Risdayanti Risdayanti (1), Titin Ruliana (2), Meiki Permana (3)
General Background: Bureaucratic reform in Indonesia emphasizes simplifying organizational structures and improving the professionalism of civil servants through the Functional Position Equalization Policy. Specific Background: This policy converts structural positions at echelons III and IV into competency-based functional roles, requiring employees accustomed to hierarchical systems to adapt to performance-based frameworks, influencing motivation and job satisfaction. Knowledge Gap: Despite the implementation of this policy, the Samarinda City Government’s SAKIP rating has remained stagnant at grade B from 2022 to 2023, indicating limited improvement in organizational performance. Aims: This study investigates how the functional position equalization policy affects organizational performance, with work motivation and job satisfaction as mediating variables. Results: Using a quantitative cross-sectional design with data from 118 respondents analyzed via SEM–WarpPLS, findings reveal that the policy significantly enhances performance, with work motivation acting as a full mediator and job satisfaction as a partial mediator. Novelty: The study integrates Herzberg’s Two-Factor Theory to explain how policy-induced structural changes influence psychological factors in public organizations. Implications: Effective implementation of this policy depends on fostering intrinsic motivation and employee satisfaction to optimize public-sector performance transformation.
Highlights:
Keywords: Functional Position Equalization, Work Motivation, Job Satisfaction, Organizational Performance, Herzberg’s Theory
Pendahuluan
Salah satu fokus utama Reformasi Birokrasi Pemerintah Republik Indonesia adalah penyetaraan jabatan. Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional, menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional, 1. Pegawai ASN yang menduduki jabatan fungsional adalah pejabat fungsional. Jabatan fungsional mencakup tugas dan fungsi yang berkaitan dengan pelayanan fungsional berdasarkan keahlian dan keterampilan pegawai tersebut. Penggabungan Pejabat Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional atau Penyetaraan Jabatan adalah proses mengintegrasikan Pejabat Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional yang setara.
Dalam kajian manajemen sumber daya manusia (MSDM), perubahan kebijakan yang berdampak pada ASN harus dikelola dengan baik agar transisi dapat berjalan secara optimal. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah manajemen perubahan (change management), yang menekankan pentingnya komunikasi yang efektif, pelatihan berkelanjutan, serta strategi adaptasi yang memadai bagi pegawai. Dengan adanya pendekatan yang tepat, diharapkan kebijakan penyetaraan jabatan fungsional dapat meningkatkan profesionalisme ASN tanpa mengurangi tingkat kepuasan dan motivasi mereka dalam bekerja. MSDM sebagai alat strategis untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam organisasi. Konsep dan implementasi perencanaan tenaga kerja berbasis kompetensi. Pengelolaan SDM dalam menghadapi disrupsi digital dan perubahan lingkungan kerja. Motivasi kerja dan kepuasan karyawan sebagai faktor penentu keberhasilan organisasi. Strategi kompensasi dan benefit untuk meningkatkan retensi pegawai 2. Buku “Armstrong's Handbook of Human Resource Management Practice” 3, mendefinisikan Manjemen Sumber Daya Manusia (MSDM), sebagai Konsep dan praktik HRM disesuaikan dengan tren saat ini yakni dengan penglibatan karyawan dan motivasi kerja guna meningkatkan produktivitas dengan metode manajemen karyawan yang berbasis kompetensi. MSDM berbasis teori sumber daya manusia dan menekankan pengembangan keterampilan jangka panjang serta sistem manajemen kinerja dan penghargaan untuk meningkatkan kepuasan kerja. Faktor-faktor utama yang mendukung dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), 4 adalah: Implementasi Teknologi; Lingkungan Kerja; Ketersediaan Talenta Berkualitas; Pelatihan dan Pengembangan; Budaya Kerja; Proses Rekrutmen; Tunjangan Kesehatan; Latihan Kepemimpinan; Hubungan Antar Karyawan; Jenjang Karir; Bonus dan Cuti.
