Nurfi Laili (1), Vanda Rezania (2), Eko Hardi Ansyah (3)
A positive teacher-student relationship model can improve student self-efficacy, especially for those with special needs. Self-efficacy, which is students' belief in their ability to complete tasks, is strongly influenced by interactions with teachers. Teachers who provide emotional support play a significant role in strengthening students' self-efficacy, helping them overcome learning challenges, and encouraging active participation in the educational process. This study aims to model the relationship between teacher-student relationships, self-efficacy, and emotional support among special guidance teachers teaching in inclusive schools. The population in this study was 50 special guidance teachers teaching in Muhammadiyah inclusive schools in Sidoarjo Regency. The sampling technique used was saturated sampling. The measuring instruments used were the Teacher Student Relationship Scale (TSRS), an adaptation of the General Self-Efficacy to measure teacher self-efficacy, and the Teacher Emotional Support Scale (TESS), especially in the emotional support domain from the theory of Hamre & Pianta (2009). Data analysis used regression analysis to examine the relationship and influence between variables. The software used in this analysis was JASP. The targeted output is acceptance in Intuition: Journal of Scientific Psychology (S3) and IPR of research results posters.
Highlights:
Positive teacher-student relationships strengthen self-efficacy in inclusive settings.
Emotional support is a key factor in overcoming learning challenges.
Regression analysis reveals interconnections among relationship, support, and efficacy.
Keywords: Emotional Support; Inclusive School; Self-Efficacy; Teacher Student Relationship; Special Guidance Teacher
Pendidikan inklusi di Indonesia menghadapi permasalahan yang kompleks terutama apabila dikaitakan dengan permasalahan relasi guru dan siswa. Salah satu isu utama adalah ketidakseimbangan antara jumlah GPK dan siswa berkebutuhan khusus (ABK). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 yang dikutip di dalam laman kemendikbud.go.id [1] menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Namun, hanya 18% dari mereka yang mendapatkan layanan pendidikan inklusi. Keterbatasan jumlah GPK menyebabkan satu guru harus menangani banyak siswa dengan kebutuhan yang beragam, sehingga menghambat terciptanya hubungan yang efektif antara guru dan siswa.
Selain jumlah yang terbatas, kompetensi GPK juga menjadi permasalahan signifikan. Banyak guru di sekolah inklusi tidak memiliki kualifikasi yang memadai untuk membimbing anak berkebutuhan khusus [2]. Kurangnya pelatihan khusus dalam pendidikan inklusi membuat GPK kesulitan dalam memahami dan memenuhi kebutuhan spesifik setiap siswa. Hal ini berdampak pada kurangnya pemahaman terhadap karakteristik dan kebutuhan ABK, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas interaksi dan relasi antara guru dan siswa. Guru yang bertugas di pendidikan khusus harus menjadi ahli dua kali lipat. Mereka membutuhkan pengetahuan yang baik mengenai pendidikan khusus bagi siswa berkebutuhan khusus dan sebagai tambahan, mereka harus memiliki kemampuan interaksi yang baik untuk melakukan konsultasi baik dengan siswa maupun dengan orangtua siswa [3]. Secara umum, kualitas pendidikan inklusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kurikulum, kualitas tenaga pendidik, sarana prasarana, dana pendidikan, manajemen, lingkungan dan proses pembelajaran [4]. Hasil penelitian dari [5] menunjukkan bahwa guru pembimbing khusus (GPK) menghabiskan lebih dari separuh waktunya dalam peran instruksional pedagogis langsung untuk mendukung dan berinteraksi dengan siswa (total waktu hampir 4 jam). Hal ini melebihi waktu yang dihabiskan untuk mendukung kurikulum dan guru kelas (total waktu 1 jam 40 menit) ataupun melakukan tugas-tugas administratif lainnya (0,9 jam).
Variasi karakteristik ABK juga menambah kompleksitas permasalahan relasi antara GPK dan siswa. Setiap siswa memiliki kebutuhan dan cara belajar yang berbeda, sehingga GPK dituntut untuk memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi [2]. Namun, dengan keterbatasan jumlah dan kompetensi, GPK sering kali kesulitan dalam memberikan perhatian yang sesuai untuk setiap siswa, yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan antara guru dan siswa. Kurangnya dukungan dari lingkungan sekolah, termasuk guru kelas dan staf lainnya, juga menjadi faktor penghambat. Beberapa guru kelas merasa kesulitan untuk memberikan perhatian lebih pada siswa ABK karena harus mengajar sendiri di dalam kelas. Kondisi kerjasama minimalis antara GPK dan guru kelas dapat menyebabkan kurangnya pemahaman terhadap peran masing-masing, yang berdampak pada hubungan antara GPK dan siswa [6].
