Luluk Herawati (1), Ilmi Usrotin Choiriyah (2)
General Background: Stunting remains a persistent global health issue with significant implications for human development, particularly in Indonesia, where it affects children’s physical and cognitive growth and threatens the nation’s demographic potential. Specific Background: The Sidoarjo Health Center (Puskesmas) operates as a primary healthcare facility and serves as a key institution in implementing the government’s national strategy for accelerating stunting reduction. Knowledge Gap: Despite numerous government initiatives, the specific mechanisms and effectiveness of local health centers in addressing stunting through community-based interventions remain underexplored. Aims: This study aims to analyze the role of the Sidoarjo Health Center in stunting prevention using Gayatri’s (2005) role theory, which categorizes institutional functions as motivator, facilitator, and dynamicator. Results: The findings reveal that Puskesmas Sidoarjo successfully fulfills these roles by motivating health workers and the community, providing adequate medical facilities, and fostering cross-sector collaboration with government, academia, and civil organizations. Novelty: The study offers a localized perspective on stunting prevention, highlighting the integration of community empowerment and inter-sectoral partnerships at the primary healthcare level. Implications: Strengthening Puskesmas as a dynamic health actor can enhance national stunting reduction programs, ensuring sustainable improvements in child health and nutrition outcomes.Highlight :
The Sidoarjo Health Center acts as a motivator in providing nutrition education and stunting prevention for the community.
As a facilitator, the Health Center provides medical equipment to support stunting prevention programs.
As a dynamicator, the Health Center establishes cross-sector collaboration to strengthen program implementation.
Keywords : Role, Stunting Prevention, Sidoarjo Health Center, Motivator, Facilitator
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang dialami anak-anak akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak- anak didefinisikan sebagai stunting jika tinggi badan mereka lebih dari dua deviasi standar di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Dengan kata lain, stunting terjadi ketika anak memiliki tinggi badan yang sangat pendek untuk usianya. Stunting telah lama menjadi isu prioritas di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Ada beberapa alasan mengapa stunting menjadi perhatian pemerintah dan organisasi internasional, di antaranya dampak jangka panjang stunting terhadap kesehatan dan produktivitas. Di samping itu, dampak terhadap bonus demografi dan kualitas sumber daya manusia. Banyak negara, termasuk Indonesia, akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2030. Ini berarti jumlah penduduk usia produktif (15-59 tahun) lebih banyak daripada usia non-produktif (lebih dari 60 tahun). Stunting bukan hanya masalah kesehatan fisik, tetapi juga mempengaruhi perkembangan otak dan kemampuan belajar anak-anak. [1] Stunting disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Faktor lingkungan, perilaku pola asuh, sosial dan ekonomi juga mempengaruhi tinggi badan anak. Kasus stunting sering terjadi pada keluarga dengan kondisi ekonomi rendah. Dengan mengatasi stunting, kita juga berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial. Organisasi seperti WHO dan UNICEF menganggap stunting sebagai tantangan global. Kasus stunting yang terjadi pada anak usia dini merupakan masalah yang serius di Indonesia. Penyebab kasus stunting menjadi permasalahan yang serius pada gizi anak disebabkan kurangnya gizi yang didapat pada saat usia dini dan salahnya pemilihan makanan pendamping ASI pada anak. Tentunya, masalah serius ini berkaitan dengan optimasi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Kondisi sosial, ekonomi, gizi ibu selama kehamilan, kurangnya asupan gizi pada bayi, dan penyakit yang diderita bayi menjadi faktor yang turut mempengaruhi terjadinya stunting pada balita, sehingga menyebabkan kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal [2]
Untuk mengatasi masalah stunting di Indonesia, Pemerintah telah merancang Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting pada balita turun dari 37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 30,8 persen pada tahun 2018. Prevalensi stunting pada baduta (usia 0-23 bulan) juga mengalami penurunan dari 32,8 persen pada tahun 2013 menjadi 29,9 persen pada tahun 2018. Strategi ini mencakup berbagai intervensi yang melibatkan kerjasama lintas sektor di seluruh tingkatan pemerintah, swasta, dan masyarakat. Beberapa poin kunci dari strategi ini adalah, pertama, komitmen dan visi pemimpin tertinggi negara. Strategi ini didukung oleh komitmen dan visi dari pemimpin negara. Kedua, kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku, fokus pada pemahaman perubahan perilaku, komitmen politik, dan akuntabilitas. Ketiga, konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program dengan mengintegrasikan program nasional, daerah, dan masyarakat. Keempat, mendorong kebijakan ketahanan pangan dengan memastikan gizi yang cukup bagi anak-anak. Kelima, pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan.[3]
Sebagai salah satu bentuk komitmen untuk mempercepat penurunan stunting, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini merupakan payung hukum bagi Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting yang telah diluncurkan dan dilaksanakan sejak tahun 2018. [4] Perpres ini juga untuk memperkuat kerangka intervensi yang harus dilakukan dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting. Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting 14 persen di tahun 2024 dan target pembangunan berkelanjutan di tahun 2030 berdasarkan capaian di tahun 2024. Berdasarkan Lima Pilar Percepatan Penurunan Stunting, akan disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mendorong dan menguatkan konvergensi antar program melalui pendekatan keluarga beresiko stunting. Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 juga menetapkan Tim Percepatan Penurunan Stunting yang terdiri dari Pengarah dan Pelaksana. Wakil Presiden menjadi Ketua Pengarah yang didampingi oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta menteri-menteri lainnya. Sedangkan, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ditunjuk menjadi Ketua Pelaksana. Tim Percepatan Penurunan Stunting juga dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan desa/kelurahan. [5]
Upaya penurunan stunting dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik untuk menangani penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk menangani penyebab tidak langsung dalam Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota yang dibuat oleh Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Bappenas [6]. Diperlukan pendekatan yang menyeluruh yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung guna penurunan stunting. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota untuk berkolaborasi dalam penanganan stunting. Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah banyak dilakukan untuk mengatasi stunting di antaranya satu lagi pemberian makanan tambahan (PMT) untuk balita, penyuluhan tentang ASI Eksklusif dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta sejumlah inovasi dalam bentuk aplikasi (online) seperti lapor klunting dari kader posyandu ke puskesmas, EPPGBM (Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat). Namun, intervensi tersebut belum cukup untuk mengatasi stunting karena membutuhkan peran serta masyarakat untuk ikut berperan menangani masalah stunting. Puskesmas adalah sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terintegrasi kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Fokusnya tidak hanya pada pengobatan penyakit, tetapi juga pada pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Peran pokok puskesmas sebagai garda terdepan dalam sistem kesehatan nasional. Perannya tidak hanya terbatas pada pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat, tetapi juga mencakup peran koordinasi dan penguatan sistem rujukan. Tugas dan fungsi puskesmas terkait penanggulangan stunting dengan memantau Pertumbuhan Balita diantaranya melalui penimbangan dan pengukuran serta pengisian Kartu Menuju Sehat (KMS); Pemberian Kapsul Vitamin A; Praktek Pemberian Makan Bayi dan Anak (PMBA), pendidikan gizi Ibu Balita; serta penyuluhan pada Kelas Ibu Hamil. Kader Posyandu dan tenaga kesehatan di Puskesmas senantisa mengingatkan masyarakat yang memiliki bayi untuk memberi ASI eksklusif, yaitu bayi usia 0 sampai 6 bulan hanya mendapat ASI saja. Selanjutnya bayi dapat mengonsumsi Makanan Pendamping ASI mulai usia 6 bulan serta meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun atau lebih. Para kader di Posyandu juga memberi Penyuluhan PMBA yang diberikan di Posyandu. Hasil dari penyuluhan ini harus dipraktikkan di rumah supaya Balita mendapatkan asupan makanan bergizi yang sesuai dengan kebutuhannya, sehingga daya tahan tubuhnya menjadi lebih baik, dan anak jarang sakit, terhindar dari resiko stunting.