Seperti penelitian 5, menguji mekanisme yang mendasari di dalam apa yang disebut kotak hitam yang menghubungkan sistem kerja berkinerja tinggi / high-performance work systems (HPWS) dengan kesejahteraan karyawan dan kinerja pekerjaan di bidang perhotelan. Servey sampel sebanyak 494 pekerja hotel, variabel-variabel penelitian HPWS, komitmen organisasi, motivasi, kepuasan kerja, kualitas hidup (QoL), dan kinerja pekerjaan individu. Menggunakan PLS-SEM, dan mendapatkan bahwa motivasi karyawan, komitmen organisasi, kepuasan kerja, dan QoL dipengaruhi secara langsung oleh HPWS. Selain itu, motivasi pekerja dan komitmen organisasi mempengaruhi secara positif kepuasan kerja, yang akan meningkatkan QoL pekerja. Selanjutnya, tingkat kepuasan dalam bekerja dan kualitas hidup secara signifikan mempengaruhi kinerja pekerjaan individu. Studi ini memberikan sumbangan untuk mengidentifikasi apa yang disebut sebagai kotak hitam yang mengaitkan HPWS dengan hasil kerja serta pada pengembangan kajian yang menghubungkan kesejahteraan pegawai dengan kinerja mereka. Dari perspektif manajerial, industri perhotelan perlu menjadikan investasi dalam HPWS sebagai prioritas, karena cara desain dan penerapannya berpengaruh terhadap sikap dan perilaku karyawan. Penelitian selanjutnya sebaiknya fokus pada kumpulan praktik, alih-alih melihat dampak keseluruhan HPWS terhadap sikap dan perilaku karyawan.
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Organisasi, menurut 6 bahwa efek dari ketahanan organisasi yang dinamis terhadap kepuasan kerja di perusahaan yang telah melakukan restrukturisasi, hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja bisnis bersifat terpisah, yang menunjukkan bahwa kepuasan dapat berdampak pada kinerja melalui faktor lain. Sementara hasil penelitian 7 menegaskan, bahwa setiap elemen dari kepuasan kerja berpengaruh besar terhadap kepuasan karyawan dan oleh karena itu, berdampak pada komitmen terhadap organisasi serta hasil kinerja perusahaan.
Hasil penelitian 8 menunjukkan, bahwa peralihan jabatan meningkatkan produktivitas, efisiensi, motivasi, dan kepuasan karyawan. Selain itu, Peralihan jabatan juga mengurangi birokrasi, meningkatkan fleksibilitas / memudahkan pengambilan keputusan, dan menyebarluaskankan pengetahuan dan keterampilan. Untuk mengidentifikasi masalah, pimpinan dinas harus dilibatkan dan masalah keterampilan harus segera ditangani. Keberlanjutan transisi posisi dijamin melalui pengembangan fungsi jabatan, penetapan syarat kompetensi, pemetaan tugas, dan persiapan staf. Langkah-langkah tersebut dapat dikatakan berhasil dalam peralihan dari jabatan struktural menjadi jabatan fungsional di Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah.
Kinerja Pemerintah sebelumnya dianggap terlalu panjang alurnya dalam menyelesaikan sebuah urusan, pekerjaan menjadi lama dan menumpuk, kurang efisien, serta menambah tingkat stress pegawai yang berdampak pada kinerja organisasi. Berdasarkan hasil evaluasi SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) ditahun 2023, Kota Samarinda masih berada pada status B, dari tahun sebelumnya, 2022 pun masih sama kinerja tidak meningkat ataupun menurun, baik sebelum terjadi kebijakan penyetaraan jabatan ini diterapkan ataupun setelah diterapkan.
