Romi Saputra (1), Deka Ismi Mori Saputra (2), Raja Bani Pilitan (3), Ikhsan Maulana Putra (4), Jhony Hendra (5), Titis Wulandari (6)
General Background: Sepak bola usia muda tidak hanya membina keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter, motivasi, dan dinamika sosial pemain. Specific Background: Perkembangan komunikasi digital melalui media sosial mengubah pola interaksi antara pemain, pelatih, dan manajemen, yang berpotensi memengaruhi motivasi dan kohesi tim. Knowledge Gap: Penelitian sebelumnya lebih banyak menyoroti motivasi atlet secara umum, namun belum banyak mengkaji peran media sosial dalam interaksi sosial dan motivasi di sekolah sepak bola. Aims: Penelitian ini bertujuan menganalisis dinamika interaksi sosial serta faktor-faktor motivasi pemain di Sekolah Sepak Bola Sangar Muda. Results: Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi sosial di SSB Sangar Muda berlangsung akrab dan harmonis, namun komunikasi lebih dominan terjadi melalui media sosial daripada tatap muka, sehingga menurunkan kedekatan emosional. Motivasi pemain dipengaruhi oleh cita-cita menjadi profesional, kepuasan pribadi, kesenangan berlatih, dukungan keluarga, peran pelatih, pengaruh teman sebaya, serta penghargaan. Novelty: Studi ini menyoroti pergeseran komunikasi ke ruang digital sebagai faktor baru dalam pembinaan sepak bola usia dini. Implications: Temuan memberikan strategi praktis bagi pelatih dan manajemen untuk menggabungkan komunikasi digital dengan interaksi tatap muka agar terbentuk kohesi emosional dan motivasi berkelanjutan.
Highlight:
Pemain lebih banyak berkomunikasi melalui media sosial dibanding tatap muka.
Motivasi dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik, termasuk dukungan keluarga serta pelatih.
Strategi pembinaan perlu menggabungkan komunikasi digital dan interaksi langsung untuk menjaga kohesi tim.
Keywords: Social Interaction, Player Motivation, Youth Football, Digital Communication, Coaching
Olahraga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya sebagai sarana kebugaran fisik tetapi juga sebagai wahana pembinaan mental, sosial, dan karakter bangsa [1], [2]. Dalam konteks keolahragaan nasional, olahraga menjadi alat pemersatu yang mampu menjembatani perbedaan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Indonesia yang majemuk. Keolahragaan juga berfungsi sebagai media pembentukan kepribadian, penguatan disiplin, serta pengembangan nilai-nilai sportivitas dan kerja sama [3], [4]. Untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya sehat secara fisik tetapi juga matang secara sosial dan emosional, pengembangan olahraga—terutama sejak usia dini—perlu mendapat perhatian yang cermat [5].
Sepak bola adalah salah satu olahraga paling populer dan memiliki daya tarik publik yang besar. Sepak bola merupakan salah satu olahraga paling populer dan terkenal di dunia, terutama di Indonesia. Sepak bola pertama kali dimainkan di kepulauan Indonesia pada masa kolonial, dan sejak itu, sepak bola berkembang pesat dan berasimilasi ke dalam masyarakat sebagai bentuk hiburan, cara untuk meraih kesuksesan, dan cara untuk membangun karakter pribadi [6], [7]. Permainan ini dimainkan di lapangan kecil, di jalur-jalur kecil, dan bahkan di halaman sekolah, di samping stadion-stadion besar dan kompetisi resmi [8], [9].
Sepak bola, salah satu olahraga paling populer, mencakup banyak elemen lain, seperti interaksi sosial antara pemain, pelatih, dan pemangku kepentingan lainnya, selain permainan yang dimainkan di lapangan. Elemen non-teknis seperti motivasi, kolaborasi, dan komunikasi sama pentingnya dalam permainan ini dengan kemampuan teknis seperti penguasaan bola, menggiring bola, menembak, dan mencetak gol. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan perkembangan sosial dan psikologis pemain saat mengembangkan pemain sepak bola. Salah satu faktor terpenting yang memengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup seorang pemain sepak bola adalah dinamika koneksi sosial dalam skuad [3], [10].
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan menekankan bahwa pembangunan keolahragaan nasional harus dilandasi oleh prinsip keberlanjutan, keterpaduan, dan pemberdayaan, serta mengedepankan nilai-nilai sportivitas, kebersamaan, dan profesionalisme. Dalam pasal-pasalnya, pembinaan olahraga usia dini menjadi salah satu prioritas, dengan tujuan membentuk karakter bangsa yang unggul. Oleh karena itu, pembinaan yang terjadi di klub-klub lokal seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek kompetisi, tetapi juga pada pembentukan nilai-nilai sosial, komunikasi efektif dalam tim, serta penumbuhan motivasi intrinsik yang kuat dalam diri para pemain muda [11].
Interaksi sosial dalam sepak bola mencakup berbagai aspek, termasuk komunikasi antar pemain, hubungan antara pemain dan pelatih, serta dinamika kelompok dalam tim. Hubungan yang baik antar anggota tim dapat menciptakan lingkungan yang positif, yang pada akhirnya meningkatkan motivasi pemain untuk berlatih lebih giat dan menunjukkan performa terbaik mereka di lapangan [12], [13]. Sebaliknya, ketidakharmonisan dalam tim dapat menyebabkan perselisihan dan menurunkan moral serta motivasi pemain. Oleh karena itu, memahami bagaimana interaksi sosial memengaruhi motivasi pemain sangatlah penting dalam proses pembinaan sepak bola.