Puskesmas Sidoarjo mempunyai satu puskesmas pembantu yang ada di Desa Bluru dan dua PONKESDES yang ada di Desa Kemiri serta Desa Sidokare. Puskesmas Pembantu (Pustu) adalah jaringan pelayanan Puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan secara permanen di suatu lokasi dalam wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas Pembantu merupakan bagian integral Puskesmas, yang harus dibina secara berkala oleh Puskesmas. Selanjutnya Pondok Kesehatan Desa (PONKESDES) sebagaimana Posyandu memiliki peran yang sangat penting dalam kelembagaan kesehatan desa. Berikut adalah beberapa alasan mengapa Posyandu penting: Memberikan pelayanan kesehatan dasar di tingkat desa yang mudah diakses oleh masyarakat. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan.
Angka stunting diwilayah kerja Puskesmas Sidoarjo meliputi Sembilan desa binaan sesuai dengan target yang ditetapkan oleh Pemerintah yang tertuang dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2024 sebesar 14%. Berbagai program dan strategi dijalankan. Program ini bertujuan untuk memberikan perhatian khusus pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak serta memastikan mereka tumbuh dan berkembang dengan sehat. Program yang telah dilakukan ini juga untuk meningkatkan status gizi dan kualitas hidup anak-anak, Pelaksanaannya melibatkan berbagai sektor, termasuk Pemerintah Daerah, lembaga kesehatan, pendidikan, serta masyarakat secara keseluruhan. [7] Berpedoman pada SK Bupati Sidoarjo tentang Tim Percepatan Penurunan Stunting Kabupaten Sidoarjo periode 2022 – 2024 No 188/197/438.1.13/2022,Tim Pendamping Keluarga merupakan garda terdepan untuk mengawal mengatasi stunting pada lingkup kecil kelurahan hingga kecamatan. Diharapkan penurunan angka stunting di tahun 2024 bisa tercapai. Berikut Rekapitulasi Balita Stunting Puskesmas Sidoarjo dari tingkat kecamatan dan desa di wilayah kerja Puskesmas Sidoarjo 2022-2024 :
[ Tabel 1. Is here ]
Sumber : Puskesmas Sidoarjo, 2025
Melihat dari data Rekapitulasi Persentase Balita Stunting Puskesmas Sidoarjo pada tabel 1. dari tahun 2022 diketahui balita dengan indikasi stunting termasuk dalam jumlah tinggi, semakin tingginya jumlah stunting dari tahun 2022 - 2023 hal ini disebabkan kurang pemahaman orang tua mengenai deteksi dini masalah stunting yang dianggap remeh, dan masih banyak orang tua yang beranggapan memang masih kecil nanti saat sudah tambah usia akan tinggi dan besar sendiri, meskipun pemahaman itu salah jalur dan sudah diberikan binaan terkait pentingnya penanganan stunting sejak dini, namun orang tua masih banyak yang mengabaikan. Selanjutnya ditahun 2024 sudah mengalami penurunan dengan jumlah balita rutin periksa atau diukur TB, namun dari jumlah tersebut masih belum memenuhi target dan tujuan penurunan stunting di Puskesmas Sidoarjo. Hal ini menjadi perhatian khusus para petugas untuk lebih giat lagi dengan memberikan binaan mulai dari para kader desa untuk terus memberikan edukasi kesehatan ke warga binaannya akan pentingnya penanganan stunting sejak dini. Begitupun Puskesmas Sidoarjo terlebih pada para petugas kesehatan setempat. Dengan lebih giat lagi untuk meningkatkan program yang telah direncanakan dengan malakukan pemeriksaan lebih lanjut apakah balita tersebut benar terdiagnosa stunting, sehingga perlu dirujuk untuk diperiksa lebih lanjut oleh dokter spesialis anak. Ini merupakan bukti nyata keseriusan peran puskesmas Sidoarjo dalam melakukan percepatan penurunan stunting di Sembilan desa atau kecamatan sidoarjo.
Peran Puskesmas Sidoarjo untuk mengembangkan program pencegahan stunting, ada beberapa langkah krusial yang dapat di ambil. Langkah ini penting untuk diperhatikan karena berkaitan erat dengan stunting di masyarakat. Program pencegahan ini harus mencakup pendekatan yang komprehensif, mencakup aspek gizi, kesehatan, dan pendidikan. Puskesmas Sidoarjo memiliki peran krusial dalam upaya pencegahan stunting di Sembilan desa yang berada dalam naungan Puskesmas Sidoarjo. Sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan, Pertama Puskesmas bertanggung jawab dalam memberikan edukasi tentang gizi seimbang bagi ibu hamil dan balita, Kedua melakukan pemantauan pertumbuhan anak secara rutin, Ketiga memberikan intervensi gizi yang tepat, dan yang terakhir menggalakkan kampanye kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan anak. Merancang program pencegahan stunting yang efektif memerlukan analisis mendalam terhadap faktor-faktor resiko, seperti kondisi gizi ibu hamil dan balita, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan sanitasi lingkungan. Program ini mencakup pendidikan gizi, pemantauan pertumbuhan anak, akses terhadap makanan bergizi, kampanye kesadaran gizi, serta kerjasama dengan pihak terkait. Dengan demikian, program ini diharapkan dapat menekan angka stunting dan meningkatkan kesehatan generasi masa depan. Program pencegahan stunting juga diberikan pelatihan kepada petugas medis di Puskesmas Sidoarjo, sebagai peran aktif puskesmas dalam pencegahan stunting maka SDM petugas medis seperti Pendidikan dan Pelatihan untuk Tenaga Kesehatan, Program ini akan melibatkan pelatihan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas. Mereka akan diberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya gizi sejak dini dan bagaimana mendeteksi tanda-tanda stunting secara dini. Selain itu, penyediaan bahan pendidikan yang mudah dipahami dan aplikatif di lapangan juga menjadi prioritas [8].