Menurut Data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tahun 2023, Nilai Indeks SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) Pemerintah Daerah Kabupaten Kota di Wilayah Provinsi Kalimantan Timur hampir semua bernilai B, kecuali Kabupaten Mahakam Ulu CC. Sebagaimana dalam tabel berikut :
[Tabel 1.disini]
Dari perspektif teori motivasi, kebijakan ini juga memiliki implikasi yang luas. Teori Dua Faktor Herzberg9, misalnya, menjelaskan bahwa penghapusan jabatan struktural dapat menghilangkan faktor pemeliharaan seperti status, penghargaan, dan otoritas yang sebelumnya diperoleh ASN dalam jabatan struktural. Teori Dua Faktor Herzberg digunakan sebagai Grand Theory dalam menganalisis dampak dan pengaruh Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap motivasi, kepuasan kerja, dan kinerja organisasi. Kebijakan ini mengubah struktur jabatan di organisasi dengan mengalihkan pegawai dari jabatan struktural ke jabatan fungsional, yang dapat mempengaruhi kedua faktor dalam teori Herzberg, yaitu faktor motivasional dan faktor pemeliharaan. Dalam konteks kebijakan penyetaraan jabatan fungsional, Teori Dua Faktor Herzberg dapat digunakan untuk memahami bagaimana kebijakan ini mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja ASN. Teori dua faktor, yang sering disebut sebagai teori motivasi-higienis oleh Herzberg, mengemukakan bahwa di lingkungan kerja terdapat elemen-elemen tertentu yang mendorong kepuasan kerja, sedangkan berbagai elemen lainnya yang berbeda dapat menimbulkan ketidakpuasan, dan keduanya beroperasi secara terpisah.Teori ini dikembangkan oleh psikolog Frederick Herzberg10.
Kota Samarinda telah berhasil mencapai indeks B yang bermakna bahwa telah terdapat gambaran penerapan AKIP yang sudah baik pada beberapa organisasi perangkat daerah, namun masih terdapat beberapa organisasi perangkat daerah membutuhkan sedikit perbaikan serta komitmen dalam manajemen kinerja dan SDM. Berdasarkan data dari Inspectorat Daerah Kota Samarinda, sebanyak 4 perangkat daerah di penilaian A, 16 perangkat sudah memperoleh penilaian BB dan 12 perangkat daerah memperoleh penilaian B. Sebanyak 8 perangkat daerah yang masih di CC dan C. Capaian ini tentu masih perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa tujuan pembangunan yang telah ditetapkan Pemerintah Kota Samarinda dalam perencanaan strategisnya dapat tercapai. Dengan demikian, capaian predikat B ini tidak dijadikan sebagai titik akhir, tetapi justru sebagai titik awal untuk mendorong transformasi menuju pengelolaan kinerja yang lebih akuntabel, efektif, dan berorientasi pada hasil yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Kota Samarinda.
Berdasarkan hasil evaluasi AKIP menunjukkan bahwa dari empat komponen penilaian SAKIP yaitu perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi akuntabilitas kinerja internal. Pemerintah Kota Samarinda masih cukup rendah pada aspek Pengukuran Kinerja dengan gap sekitar 57,4% dari nilai maksimal 30%. Rendahnya capaian pada komponen Pengukuran Kinerja menunjukkan bahwa masih terdapat tantangan dalam penerapan mekanisme pengukuran yang efektif dan berbasis hasil (outcome). Adapun beberapa catatan hasil evaluasi AKIP Tahun 2024 oleh Kemenpan-RB yaitu: (1) Rumusan sasaran strategis dan indikator kinerja pada perencanaan pemerintah daerah dan perangkat daerah belum berorientasi hasil dan indikator kinerja belum SMART; (2) Perlu adanya keselarasan dokumen perencanaan pada perangkat daerah meliputi Renstra, IKU, dan perjanjian kinerja; (3) IKU pada pemerintah daerah dan perangkat daerah dilengkapi dengan formulasi perhitungan tiap indikator; (4) Perangkat daerah perlu melakukan pemantauan atas capaian kinerja unit dibawahnya secara berjenjang serta mengaitkan kinerja organisasi dengan kinerja individu; (5) Memperbaiki penyusunan rencana aksi agar mendukung pencapaian kinerja serta di breakdown secara triwulanan (6) Meningkatkan kualitas laporan kinerja pada pemerintah daerah dan perangkat daerah mengacu pada Permenpan-RB No. 53/ 2014; (7) Menggunakan informasi capaian kinerja pada laporan kinerja sebagai dasar penentuan target tahun selanjutnya; (8) Meningkatkan kualitas laporan hasil evaluasi dengan menyajikan temuan dan rekomendasi evaluasi akuntabilitas internal.
