Suci Aulia (1), Sundahry (2), Zulqoid R. Habibie (3)
Background: The ability to solve problems is an essential 21st-century skill but remains limited in elementary science learning. Specific Background: At SDN 127/II Sungai Arang, students demonstrated difficulty in understanding science concepts, low participation, and low mastery of learning outcomes. Knowledge Gap: Conventional teaching methods were teacher-centered and failed to provide opportunities for students to actively explore solutions to real-world problems. Aim: This research aimed to describe how Problem-Based Learning (PBL) can improve the learning process, students’ problem-solving skills, and their science learning achievements. Results: This classroom action research was conducted in two cycles involving 19 students. Teacher activity scores improved from 64%–72% in Cycle I to 80%–92% in Cycle II. Student engagement rose from 57.89% to 89.48%, and learning mastery increased from 63.16% to 84.21%. Novelty: The study demonstrates the practical application of PBL in a resource-limited school setting, highlighting its potential to transform passive learning into an interactive experience. Implications: Findings suggest that PBL can serve as a model for curriculum development and teacher training to foster active learning and problem-solving culture in elementary education.
Highlights:
Students’ participation and confidence in solving problems increased in Cycle II.
Teacher performance improved, shifting towards more student-centered facilitation.
Learning mastery rose significantly after PBL implementation.
Keywords: Active Learning, Problem-Based Learning, Problem-Solving Skills, Social and Natural Sciences, Elementary Education
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang kondusif. Tujuan utamanya adalah agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Potensi tersebut mencakup ketabahan rohani dan keagamaan, pengendalian diri, karakter, kecerdasan, nilai-nilai luhur, dan kemampuan dibutuhkan oleh dirinya sendiri, negara, masyarakat, dan bangsa [1].
Pembelajaran dikatakan berkualitas jika melibatkan semua komponen utama proses belajar mengajar: pendidik, peserta didik, dan interaksi di antara mereka. Lebih lanjut, pembelajaran harus didukung oleh berbagai elemen penting, seperti tujuan pembelajaran, pemilihan materi yang tepat, sarana dan prasarana yang memadai, serta lingkungan belajar yang kondusif. Lingkungan belajar yang suportif dan evaluasi yang selaras dengan kurikulum juga berkontribusi pada keberhasilan proses pembelajaran yang efektif [2].
Proses pembelajaran yang baik dan menyenangkan tidak hanya pada pelajaran kesenian saja, namun termasuk pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) [3]. Berdasarkan [4] Nomor 008/H/KR/2022 bahwa Sains adalah ilmu yang mempelajari makhluk hidup dan tak hidup dalam kosmos dan interaksinya, dan menyelidiki keberadaan manusia secara individual dan makhluk sosial yang berinteraksi dengan lingkunganny [5]. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan sains penting untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kesadaran lingkungan, dan rasa realitas sosial pada siswa.
Siswa harus berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sains, alih-alih pasif menerima informasi karena tertarik. Agar pembelajaran lebih bermakna, siswa didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi, mengajukan pertanyaan, dan mencari jawaban.
Pengajaran IPAS yang ideal juga mampu mengaitkan ide-ide dengan lingkungan sekitar, meningkatkan rasa ingin tahu, serta menjadi sarana mengajar murid-murid tentang alam dan diri mereka sendiri, sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari demi menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaat bagi masyarakat serta lingkungan [6].