Relasi antara guru dan siswa mempengaruhi banyak sekali hasil yang berkaitan dengan proses akademik di sekolah [7] salah satunya adalah kompetensi dengan teman sebaya saat di kelas [8], petunjuk menuju kesuksesan ataupun kegagalan akademik [9]. Sama seperti relasi anak dengan orangtua, relasi guru-siswa dapat memiliki banyak variasi kualitasnya. Pada beberapa relasi guru-siswa dalam dikarakteristikkan dalam relasi yang dekat dan penuh kasih sayang, sedangkan lainnya relasinya bersifat formal dan berjarak, bahkan pada relasi berikutnya juga bisa saja berkonflik [10]. Relasi guru-siswa yang berkualitas tinggi berhubungan dengan perilaku siswa yang lebih baik, kompetensi sosial, dan prestasi akademik [11]. Guru dengan efikasi diri yang tinggi lebih mungkin membangun hubungan yang lebih dekat dan hangat dengan murid-muridnya, yang pada gilirannya berdampak positif pada keterlibatan dan penyesuaian murid [12][13].
Efikasi diri ada di dalam faktor diri seseorang dan didefinisikan oleh Bandura sebagai keyakinan terhadap kemampuan pribadi seseorang [14]. Sub-kategori dari efikasi diri adalah efikasi diri guru, yang dipengaruhi oleh dan mempengaruhi perilaku dan lingkungan. Pengaruh efikasi diri guru sangat luas, mempengaruhi pengajaran, motivasi siswa, manajemen kelas, kerja sama dengan orang tua dan kolega, sikap terhadap pendidikan inklusif, dan keterlibatan siswa [15]. Efikasi diri guru yang tinggi telah dikaitkan dengan pelaksanaan praktik inklusif yang konsisten dan implementasi jangka panjang yang efektif dari praktik inklusif di kelas [13], termasuk diferensiasi dan perubahan strategi instruksional dan pedagogi untuk mengakomodasi kebutuhan siswa secara individual [16]. Guru dengan efikasi diri yang lebih tinggi juga ditemukan memberikan umpan balik tertulis yang lebih banyak memberikan saran yang membangun kepada siswa [17].
Hubungan yang kuat antara Guru Pembimbing Khusus (GPK) dan siswa di sekolah inklusi sangat dipengaruhi oleh dukungan emosional yang diberikan oleh guru. Dukungan ini membantu siswa berkebutuhan khusus merasa lebih diterima dan termotivasi dalam proses pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh Soliah & Siti [18] menunjukkan bahwa peran guru pembimbing khusus sangat penting dalam membantu. peserta didik berkebutuhan khusus menemukan konsep diri mereka dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Dukungan emosional dari guru dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dan membantu mereka mengatasi tantangan yang dihadapi dalam lingkungan sekolah. Selain itu, peran GPK dalam memberikan dukungan emosional juga berkontribusi pada peningkatan kualitas belajar siswa inklusi [19]. Lebih lanjut, peran GPK dalam memberikan dukungan emosional juga berkontribusi pada peningkatan kualitas belajar siswa inklusi. Penelitian dari Lestari dkk [19] menemukan bahwa GPK yang memberikan perhatian khusus dan dukungan emosional dapat membantu siswa berkebutuhan khusus mengikuti pembelajaran dengan lebih baik dan memahami materi yang diajarkan. Dukungan ini menciptakan lingkungan belajar yang positif dan inklusif, yang memungkinkan siswa merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk belajar. Berdasarkan data hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan diatas, penelitian kali ini bertujuan untuk menyusun model relasi guru-siswa, efikasi diri dan dukungan emosional pada guru pembimbing khusus yang mengajar di sekolah inklusi
Metode penelitian, populasi, sampel dan teknik sampling
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan jenis cross-sectional study. Populasi yang digunakan pada penelitian adalah guru pembimbing khusus yang mengajar di sekolah inklusi muhammadiyah di Kabupaten Sidoarjo dengan rentang usia berkisar 20-40 tahun sebanyak 50 orang. Adapun teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling jenuh dengan cara menjadikan seluruh anggota populasi.