Secara umum, perencanaan kinerja organisasi perangkat daerah di Kota Samarinda sudah berupaya untuk selaras dengan RPJMD, Renstra, dan Perjanjian Kinerja. Namun, masih ditemukan beberapa kendala seperti perbedaan pemahaman antar organisasi perangkat daerah mengenai IKU (Indikator Kinerja Utama) dan kesulitan dalam menghubungkan program/kegiatan dengan sasaran strategis yang lebih luas. Dengan mencermati berbagai catatan dan rekomendasi yang disampaikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dalam Laporan Hasil Evaluasi Implementasi SAKIP, Pemerintah Kota Samarinda perlu melakukan langkah-langkah strategis yang terarah dan berkelanjutan, ditambah lagi rendahnya capaian pada komponen “Pengukuran Kinerja” untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai kinerja organisasi Pemerintah Kota Samarinda dari segi manajemen SDM, khususnya pasca penyederhanaan birokrasi dan penyetaraan jabatan fungsional yang seyogyanya berjalan sesuai dengan harapan efektif dan efisien pemerintahan di daerah.
Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Organisasi. Motivasi kerja memainkan peran penting dalam pengembangan organisasi, karena meningkatkan produktivitas dan efektivitas karyawan 11. Motivasi merupakan faktor kunci dalam meningkatkan komitmen karyawan dan dianggap sebagai salah satu elemen fundamental bagi keberhasilan suatu organisasi. Temuan empiris membuktikan bahwa motivasi berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, 12. Berbeda hasil penelitian oleh13 dan14 bahwa tidak terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja pegawai.
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Organisasi. 6, bahwa efek ketahanan organisasi aktif pada kepuasan kerja di perusahaan yang telah menjalani reorganisasi Perusahaan, hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja bisnis bersifat parsial, yang menunjukkan bahwa kepuasan dapat mempengaruhi kinerja melalui variabel lain. Hasil penelitian7 menegaskan, bahwa semua aspek kepuasan kerja mempengaruhi kepuasan karyawan secara signifikan dan, dengan demikian, mempengaruhi komitmen organisasi dan kinerja bisnis.
Metode
Penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis dan membuktikan pengaruh kebijakan penyetaraan jabatan fungsional terhadap motivasi kerja; (2) Menganalisis dan membuktikan pengaruh kebijakan penyetaraan jabatan fungsional terhadap kinerja organisasi; (3) Menganalisis dan membuktikan pengaruh kebijakan penyetaraan jabatan fungsional terhadap kepuasan kerja; (4) Menganalisis dan membuktikan pengaruh motivasi kerja terhadap kinerja organisasi; (5) Menganalisis dan membuktikan pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja organisasi; (6) Menganalisis dan membuktikan motivasi kerja memediasi pengaruh hubungan kebijakan penyetaraan jabatan fungsional dengan kinerja organisasi; (7) Menganalisis dan membuktikan kepuasan kerja memediasi pengaruh hubungan kebijakan penyetaraan jabatan fungsional dengan kinerja organisasi.
Penelitian ini berfokus pada dampak kebijakan penyetaraan jabatan fungsional terhadap kinerja organisasi di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda. Penelitian dilakukan pada pegawai Pemerintah Kota Samarinda yang telah mengalami penyetaraan jabatan fungsional sesuai kebijakan yang diterapkan. Subjek Penelitian: Pegawai yang terdampak oleh kebijakan penyetaraan jabatan fungsional, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bekerja di berbagai instansi di lingkungan Pemerintah Kota Samarinda pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2025. Menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey / kuesioner, penelitian ini mengumpulkan data dari pegawai yang bekerja di instansi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Analisis data dilakukan melalui teknik regresi, seperti SEM-PLS atau regresi berganda, untuk memahami pola hubungan antar variabel. Di dalam menganalisis data, peneliti menggunakan program perangkat lunak (Software) WarpPLS sering dipakai dalam studi yang berkaitan dengan hubungan non-linear. Misalnya, dalam manajemen dan organisasi yang menerapkan model non-linear untuk menganalisis interaksi antara berbagai faktor, seperti kebijakan, kepemimpinan, komitmen organisasi, serta kinerja karyawan. WarpPLS merupakan program yang digunakan untuk menganalisis Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM) yang dibuat untuk mengelola model yang non-linear serta data yang memiliki tingkat ketidaknormalan yang lebih tinggi. Tidak seperti SmartPLS, WarpPLS lebih fokus pada model non-linear dan dapat mengatasi data yang memiliki hubungan lebih rumit antara variabel. 15.