Namun, dalam pelaksanaan terdapat beberapa permasalahan terkait dengan proses pembelajaran. Sains diajarkan di sekolah dasar sebagai mata pelajaran yang memiliki aplikasi praktis, klaim [7] Saat ini, siswa masih menganggap aplikasi sains kurang menarik. Kurangnya partisipasi siswa dalam kelas sains karena tingkat kesulitannya merupakan salah satu masalah yang muncul. Berbagai variabel, termasuk strategi pengajaran yang kurang menarik, kesulitan konseptual, atau kurangnya dorongan dan interaksi suportif dari guru, dapat berkontribusi pada kondisi ini [8] Siswa kelas lima di SD 127/II Sungai Arang menunjukkan bahwa keterampilan pemecahan masalah mereka masih relatif kurang. Ketidakmampuan siswa untuk mengidentifikasi masalah, menemukan solusi, dan menilai hasil dari upaya pemecahan masalah mereka merupakan salah satu buktinya. Salah satu penyebabnya adalah masih dominannya teknik pengajaran tradisional seperti ceramah, yang kurang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Akibatnya, siswa menjadi lebih lambat dan kurang terampil dalam menghubungkan konsep abstrak dengan penerapan praktisnya.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti dan Ibu Robiah, S.Pd., guru kelas V SD Negeri 127/II Sungai Arang pada tanggal 25–26 Februari 2025, ditemukan beberapa permasalahan dalam proses pembelajaran sains. Salah satu kesimpulan utama adalah beberapa siswa masih kesulitan memahami materi pelajaran dan menerapkannya dalam situasi dunia nyata. Hal ini terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan reflektif di akhir pelajaran, tetapi hanya beberapa siswa yang mampu memberikan jawaban yang akurat. Lebih lanjut, tidak ada kegiatan di luar kelas atau praktik mudah yang dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih kontekstual; sebaliknya, pembelajaran masih bersifat tradisional dan terbatas di dalam kelas.
Selama dua hari observasi, para peneliti mencatat bahwa kegiatan pembelajaran didominasi oleh ceramah dan pencatatan, tanpa penggunaan alat bantu atau media pembelajaran yang konkret. Fasilitas seperti laboratorium sains dan peralatan eksperimen dasar juga belum tersedia di sekolah, sebagaimana dilaporkan oleh wali kelas saat wawancara. Keterbatasan ini mengakibatkan kurangnya ruang bagi siswa untuk berlatih sains secara langsung. Lebih lanjut, antusiasme siswa dalam belajar juga terlihat rendah, terbukti dari minimnya partisipasi dalam diskusi dan kurangnya fokus beberapa siswa. Guru menduga bahwa hal ini berkaitan dengan tingkat keabstrakan materi IPAS yang cukup tinggi, sehingga menyulitkan siswa dalam memahami konsep secara nyata pada pembelajaran IPAS.
Rendahnya keterampilan pemecahan masalah siswa menunjukkan bahwa siswa adalah pembelajar pasif, artinya mereka kurang berani menyuarakan ide dan mengajukan pertanyaan selama kelas. Begitu juga dalam pembelajaran IPAS sebagai salah satu bidang studi yang pada umumnya cenderung terkait dengan cara berpikir dalam upaya memahami alam, hal ini menyebabkan siswa kurang tertarik apabila mata pelajaran IPAS diajarkan dengan strategi pembelajaran yang menekankan pada aktivitas guru, bukan pada aktivitas siswa. Akibatnya, pemahaman siswa terhadap materi akan kurang sehingga mereka sering melupakan materi pelajaran yang telah dijelaskan oleh guru. Hal itu terlihat dari hasil nilai harian peserta didik yang masih rendah, nilai tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Sumber : Data SD Negeri 127/II Sungai Arang
Berdasarkan observasi yang dilakukan terhadap 19 siswa kelas V SDN 127/II Sungai Arang pada mata pelajaran IPAS materi ekonomi dengan topik Kebakaran Hutan. Kemampuan pemecahan masalah siswa dievaluasi menggunakan empat indikator pemecahan masalah: (1) merumuskan masalah, (2) mengajukan respons awal (hipotesis), (3) mengorganisasikan solusi, dan (4) memverifikasi atau menarik kesimpulan.