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan skala psikologis guna menggali relasi guru-siswa, efikasi diri, dan dukungan emosional pada guru pembimbing khusus. Secara lebih terperinci dijelaskan sebagai berikut:
a. Skala Relasi Guru-Siswa
Relasi guru-siswa digali dengan menggunakan Student-Teacher Relationship Scale (STRS) Short Form yang diadopsi dari teori milik Pianta (2000). STRS Short Form terdiri dari 15 item yang dinilai berdasarkan skala Likert (1 = sangat tidak sesuai hingga 5 = sesuai). Tujuh item menilai aspek konflik relasional (yaitu, sejauh mana interaksi antara guru dan murid ditandai dengan hal-hal negatif atau kemarahan) dan delapan item menilai aspek kedekatan guru-murid (yaitu, sejauh mana guru dan murid memiliki hubungan yang hangat dan terbuka). Jangkauan skor reliabilitas dan validitas untuk STRS adalah Cronbach's α = 0.88-0.91 untuk konflik (conflict), Cronbach's α = 0.84-0.87 untuk kedekatan (closeness).
b. Skala Efikasi Diri
Dalam rangka mengetahui efikasi diri (self efficacy) guru, peneliti menggunakan skala yang diadopsi dari General Self-Efficacy Scale (GSES) milik Schwarzer dan Jerusalem [20] yang terdiri dari 10 item. General Self-Efficacy Scale adalah instrumen yang bersifat unidimensional, atau hanya mengukur satu faktor yaitu general self-efficacy. Pilihan jawaban yang disediakan terdiri dari 4 tingkat skala likert yaitu 1 (sangat tidak setuju) sampai 4 (sangat setuju).
c. Skala Dukungan Emosional
Dalam proses mengukur variable dukungan emosional, peneliti menggunakan kerangka teori dari Hamre & Pianta [21] Classroom Assessment Scoring System (CLASS) terutama pada domain dukungan emosional. Domain dukungan emosional terdiri dari iklim kelas positif (positive classroom climate), iklim kelas negatif (negative classroom climate), sensitivitas guru (teacher sensitivity), dan penghargaan pada perspektif siswa (regards for student perspectives).
Validitas dan reliabilitas alat ukur
Validasi skala psikologi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan validitas isi, daya diskriminasi aitem, validitas konstruk guna melihat kesesuaian antara aitem dengan kontruk yang dibangun. Selain itu untuk melihat kualitas alat ukur digunakan reliabilitas konsistensi internal dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.
Teknik Analisa data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi yang dapat melihat keterhubungan antara ketiga variabel, serta melihat bagaimana pengaruh antara variable X kepada variable Y. Software yang digunakan dalam melakukan analisis ini adalah menggunakan JASP.
Hasil
1. Uji Normalitas
Figure 1. Tabel 1. Uji Normalitas TSR-ES
Berdasarkan dari data Uji Normalitas Kolmogorof-smirnov di atas dapat diketahui nilai signifikansi Relasi Guru Siswa (TSR) yaitu 0,968 berarti nilai tersebut lebih dari 0,05 (0,968 > 0,05) dan dapat dikatakan bahwa data distribusi tersebut normal. signifikansi Dukungan Emosi (ES) yaitu 0,348 berarti nilai tersebut lebih dari 0,05 (0,348 > 0,05) dan dapat dikatakan bahwa data distribusi tersebut normal. signifikansi SE yaitu 0,777 berarti nilai tersebut lebih dari 0,05 (0,777 > 0,05) dan dapat dikatakan bahwa data distribusi tersebut normal.
Figure 2. Tabel 2. Uji Normalitas TSR-SE
Dalam Uji Linieritas diatas diketahui bahwa nilai signifikansi linearity Relasi Guru Siswa (TSR) dan Efikasi Diri (SE) adalah 0,000 yang dapat diartikan nilai linearity lebih kecil daripada 0,05 (0,005 < 0,05) dan nilai signifikansi deviation from linearity sebesar 0,797 yang dapat diartikan bahwa nilai deviation from linearity lebih besar dari 0,05 (0,797 > 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa kedua data tersebut linier.
2. Uji Linieritas
Figure 3. Tabel 3. Uji Linieritas TSR-ES
Hasil uji linieritas diatas diketahui bahwa nilai signifikansi linearity Teacher Student Relationship (TSR) dan Dukungan Emosi (ES) adalah 0,004 yang dapat diartikan nilai linearity lebih kecil daripada 0,05 (0,005 < 0,05) dan nilai signifikansi deviation from linearity sebesar 0,193 yang dapat diartikan bahwa nilai deviation from linearity lebih besar dari 0,05 (0,063 > 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa kedua data tersebut linier.