Variabel yang dteliti adalah Variabel Independen (X): Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional, Variabel Mediasi (M1 dan M2): Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja, Variabel Dependen (Y): Kinerja Organisasi. Jumlah pegawai jabatan fungsional (penyetaraan) yang disebut populasi sebanyak 236 pegawai. Teknik awal pengambilan sampel yang di inginkan adalah Sensus atau Total Sampling namun yang sebenarnya terjadi yaitu Sampling Respons Sukarela (Voluntary Response Sampling), dalam laporan bahwa tingkat respons (response rate) hanya 50% dan membahas potensi bias non-respons sebagai keterbatasan penelitian, peneliti menyebarkan kuesioner ke seluruh populasi sebanyak 236, dan menghasilkan 118 responden yang dijadikan sebagai sampel.
Secara keseluruhan, seluruh konstruk dalam model dinyatakan sangat reliabel, karena baik nilai Cronbach’s Alpha maupun Composite Reliability untuk masing-masing konstruk berada jauh di atas ambang batas minimum yang direkomendasikan dalam penelitian kuantitatif, yaitu 0,7 [16]. Dengan demikian, instrumen pengukuran dalam penelitian ini telah memenuhi syarat reliabilitas dan dapat dipercaya untuk digunakan dalam pengujian model struktural lebih lanjut, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini :
[Tabel2.disini]
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Hasil pertama yaitu Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) terhadap Motivasi Kerja (M1). Hasil analisis, bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) berpengaruh positif (β=0.76) dan signifikan (P<0.001) terhadap Motivasi Kerja (M1), dengan nilai T ratios for path coefficients sebesar 9.962, ini berarti Hipotesis 1 (H1) diterima (9.962 > 1.960). Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.58, ini berarti Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dapat menjelaskan Motivasi Kerja (M1) sebesar 58 %.
Hasil kedua yaitu Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap Kinerja Organisasi. Hasil analisis, bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) berpengaruh positif (β=0.71) dan signifikan (P<0.001) terhadap Kinerja Organisasi (Y), dengan nilai T ratios for path coefficients sebesar 9.209, ini berarti Hipotesis 2 (H2) diterima (9.209 > 1,960). Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.50, ini berarti Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dapat menjelaskan Kinerja Organisasi (Y) sebesar 50 %.
Hasil hipotesis ketiga yaitu Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap Kepuasan Kerja. Hasil analisis, bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) berpengaruh positif (β=0.71) dan signifikan (P<0.001) terhadap Kepuasan Kerja (M2), dengan nilai T ratios for path coefficients sebesar 9.213, ini berarti Hipotesis 3 (H3) diterima (9.213 > 1,960). Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.50, ini berarti Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dapat menjelaskan Kepuasan Kerja (M2) sebesar 50%.
Hasil hipotesis ke empat yaitu Motivasi Kerja terhadap Kinerja Organisasi. Hasil analisis, bahwa Motivasi Kerja (M1) berpengaruh positif (β=0.86) dan signifikan (P<0.001) terhadap Kinerja Organisasi (Y), dengan nilai T ratios for path coefficients sebesar 11.590, ini berarti Hipotesis 4 (H4) diterima (11.590 > 1.960). Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.74, ini berarti Motivasi Kerja (M1) dapat menjelaskan Kinerja Organisasi (Y) sebesar 74 %.