Sekolah sepakbola (SSB) atau akademi sepakbola telah menjadi pondasi penting dalam pembinaan bakat-bakat sepakbola di seluruh dunia[5]. Sekolah Sepak Bola (SSB) Sangar Muda yang berfokus pada pengembangan pemain usia muda. SSB ini tidak hanya bertujuan untuk mencetak pemain berbakat yang bisa bersaing di tingkat profesional, tetapi juga memberikan wadah bagi anak-anak dan remaja untuk menyalurkan minat mereka dalam sepak bola serta mengembangkan keterampilan sosial mereka. Lingkungan kompetitif seperti ini, interaksi sosial antara pemain, pelatih, dan pengurus klub memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan mental dan emosional para pemain. Semangat, disiplin, dan motivasi dalam menjalani latihan dan pertandingan sering kali terbentuk melalui pengalaman sosial yang mereka peroleh di dalam tim [14], [15].
Interaksi sosial dalam tim sepak bola tidak hanya terjadi antara pemain dengan pemain, tetapi juga antara pemain dengan pelatih, pemain dengan manajemen, serta dengan suporter dan komunitas di sekitar mereka. Pelatih memiliki peran yang sangat besar dalam membangun suasana tim yang positif. Gaya kepelatihan yang diterapkan bisa menjadi faktor penentu apakah seorang pemain merasa termotivasi atau tidak.
Meskipun sulit untuk dikuasai, proses ini krusial bagi kesuksesan tim yang dipimpin oleh seorang pelatih yang dapat memberikan dampak signifikan bagi atletnya dengan memupuk kerja sama tim yang baik. Setiap pelatih telah memenuhi kebutuhan unik sekelompok atlet yang senantiasa memfokuskan upaya mereka untuk menciptakan tim yang bermotivasi tinggi dan kohesif melalui latihan dan kompetisi[6]. Seorang pelatih yang suportif dan komunikatif dapat membangun kepercayaan diri pemain, memberikan dorongan moral, dan menciptakan atmosfer tim yang sehat. Sebaliknya, pelatih yang terlalu otoriter atau kurang berkomunikasi dengan baik bisa membuat pemain merasa tertekan dan kehilangan motivasi [3].
Motivasi mempunyai pengaruh yang sangat besar pada keberhasilan tim bahkan tidak semua tim bisa memiliki motivasi yang besar dan motivasi sendiri dapat di kendalikan oleh pelatih [6], motivasi pemain sangat bergantung pada bagaimana pelatih mampu mengelola, mengarahkan, dan menumbuhkan semangat dalam diri atlet. Pelatih memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan latihan yang kondusif dan mendorong motivasi intrinsik serta ekstrinsik pemain. Pengembangan motivasi tim akan sangat terbantu oleh pelatih yang mengenali keunikan setiap pemain, memberikan pengakuan yang tepat, dan mendorong rasa percaya diri.
Pelatih memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan latihan yang kondusif dan mendorong motivasi intrinsik serta ekstrinsik pemain. Pengembangan motivasi tim akan sangat terbantu oleh pelatih yang mengenali keunikan setiap pemain, memberikan pengakuan yang tepat, dan mendorong rasa percaya diri.
Salah satu temuan utama adalah kecenderungan para pemain untuk lebih banyak berinteraksi melalui media sosial dibandingkan dengan melakukan komunikasi langsung secara tatap muka. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran pola komunikasi antarpemain yang berpotensi mengurangi kedekatan emosional dan kebersamaan dalam tim [16]. Selain itu, sebagian besar pemain menunjukkan tingkat motivasi yang rendah dalam mengikuti kompetisi sepak bola. Mereka cenderung ikut dalam kegiatan SSB hanya sebagai ajang sosial karena ajakan teman-teman, bukan sebagai bentuk peningkatan kemampuan diri dalam berolahraga.
Di sisi lain, pelatih sebagai figur sentral dalam pembinaan juga belum sepenuhnya optimal dalam membangun hubungan sosial yang positif dan mendorong motivasi internal pemain. Interaksi antara pelatih dan pemain masih bersifat formal dan minim pendekatan emosional yang mendalam, sehingga belum mampu menumbuhkan semangat belajar dan berlatih secara maksimal. Permasalahan ini diperparah dengan rendahnya dukungan sosial yang diterima oleh para pemain dari lingkungan terdekat mereka, seperti keluarga, teman sebaya [4]. Dukungan yang seharusnya menjadi faktor penting dalam membangun semangat dan keberanian pemain untuk berkembang justru kurang terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kondisi ini secara keseluruhan menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali pendekatan pembinaan di SSB Sangar Muda agar mampu membentuk lingkungan sosial yang lebih sehat dan memotivasi pemain untuk berkembang secara optimal.