Berdasarkan data observasi, sepuluh siswa (52,6%) dianggap berhasil karena memiliki keempat ciri pemecah masalah yang efektif. Mereka dapat menyelesaikan tugas secara mandiri atau dengan sedikit bantuan. Siswa menunjukkan kemampuan berpikir kritis dengan memunculkan masalah yang relevan dan teori-teori logis. Mereka juga mampu menciptakan metode pemecahan masalah yang terorganisir dan membuat kesimpulan dari percakapan atau kegiatan praktik.
Akibat ketidakmampuan mereka memenuhi setidaknya tiga dari empat kriteria, sembilan siswa (47,4%) tetap tidak tuntas. Beberapa di antaranya kesulitan menemukan ide sendiri. Selain itu, mereka juga belum mampu menarik kesimpulan berdasarkan proses yang telah dilakukan. Kondisi ini menunjukkan perlunya pendampingan lebih lanjut melalui bimbingan kelompok kecil atau penugasan individual yang bersifat remedial.
Hal ini disebabkan karena pendidik belum menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi. Bahwa terdapat hubungan antara hasil belajar kognitif siswa dengan keterampilan pemecahan masalah. Semakin tinggi hasil belajar kognitif siswa maka semakin tinggi pula keterampilan dalam memecahkan masalah [9] . Salah satu solusi untuk model ini dapat digunakan untuk menyelidiki masalah ini lebih lanjut pembelajaran yang mampu melibatkan siswa secara aktif dan memungkinkan mereka berkontribusi langsung pada proses pembelajaran di kelas, yang akan meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah sains dan memberikan makna yang lebih besar pada proses pembelajaran.
Model Problem Based Learning merupakan model pendidikan yang melibatkan siswa dalam pemecahan masalah yang nyata dan dialami sehari-hari dan perlu diselesaikan berdasarkan pengalaman yang telah diperoleh sebelumnya sehingga siswa memperoleh pengetahuan yang baru [10]. Pembelajaran Pendekatan pembelajaran yang dikenal sebagai "pembelajaran berbasis masalah" menimbulkan tantangan yang memerlukan penerapan kemampuan kognitif tingkat lanjut [11]. Siswa dapat berlatih memecahkan masalah yang mungkin muncul dalam kehidupan sehari-hari karena tantangan dalam model ini bersifat nyata [12].
[13] mendefinisikan keterampilan pemecahan masalah sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dengan menerapkan logika dan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Untuk mencapai hasil yang diinginkan, proses ini dijalankan secara bertahap. Selain penting untuk pemecahan masalah, kemampuan ini memberikan seseorang sarana untuk menghadapi kesulitan dunia kontemporer. Oleh karena itu, kemampuan memecahkan masalah sangat penting untuk tetap mengikuti perkembangan zaman.
Menurut Shoimi [14], model Pembelajaran Berbasis Masalah memiliki beberapa keunggulan. Model ini mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dunia nyata dan membangun pengetahuan mereka sendiri melalui kegiatan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran berfokus pada isu-isu yang relevan, sehingga menghilangkan kebutuhan untuk mempelajari materi yang tidak relevan, dan pada akhirnya mengurangi beban siswa untuk menghafal informasi. Selain itu, siswa terlibat dalam aktivitas secara ilmiah melalui upaya kolaboratif, digunakan untuk berbagai sumber pengetahuan seperti perpustakaan, internet, wawancara, dan observasi, serta mampu menilai kemajuan belajarnya secara mandiri. Model ini juga melatih siswa untuk berkomunikasi secara ilmiah melalui diskusi dan presentasi hasil kerja, serta membantu mengatasi kesulitan belajar individu melalui kerja sama kelompok atau peer teaching.