Dari hasil observasi diatas terdapat beberapa hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Rahman et al., di Desa Donowarih Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang melakukan kajian dengan judul Analisis Kebijakan Pencegahan Stunting dan Relevansi Penerapan di Masyarakat. Penelitian tersebut berfokus pada analisis sumber daya dan analisis kesehatan di Desa Donowarih.Rancangan yang ditawarkan oleh pemerintahan desa dalam upaya pencegahan stunting dimulai dengan program tertib posyandu. Selain itu pemerintahan desa juga menggagas untuk dibuatkannya pelatihan kader- kader yang akan membantu Bidan penanggung jawab desa dalam mengatasi stunting, dan juga pemberian asupan gizi tambahan bagi ibu yang masih dalam tahap hamil dan menyusui serta bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Hayati Sofia Salmon, Donald K. Moninjta, Neni Kumayas tahun 2022, dalam penelitian berjudul “Strategi” Pemerintah Dalam Mengatasi Stunting di Kabupaten Pulau Sangihe (Studi Pelayanan Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana Sangihe). Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menemukan bahwa strategi pelayanan kesehatan untuk mendorong pasien stunting di Kabupaten Pulau Sangihe dilaksanakan dengan baik, namun kurangnya pengetahuan masyarakat tentang masalah stunting. Kajian kesetaraan sebelumnya dengan kajian ini Anda dipersilakan meneliti tentang strategi pemerintah dalam mengatasi stunting. Sedangkan perbedaan obyek kajian dulu dengan kajian sekarang, obyek kajian dulu mengacu pada kecamatan, sedangkan kajian ini lebih mengacu pada desa. Ketiga, Penelitian yang dilakukan oleh Nur Azizah, Nastia, Anwar Sadat pada tahun 2022, dalam penelitian yang berjudul “Strategi” Dinas Kesehatan dalam Mendorong Angka Penderita Stunting di Kabupaten Buton Selatan”. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif. ini ditemukan bahwa strategi pelayanan kesehatan dalam menekankan angka stunting belum berjalan dengan maksimal, karena masih ada masyarakat yang belum mengetahui dan tidak terlalu mementingkan adanya stunting [9]. Strategi pemerintah untuk mencegah terjadinya stunting, sedangkan perbedaan kajian sebelumnya menggunakan teori strategi pemerintahan dari Robbins, sedangkan kajian kali ini menggunakan teori peran pemerintahan dari Geoff Mulgan. Berdasarkan observasi dilapangan terdapat beberapa masalah dalam penangan masalah stunting diantaranya 1) kurangnya keterampilan kader yang lanjut usia,
2) Rendahnya SDM dari pihak keluarga terutama ibu, terkait pengetahuan penanganan stunting, 3) Saran dan aturan yang diberikan oleh pihak terkait baik petugas puskesmas atau kader tidak sepenuhnya dijalankan dengan baik, 4) Kurang rutin mengikuti jadwal kontrol anak, sehingga penanganan tidak bisa diberikan secara maksimal. Dari beberapa masalah terkait stunting tentu harus ada penangangan dari pemerintah setempat, Program penanganan stunting harus melibatkan masyarakat secara aktif, khususnya melalui pemberdayaan Posyandu dan kader kesehatan. Inovasi seperti aplikasi pemantauan gizi berbasis digital, Stunting bukan sekadar isu kesehatan, melainkan masalah multidimensi yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan hukum. Oleh karena itu, pendekatan holistik diperlukan untuk memastikan target penurunan prevalensi stunting dapat tercapai.
Dari observasi dilapangan peneliti memilih teori peran Puskesmas Sidoarjo menggunakan teori peran Menurut Gayatri (2005) mengemukakan puskesmas Sidoarjo memiliki peran untuk mengembangkan potensi pencegahan Stunting di daerahnya sebagai: 1) Motivator dalam pencegahan stunting, peran Puskesmas Sidoarjo sebagai motivator diperlukan agar geliat usaha pencegahan Stunting terus berjalan. Pegawai Puskesmas, masyarakat, serta Bidan penanggung jawab desa merupakan sasaran utama yang perlu untuk terus diberikan motivasi agar perkembangan pencegahan Stunting dapat berjalan dengan baik. 2) Fasilitator, Fasilitator sebagai fasilitator pengembangan potensi pencegahan stunting peran Puskesmas Sidoarjo adalah menyediakan segala fasilitas yang mendukung segala program pencegahan Stunting sampai ke Puskesmas Desa. Adapun pada prakteknya Puskesmas Sidoarjo bisa mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak, baik itu swasta maupun masyarakat. 3) Dinamisator, Dinamisator dalam program pencegahan stunting, dapat berlangsung dengan ideal, maka Puskesmas Sidoarjo, Kader atau Bidan penanggung jawab desa dan masyarakat harus dapat bersinergi dengan baik. Puskesmas Sidoarjo sebagai salah satu stakeholder pencegahan Stunting memiliki peran untuk mensinergiskan ketiga pihak tersebut dalam menangani pencegahan Stunting [10]. Oleh karena itu, Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti bertujuan melakukan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis bagaimana Peran Puskesmas Sidoarjo Dalam Pencegahan Stanting
Penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif ditujukan untuk menggambarkan situasi nyata di lapangan tanpa adanya pemanipulasian data. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sidoarjo dengan menganalisa pencegahan stunting [11]. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari informan yaitu pihak-pihak yang memiliki hubungan langsung dengan masalah kegiatan pencegahan Stunting mulai dari Kepala Puskesmas, Bidan penanggung jawab desa, dan masyarakat terutama sasaran ibu hamil dan juga ibu yang memiliki balita, sehingga keakuratan data dapat dipercaya. Informan penelitian diambil berdasarkan teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling, dimana subjek yang digunakan disesuaikan dengan ciri ciri yang diperlukan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan atau dengan kata lain subjek yang digunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian yang nantinya diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian [12]. Data sekunder penelitian ini berasal dari informasi dan kutipan yang diperoleh melalui buku, jurnal, berita yang relevan dengan penulisan skripsi. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan terjun langsung untuk melakukan pengamatan terhadap fenomena tersebut.