Pelatihan olahraga sangat menekankan pengembangan karakter, pertumbuhan mental, dan hubungan sosial yang positif antar anggota tim, di samping kemahiran teknis dan atribut fisik. Menurut teori pelatihan, pelatihan yang efektif adalah aktivitas berkelanjutan dan menyeluruh yang mencakup pendampingan, pengajaran, dan pemberian dukungan emosional kepada atlet atau siswa. Ikatan interpersonal yang kuat antara pelatih dan pemain sangat penting untuk mendorong dorongan, pengendalian diri, dan tekad yang kuat untuk sukses, menurut metode pelatihan holistik ini [1]. Ketika pelatih mampu berperan tidak hanya sebagai instruktur, tetapi juga sebagai pembimbing dan motivator, maka proses pembinaan akan berjalan lebih manusiawi dan berdampak langsung pada perkembangan psikologis maupun sosial pemain [2].
Dengan memahami dinamika interaksi sosial dalam tim sepak bola serta bagaimana faktor-faktor sosial memengaruhi motivasi pemain menjadi sangat penting dalam menyusun strategi pembinaan yang lebih relevan [12]. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, klub sepak bola SSB Sangar Muda dapat mengembangkan metode pembinaan yang lebih efektif, inklusif, dan berorientasi pada pengembangan potensi pemain secara menyeluruh. Penelitian mengenai hubungan antara interaksi sosial dan motivasi dalam olahraga juga dapat memberikan landasan teoretis maupun praktis bagi pelatih, manajemen klub, serta pihak-pihak terkait dalam merancang program pembinaan yang tidak hanya berfokus pada hasil, tetapi juga pada proses pembentukan karakter dan lingkungan sosial yang mendukung pertumbuhan pemain.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti memiliki ketertarikan yang besar untuk melakukan penelitian mengenai dinamika interaksi sosial dan motivasi pemain dalam pembinaan sepak bola di SSB Sangar Muda.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatifdengan jenis penelitian studi kasus. Pendekatan ini dipilih karena dinilai paling sesuai untuk memahami secara mendalam dinamika interaksi sosial dan motivasi pemain dalam pembinaan sepak bola di lingkungan SSB Sangar Muda. Menurut [17], pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena secara holistik dalam konteks alami dan melalui sudut pandang partisipan. Dengan demikian, peneliti berusaha menggali makna dan realitas sosial sebagaimana yang dialami langsung oleh para informan. Metode studi kasus dipilih karena penelitian ini ingin mengkaji secara intensif satu unit sosial tertentu, dalam hal ini adalah SSB Sangar Muda, yang dipandang memiliki karakteristik unik dan menarik untuk diteliti secara mendalam. Studi kasus menurut Yin (2018) merupakan strategi penelitian yang digunakan untuk menyelidiki suatu fenomena dalam konteks kehidupan nyata, terutama ketika batas antara fenomena dan konteksnya tidak jelas secara tegas.
Tujuan dari desain penelitian deskriptif-eksploratori ini adalah untuk mendeskripsikan dan menyelidiki interaksi sosial serta motivasi para pemain dalam konteks pembinaan oleh manajemen dan pelatih SSB. Alih-alih mengubah variabel apa pun, peneliti bertujuan untuk mencatat informasi dari kejadian, perilaku, pengalaman, dan sudut pandang informan. Alat utamanya adalah peneliti sendiri, yang mengumpulkan data melalui tiga metode utama: dokumentasi, wawancara mendalam, dan observasi. Observasi partisipatif tentang interaksi dan aktivitas pelatihan di lingkungan SSB dilakukan. Foto, catatan lapangan, dan dokumen terkait pembinaan merupakan beberapa materi dokumentasi, dan wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan informan terkait. Sepuluh partisipan berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai informan, termasuk lima pemain, dua pelatih, dua orang tua pemain, dan satu manajemen SSB. Pemilihan informan dilakukan secara purposif, dengan standar berikut: (1) Berpartisipasi dalam kegiatan SSB minimal satu tahun, (2) memiliki pengetahuan atau keahlian terkait kepelatihan dan interaksi sosial di SSB, dan (3) bersedia berbagi informasi secara terbuka dan penuh pertimbangan.
Sebagaimana disarankan oleh Miles dan Huberman (1994), para peneliti menggunakan analisis tema untuk menganalisis data, yang dilakukan dalam tiga tahap: reduksi data, penyajian data, dan penarikan/verifikasi kesimpulan. Untuk menemukan pola dan tema penting yang berkaitan dengan topik penelitian, data dari observasi, wawancara, dan dokumentasi dikodekan. Triangulasi metode dan sumber digunakan untuk menjamin autentisitas data, dengan membandingkan informasi dari berbagai informan dan metodologi untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap dan akurat [17]. Dengan pendekatan dan metode yang dijelaskan secara transparan ini, diharapkan hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang pembinaan sepak bola usia dini di lingkungan komunitas lokal.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, observasi lapangan, interaksi sosial di SSB Sangar Muda menunjukkan pola hubungan yang cukup kompleks, melibatkan berbagai dimensi , mulai dari hubungan antarpemain, hubungan antara pemain dan pelatih, hingga hubungan antara pemain, pelatih, dan pihak manajemen. Setiap tingkat hubungan ini memiliki ciri-ciri unik yang memengaruhi lingkungan latihan, keintiman emosional, dan efikasi.