PBL telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar. Penerapan unik model PBL pada pembelajaran sains kelas lima di sekolah dasar di tempat-tempat dengan sumber daya eksperimen yang terbatas dan dominasi metode tradisional inilah yang menjadikan penelitian ini inovatif. Selain mengevaluasi efektivitas PBL dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, penelitian ini juga mengadaptasinya ke dalam konteks praktis pendidikan sekolah dasar, terutama ketika membahas konsep-konsep abstrak seperti tantangan lingkungan (seperti kebakaran hutan). Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan kontekstual dan interaktif, penelitian ini menambahkan sesuatu yang baru bagi perluasan penggunaan PBL dalam pendidikan dasar di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti memfokuskan untuk melakukan penelitian dengan judul "Peningkatan Keterampilan Pemecahan Masalah Menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Pada Mata Pelajaran IPAS Kelas V SDN 127/II Sungai Arang "
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas merupakan sebuah penelitian yang telah dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran sebagaimana dijelaskan oleh [15].
Perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi merupakan tahapan-tahapan yang membentuk proses implementasi PTK. Pemilihan tindakan untuk mengatasi masalah dilakukan pada tahap perencanaan. Hal ini mencakup penyusunan rencana aksi terperinci yang menguraikan taktik yang akan digunakan, tujuan yang ingin dicapai, dan prosedur implementasi.
Implementasi, menurut Mulyasa dalam [16], melibatkan guru yang melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya di kelas mereka. Hal ini dapat mencakup penerapan sumber belajar baru, perubahan teknik mengajar, atau penerapan taktik pendukung lainnya. Guru mengamati dan mendokumentasikan reaksi siswa dan hasil tindakan mereka selama fase observasi. Pengamatan ini dapat meliputi partisipasi siswa, tingkat pemahaman, atau perubahan perilaku. dan tahapan refleksi merupakan implementasi, guru merefleksikan pengalaman mereka dan hasil dari tindakan yang diambil. Ini melibatkan evaluasi terhadap keefektifan tindakan, pengidentifikasian apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki, serta pemikiran tentang langkah selanjutnya.
Selanjutnya dalam pelaksanaan penelitian, peneliti berkolaborasi antara pendidik kelas dan peneliti. Artinya para peneliti bekerja dalam tim, tetapi peneliti berkolaborasi dengan pendidik kelas. Penelitian ini akan dilakukan langkah demi langkah bekerja sama dengan mitra penelitian dalam pendekatan partisipatif.
1. Kegiatan Pembelajaran Aspek Pendidik
Berdasarkan hasil observasi, penerapan model Problem Based Learning (PBL) oleh pendidik pada mata pelajaran IPA kelas V SDN 127/II Sungai Arang mengalami peningkatan yang signifikan dari Siklus I ke Siklus II. Pada Siklus I, persentase keterlaksanaan indikator aktivitas pendidik mencapai 64% pada pertemuan pertama dan 72% pada pertemuan kedua dengan kategori cukup dan baik. Sedangkan pada Siklus II meningkat menjadi 80% dan 92% dengan kategori baik dan sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa pendidik mulai terampil dalam membimbing peserta didik melalui langkah-langkah PBL, meliputi penyajian masalah kontekstual, fasilitasi diskusi kelompok, dan pemberian umpan balik yang membangun.
Selain peningkatan kuantitatif, terdapat pergeseran kualitatif dalam sikap pendidik. Guru yang sebelumnya pasif kini lebih aktif mengajukan pertanyaan yang merangsang pemikiran, menawarkan bantuan individual kepada siswa selama diskusi kelompok, dan bersikap reseptif terhadap beragam respons siswa. Selain itu, para pendidik telah mulai mengubah metode komunikasi mereka agar tidak terlalu berat sebelah dan lebih dialogis. Hal ini menunjukkan bahwa instruktur kini lebih siap untuk mendukung pembelajaran yang berpusat pada siswa.
Temuan ini didukung oleh pendapat para ahli. Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu keterampilan yang dibutuhkan siswa di abad ke-21, namun seringkali kurang dalam pendidikan sains [17]. Oleh karena itu, guru berperan penting dalam menumbuhkan budaya kelas yang menghargai pemikiran kritis, kerja sama tim, dan keterlibatan aktif. Meningkatnya penggunaan aktivitas guru pada Siklus II membuktikan bahwa penerapan PBL yang konsisten membantu guru meningkatkan efikasi pembelajaran.