Hasil kelima yaitu Kepuasaan Kerja terhadap Kinerja Organisasi. Hasil analisis, bahwa Kepuasaan Kerja (M2) berpengaruh positif (β=0.82) dan signifikan (P<0.001) terhadap Kinerja Organisasi (Y), dengan nilai T ratios for path coefficients sebesar 11.908, ini berarti Hipotesis 5 (H5) diterima (11.908 > 1,960). Koefisien Determinasi (R2) sebesar 0.67, ini berarti Kepuasan Kerja (M2) dapat menjelaskan Kinerja Organisasi (Y) sebesar 67 %.
Hasil Ke enam yaitu Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) terhadap Kinerja Organisasi (Y) melalui Motivasi Kerja (M1) sebagai variabel mediasi. Hasil Analisis, bahwa sebelumnya signifikan (P<0.01) terjadi perubahan menjadi tidak signifikan (P=0.06), ini berarti variabel mediasi Motivasi Kerja (M1) sepenuhnya menjelaskan hubungan antara Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dan Kinerja Organisasi (Y). Oleh karena itu, jenis mediasinya adalah Mediasi Penuh (Full Mediation). Mediasi Penuh Motivasi Kerja dalam Pengaruh Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap Kinerja Organisasi. Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional mempengaruhi Kinerja Organisasi sepenuhnya melalui Motivasi Kerja. Jika Motivasi Kerja tidak ada, pengaruh Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap Kinerja Organisasi akan menjadi minimal atau tidak ada sama sekali. Hipotesis 6 (H6) diterima.
Hasil ketujuh yaitu Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap Kinerja Organisasi melalui Kepuasan Kerja sebagai variabel mediasi. Hasil Analisis, bahwa sebelumnya berpengaruh positif (β=0.71) terjadi perubahan / penurunan menjadi berpengaruh positif (β=0.26), ini berarti variabel mediasi Kepuasan Kerja memediasi Parsial/ sebagian (Partial Mediation), Ini berarti Kepuasan Kerja (M2) menjelaskan sebagian dari hubungan antara Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dan Kinerja Organisasi (Y), tetapi X juga masih memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap Y secara independen dari M2. Hipotesis 7 (H7) diterima.
B. Pembahasan
Pembahasan pertama adalah Hipotesis 1 (H1) Kebijakan penyeteraan jabatan fungsional berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) memiliki dampak positif dan signifikan terhadap Motivasi Kerja (M1). Oleh karena itu, Hipotesis 1 (H1) dapat diterima. Adanya hubungan postitif antara Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional dan Motivasi Kerja (M2), semakin tinggi nilai kebijakan, cenderung semakin tinggi pula motivasi kerja. Hasil penelitian ini, yang menunjukkan pengaruh positif kebijakan ini terhadap motivasi kerja, sehingga perlu menggarisbawahi bahwa OPD perlu memastikan kebijakan penyetaraan tidak hanya ada, tetapi juga transparan, adil, dan dipahami dengan baik oleh seluruh pegawai. Dalam konteks teori Herzberg, Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional dapat dipandang sebagai faktor motivator. Penyetaraan memberikan pengakuan (recognition), kemajuan (advancement), dan peningkatan tanggung jawab (responsibility) melalui kejelasan jenjang karir fungsional. Hal-hal ini adalah karakteristik utama dari faktor motivator menurut Herzberg, yang secara inheren mendorong individu untuk berprestasi dan mencapai kepuasan intrinsik.
Pembahasan kedua adalahHipotesis 2 (H2) Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi. Hasil analisis, bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Organisasi (Y), dengan ini berarti Hipotesis 2 (H2) diterima. Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi adalah kunci keberhasilan di pelaksanaannya. Ini berarti bahwa OPD tidak cukup hanya menerapkan kebijakan, tetapi harus secara aktif menciptakan lingkungan yang mendorong motivasi dan kepuasan.