Para pemain SSB Sangar Muda umumnya rukun satu sama lain. Pertemuan rutin mereka selama latihan dan pertandingan menjadi faktor utama keintiman ini. Berkat intensitas interaksi di lapangan, mereka mampu membangun kepercayaan, memahami sifat satu sama lain, dan mengenal satu sama lain secara pribadi. Namun, seiring kemajuan teknologi dan semakin populernya media sosial, kebiasaan komunikasi mereka pun berubah secara signifikan.
Para peneliti menemukan bahwa para pemain menggunakan media sosial, terutama grup WhatsApp tim, untuk berkomunikasi lebih sering daripada interaksi tatap muka di luar latihan. Forum utama untuk bertukar informasi, termasuk berita tim, rencana latihan, dan jadwal pertandingan, adalah grup ini.
Fenomena ini membawa dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, komunikasi melalui media sosial memudahkan penyebaran informasi dan koordinasi cepat, misalnya terkait jadwal latihan, perubahan tempat pertandingan, atau pengumuman mendadak dari pelatih dan manajemen. Namun di sisi lain, pergeseran ini berdampak pada menurunnya kedekatan emosional dan rasa kebersamaan yang biasanya terbentuk melalui interaksi langsung di luar kegiatan formal.
Akibatnya, meskipun para pemain tetap mampu bekerja sama secara teknis di lapangan, suasana emosional dan chemistry tim terkadang belum terbangun secara maksimal. Beberapa momen kebersamaan yang dahulu hadir melalui interaksi tatap muka kini tergantikan oleh percakapan singkat di ruang digital, yang cenderung minim ekspresi dan emosi.
Muhammad Faiz, salah satu pemain, mengungkapkan hal ini dalam wawancara:
“Kalau ngobrol soal latihan atau pertandingan biasanya di WA, jarang kumpul di luar lapangan. Kadang kalau latihan saja baru ketemu langsung. Memang enak sih, info cepat sampai, tapi kalau ngobrol langsung itu lebih asik, bisa sambil bercanda.”(wawancara, 6 Agustus 2025). terlihat jelas dari penggunaan kutipan wawancara yang konkret dan autentik dari pemain, pelatih, dan manajemen di bagian pembahasan. Kutipan-kutipan ini memperkaya analisis dengan memberikan gambaran nyata tentang dinamika interaksi sosial di SSB Sangar Muda. Namun, agar data lapangan ini tidak hanya berfungsi sebagai ilustrasi deskriptif, perlu ditambahkan analisis yang lebih mendalam untuk menguatkan argumen teoretis yang mendasari fenomena tersebut. Dengan demikian, kutipan wawancara dapat lebih efektif mendukung kesimpulan dan memberikan nilai tambah dalam pemahaman konteks sosial dan motivasi pemain.
Pendapat senada disampaikan Revaldo, yang menilai media sosial praktis untuk koordinasi, tetapi tetap tidak bisa menggantikan interaksi tatap muka:
“Kalau mau tanya jadwal atau info cepat ya di grup. Tapi kalau ketemu langsung itu beda, lebih seru dan terasa dekat. Di chat kan cuma teks atau emot, kalau ketemu kan bisa lihat ekspresi, dengar suara ketawa, jadi lebih nyambung.” (wawancara, 6 Agustus 2025)
Kondisi ini memperlihatkan adanya tantangan tersendiri dalam menjaga kehangatan hubungan di era digital. Hubungan sosial yang dulunya terbentuk melalui nongkrong, makan bersama, atau bermain di luar latihan kini semakin tergantikan oleh kontak internet, yang cepat namun minim kompleksitas emosional.
Kolaborasi yang kuat dalam olahraga, khususnya sepak bola, sebagian besar didasarkan pada hubungan antarpemain. Meskipun para pemain di SSB Sangar Muda cukup akrab satu sama lain, ikatan mereka sebagian besar terbentuk selama latihan dan kompetisi.
Hasil observasi menunjukkan bahwa ada kelompok-kelompok kecil dalam tim yang lebih sering berinteraksi, biasanya berdasarkan usia atau kedekatan personal sebelumnya. Misalnya, beberapa pemain junior lebih sering berkumpul dengan sesama junior karena merasa lebih nyaman, sedangkan pemain senior cenderung membentuk lingkaran pergaulan sendiri.
M. Rudiyansyah, salah satu pemain, membenarkan adanya kecenderungan tersebut:
“Kalau di lapangan kita semua kerja sama, tapi kalau di luar ya biasanya nongkrong sama yang seumuran. Kadang kalau ada acara tim baru kita kumpul bareng semuanya.” (wawancara, 6 Agustus 2025)
Fenomena ini sebenarnya wajar, namun jika tidak dikelola dengan baik, bisa menimbulkan jarak antarkelompok dan mengurangi kekompakan tim secara keseluruhan. Untuk mengatasinya, diperlukan kegiatan yang mempertemukan semua pemain dalam suasana santai dan tidak formal, sehingga mereka dapat berinteraksi di luar konteks latihan.
Hubungan antara pelatih dan pemain di SSB Sangar Muda cenderung bersifat formal. Pelatih lebih banyak fokus pada penyampaian instruksi teknis, strategi permainan, dan penegakan disiplin. Meskipun hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas permainan, pendekatan emosional yang lebih personal masih belum optimal.