Sekolah dapat memanfaatkan peningkatan efektivitas guru dalam menerapkan model PBL sebagai landasan penyusunan kurikulum pelatihan atau pengembangan profesional berkelanjutan. Untuk mengembangkan pola pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa, sekolah juga dapat mendukung pendidik lain dalam memodifikasi model pembelajaran berbasis masalah untuk digunakan dalam mata pelajaran lain.
2. Proses Belajar Peserta Didik
Dari aspek peserta didik, hasil observasi menunjukkan adanya peningkatan keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah. Pada Siklus I, persentase siswa yang berada pada kategori sangat baik dan baik mencapai 57,89%, sedangkan pada Siklus II meningkat menjadi 89,48%, dengan persentase siswa yang kurang menjadi 0%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas siswa mampu berpartisipasi aktif dalam setiap tahap pembelajaran, berdiskusi dalam kelompok, mengajukan pertanyaan, serta menyusun solusi masalah dengan lebih percaya diri.
Pendapat para ahli dan penelitian relevan mendukung temuan ini. [18] menyatakan bahwa penerapan PBL dapat meningkatkan keterampilan pemecahan masalah klasik. Penelitian mereka menunjukkan bahwa keterampilan pemecahan masalah meningkat dari 70,53% pada Siklus I menjadi 82,58% pada Siklus IISelain itu, setelah menerapkan PBL, keterampilan pemecahan masalah dan tingkat aktivitas siswa meningkat secara dramatis, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian [7]. Tingkat penyelesaian meningkat dari Siklus I ke Siklus II hingga mencapai target penyelesaian yang diinginkan. Dua siswa yang sebelumnya diam, Ahmad dan Nadira, mulai berpartisipasi aktif dalam proyek kelompok. Mereka tampak senang memecahkan masalah dengan melakukan eksperimen sederhana dan mengamati lingkungan kelas. Hal ini menyiratkan bahwa pendekatan PBL tidak hanya meningkatkan hasil belajar tetapi juga membangun keberanian dan keterampilan sosial.
Saat menyusun rencana pembelajaran (RPP), guru sebaiknya mempertimbangkan peningkatan keterlibatan dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Instruktur harus menyediakan lebih banyak ruang untuk proyek kelompok, percakapan, dan investigasi masalah dunia nyata yang memengaruhi kehidupan siswa. Hal ini dapat diintegrasikan ke dalam proyek dan kegiatan ekstrakurikuler yang bertujuan untuk meningkatkan profil siswa Pancasila (P5).
3. Hasil Belajar IPAS
Selain itu, terdapat peningkatan yang signifikan dalam hasil belajar mahasiswa. Kompetensi Minimal (KKM) sebesar 75 dicapai oleh 63,16% mahasiswa pada Siklus I dan 84,21% pada Siklus II. Peningkatan ini menunjukkan betapa efektifnya PBL dalam meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap materi pelajaran dan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Setelah instruksi yang lebih intensif dan dorongan untuk terlibat lebih aktif dalam diskusi dan refleksi, mahasiswa yang sebelumnya belum menyelesaikan mata kuliah ini mampu meningkatkan nilai mereka.