Figure 4. Tabel 4. Uji Linieritas TSR-SE
Dalam Uji Linieritas diatas diketahui bahwa nilai signifikansi linearity Relasi Guru Siswa (TSR) dan Efikasi Diri (SE) adalah 0,000 yang dapat diartikan nilai linearity lebih kecil daripada 0,05 (0,005 < 0,05) dan nilai signifikansi deviationfromlinearity sebesar 0,797 yang dapat diartikan bahwa nilai deviationfromlinearity lebih besar dari 0,05 (0,797 > 0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa kedua data tersebut linier.
3. Uji Multikolinieritas
Figure 5. Tabel 5. Uji Multikolinieritas TSR-ES-SE
Dalam Uji Multikolinieritas diatas diketahui bahwa nilai Tolerance Dukungan Emosi (ES) dan Efikasi Diri (SE) adalah 0.805 lebih besar dari 0.10. Sementara, nilai VIF untuk variabel Dukungan Emosi (ES) dan Efikasi Diri (SE) adalah 1.242 < 10.00. Maka mengacu pada dasar pengambilan keputusan dalam uji multikolinieritas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala multikolinieritas dalam model regresi
4. Uji Regresi
Figure 6. Tabel 6. Koefisien Determinasi
Dalam analisis diatas dapat diketahui bahwa koefisien determinasi atau R square adalah 0.12. Sumbangan pengaruh variabel Dukungan Emosi (ES) dan Efikasi Diri (SE) terhadap Relasi Guru Siswa (TSR) adalah sebesar 12% (R square = 0.120 x 100% = 12%)
Figure 7. Tabel 7. Uji Regresi
Dalam analisis diatas dapat diketahui bahwa f hitung = 3.210 (p = 0.049<0.05) nilai tersebut mengindikasikan bahwa hipotesis diterima. Hal ini berarti bahwa secara simultan (bersama-sama) variabel Dukungan Emosi (ES) dan Efikasi Diri (SE) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Relasi Guru Siswa (TSR). Adapun besar pengaruh kedua variabel yaitu dukungan emosi dan efikasi diri mampu memprediksi 12% terhadap relasi guru siswa.
Pembahasan
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa secara simultan efikasi diri (self-efficacy) dan dukungan emosi (emotional support) berpengaruh secara signifikan terhadap relasi guru-siswa (teacher-student relationship) dengan nilai signifikansi sebesar 0.049 (p < 0.05). Nilai ini menunjukkan bahwa model regresi cukup kuat untuk menjelaskan hubungan antara ketiga variabel tersebut dalam konteks sampel penelitian.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa relasi guru-siswa sangat dipengaruhi oleh dinamika emosional dan psikososial antara guru dan siswa. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Hamre & Pianta [1] menyatakan bahwa kualitas relasi guru dan siswa dapat berdampak langsung terhadap motivasi belajar, partisipasi kelas, dan perilaku siswa. Namun, menurut penelitian [2], faktor-faktor yang memengaruhi relasi ini tidak hanya bersifat internal seperti efikasi diri guru atau dukungan emosi, tetapi juga kontekstual, seperti beban kerja, latar belakang siswa, dan kebijakan sekolah. Variabel-variabel seperti ini dapat menjadi alasan mengapa pada penelitian ini, meskipun efikasi diri dan dukungan emosi memiliki peran teoritis penting, pengaruhnya tidak muncul secara signifikan secara statistik.
Mengenai dukungan emosi, penelitian oleh [3] menegaskan bahwa guru yang mampu memberikan dukungan emosional yang konsisten cenderung memiliki hubungan yang lebih positif dengan siswa. Namun, efektivitas dukungan ini sangat bergantung pada persepsi siswa terhadap interaksi tersebut, bukan hanya dari intensi guru. Di sisi lain, pada konteks budaya atau institusi tertentu, dukungan emosi yang diberikan guru bisa jadi tidak ditangkap atau tidak dihargai secara optimal oleh siswa, sehingga pengaruhnya terhadap relasi menjadi tidak signifikan [4].
Sementara itu, variabel efikasi diri guru juga telah banyak dikaitkan dengan kualitas relasi guru-siswa. Bandura mengemukakan bahwa guru dengan efikasi diri tinggi cenderung lebih gigih dalam menghadapi tantangan mengajar dan lebih fleksibel dalam membangun hubungan dengan siswa [5]. Namun, penelitian Karterud, dkk [6] menyatakan bahwa efikasi diri perlu dilihat dalam konteks spesifik, seperti efikasi dalam pengelolaan kelas atau efikasi dalam interaksi interpersonal. Jumlah responden yang semakin banyak terbukti mempengaruhi nilai besaran pengaruh dari variabel dukungan emosi dan efikasi diri pada variabel relasi guru siswa.