Pelatih Ahmad Arifin mengakui bahwa interaksi di luar konteks latihan masih jarang dilakukan:
“Saya biasanya fokus pada teknik dan taktik di lapangan. Memang belum banyak waktu untuk ngobrol santai sama anak-anak di luar latihan. Apalagi jadwal mereka juga padat, ada sekolah, ada kegiatan lain. Jadi ketemu ya pas latihan saja.” (wawancara, 6 Agustus 2025)
Beberapa pemain menyampaikan bahwa mereka menghargai kedisiplinan pelatih, namun juga berharap ada lebih banyak momen untuk berkomunikasi secara informal. Revaldo, misalnya, mengatakan:
“Kalau latihan, pelatih tegas dan fokus. Tapi kalau ada waktu ngobrol santai pasti seru, jadi kita juga bisa cerita hal lain, nggak cuma soal strategi.”
Pendekatan yang terlalu formal bisa membuat hubungan pelatih-pemain terkesan kaku. Kedekatan emosional antara pelatih dan atlet dapat meningkatkan motivasi, antusiasme, dan kepercayaan dalam perkembangan olahraga.
Kelancaran pengembangan sangat bergantung pada manajemen SSB Sangar Muda, yang diwakili oleh manajemen klub. Namun, dibandingkan dengan pemain dan pelatih, hubungan langsung antara manajemen dan pemain kurang terasa. Tanggung jawab mereka terutama bersifat administratif, termasuk penjadwalan, penyediaan peralatan, dan koordinasi dengan pihak luar.
M. Sanuri, selaku pengelola SSB, menjelaskan:
“Biasanya saya ketemu pemain saat briefing sebelum pertandingan atau saat pembagian seragam. Untuk interaksi sehari-hari, lebih banyak ke pelatih yang langsung mendampingi mereka.” (wawancara, 5 Agustus 2025)
Walau jarang bertatap muka, kehadiran manajemen dalam momen penting terbukti memberi dampak positif pada motivasi pemain. M. Rudiyansyah mengungkapkan:
"Kalau pengelola datang dan lihat latihan, rasanya lebih semangat. Soalnya kami merasa diperhatikan, bukan cuma sama pelatih tapi sama semua yang terlibat di tim.” (wawancara, 6 Agustus 2025)
Kehadiran pihak manajemen dalam kegiatan sehari-hari mungkin tidak selalu memungkinkan, namun komunikasi yang baik dan dukungan moral tetap menjadi faktor penting untuk menciptakan rasa memiliki terhadap tim.
Hubungan sosial yang terbentuk di SSB Sangar Muda memiliki lapisan-lapisan yang saling berpengaruh satu sama lain dan membentuk suasana tim secara keseluruhan. Lapisan pertama adalah hubungan horizontal, yaitu interaksi yang terjadi antarpemain. Hubungan ini menjadi dasar yang menopang kekompakan di lapangan, karena dari sinilah tumbuh rasa saling percaya dan kebersamaan. Di SSB Sangar Muda, hubungan ini relatif akrab, ditandai dengan adanya saling dukung dan komunikasi yang terjalin cukup baik. Namun, pola komunikasi para pemain kini banyak dipengaruhi oleh dominasi media sosial. Percakapan-percakapan ringan, koordinasi latihan, hingga berbagi informasi umumnya dilakukan melalui grup WhatsApp tim. Meskipun hal ini memudahkan pertukaran informasi, kehangatan interaksi tatap muka perlahan berkurang. Saat kedekatan emosional antarpemain kuat, mereka cenderung tampil lebih kompak di lapangan, saling menutupi kekurangan, dan menunjukkan solidaritas tinggi. Sebaliknya, ketika hubungan ini renggang karena minimnya pertemuan langsung di luar latihan, kerja sama tim dapat mengalami penurunan, baik dalam hal koordinasi permainan maupun semangat bertanding.
Interaksi vertikal antara pelatih dan pemain merupakan tingkatan kedua. Karena pelatih berperan sebagai guru sekaligus panutan, hubungan ini memiliki dampak besar pada kinerja kepelatihan. Memberikan pelatihan teknis dan menegakkan disiplin selama latihan terus mendominasi hubungan ini di SSB Sangar Muda. Meskipun tidak ada keterlibatan emosional di luar sesi latihan, para pelatih berfokus pada pemberian arahan tentang strategi dan teknik bermain.
Padahal, cara pelatih berkomunikasi, memberikan motivasi, dan menunjukkan kepedulian personal dapat membentuk kedisiplinan, semangat juang, dan rasa percaya diri pemain. Seorang pelatih yang mampu menyeimbangkan ketegasan instruksi dengan pendekatan manusiawi akan lebih berhasil membangun ikatan emosional, sehingga pemain merasa dihargai bukan hanya karena keterampilan mereka, tetapi juga sebagai individu yang memiliki perasaan dan aspirasi [18].