Temuan ini didukung oleh penelitian terkait. Menurut [17], PBL meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, terbukti dengan skor rata-rata 65,62 dalam kategori baik. Selain itu, [19] menemukan bahwa prestasi belajar sains siswa kelas lima meningkat dari 27,84% pada siklus I menjadi 95,83% pada siklus II ketika PBL diterapkan. Penerapan PBL juga secara dramatis meningkatkan prestasi belajar dari 71,42% pada siklus I menjadi 85,71% pada siklus II, menurut[18], yang menegaskan efektivitas paradigma pembelajaran ini dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
Secara keseluruhan, pembahasan ini menunjukkan bahwa penerapan Problem Based Learning (PBL) pada mata pelajaran IPAS di kelas V SDN 127/II Sungai Arang berhasil meningkatkan kualitas proses pembelajaran, keaktifan dan keterampilan pemecahan masalah peserta didik, serta hasil belajar mereka. Hasil ini sejalan dengan berbagai penelitian terdahulu yang menekankan efektivitas PBL dalam meningkatkan keterampilan abad 21, khususnya pemecahan masalah, serta capaian belajar yang lebih optimal. Oleh karena itu, selain menyajikan data kuantitatif yang objektif, penyajian data dalam penelitian ini juga memperjelas signifikansi data tersebut dalam konteks implementasi di kelas nyata. Bukti empiris semakin jelas dengan penggunaan tabel observasi dan data kuantitatif lainnya, yang juga membantu pembaca memahami seberapa besar intervensi PBL memengaruhi hasil dan proses belajar siswa.
Kualitas proses pembelajaran, keterlibatan dan kemampuan pemecahan masalah siswa, serta hasil belajar, semuanya berhasil ditingkatkan melalui penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) pada mata pelajaran sains kelas lima di SDN 127/II Sungai Arang, seperti yang ditunjukkan dalam percakapan iniHasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan betapa efektifnya PBL dalam meningkatkan keterampilan abad ke-21, terutama pemecahan masalah, dan mencapai hasil belajar yang lebih baik. Penyajian data dalam penelitian ini menggunakan metodologi empiris kontekstual untuk menjelaskan signifikansi temuan, selain memberikan informasi numerik yang objektif. Tabel observasi dan data kuantitatif lainnya digunakan untuk meningkatkan kejelasan bukti dan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada pembaca tentang seberapa besar intervensi PBL memengaruhi hasil dan proses belajar siswa.
Hasil ini memberikan informasi berharga bagi para pembuat kebijakan kurikulum dan lembaga pendidikan. Pertama, strategi pembelajaran yang mengutamakan partisipasi siswa, seperti Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL), telah mengungguli teknik tradisional. Akibatnya, sekolah mungkin perlu memperbarui kurikulum sains dan metode pengajaran sains secara umum, yang mungkin mencakup penggabungan PBL ke dalam kurikulum operasional sekolah (KOS).
Kedua, temuan ini juga dapat menjadi panduan untuk memutuskan apakah akan menyediakan sumber daya seperti materi latihan, alat bantu pengajaran, atau area diskusi terbuka untuk meningkatkan pembelajaran aktif.
Pemikiran Akhir dan Diskusi ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) dalam sains kelas lima di SDN 127/II Sungai Arang dapat Meningkatkan efektivitas inisiatif bimbingan guru, Meningkatkan tingkat berpikir kritis, pemecahan masalah, dan keterlibatan siswa.
Konsekuensi tambahan dari temuan ini mencakup perlunya dukungan sekolah yang konsisten dalam bentuk pelatihan guru secara berkala, fasilitas pembelajaran yang memfasilitasi proses pembelajaran kontekstual dan aktif, serta kebijakan pembelajaran yang mendukung metode berbasis masalah. Lebih lanjut, temuan ini dapat menjadi sumber informasi berharga untuk menyusun kurikulum yang mendukung pengembangan keterampilan abad ke-21.
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan pada mata pelajaran IPAS Kelas V SDN 127/II Sungai Arang dengan penerapan model Problem Based Learning (PBL), dapat ditarik beberapa kesimpulan.