Teknik pengumpulan data wawancara menggunakan instrumen pedoman wawancara dan perekam suara, dokumentasi dilakukan sebagai bukti untuk memperkuat argumen [13]. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif (bentuk catatan lapangan hubungan kategori dan juga tabel sehingga mudah dipahami. Selanjutnya model analisis interaktif Menurut Miles and Huberman yaitu dalam penelitian kualitatif memungkinkan dilakukan analisis data ketika peneliti berada di lapangan ataupun sesudah kembali dari lapangan baru di adakan analisis. Dalam penelitian ini analisis data telah dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman (1984) alur analisis mengikuti model analisis interaktif [14]. Dalam penelitian proses analisis ini dilakukan melalui empat tahap, berikut ini: Pertama, Pengumpulan data yang didapat dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi dicatat pada catatan lapangan yang terdiri atas 2 bagian yaitu bagian deskriptif dan bagian reflektif. Kedua, Reduksi data selanjutnya sesudah data terkumpul dibuat reduksi data, untuk menentukan data yang relevan dan mempunyai maka, memfokuskan data yang mengarah pada pemecahan masalah, penemuan, pemaknaan atau untuk menjawab pertanyaan penelitian. Ketiga, Penyajian data, penyajian data bisa berbentuk tulisan, gambar, tabel dan grafik. Tujuan penyajian data untuk menggabungkan informasi sehingga bisa memberikan gambaran terhadap keadaan yang terjadi. Keempat, Penarikan kesimpulan, penarikan kesimpulan dilakukan selama berlangsungnya penelitian, seperti halnya proses reduksi data, sesudah data telah terkummpul memadai maka akan dapat diperoleh kesimpulan sementara, dan sesudah data benar-benar lengkap maka dapat diperoleh kesimpulan akhir [15].
Puskesmas menjadi salah satu pilar penting dalam program pencegahan stunting di Indonesia. Sebagaimana Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Perpres ini merupakan payung hukum bagi Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting yang telah diluncurkan dan dilaksanakan sejak tahun 2018. Perpres ini juga untuk memperkuat kerangka intervensi yang harus dilakukan dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting. Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting 14 persen di tahun 2024 dan target pembangunan berkelanjutan di tahun 2030 berdasarkan capaian di tahun 2024 [16]. Hal ini sejalan dengan Peran Puskesmas Sidoarjo yang telah berperan penting untuk pencegahan dan penurunan angka stunting. Puskesmas Sidoarjo memiliki peran krusial dalam upaya pencegahan stunting di Sembilan desa yang berada dalam naungan Puskesmas Sidoarjo. Sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan, Pertama Puskesmas bertanggung jawab dalam memberikan edukasi tentang gizi seimbang bagi ibu hamil dan balita, Kedua melakukan pemantauan pertumbuhan anak secara rutin, Ketiga memberikan intervensi gizi yang tepat, dan yang terakhir menggalakkan kampanye kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi dan kesehatan anak. Merancang program pencegahan stunting yang efektif memerlukan analisis mendalam terhadap faktor-faktor resiko, seperti kondisi gizi ibu hamil dan balita, akses terhadap pelayanan kesehatan, dan sanitasi lingkungan. Program ini mencakup pendidikan gizi, pemantauan pertumbuhan anak, akses terhadap makanan bergizi, kampanye kesadaran gizi, serta kerjasama dengan pihak terkait [17].
Bidan penanggung jawab desa memiliki peran yang sangat penting dalam implementasi program pencegahan stunting. Mereka bertugas untuk melakukan pemantauan pertumbuhan anak, memberikan edukasi kepada ibu tentang pentingnya gizi dan pola makan seimbang, serta melakukan penanganan gizi buruk jika diperlukan. Untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan stunting, bidan penanggung jawab desa perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka, menjalin Kerjasama dengan pihak terkait, dan melakukan edukasi kepada masyarakat desa. Melalui upaya yang berkelanjutan, diharapkan program ini dapat berhasil mengurangi angka stunting di Indonesia. Dari beberapa pernyataan diatas penulis dapat mendifinisikan terkait peran Puskesmas Sidoarjo sudah dijalankan dengan baik, sebagaimana teori peran yang digunakan: 1) Motivator, 2) Fasilitator, 3) Dinamisator. Puskesmas Sidoarjo sebagai salah satu stakeholder pencegahan Stunting memiliki peran untuk mensinergiskan ketiga pihak tersebut dalam menangani pencegahan Stunting.
A.Peran Sebagai Motivator
Peran Puskesmas Sidoarjo sebagai motivator dalam pencegahan stunting diperlukan agar geliat usaha pencegahan Stunting terus berjalan. Pegawai Puskesmas, masyarakat, serta Bidan penanggung jawab desa merupakan sasaran utama yang perlu untuk terus diberikan motivasi agar perkembangan perkembangan pencegahan Stunting dapat berjalan dengan baik. Menurut George R. Terry, Moekijat, [18] motivator yang biasanya memberikan hasil yang sangat memuaskan memiliki ciri yaitu melakukan perluasan dan perputaran pekerjaan, meningkatkan partisipasi dan peran serta, menerapkan manajemen berdasarkan hasil, melakukan sentuhan perilaku manajerial pada setiap tingkatan secara bertahap, memiliki kemampuan berpikir yang kuat, membangun hubungan antar manusia yang realistis, melakukan akomodasi lingkungan kerja, memiliki waktu kerja yang fleksibel,bersedia menerima kritik secara efektif, dan berusaha membangun sistem kerja yang solid.