Lapisan ketiga adalah hubungan struktural antara manajemen, pemain, dan pelatih. Hubungan ini jarang terjadi secara langsung dalam keseharian, karena manajemen lebih berfokus pada aspek administratif dan penyediaan fasilitas. Namun, setiap kali interaksi semacam itu terjadi, dampaknya signifikan terhadap motivasi seluruh anggota tim. Kehadiran manajemen di momen-momen penting, seperti pertandingan besar, presentasi peralatan baru, atau evaluasi akhir musim, dapat menumbuhkan kebanggaan dan rasa memiliki terhadap tim [19]. Dukungan moral langsung menandakan bahwa kehadiran dan upaya para pemain dan pelatih diakui dan diapresiasi. Strategi komunikasi yang tepat dari manajemen, meskipun intensitasnya rendah, tetap memainkan peran penting dalam menjaga semangat dan loyalitas tim [20], sekaligus memperkuat identitas bersama sebagai bagian dari tim dari SSB Sangar Muda.
Jika ketiga lapisan hubungan ini berjalan harmonis, maka suasana tim akan lebih solid, motivasi meningkat, dan proses pembinaan dapat berlangsung optimal. Sebaliknya, ketidakseimbangan di salah satu lapisan dapat memengaruhi keseluruhan iklim sosial dalam tim, yang pada akhirnya akan berdampak pada performa dan perkembangan para pemain [21].
Kualitas dinamika interaksi sosial yang terjalin di antara pemain, pelatih, dan manajemen tidak hanya membentuk suasana tim, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap tingkat motivasi individu. Ketika interaksi sosial berlangsung dalam suasana yang suportif, terbuka, dan penuh penghargaan, maka semangat dan konsistensi pemain dalam mengikuti pembinaan pun akan meningkat [22], [23]. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa kondisi sosial dalam tim memiliki keterkaitan erat dengan aspek motivasi yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
Berdasarkan temuan ini, SSB Sangar Muda memiliki peluang besar untuk memperkuat kohesi tim melalui langkah-langkah praktis yang terstruktur. Manajemen dan pelatih dapat menyusun agenda rutin kegiatan team building di luar latihan formal, seperti kegiatan bersama pada akhir pekan, diskusi santai, atau permainan non-kompetitif yang membangun kebersamaan [24]. Selain itu, penerapan strategi komunikasi hibrid yang menggabungkan pertemuan langsung dan media digital juga perlu dirancang secara seimbang. Misalnya, dengan mengadakan briefing tatap muka secara berkala dan memaksimalkan media sosial hanya untuk koordinasi teknis. Pendekatan ini diharapkan dapat menjaga kedekatan emosional sekaligus memastikan efisiensi komunikasi dalam tim.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi pemain SSB Sangar Muda terbentuk melalui kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan, yang dapat dikategorikan menjadi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik bersumber dari dalam diri pemain, seperti impian pribadi, kepuasan batin, dan kesenangan bermain sepak bola itu sendiri. Sedangkan faktor ekstrinsik berasal dari luar diri pemain, seperti dukungan keluarga, peran pelatih, pengaruh teman satu tim, serta penghargaan dan pengakuan yang mereka terima. Kedua jenis faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi dalam membentuk semangat, kedisiplinan, dan konsistensi pemain dalam mengikuti pembinaan.
a. Cita-cita Menjadi Pemain Profesional
Banyak pemain yang bergabung di SSB Sangar Muda memiliki mimpi besar untuk berkarier di dunia sepak bola secara profesional. Bagi mereka, bermain bola bukan hanya sekadar kegiatan mengisi waktu luang atau ajang berkumpul bersama teman, tetapi merupakan bagian dari perjalanan panjang menuju impian yang telah mereka pupuk sejak kecil. Meskipun tingkat keseriusan dan cara mereka menempuh jalannya berbeda-beda, benang merahnya tetap sama: ada tekad kuat untuk suatu hari bisa bermain di panggung besar, mengenakan seragam klub ternama, bahkan memperkuat tim nasional.
Motivasi yang lahir dari cita-cita ini memiliki daya dorong yang unik. Seorang pemain yang memiliki visi jangka panjang cenderung lebih tahan terhadap rasa lelah, kritik, bahkan kekalahan di lapangan. Setiap keringat yang jatuh saat latihan mereka pandang sebagai investasi masa depan.
Muhammad Faiz, salah satu pemain yang menjadi informan dalam penelitian ini, menceritakan semangatnya dengan mata berbinar:
“Dari kecil saya memang suka bola, dan cita-citanya pengen jadi pemain hebat, bisa main di liga. Latihan di SSB ini jadi langkah awal buat ngejar mimpi itu. Memang nggak gampang, tapi kalau ingat cita-cita, semangat lagi. Kalau teman lain mulai malas latihan, saya coba tetap datang, soalnya takut kalau ketinggalan skill.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa Faiz memandang setiap sesi latihan sebagai batu pijakan menuju tujuan yang lebih besar. Ia menyadari bahwa perjalanan menjadi pemain profesional penuh tantangan, tetapi keyakinan terhadap mimpinya membuatnya bertahan.
Revaldo, pemain lain yang juga bercita-cita serupa, menuturkan:
“Saya pengen banget suatu hari bisa main di stadion besar, disorakin penonton, bawa nama Bungo, bahkan kalau bisa main di timnas. Kalau lihat pemain idolaku di TV, rasanya kayak pengen cepet-cepet sampai di posisi itu. Latihan di sini walau capek tetap dijalani, soalnya saya tahu ini jalannya.”