1. Dari Siklus I ke Siklus II, para pendidik semakin sering menggunakan pendekatan PBL. Pada Siklus I, 64% indikator aktivitas pendidik terlaksana pada pertemuan pertama (kategori cukup) dan 72% pada pertemuan kedua (kategori sangat baik). Tingkat keterlaksanaan meningkat menjadi 80% pada pertemuan pertama (kategori baik) dan 92% pada pertemuan kedua (kategori sangat baik) pada Siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa guru menjadi lebih mahir dalam memimpin diskusi kelompok, menyajikan isu kontekstual, mengendalikan pembelajaran, dan memberikan kritik yang membangun.
2. Keaktifan dan kemampuan pemecahan masalah siswa juga meningkat. Pada Siklus I, 57,89% siswa berada dalam kategori sangat baik dan baik, sementara pada Siklus II, angka ini meningkat menjadi 89,48%, dengan persentase siswa dengan kinerja buruk menurun menjadi 0%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas siswa mampu berpartisipasi aktif dalam diskusi, mengembangkan solusi masalah, dan bekerja sama dalam kelompok secara lebih optimal.
3. Hasil belajar siswa meningkat secara signifikan. Dibandingkan dengan 63,16% pada Siklus I, 84,21% siswa pada Siklus II mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75. Peningkatan ini menunjukkan bahwa PBL berhasil meningkatkan tingkat pemahaman materi dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Siswa yang sebelumnya belum mencapai nilai minimum mampu meningkatkan hasil belajar mereka dengan mematuhi instruksi dan menggunakan berbagai strategi pembelajaran.
4. Kontribusi Penelitian: Guru dapat memanfaatkan wawasan bermanfaat dari studi ini untuk menciptakan pembelajaran yang lebih menarik dan berpusat pada siswa. Temuan ini secara teoritis memperkuat efektivitas pendekatan konstruktivis dan memperkuat posisi PBL sebagai metode pengajaran yang relevan untuk mengembangkan kemampuan abad ke-21, termasuk kerja sama, komunikasi, dan berpikir kritis.
5. Implikasi dan Pengembangan: Area lain yang membutuhkan keterlibatan aktif dan pemecahan masalah dapat memperoleh manfaat dari metodologi PBL. Efek jangka panjang penggunaan PBL terhadap motivasi belajar dan ketahanan kognitif siswa di berbagai jenjang pendidikan perlu diteliti lebih lanjut.
Artikel ini telah mengangkat topik-topik yang relevan dengan pendidikan sekolah dasar, khususnya pengembangan kemampuan pemecahan masalah menggunakan paradigma Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL). Namun, kekuatan artikel ini akan semakin meningkat jika penulis menghubungkan perdebatan ini dengan kontribusi yang lebih umum terhadap perkembangan kebijakan dan praktik pembelajaran pendidikan dasar di Indonesia, alih-alih membatasinya pada lingkungan lokal, khususnya SDN 127/II Sungai Arang. Konsekuensi dari temuan ini perlu diperjelas untuk menunjukkan bagaimana model PBL dapat diterapkan di berbagai lingkungan sekolah dasar guna mendorong peningkatan kualitas pembelajaran di seluruh negeri.
Ucapan Terima Kasih
Berkat usaha, doa, dorongan, dan bantuan banyak pihak, artikel jurnal ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan rasa terima kasih dan kekagumannya dengan penuh rasa hormat setulus-tulusnya kepada dosen pembimbing atas segala bimbingan, masukan, serta koreksi yang sangat berarti dalam menyempurnakan penulisan hingga karya ini dapat diselesaikan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, Jakarta: Sekretariat Negara, 2003.
Bahri, “Peranan Proses Belajar Mengajar dalam Menumbuhkan Minat Belajar Peserta Didik,” vol. 5, no. 1, pp. 57–64, 2023.
Z. Nadhifah, Fauziah, A. D. A. M. Pikoli, M. Y. Asyhar, and I. Y. Hizqiyah, “Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS),” Global Ekslusif Teknologi, Padang: Global Eksekutif Teknologi, 2023.
Kemendikristek, Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS), 2022.
