadap identitas budaya sebagaimana diamanatkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 3 UUPA No. 5 / 1960.
Untuk menjamin keberlanjutan hak masyarakat adat di tengah agenda pembangunan nasional, pemerintah daerah perlu segera menetapkan masyarakat Melayu asli Rempang sebagai MHA melalui mekanisme verifikasi dan validasi formal. Pemerintah pusat bersama BP Batam juga perlu meninjau kembali kebijakan pengadaan tanah agar melibatkan masyarakat adat secara aktif melalui prinsip free, prior, and informed consent. Mekanisme kompensasi harus memperhitungkan nilai sosial, budaya, dan spiritual tanah ulayat, bukan hanya nilai ekonominya. Selain itu, diperlukan pembentukan lembaga independent yang mengawasi pelaksanaan perlindungan MHA dalam proyek strategis nasional serta integrase peta wilayah adat ke dalam rencanca tata ruang daerah. Revisi terhadap peraturan pelaksanaan pengadaan tanah juga penting dilakukan dengan menambahkan klausul perlindungan masyarakat adat secara eksplisit. Sehingga dengan saran dan rekomendasi ini akan memastikan pembangunan Rempang Eco-City berlangsung secara adil, berkelanjutan, dan selaras dengan prinsip penghormatan terhadap keberagaman hukum adat di Indonesia.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dalam proses penyusunan artikel ilmiah ini. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada dosen pembimbing, keluarga, teman, dan sahabat yang telah memberikan masukan berharga dalam penyempurnaan penelitian ini. Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu hukum, khusus nya dalam upaya perlindungan hak masyarakat hukum adat di tengah kebijakan pembangunan nasional.
M. N. Zulmi, “Status Pengakuan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Proyek Pembangunan Rempang Eco-City,” Conference on Innovation and Application of Science and Technology, vol. 6, no. 1, p. 298, Dec. 2023, doi: 10.31328/ciastech.v6i1.5274.
N. L. Fadhilah, W. Atika, D. Ramadhan, and D. S. Martha, “Analisa Penerapan Proyek Rempang Eco City yang Mengabaikan Hak Ulayat dan Melukai Keadilan Masyarakat Adat,” Perahu (Penerangan Hukum) Journal of Legal Studies, vol. 12, no. 1, pp. 70–86, 2024, doi: 10.51826/perahu.v12i1.953.
N. E. E. Azaria, “Pengakuan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk Pembangunan Nasional,” Rewang Rencang Journal of Lex Generalis, vol. 5, no. 9, pp. 1–14, 2024, doi: 10.56370/lex.generalis.
I. Lubis, T. Siregar, D. I. S. Lubis, R. Adawiyah, and A. H. Lubis, “Integrasi Hukum Adat dalam Sistem Hukum Agraria Nasional: Tantangan dan Solusi dalam Pengakuan Hak Ulayat,” Tunas Agraria, vol. 8, no. 2, pp. 143–158, 2025, doi: 10.31292/jta.v8i2.401.
N. Ambarsari, A. Tista, M. Septarina, S. Herlina, and Y. S. Nadiya, “Eksistensi Kedudukan Masyarakat Adat dalam Tata Hukum Indonesia,” Journal of Collaborative Science, vol. 8, no. 2, pp. 1173–1179, 2025, doi: 10.56338/jks.v8i2.7042.
BBC News Indonesia, “Rempang Eco City: Bentrokan Aparat dan Warga Kampung Adat yang Terancam Tergusur Proyek Strategis Nasional,” Apr. 12, 2025.
A. Setiawan, “Kronologi Insiden Pulau Rempang, Masyarakat Tolak Direlokasi Karena Hal Ini,” Viva News & Insight.
BP Batam, “BP Batam Komitmen Tuntaskan Investasi Rempang Eco City,” BP Batam, 2025.
Tempo.co, “Rempang Kembali Memanas: Kronologi Lengkap Konflik dan Perjalanan Kasus Agraria Itu Hingga Sekarang,” Tempo, 2025.
A. W. Pramesti and P. E. Prayoga, “Human Rights Impunity in the Implementation of the Rempang Eco City National Strategic Project Policy,” Journal of Constitutional and Government Studies, pp. 227–237, May 2025, doi: 10.20885/JCGS.vol1.iss2.art6.
M. Togatorop, Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Yogyakarta, Indonesia: STPN Press, 2020.
A. R. Rahmawati, A. I. Inaaya, F. A. Syifa, Behestizahra, and N. P. Fauzyyah, “Analisis Konflik Pulau Rempang terhadap Hak Atas Tanah Masyarakat Adat dalam Perspektif Hukum Agraria,” Van Java Law Journal, vol. 1, no. 3, pp. 188–196, Mar. 2025, doi: 10.64578/vjlj.v1i03.116.