Bidan penanggung jawab desa di wilayah Puskesmas Sidoarjo terus diperbaiki sehingga mampu menjadi penggerak di masyarakat terlebih ditahun 2025. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Kepala Puskesmas Sidoarjo, yaitu bidan sangat berperan secara aktif dalam menggerakkan masyarakat untuk secara aktif dan sadar akan pentingnya kesehatan, sebagai contoh masyarakat mulai sadar akan pentingnya pola hidup sehat, sumber air bersih, memeriksakan ibu hamil ke puskesmas/ponkesdes dan membawa anaknya untuk imunisasi. Sebagai bentuk peran motivator berikut beberapa hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti bersama petugas atau pegawai Puskesmas Sidoarjo:
“Bidan penanggung jawab desa disini aktif dan sudah menjalankan tupoksinya, sebagai contoh setiap posyandu bidan datang ke rumah warga yang punya bayi untuk memberikan informasi supaya ibunya membawa anaknya imunisasi. Jadi sangat bagus hal ini untuk terus dilakukan sebagai salah satu bentuk motivasi serta perhatian kepada masyarakat” (Humas Puskesmas Sidiarjo)
“Bidan penanggung jawab desa berperan dalam desa siaga, memberikan edukasi terkait pola hidup sehat bidan penanggung jawab desa akan turun langsung ke warga untuk mensosialisasikan terkait hidup sehat bagi balita, bukan hanya sasaran para ibu mudah namun juga para ibu hamil mengenai makanan dan gizi yang baik” (Tenaga gizi dan promosi kesehatan)
“Bidan penanggung jawab desa sudah mampu menjadi motivator bagi masyarakat desa. Bidan penanggung jawab desa ikut serta berperan dalam menggerakkan masyarakat untuk rajin memeriksakan diri ke Ponkesdes, kami juga para kader terus diberikan pengarahan dan juga info-info penting dengan begitu cepat dan tepat, sehingga menambah semangat dan aktif kami para kader desa” (Tenaga kesehatan lingkungan)
Terkait hasil wawancara diatas diperkuat oleh para nakes, terlihat peran motivator sudah sesuai dan dilakukan dengan baik dan juga pembekalan pelatihan yang diberikan kepala Puskesmas Sidoarjo bersama Bidan penanggung jawab desa juga sebagai salah satu pendukung yang penting, selanjutnya Bidan penanggung jawab desa mampu mengimplemasikan kepada kader desa agar mampu menyampaikan kepada kalangan masyarakat terutama ibu hamil dan juga ibu yang mempunyai balita agar sesuai sasaran. Peran motivator adalah peran untuk menyadarkan dan mendorong kelompok untuk mengenali potensi dan masalah, dan dapat mengembangkan potensi dan masalah, dan dapat mengembangkan potensinya untuk memecahkan masalah tersebut. Berikut hasil dokumentasi kader desa bersama warga masyarakat sekitar terkait penyampaian pentingnya stunting:
Figure 1. Dokumentasi Kader Desa Bersama Warga Masyarakat Sekitar Terkait Penyampaian Pentingnya Stunting
Melihat dari hasil dokumentasi diatas terkait kegiatan petugas ahli gizi memberikan pembinaan kader kesehatan posyandu agar mampu memberikan informasi dan motivasi kepada masyarakat secara langsung.Bidan penanggung jawab desa juga kader kesehatan berperan penting dalam memberikan informasi serta panduan tentang pola makan bernutrisi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan, bahwa teori peran sebagai motivator sudah berjalan dengan baik Bidan penanggung jawab desa beserta petugas gizi dan petugas promosi kesehatan dari Puskesmas Sidoarjo memberikan edukasi dan juga motivasi kepada warga akan pentingnya makanan bergizi, kesehatan bayi, dan juga pentingnya ikut serta aktif dalam posyandu balita, kegiatan pelayanan baik konsultasi tumbuh kembang anak, gizi anak, edukasi Kesehatan balita. Terkait hasil wawancara penulis dapat menganalisis terkait peran motivator Puskesmas Sidoarjo, Peran tenaga kesehatan masyarakat sebagai motivator untuk mempromosikan kesehatan sangat krusial dalam upaya pemberian edukasi gizi dan stunting kepada masyarakat, khususnya para ibu terkait asupan gizi anak. Peran tenaga kesehatan masyarakat berkaitan erat dengan upaya meningkatkan derajat kesehatan secara menyeluruh. Hal ini sejalan dengan hasil penelitan oleh Rahman et al., di Desa Donowarih Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang melakukan kajian dengan judul Analisis Kebijakan Pencegahan Stunting dan Relevansi Penerapan di Masyarakat. Penelitian tersebut berfokus pada analisis sumber daya dan analisis kesehatan di Desa Donowarih. Rancangan yang ditawarkan oleh pemerintahan desa dalam upaya pencegahan stunting dimulai dengan program tertib posyandu. Selain itu pemerintahan desa juga menggagas untuk dibuatkannya pelatihan kader-kader yang akan membantu Bidan penanggung jawab desa dalam mengatasi stunting, dan juga pemberian asupan gizi tambahan bagi ibu yang masih dalam tahap hamil dan menyusui serta bayinya.
Puskesmas Sidoarjo juga memiliki peran yang signifikan dalam penanggulangan stunting melalui berbagai kegiatan seperti halnya penyuluhan, pemeriksaan kesehatan secara berkala, pendistribusian suplemen gizi, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), serta program pemantauan dan evaluasi. Oleh karena itu, untuk memaksimalkan program Dinas kesehatan dan memastikan program tersebut berjalan maksimal, pemerintah telah mengoptimalkan fungsi kader posyandu. Tenaga kesehatan masyarakat yang berada di tingkat Puskesmas memiliki peran untuk memberikan pelatihan kepada kader kesehatan posyandu, sehingga fungsi kader sebagai pelayan kesehatan, penyuluh kesehatan, penggerak dan pemberdayaan masyarakat, dan pemantauan kesehatan dapat maksimal. Penanganan stunting ini melibatkan berbagai stakeholder, khususnya tenaga kesehatan masyarakat yang memegang peran preventif atau pencegahan dan fungsi promotif atau promosi kesehatan. Kerjasama yang baik antar elemen tingkat pemerintahan hingga daerah diharapkan dapat menekan angka stunting di Indonesia dan dapat menjadi sarana untuk mencapai Indonesia emas di masa mendatang.