Pembahasan ketiga adalahHipotesis 3 (H3) Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) memberi dampak yang baik/positif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja (M2), sehingga Hipotesis 3 (H3) dinyatakan diterima. Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional sebagai Motivator: Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional memiliki pengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja (M2), yang pada gilirannya mempengaruhi Kinerja Organisasi (Y). Dalam konteks teori Herzberg, Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional dapat dipandang sebagai faktor motivator. Penyetaraan memberikan pengakuan (recognition), kemajuan (advancement), dan peningkatan tanggung jawab (responsibility) melalui kejelasan jenjang karir fungsional.
Pembahasan keempat adalahHipotesis 4 (H4) Motivasi kerja terhadap Kinerja Organisasi berpengaruh positif dan signifikan. Motivasi yang dimiliki karyawan memiliki dampak yang besar terhadap performa suatu organisasi. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa Motivasi Kerja (M1) memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja Organisasi (Y), sehingga Hipotesis 4 (H4) bisa diterima. Ada keterkaitan yang kuat dan positif, semakin tinggi motivasi dalam bekerja, maka kemungkinan besar kinerja organisasi juga akan meningkat. Jika suatu OPD yang beroperasi di lapangan memiliki tingkat motivasi dan kepuasan yang rendah, tetapi organisasi berharap untuk mencapai kinerja yang tinggi, maka perlu menitikberatkan pada strategi yang dapat meningkatkan motivasi dan kepuasan tersebut.
Pembahasan kelima adalahHipotesis 5 (H5) Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Organisasi berpengaruh signifikan. Hasil analisis menunjukkan bahwa Kepuasan Kerja (M2) memiliki dampak positif dan signifikan terhadap Kinerja Organisasi (Y), yang berarti Hipotesis 5 (H5) bisa diterima. Terdapat hubungan positif yang cukup kuat antara kepuasan kerja dan kinerja organisasi, semakin tinggi tingkat kepuasan kerja, maka akan semakin tinggi pula kinerja organisasi. Disamping itu, OPD perlu fokus pada upaya-upaya yang dapat meningkatkan dan menjaga kepuasan kerja, seperti menciptakan lingkungan kerja yang suportif, memberikan pengakuan, dan memastikan keadilan. Langkah-langkah ini akan langsung berdampak positif pada kinerja organisasi.
Pembahasan ke enam adalahHipotesis 6 (H6) Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi yang dimediasi Motivasi Kerja. Hasil analisis, bahwa Motivasi Kerja (M1) sepenuhnya menjelaskan hubungan antara Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dan Kinerja Organisasi (Y). Oleh karena itu, jenis mediasinya adalah Mediasi Penuh (Full Mediation) ini berarti hipotesis diterima. Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional mempengaruhi Kinerja Organisasi sepenuhnya melalui Motivasi Kerja. Jika Motivasi Kerja tidak ada, pengaruh Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional terhadap Kinerja Organisasi akan menjadi minimal atau tidak ada sama sekali.
Pembahasan ketujuh adalahHipotesis 7 (H7) Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi yang dimediasi Kepuasan Kerja. Hasil Analisis, bahwa Kepuasan Kerja memediasi sebagian / Parsial(Partial Mediation), Ini berarti Kepuasan Kerja (M2) menjelaskan sebagian dari hubungan antara Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional (X) dan Kinerja Organisasi (Y), tetapi Kebijakan (X) juga masih memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap kinerja organisasi (Y) secara independen dari M2, ini berarti hipotesis diterima. Berdasarkan temuan ini, dapat disimpulkan bahwa Kepuasan Kerja (M2) bertindak sebagai mediasi parsial (partial mediation) dalam hubungan antara Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional dan Kinerja Organisasi. Ini berarti bahwa Kebijakan Penyetaraan Jabatan Fungsional mempengaruhi Kinerja Organisasi tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung melalui peningkatan Kepuasan Kerja.
Simpulan
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada Pemerintah Kota Samarinda, khususnya Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah Kota Samarinda serta seluruh pihak yang membantu dalam proses penelitian ini sampai selesai.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 Tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional, Jakarta, Indonesia: Kemenpan RB, 2021. [Online]. Available: https://peraturan.bpk.go.id/Details/170591/permen-pan-rb-no-17-tahun-2021
E. Edison, Y. Anwar, and I. Komariyah, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, Indonesia: Alfabeta, 2021, p. 219.