P. M. Marzuki, Penelitian Hukum, Revised ed. Jakarta, Indonesia: Kencana, 2021.
S. Soekanto and S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2019.
M. R. Hidayat, “Kontekstualitas Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sebagai Kesadaran Hukum di Indonesia,” Pikukuh Journal of Law and Local Wisdom, vol. 1, no. 2, pp. 112–126, 2024, doi: 10.62870/pkh.v1i2.29066.
A. T. D. A., “Guru Besar FH UII: Frasa ‘Mengakui’ dan ‘Menghormati’ untuk MHA Tidak Tepat,” Hukum Online, 2025.
I. N. Rahman, A. Triningsih, A. H. W., and N. Kurniawan, “Dasar Pertimbangan Yuridis Kedudukan Hukum Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi,” Journal of Constitutional Law, vol. 8, no. 5, pp. 768–802, 2011, doi: 10.31078/jk856.
N. H. P. Wiratraman, Y. Arizona, Susilaningtias, M. R. Yusmira, and S. Latjupa, Antara Teks dan Konteks: Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta, Indonesia: HUMA, 2010.
N. S. Tanjung, “Struktur Sosial dalam Masyarakat Nelayan di Rempang Kepulauan Riau,” Journal of Law and Human Rights Wara Sains, vol. 2, no. 11, pp. 1073–1080, 2023, doi: 10.58812/jhhws.v2i11.801.
F. Yanti and N. Nina, “Malam Tujuh Likur pada Masyarakat Melayu Rempang Cate Kota Batam,” History Journal of History Education Studies Program, vol. 4, no. 2, pp. 99–104, 2019, doi: 10.33373/hstr.v4i2.1954.
J. Gunawan, “Implementasi Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” IUS: Journal of Legal Studies and Justice, vol. 6, no. 1, p. 156, 2018, doi: 10.29303/ius.v6i1.536.
J. Thontowi, “Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat dan Tantangannya dalam Hukum Indonesia,” Ius Quia Iustum Law Journal, vol. 20, no. 1, pp. 21–36, Jan. 2013, doi: 10.20885/iustum.vol20.iss1.art2.
B. Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Jakarta, Indonesia: Djambatan, 2008.
S. Safiuddin, “Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Menguasai Negara di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai,” Jurnal Mimbar Hukum, vol. 30, no. 1, p. 63, Feb. 2018, doi: 10.22146/jmh.16681.
M. Irham and A. Ajengrastri, “‘The Power of Emak-emak’ Pulau Rempang Melawan Relokasi – ‘Kami Tak Ada Senjata, Kami Taruhan Nyawa Saja,’” BBC News Indonesia, 2025.
R. Wahyuni, Taupiqqurrahman, and U. Hasanah, “Menyoal Kepastian Hak atas Tanah Masyarakat Melayu Asli: Kawasan Pesisir Kepulauan Rempang, Batam berdasarkan Konsepsi Hukum Agraria Nasional,” Jurnal Hukum Mimbar Justitia, vol. 9, no. 1, p. 141, 2023, doi: 10.35194/jhmj.v9i1.3773.
E. Triani, N. F. Nasution, and A. N. Magello, “Kedudukan Hak atas Tanah Masyarakat Adat di Pulau Rempang dalam Pembangunan Rempang Eco City,” Journal of Agrarian Studies and Food Sovereignty, vol. 2, no. 2, pp. 20–26, Sep. 2023, doi: 10.32734/jkakp.v2i2.14048.
N. D. Puspita et al., “Konflik Agraria Masyarakat Adat Melayu Tua dalam Pembangunan Eco City di Pulau Rempang Batam,” Brawijaya Journal of Social Science, vol. 4, no. 1, pp. 46–62, 2024, doi: 10.21776/ub.bjss.2024.004.01.4.
D. S. Paramyta, G. Nadapdap, M. R. Srikusuma, and J. P. S. Simbolon, “Land Acquisition Mechanism for Public Interest on Traditional Land: A Study of Rempang Eco City,” Journal of Medan Agama Research, vol. 15, no. 2, p. 168, Dec. 2024, doi: 10.58836/jpma.v15i2.22870.
N. I. Nidasari, “Peluang Penerapan FPIC sebagai Instrumen Hukum Progresif untuk Melindungi Hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi,” Indonesian Journal of Environmental Law, vol. 1, no. 2, pp. 50–85, Jul. 2014, doi: 10.38011/jhli.v1i2.15.