B.Peran Fasilitator
Upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat tidak lepas dari peran puskesmas. Peran Puskesmas Sidoarjo sebagai fasilitator pengembangan potensi pencegahan stunting dengan menyediakan segala fasilitas yang mendukung segala program pencegahan Stunting sampai ke Puskesmas Desa. Adapun pada prakteknya Puskesmas Sidoarjo bisa mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak, baik itu swasta maupun masyarakat. Puskesmas juga memberikan fasilitas dengan menyediakan program gizi balita, imunisasi, dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi ibu hamil. Puskesmas juga melakukan pemantauan pertumbuhan anak secara berkala dan memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga mengenai pola makan yang seimbang. Dengan upaya ini, Puskesmas berperan penting dalam mencegah stunting dan memastikan generasi masa depan tumbuh dengan sehat dan optimal. Terkait peran fasilitator puskesmas Sidoarjo sudah memberikan bebapa alat-alat pendukung kesehatan baik berupa timbangan, buku panduan, Infantometer board, Baby Scale, Stature meter/stadiometer dll, Berikut hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terkait peran fasilitator:
“Sebagai salah satu pendukung penting program pencegahan Stunting adalah alat-alat pendukung yang harus tersedia, karena dengan adanya alat kesehatan ini akan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas, kami selaku nakes sangat membutuhkan alat tersebut untuk memberikan pelayanan berkualitas untuk mendeteksi pencegahan stanting lebih dini” (Bidan penanggung jawab desa)
“Fasilitas yang berupa alat kesehatan memang sudah disediakan disetiap tempat kader desa, dan apabila ada alat yang belum kita miliki kita bisa meminjam ke puskesmas sidoarjo saat kita malakukan kegiatan posyandu desa sesua dengan prosedur yang ada” (Kader)“
Dari hasil wawancara diatas terlihat beberapa fasilitas yang sudah disediakan oleh puskesmas sidoarjo sebagai salah satu pendukung penting dalam pencegahan stunting, Puskesmas merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat di setiap kota. Puskesmas memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke rumah sakit atau klinik swasta, di Puskesmas Sidoarjo, kita dapat menemukan berbagai layanan kesehatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan medis dasar hingga pelayanan kesehatan spesialis. pentingnya peran fasilitator untuk mendukung berjalannya program. Berikut dokumentasi alat-alat kesehatan yang disediakan oleh Puskesmas Sidoarjo:
Figure 2. Dokumentasi Alat-Alat Kesehatan
Sumber: Kegiatan Bidan penanggung jawab desa bersama kader terkait penanganan Stunting (2025)
Dari hasil dokumentasi alat yang tersedia sudah terbilang sangat mendukung dalam program pencegahan stunting, serta melihat dari hasil wawancara penulis menganalisis bahwa fasilitas atau peran fasilitator Puskesmas Sidoarjo sudah berjalan dengan baik, dan hal-hal yang dianggap kurang akan terus diupayakan agar fasilitas yang diberikan mampu dirasakan secara merata oleh warga atau masyarakat setempat yang membutuhkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Fadhilla Utari dengan hasil penelitian Upaya pencegahan terhadap stunting telah diberlakukan di Indonesia, seperti pemberian ASI Eksklusif, Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI), penimbangan dan pengukuran bayi, pemeriksaan ibu hamil, pemberian tablet tambah darah (TTD), dan pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil yang menderita penyakit khusus. Agar program pencegahan stunting berhasil, pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus berkolaborasi.
Peran Puskesmas dan program penanganan kasus stunting sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, program pencegahan preventif menjadi penting di Indonesia. Namun, keberhasilan program tergantung pada tersedianya sumber daya manusia, anggaran yang tersedia, sarana dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan program tersebut. Jika beberapa hal tersebut tidak sesuai dengan program, maka program tidak akan berjalan dengan seharusnya. Sumber daya manusia adalah salah satu faktor terpenting untuk berfungsinya program dengan baik. Tanpa elemen-elemen ini atau kualitas yang buruk, sulit bagi program untuk berfungsi dan berfungsi dengan baik, bahkan dengan cara lain. Anggaran juga merupakan salah satu hal terpenting dalam pelaksanaan program karena kebutuhan program ditanggung oleh anggaran. Selain sarana dan prasarana, peningkatan infrastruktur sangat penting untuk memperlancar pelaksanaan program.
C.Peran Sebagai Dinamisator
Peran dinamisator adalah menggerakan partisipasi multipihak atau keterampilan stakeholder. Sebagai dinamisator, Puskesmas Sidoarjo berperan melalui pemberian bimbingan dan pengarahan yang intensif dan efektif kepada masyarakat. Bimbingan dan pengarahan sangat diperlukan dalam memelihara dinamika. Puskesmas Sidoarjo melalui tim penyuluh maupun badan tertentu memberikan bimbingan dan pelatihan kepada Tim penggerak kesejahteraan keluarga. Puskesmas Sidoarjo setiap 3 bulan mengadakan mini loka karya membahas program kerja Puskesmas bekerjasama dengan Kelurahan/Pemerintah Desa dan turut mengundang Dinsos, P3AKB serta bekerjasama dengan Kecamatan apabila ada kesulitan dalam penanganan misalnya ada keluarga yang menolak diberikan intervensi dari pihak Kecamatan akan langsung menjembatani dan menindaklanjuti, demikian pula Dinsos mengadakan baksos dengan meminta data ke puskesmas, P3AKB mendampingi bidan penanggung jawab desa dengan memberikan penyuluhan kesehatan keluarga dengan resiko tinggi. Puskesmas Sidorjo sebagai dinamisator berfungsi untuk memberikan bimbingan dan arahan yang efektif serta menyeluruh kepada masyarakat tanpa melihat adanya perbedaaan ataupun strata sosial di masyarakat.
Sebagai peran dinamisator Puskesams Sidoarjo sebagaimana telah disebutkan diatas telah bekerjasama dengan pihak – pihak lain, Prakarsa pemerintah dalam pencegahan dan penurunan stunting tidak dapat dilakukan sendirian. Upaya ini membutuhkan dukungan mitra pembangunan baik dari sektor swasta (public private partnership), akademisi/universitas, organisasi masyarakat madani (civil society organization), dan masyarakat. Berikut hasil wawancara bersama pihak nakes dan juga pihak mitra terkait:
“Kemitraan dan kolaborasi merupakan faktor penting dalam upaya pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Tanpa adanya kerjasama yang baik antara berbagai pihak, kami selaku TIM P3AKB sangat menyambut baik dalam kerjasama ini terlebih kerjasama ini menyangkut kesehatan anak-anak atau balita dalam pencegahan stunting, tentunya kami akan mendukung sepenuhnya” (P3AKB)
“Beberapa pihak yang bekerjasama dengan program stunting yang kita jalankan banyak yang menyambut dengan baik, hal ini merupakan kersama yang positif bagi program kami agar kedepannya mampu sepenuhnya mencegah stunting dengan memberikan pelayan terbaik” (Dinsos)
“Selama ini memang sudah banyak pihak-pihak terkait yang kami ajak untuk bekerjasama untuk mensukseskan program yang ada, baik terkait stunting dan lainnya, hal ini kami lakukan untuk mempermudah akses implementasi ke masyarakat agar bisa tersampaikan secara menyeluruh dan setiap stakeholder mampu menjembatani serta mendukung program Puskesmas Sidoarjo dengan baik” (Kepala Puskesmas Sidoarjo)
Melihat dari hasil wawancara diatas sudah memberikan penjelasan terkait kerjasama dengan beberapa mitra, dalam peran dinamisator Puskesmas Sidoarjo program pencegahan stunting dapat berlangsung dengan ideal, maka dengan berkolaborasi bersama beberapa pihak dan juga Kader kesehatan atau Bidan penanggung jawab desa dan masyarakat harus dapat bersinergi dengan baik. Berikut dokumentasi kegiatan kunjungan Bidan penanggung jawab desa serta sosialisasi cegah stunting bersama kader dan Bidan penanggung jawab desa beserta pihak-pihak terkait :
Figure 3. Dokumentasi Sosialisasi Cegah Stunting
Sumber : Kegiatan sosialisasi cegah stunting dengan pihak terkait (2024)
Dari hasil dokumentasi serta pernyataan wawancara pihak Puskesmas Sidoarjo sudah melakukan kerjasama sebagai bukti peran dinamisator, bekerja sama dengan pihak lain membantu meningkatkan kredibilitas karena reputasi positif dari partner kerja dapat berdampak pada citra Puskesmas Sidoarjo, Melihat kebutuhan masyarakat yang begitu besar dalam peran Puskesmas Sidoarjo sebagai dinamisator dalam pencegahan stunting diperlukan untuk memberikan bimbingan terhadap Sembilan Desa Dalam Binaan Puskesmas Sidoarjo diantaranya : Magersari, Pucang, Kemiri, Bluru kidul, Sidoklumpuk, Sidokumpul, Sidokare, Pekauman, dan Lemah putro, masukan dan arahan dari pemerintah sangat di butuhkan agar terjaganya dinamika pemerintah di masyarakat melalui lembaga pemerintah tertentu maupun penyuluh yang bertugas di masyarakat dengan memberikan arahan bimbingan maupun pelatihan kepada masyarakat terkait stunting. Terdapat beberapa aspek yang menjadi pendukung peran pemerintah sebagai dinamisator agar lebih berkembang lagi, yaitu (1) Motivator, (2) pendampingan, (3) pelatihan dan (4) kunjungan lapangan.