A. Wilkinson, N. Bacon, T. Redman, and S. Snell, The SAGE Handbook of Human Resource Management. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2010. doi: 10.4135/9780857021496.
Pluxee Indonesia, “7 Faktor Keberhasilan Pengelolaan Sumber Daya Manusia,” Pluxee Indonesia, 2022. [Online]. Available: https://www.pluxee.co.id/blog/faktor-keberhasilan-pengelolaan-sumber-daya-manusia/
D. Dorta-Afonso, M. González-de-la-Rosa, F. J. García-Rodríguez, and L. Romero-Domínguez, “Effects of High-Performance Work Systems (HPWS) on Hospitality Employees’ Outcomes Through Their Organizational Commitment, Motivation, and Job Satisfaction,” Sustainability, vol. 13, no. 6, 2021. doi: 10.3390/su13063226.
I. M. Beuren, V. dos Santos, and V. Theiss, “Organizational Resilience, Job Satisfaction and Business Performance,” International Journal of Productivity and Performance Management, vol. 71, no. 6, 2022. doi: 10.1108/IJPPM-03-2021-0158.
M. R. Ahmad and R. Raja, “Employee Job Satisfaction and Business Performance: The Mediating Role of Organizational Commitment,” Vision: The Journal of Business Perspective, vol. 25, no. 2, 2021. doi: 10.1177/0972262920985949.
S. Hapsaridian, Y. Budiati, and D. Santoso, “Efektivitas Perubahan Organisasi dari Jabatan Struktural ke Jabatan Fungsional pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah,” Jurnal Manajemen dan Profesi, vol. 5, no. 1, pp. 29–49, 2024. doi: 10.32815/jpro.v5i1.1890.
F. Herzberg, B. Mausner, and B. B. Snyderman, The Motivation to Work, 2nd ed. New York, NY: John Wiley & Sons, 1959.
M. G. Aamodt, Industrial/Organizational Psychology: An Applied Approach, 8th ed. Boston, MA: Cengage Learning, 2016. [Online]. Available: www.cengage.com/highered
N. S. Tumi, A. N. Hasan, and J. Khalid, “Impact of Compensation, Job Enrichment and Enlargement, and Training on Employee Motivation,” Business Perspectives and Research, vol. 10, no. 1, 2022. doi: 10.1177/2278533721995353.
S. Riyanto, E. Endri, and N. Herlisha, “Effect of Work Motivation and Job Satisfaction on Employee Performance: Mediating Role of Employee Engagement,” Problems and Perspectives in Management, vol. 19, no. 3, 2021. doi: 10.21511/ppm.19(3).2021.14.
S. S. Mardiyah and J. Mariyono, “Pengaruh Kompensasi dan Kedisiplinan terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil dengan Kepuasan Pegawai dan Motivasi Kerja sebagai Variabel Intervening,” Permana: Jurnal Perpajakan, Manajemen, dan Akuntansi, vol. 16, no. 1, 2024. doi: 10.24905/permana.v16i1.354.
M. Syaqiq, K. N. Sigit, and S. Setyawan, “Produktivitas Tenaga Kerja: Pengaruh Kompensasi, Disiplin Kerja dan Motivasi,” Jurnal Manajemen, Akuntansi, dan Ekonomi, vol. 2, no. 3, 2024. doi: 10.59066/jmae.v2i3.601.
R. R. Alhempi, et al., “Effects of Leadership and Work Discipline on Employee Performance: The Mediation Role of Work Motivation,” Quality - Access to Success, vol. 25, no. 198, pp. 372–380, 2024. doi: 10.47750/QAS/25.198.39.
J. F. Hair, W. C. Black, B. J. Babin, and R. E. Anderson, Multivariate Data Analysis, Pearson New International Edition, Essex, UK: Pearson Education, 2014. doi: 10.1007/978-3-319-01517-0_3.