Z. Suhelayanti, Z. Syamsiah, R. Ima, Y. P. T. Rezeki, R. K. Wiwin, S. Nita, N. Hadi, J. S. Tangio, and D. Anzelina, Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS), Langsa Aceh: Yayasan Kita Menulis, 2023.
A. Ihsanudin, A. Maulana, and S. Suwartini, “Peningkatan Hasil Belajar IPAS Melalui Penerapan Metode Demonstrasi pada Peserta Didik Kelas IV SDN 1 Pokak Tahun Pelajaran 2023/2024,” vol. 1, no. 4, 2024.
R. N. Pratiwi, T. Handayani, and D. Partini, “Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah IPA Melalui Model Problem Based Learning untuk Siswa Kelas V SD Muhammadiyah Mulya Asri,” Jurnal Pendidikan dan Konseling, vol. 4, pp. 2594–2599, 2022.
D. Andreani and G. Gunansyah, “Persepsi Guru tentang IPAS pada Kurikulum Merdeka,” JPGSD, vol. 11, no. 9, pp. 1841–1854, 2023.
N. F. Hidayati, B. Wirawati, and N. Suliyastuti, “Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Pancasila Siswa Kelas IV B SDN Pakis 1 Surabaya,” vol. 2, no. 4, 2024.
A. P. Rabyeliya, “Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik Kelas IV di UPT SD Negeri 214 Muktisa,” Global Journal Teaching Professional, vol. 3, pp. 599–617, 2024.
R. E. Zakiyah, D. Suryana, and R. H. Zulkarnaen, “Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL),” Jurnal Basicedu, vol. 7, no. 3, pp. 1852–1861, 2023.
A. Maulana, S. T. Widodo, N. I. Wahyuni, and N. R. Murya, “Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning Berbantuan Information Technology untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila,” Jurnal Pendidikan Tambusai, vol. 7, no. 3, pp. 28011–28012, 2023.
Z. Arsyad, U. T. Santoso, and M. Wati, “Profil Keterampilan Pemecahan Masalah Peserta Didik SMP,” Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika, vol. 6, no. 3, p. 629, 2022, doi: 10.20527/jipf.v6i3.6683.
L. Nurlayali, “Penerapan Problem Based Learning Pada Pembelajaran Kalor Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa MI Al-Khoeriyah Manonjaya,” Jurnal Pendidikan Islam, Sains, Sosial, dan Budaya, vol. 3, no. 1, p. 41, 2021.
S. Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2020.
M. N. Sari, S. Y. B. K. Mudrikah, M. T. Bua, Apdoludin, P. E. A. Ningsih, A. I. Budiyono, D. P. Hanifah, A. Dailami, and R. M. Cuhanazriansyah, Metodologi Penelitian Tindakan Kelas & Research and Development, Sukoharjo: Pradina Pustaka, 2024.
N. Kayati, I. B. Minarti, J. Siswanto, and N. E. W. Wahyu, “Pembelajaran IPAS Melalui Problem Based Learning Untuk Mengukur Keterampilan Pemecahan Masalah Peserta Didik,” Jurnal Konseling Pendidikan Islam, vol. 4, no. 2, pp. 237–243, 2023, doi: 10.32806/jkpi.v4i2.3.
Y. Wahyuningsih, N. Aprilia, and R. S. Wulandari, “Upaya Peningkatan Keterampilan Pemecahan Masalah Dan Hasil Belajar Peserta Didik Menggunakan Model Problem Based Learning,” TEACHING: Jurnal Inovasi Keguruan dan Ilmu Pendidikan, vol. 3, no. 2, pp. 145–152, 2023, doi: 10.51878/teaching.v3i2.2379.
S. Pratiwi, Abdussalam, and Y. Hariyani, “Upaya Peningkatan Keterampilan Pemecahan Masalah Siswa melalui Model PO2E2W,” vol. 1, no. 12, pp. 2439–2450, 2022.