Dari hasil dokumentasi serta kegiatan sosialisasi, pendampingan, pelatihan dan kunjungan lapangan sudah dilakukan dengan baik. Pendampingan keluarga dan balita beresiko stunting terhadap penatalaksanaan sosialisasi menggunakan strategi pendekatan warga sangat efisien dalam proses pendampingan. Sebelum menggunakan konsep pendekatan dan bimbingan harus mempunyai strategi, proses penanganan stunting biasanya diselesaikan dalam jangka waktu satu hingga tiga bulan. Akan tetapi, proses penanganan menjadi lebih singkat, yaitu tiga minggu. Tiga tahapan mulai dari beberapa tahapan dengan sosisalisasi dan meningkatkan pencegahan stunting yang bertujuan untuk membantu menuntaskan permasalahan kesehatan para keluarga dan balita beresiko stunting. Selanjutnya dari hasil beberapa ulasan diatas peneliti dapat mengalisis, Puskesmas Sidoarjo sebagai peran dinamisator telah berhasil memberikan pembinaan diantaranya : 1) Pembinaan dalam Edukasi Gizi Seimbang bagi Ibu Hamil dan Balita untuk Pencegahan Stunting, 2) Pembinaan Penguatan Kapasitas Anggota kader kesehatan dalam Deteksi Dini dan Penanganan Kasus Stunting di Komunitas, 3) Pengelolaan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk Mencegah Stunting melalui Posyandu, 4) Teknik Komunikasi Efektif untuk Penyuluhan Stunting di Kalangan Masyarakat, 5) Optimalisasi Pemanfaatan Pangan Lokal Sebagai Sumber Gizi untuk Mencegah Stunting, 6) Pemahaman Dasar Kesehatan dan Gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), 7) Strategi Kolaborasi PKK dengan Puskesmas dan Posyandu dalam Upaya Penurunan Stunting, dan Inovasi Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencegahan Stunting Berbasis Keluarga.Sejalan dengan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting merupakan payung hukum bagi Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting yang telah diluncurkan dan dilaksanakan sejak tahun 2018. Peraturan ini diterbitkan sebagai salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk mempercepat penurunan stunting. Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ni Wayan Ekariani (2023) Hasil yang didapatkan menunjukkan pemberdayaan masyarakat melalui kader kesehatan posyandu untuk mencegah stunting telah berjalan dengan baik dengan beberapa kegiatan seperti pelatihan fortifikasi pangan, pembelajaran lapangan terpadu dan melatih keterampilan deteksi dini kejadian stunting. Diharapkan dari penelitian literature review ini bisa menjadi acuan dan strategi yang perlu dilakukan sebagai upaya untuk membantu pemerintah dalam percepatan penurunan stunting..
Sesuai dengan tujuan penelitian untuk menganalisis bagaimana Peran Puskesmas Sidoarjo Dalam Pencegahan Stunting. Dengan menggunakan teori peran Gayatri Motivator, Fasilitator, Dinamisator. Puskesmas Sidoarjo sudah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Pertama, Puskesmas Sidoarjo sebagai Motivator, telah berperan sesuai dengan arahan dan kebijakan yang berlaku sebagai tenaga kesehatan masyarakat baik kader kesehatan maupun Bidan penanggung jawab desa sebagai motivator telah mempromosikan kesehatan terkait pentingnya pencegahan stunting dalam upaya pemberian edukasi gizi dan stunting kepada masyarakat, khususnya para ibu terkait asupan gizi anak. Peran tenaga kesehatan masyarakat berkaitan erat dengan upaya meningkatkan derajat kesehatan secara menyeluruh. Kedua, Puskesmas Sidoarjo sebagai Fasilitator, peran fasilitator Puskesmas Sidoarjo sudah berjalan sudah sesuai dengan penyediaan alat- alat kesehatan yang dibutuhkan dalam program pencegahan stunting dan terus diupayakan agar fasilitas yang diberikan mampu dirasakan secara merata oleh warga atau masyarakat setempat yang membutuhkan. Ketiga, Puskesmas Sidoarjo sebagai Dinamisator telah bekerjasama dengan beberapa pihak, hal ini diupayakan sebagai salah satu bentuk untuk meningkatkan kredibilitas karena reputasi positif dari partner kerja dapat berdampak pada citra Puskesmas Sidoarjo sebagai peran dinamisator telah berhasil bekerjasama dengan sektor swasta (public private partnership), akademisi/universitas, organisasi masyarakat madani (civil society organization), dan masyarakat serta mampu memberikan pembinaan diantaranya : 1) Pembinaan dalam Edukasi Gizi Seimbang bagi Ibu Hamil dan Balita untuk Pencegahan Stunting, 2) Pembinaan Penguatan Kapasitas Anggota kader kesehatan dalam Deteksi Dini dan Penanganan Kasus Stunting di Komunitas, 3) Pengelolaan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk Mencegah Stunting melalui Posyandu, 4) Teknik Komunikasi Efektif untuk Penyuluhan Stunting di Kalangan Masyarakat, 5) Optimalisasi Pemanfaatan Pangan Lokal Sebagai Sumber Gizi untuk Mencegah Stunting, 6) Pemahaman Dasar Kesehatan dan Gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), 7) Strategi Kolaborasi PKK dengan Puskesmas dan Posyandu dalam Upaya Penurunan Stunting, dan 8) Inovasi Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Pencegahan Stunting Berbasis Keluarga.