Nilai besaran pengaruh kedua variabel yang hanya 12% sepertinya perlu mempertimbangkan variabel lain di luar efikasi diri dan dukungan emosi dalam menjelaskan dinamika hubungan guru dan siswa. Misalnya, faktor komunikasi interpersonal, empati, kompetensi sosial, serta pendekatan pedagogis yang digunakan guru. Selain itu, desain penelitian dengan metode kualitatif atau mixed methods mungkin lebih mampu menangkap nuansa emosional dan kontekstual dalam interaksi guru-siswa. Penelitian lebih lanjut dengan pendekatan longitudinal atau intervensional juga dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang bagaimana variabel-variabel ini berkembang dan berinteraksi dalam jangka panjang [7].
Setelah melihat hasil riset yang sudah selesai, bisa disimpulkan bahwa relasi antara pengajar dan pelajar sangat dipengaruhi oleh efikasi diri pengajar dan dukungan emosional, meskipun pengaruh dari dua hal ini hanya sekitar 12%. Hal ini menandakan bahwa hal-hal dari dalam diri seperti keyakinan pengajar pada kemampuan dirinya dan memberi bantuan perasaan punya peran penting dalam membuat hubungan baik dengan pelajar, tetapi tidak bisa menjelaskan semua hal tentang hubungan pengajar-pelajar. Angka penting sebesar 0.049 (p < 0.05) memastikan bahwa secara bersamaan cara yang diuji sudah tepat, tetapi ukuran dampak yang agak kecil memberi petunjuk bahwa ada hal lain yang lebih memengaruhi hubungan tersebut, seperti kemampuan berbicara dengan orang lain, rasa ikut merasakan, cara mengajar, serta hal dari luar seperti aturan sekolah dan latar belakang pelajar. Karena itu, meskipun meningkatkan rasa percaya diri dan dukungan perasaan pengajar itu penting, usaha meningkatkan baiknya hubungan pengajar-pelajar sebaiknya juga melihat hal-hal lain, termasuk mengembangkan kemampuan sosial-perasaan pengajar dan perbaikan sistem bantuan sekolah. Selain itu, riset lebih lanjut dengan cara yang lebih rumit seperti metode gabungan atau jangka panjang diperlukan untuk memahami lebih dalam dan sesuai keadaan tentang hubungan pengajar-pelajar. Hasil riset ini bisa jadi dasar untuk membuat program bantuan berdasarkan pelatihan pengajar, yang tidak hanya fokus pada rasa percaya diri dan dukungan perasaan, tetapi juga pada cara belajar yang mudah diubah, pengaturan kelas yang menerima semua, dan bimbingan yang terus-menerus, sehingga tercipta suasana belajar yang mendukung dan hubungan pengajar-pelajar yang lebih baik serta bermakna
Ucapan Terima Kasih
Terimkasih disampaikan kepada para responden yang telah bersedia mengisi data penelitian secara cermat dan kredibel, serta institusi pendidikan yang mengijinkan proses pengambilan data kepada para guru yang menjadi responden pada penelitian ini.
Kemendikbud, ‘Data Sebaran Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) Jenjang SD.’ [Online]. Available: https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/data-sebaran-satuan-pendidikan- penyelenggara-pendidikan-inklusif-spppi-jenjang-sd
A. H. Hidayat, A. Rahmi, N. A. Nurjanah, Y. Fendra, and Wismanto, ‘Permasalahan Penerapan Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar’, Harmoni Pendidik. J. Ilmu Pendidik., vol. 1, no. 2, pp. 102–111, Apr. 2024, doi: 10.62383/hardik.v1i2.189.
R. H. Lavian, ‘Masters of weaving: the complex role of special education teachers’, Teach. Teach., vol. 21, no. 1, pp. 103–126, Jan. 2015, doi: 10.1080/13540602.2014.928123.
D. L. Zakia, ‘GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI’, 2015.
R. Webster, P. Blatchford, P. Bassett, P. Brown, C. Martin, and A. Russell, ‘Double standards and first principles: framing teaching assistant support for pupils with special educational needs’, Eur. J. Spec. Needs Educ., vol. 25, no. 4, pp. 319–336, Nov. 2010, doi: 10.1080/08856257.2010.513533.