Pernyataan Revaldo menegaskan bahwa cita-cita dapat menjadi sumber motivasi yang membuat rasa lelah seolah menjadi ringan. Baginya, kehadiran idola dan impian tampil di panggung besar menjadi bayangan yang selalu membakar semangat.
Pelatih Ahmad Arifin, yang setiap hari berinteraksi dengan para pemain, mengungkapkan bahwa ia melihat betul bagaimana cita-cita ini memengaruhi sikap anak asuhnya:
“Kalau anak-anak punya cita-cita jelas, biasanya mereka lebih rajin dan disiplin. Ada yang rela datang latihan lebih awal buat pemanasan sendiri. Tapi memang tantangannya, nggak semua punya semangat yang konsisten. Tugas saya menjaga supaya semangat itu nggak padam, apalagi kalau mereka kalah di pertandingan.”
Kutipan pelatih ini menggambarkan bahwa mimpi besar memang bisa menjadi pemicu kedisiplinan, tetapi tetap memerlukan dukungan eksternal agar tetap menyala.
Pengelola SSB, M. Sanuri, yang juga menjadi informan penelitian, mengaku sering mendengar cerita anak-anak tentang impian mereka, terutama saat momen santai di luar latihan:
“Kalau lagi santai, mereka sering cerita pengen main di klub terkenal atau di liga luar negeri. Saya senang dengarnya, artinya mereka punya tujuan. Tapi saya selalu ingatkan, untuk sampai ke sana, harus kerja keras, jaga sikap, dan jangan cepat menyerah. Banyak yang punya bakat, tapi kalau mentalnya nggak kuat, susah untuk sampai puncak.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa cita-cita memang penting, namun harus diimbangi dengan mentalitas yang matang, konsistensi latihan, dan perilaku positif.
Bagi pemain seperti Faiz dan Revaldo, latihan di SSB Sangar Muda bukan sekadar rutinitas mingguan, tetapi sebuah investasi mimpi. Mereka melihat setiap passing, setiap sprint, dan setiap instruksi pelatih sebagai bagian dari proses panjang yang suatu hari akan membawa mereka ke panggung yang lebih besar. Tidak jarang, meskipun fisik mereka letih atau jadwal sekolah padat, semangat yang lahir dari cita-cita membuat mereka tetap berangkat latihan.
Pelatih juga menekankan bahwa mimpi ini menjadi modal psikologis penting dalam pembinaan pemain muda. Anak-anak yang memiliki tujuan jangka panjang lebih mudah diarahkan dan cenderung tidak mudah terpengaruh oleh ajakan negatif dari luar. Namun, ketika dihadapkan dengan tantangan, pemain yang datang hanya untuk bermain cenderung kehilangan gairah.
Persepsi pemain tentang kompetisi juga dipengaruhi oleh aspirasi mereka untuk menjadi atlet profesional. Mereka memandang setiap pertandingan sebagai kesempatan untuk meningkatkan kemampuan, menguji ketangguhan mental, dan membangun reputasi di mata pelatih dan pencari bakat, selain menentukan apakah mereka menang atau kalah. Mereka memperoleh kemampuan untuk menerima kritik yang membangun, memperbaiki kelemahan mereka, dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk memberikan upaya terbaik mereka.
Dalam konteks SSB Sangar Muda, impian ini menjadi semacam benang merah yang menyatukan motivasi para pemain. Walaupun tidak semua memiliki target yang sama persis, ada yang ingin bermain di klub lokal besar, ada yang ingin bermain di luar negeri, dan ada pula yang ingin menjadi pelatih di masa depan , semua merasakan bahwa cita-cita tersebut membuat latihan terasa lebih berarti.Nilai edukatif dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembinaan sepak bola di SSB Sangar Muda tidak hanya mengembangkan keterampilan bermain, tetapi juga membentuk karakter positif para pemain.Melalui latihan yang konsisten, interaksi sosial, dan dukungan pelatih serta keluarga, para pemain belajar tentang disiplin, kerja sama, tanggung jawab, sportivitas, dan pantang menyerah. Nilai-nilai ini merupakan bagian penting dari pendidikan karakter, yang sangat berguna bagi kehidupan mereka di luar lapangan, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas.
b. Kepuasan Pribadi
Selain impian untuk meniti karier profesional, sebagian pemain SSB Sangar Muda memiliki motivasi yang bersumber dari rasa kepuasan pribadi. Kepuasan ini muncul ketika mereka mampu bermain dengan baik, menerapkan teknik yang sudah dilatih, atau memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukan, tanpa harus menunggu hasil akhir pertandingan. Rasa pencapaian ini memberikan energi yang kuat untuk terus berlatih dan memperbaiki diri. Mereka memandang setiap peningkatan kemampuan, sekecil apa pun, sebagai bukti kemajuan yang layak dibanggakan.
Kepuasan pribadi ini bersifat murni dan tidak bergantung pada faktor eksternal seperti hadiah, pujian, atau kemenangan. Seorang pemain bisa saja merasa gembira walaupun timnya kalah, selama ia merasa berhasil menampilkan permainan terbaiknya. Hal ini menunjukkan adanya motivasi internal yang konsisten, karena rasa bangga terhadap diri sendiri jauh lebih stabil dibandingkan motivasi yang hanya mengandalkan pengakuan dari luar.