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat tauhid dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian tentang “Peran Puskesmas Sidoarjo Dalam Penanggulangan Stunting” hingga selesai. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya itu, penulis ingin berterima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam menyelesaikan penelitian ini khusunya Kepala Puskesmas ,Bidan penanggung jawab desa,Petugas Gizi Puskesmas Sidoarjo,Kader Kesehatan, Lintas Sektor yang terlibat dalam penyusunan jurnal ini serta Ibu Balita tempat dimana saya melakukan penelitian ini,
R. Agustia, N. Rahman, dan H. Hermiyanty, “Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 12–59 Bulan di Wilayah Tambang Poboya, Kota Palu,” Ghidza: Jurnal Gizi dan Kesehatan, vol. 2, no. 2, hlm. 59–62, 2020, doi: 10.22487/ghidza.v2i2.10.
S. Anggara, Metode Penelitian Administrasi, Bandung, Indonesia: Pustaka Setia, 2015.
D. Bhirawa, “Kasus Stunting di Sidoarjo Terjadi pada 31 Desa,” Harian Bhirawa, 2021. [Online]. Tersedia: [https://www.harianbhirawa.co.id/kasus-stunting-di-sidoarjo-terjadi-pada-31-desa/](https://www.harianbhirawa.co.id/kasus-stunting-di-sidoarjo-terjadi-pada-31-desa/).
F. Cahyono, S. P. Manongga, dan I. Picauly, “Faktor Penentu Stunting Anak Balita pada Berbagai Zona Ekosistem di Kabupaten Kupang,” Jurnal Gizi Pangan, vol. 11, no. 1, hlm. 9–18, 2016, doi: 10.25182/jgp.2016.11.1.%25p.
Databoks, “Prevalensi Stunting Balita Indonesia Tertinggi ke-2 di Asia Tenggara,” Katadata Databoks, 2021. [Online]. Tersedia: [https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/25/prevalensi-stunting-balita-indonesia-tertinggi-ke-2-di-asia-tenggara](https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/25/prevalensi-stunting-balita-indonesia-tertinggi-ke-2-di-asia-tenggara).
R. Destarina, “Faktor Risiko Anemia Ibu Hamil terhadap Panjang Badan Lahir Pendek di Puskesmas Sentolo 1 Kulon Progo D.I. Yogyakarta,” Gizi Indonesia, vol. 41, no. 1, hlm. 39, 2018, doi: 10.36457/gizindo.v41i1.250.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, “Bupati Minta Warga Sidoarjo Biasakan Konsumsi Air Bersih dan Sehat untuk Mencegah Kasus Stunting,” 2021. [Online]. Tersedia: [http://dinkes.sidoarjokab.go.id/2021/12/13/bupati-minta-warga-sidoarjo-biasakan-konsumsi-air-bersih-dan-sehat-untuk-mencegah-kasus-stunting/](http://dinkes.sidoarjokab.go.id/2021/12/13/bupati-minta-warga-sidoarjo-biasakan-konsumsi-air-bersih-dan-sehat-untuk-mencegah-kasus-stunting/).
Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, “Sosialisasi Gencar, Angka Kasus Stunting di Kabupaten Sidoarjo Mulai Menurun,” 2021. [Online]. Tersedia: [http://dinkes.sidoarjokab.go.id/2021/09/08/sosialisasi-gencar-angka-kasus-stunting-di-kabupaten-sidoarjo-mulai-menurun/](http://dinkes.sidoarjokab.go.id/2021/09/08/sosialisasi-gencar-angka-kasus-stunting-di-kabupaten-sidoarjo-mulai-menurun/).
C. I. Fertman dan D. D. Allensworth, Health Promotion Programs: From Theory to Practice, edisi ke-2. San Francisco, CA: Jossey-Bass/Society for Public Health Education (SOPHE), 2016.
E. Kasim, N. Malonda, dan M. Amisi, “Hubungan antara Riwayat Pemberian Imunisasi dan Penyakit Infeksi dengan Status Gizi pada Anak Usia 24–59 Bulan di Kecamatan Ratahan Kabupaten Minahasa Tenggara,” Jurnal Bios Logos, vol. 9, no. 1, hlm. 35–43, 2019, doi: 10.35799/jbl.9.1.2019.23421.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), Laporan Baseline SDG tentang Anak-Anak di Indonesia, Jakarta, Indonesia: UNICEF Indonesia, 2017. [Online]. Tersedia: [https://www.unicef.org/indonesia/id/SDG_Baseline_report.pdf](https://www.unicef.org/indonesia/id/SDG_Baseline_report.pdf).
Kementerian PPN/Bappenas, Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Periode 2018–2024, Jakarta, Indonesia: Sekretariat Percepatan Pencegahan Stunting, 2019.
Keputusan Bupati Sidoarjo Nomor 188/344/438.1.13/2021, Tentang Desa Prioritas Pencegahan dan Penanganan Stunting serta Intervensi Gizi Spesifik dan Sensitif di Kabupaten Sidoarjo, Sidoarjo, Indonesia: Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, 2021.
E. Masri, S. Nengsih, dan W. Dara, “Kepatuhan Ibu dalam Kegiatan Pos Gizi dengan Ketepatan Pemberian Makan dan Kecukupan Asupan Energi pada Balita,” Jurnal Kesehatan Perintis, vol. 8, no. 2, hlm. 166–174, 2021, doi: 10.33653/jkp.v8i2.657.
Maulidia, R. D. Nyoto, dan A. S. Sukamto, “Sistem Informasi KMS (Kartu Menuju Sehat): Studi Kasus UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Barat,” Jurnal Sistem dan Teknologi Informasi (JUSTIN), vol. 1, no. 1, hlm. 1–6, 2015.
A. Mauluddin dan Novianti, “The Role of the Population, Family Planning and Family Development Program (KKBPK) in Reducing Stunting Prevalence,” JCIC: Jurnal Lembaga Riset dan Konsultan Sosial, vol. 2, no. 1, hlm. 20–28, 2020, doi: 10.51486/jbo.v2i1.50.
M. B. Miles, A. M. Huberman, dan J. Saldaña, Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook, edisi ke-3. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2014.
F. Novandi, “Aksi Pencegahan Kasus Stunting di Kota Samarinda melalui Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Pro-Bebaya),” Jurnal Riset Inossa, vol. 3, no. 2, hlm. 76–86, 2022, doi: 10.54902/jri.v3i2.50.
N. Azizah dan A. S. Nastia, “Strategi Dinas Kesehatan dalam Menekan Laju Penderitaan Stunting di Kabupaten Buton Selatan,” JIP: Jurnal Inovasi Penelitian, vol. 2, no. 12, hlm. 4145–4152, 2022.
G. R. Terry dan L. W. Rue, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara, 2008.