I. Rohimah, J. Rafiadilla, and Y. E. Patras, ‘IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR’, J. Pendidik. DASAR PERKHASA J. Penelit. Pendidik. Dasar, vol. 10, no. 1, pp. 534–556, Apr. 2024, doi: 10.31932/jpdp.v10i1.3250.
R. Pianta, B. Hamre, and J. Allen, ‘Teacher-student relationships and engagement: Conceptualizing, measuring, and improving the capacity of classroom interactions’, Handb. Res. Stud. …, no. Query date: 2024-10-14 13:22:20, 2012, doi: 10.1007/978-1-4614-2018-7_17.
M. Kecskemeti, C. Hamilton, and A. Brink, ‘Developing Inclusive Practices: Deconstructing and Reconstructing Partnerships in Times of Change’, Realising Innov. Partnersh. …, no. Query date: 2024-10-01 11:21:04, 2017, [Online]. Available: https://brill.com/downloadpdf/book/edcoll/9789463510622/BP000005.pdf
V. Raghavan et al., ‘Effectiveness of a mental health literacy module on stigma related mental health knowledge and behaviour among youth in two educational settings in Chennai, South India: A quasi-experimental study’, Asian J. Psychiatry, vol. 98, p. 104074, Aug. 2024, doi: 10.1016/j.ajp.2024.104074.
R. C. Pianta, Student-Teacher Relationship Scale (STRS): Professional Manual. Psychological Assessment Resources inc, 2001a.
K. Hettinger, R. Lazarides, and U. Schiefele, ‘Longitudinal relations between teacher self-efficacy and student motivation through matching characteristics of perceived teaching practice’, Eur. J. Psychol. Educ., vol. 39, no. 2, pp. 1299–1325, Jun. 2024, doi: 10.1007/s10212-023-00744-y.
S. Woodcock, ‘A Cross Sectional Study of Pre-Service Teacher Efficacy Throughout the Training Years.”’, Aust. J. Teach. Educ., vol. 36, no. 10, pp. 23–34, 2011, doi: 10.14221/ajte.2011v36n10.1.
S. Woodcock and E. Faith, ‘Am I to blame? Teacher self-efficacy and attributional beliefs towards students with specific learning disabilities’, Teach. Dev., vol. 25, no. 2, pp. 215–238, Mar. 2021, doi: 10.1080/13664530.2020.1863256.
A. Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control. W. H. Freeman and Company., 1997.
O. H. Malinen, P. Savolainen, and J. Engelbrecht, ‘Exploring Teacher Self-Efficacy for Inclusive Practices in Three Diverse Countries’, Teach. Teach. Educ., vol. 33, pp. 34–44, 2013, doi: 10.1016/j.tate.2013.02.004.
E. E. Thoonen, T. T. Sleegers, D. Peetsma, and F. J. Oort, ‘Can Teachers Motivate Students to Learn?’, Educ. Stud. 37 3 345–360, vol. 37, no. 3, pp. 345–360, 2011, doi: 10.1080/03055698.2010.507008.
A. Rahimi and P. Gheitasi, ‘The Interface between English Teachers’ Sense of Efficacy and Their Feedback on Learners’ Writing, and Learners’ Writing Achievement’, Procedia – Soc. Behav. Sci., vol. 5, pp. 1932–1938, 2010, doi: 10.1016/j.sbspro.2010.07.391.
S. Soliah, ‘Peranan Guru Bimbingan Konseling terhadap Layanan Pendidikan Inklusi di MAS Nurul Falah Ciater’, vol. 6, 2023.
A. Lestari, R. L. Suci, Widiyastuti, and D. Mustika, ‘Pengaruh Guru Pendamping Khusus (GPK) Terhadap Kualitas Belajar Anak Inklusi’, J. Ilm. Multidisplin Terpadu, vol. 8, no. 6, pp. 159–163, Jun. 2024.
R. Schwarzer and M. Jerusalem, ‘Generalized Self-Efficacy Scale. In Measures in Health Psychology: A User’s Portfolio.’, Causal Control Beliefs, pp. 35–37, 1995.
B. K. Hamre and R. C. Pianta, ‘Can Instructional and Emotional Support in the First‐Grade Classroom Make a Difference for Children at Risk of School Failure?’, Child Dev., vol. 76, no. 5, pp. 949–967, Sep. 2005, doi: 10.1111/j.1467-8624.2005.00889.x.