M. Rudiyansyah, salah satu pemain, menggambarkan hal ini dengan penuh antusiasme:
“Kalau bisa main bagus, passing tepat, atau bisa cetak gol, rasanya senang banget walau tim kalah. Itu bikin pengen latihan lagi biar mainnya makin bagus. Soalnya saya tahu, itu hasil dari latihan yang nggak sia-sia. Nggak harus selalu juara buat senang.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa kepuasan pribadi dapat menjadi pemicu motivasi jangka panjang. Pemain yang memiliki dorongan seperti ini akan terus berlatih bukan hanya untuk mengincar kemenangan, tetapi untuk mengasah kemampuan teknis dan memperkuat mental bermain.
Revaldo, pemain lain, mengakui bahwa perasaan puas bisa datang dari hal-hal sederhana:
“Kalau di latihan saya berhasil coba teknik baru terus bisa dipakai di pertandingan, rasanya puas banget. Kayak semua kerja keras di latihan terbayar. Menang kalah itu urusan tim, tapi kalau diri sendiri bisa main lebih baik dari kemarin, itu udah bikin senang.”
Bagi Revaldo, rasa puas ini berfungsi sebagai tolok ukur kemajuan pribadi. Setiap keberhasilan kecil menjadi motivasi tambahan untuk tetap disiplin hadir di latihan dan mencoba hal-hal baru.
Pelatih Ahmad Arifin melihat kepuasan pribadi sebagai indikator positif perkembangan mental pemain:
“Saya senang kalau lihat anak-anak pulang latihan dengan senyum, walau mereka capek. Ada yang cerita, ‘Pak, tadi saya bisa kontrol bola lebih cepat’ atau ‘Pak, tadi saya bisa dribble lawan’. Itu artinya mereka menikmati proses, bukan cuma hasil akhir. Kalau sudah begitu, motivasi mereka biasanya bertahan lama.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa pelatih juga berperan penting dalam memelihara rasa kepuasan pribadi pemain. Dengan memberikan umpan balik positif atas kemajuan kecil, pelatih membantu pemain menyadari pencapaian yang mereka raih.
Pengelola SSB, M. Sanuri, menilai kepuasan pribadi sebagai bentuk motivasi yang paling murni, karena tidak tergantung pada faktor luar:
“Kalau anak-anak sudah bisa senang karena mainnya bagus, walau nggak menang, itu bagus sekali. Artinya mereka nggak gampang patah semangat. Kami tinggal dukung supaya mereka terus punya target kecil yang dicapai setiap latihan atau pertandingan.”
Menurut Sanuri, pemain yang memiliki kepuasan pribadi biasanya lebih tahan terhadap tekanan dan kegagalan. Mereka tidak mudah kehilangan semangat ketika tim mengalami serangkaian kekalahan, karena mereka fokus pada peningkatan kemampuan, bukan sekadar meraih trofi.
Kepuasan pribadi inilah yang juga menjadi alasan beberapa pemain tetap setia berlatih di SSB Sangar Muda, meskipun mereka menyadari peluang mereka untuk menjadi pemain inti atau meraih gelar tidak selalu tinggi. Mereka memandang latihan sebagai wadah untuk menguji kemampuan dan mengukur kemajuan mereka. Dalam hal ini, pertandingan menjadi wadah untuk mengasah kemampuan pribadi, bukan sekadar kompetisi antar tim.
Pelatih sering memanfaatkan motivasi berbasis kepuasan diri ini untuk mendorong anak-anak menetapkan tujuan spesifik untuk setiap sesi latihan. Misalnya, meningkatkan akurasi tembakan, meningkatkan stamina, atau mengurangi kesalahan passing. Setiap kali tujuan kecil ini tercapai, pemain merasakan kepuasan yang memotivasi mereka untuk mencoba tantangan berikutnya.
c. Kesenangan berlatih dan bertanding
Bagi sebagian pemain, motivasi hadir karena mereka benar-benar menikmati proses latihan dan pertandingan. Antusiasme mereka bukan hanya karena ingin menang atau diakui, tetapi karena bermain sepak bola memberi rasa gembira dan menjadi bagian dari keseharian yang menyenangkan.
Revaldo, salah satu pemain muda, mengaku:
“Kalau hari latihan itu rasanya semangat, soalnya ketemu teman-teman, bisa main bareng, bisa ketawa-ketawa. Kalau nggak latihan malah kangen suasananya.”
Rasa senang ini menjadi pondasi motivasi yang kuat, karena saat seseorang menikmati aktivitasnya, mereka akan cenderung lebih disiplin dan konsisten tanpa harus selalu dipaksa.
d. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga menjadi salah satu faktor penting yang memengaruhi motivasi pemain. Pemain yang mendapat dukungan penuh dari orang tua, baik secara moral maupun material, cenderung lebih bersemangat untuk hadir di latihan dan mengikuti pertandingan. Dukungan ini bisa berupa penyediaan perlengkapan, pendampingan saat pertandingan, hingga sekadar memberikan kata-kata penyemangat.
Pelatih Ahmad Arifin mengakui pentingnya peran keluarga:
“Kalau orang tua ikut mendukung, biasanya anak lebih semangat. Ada yang diantar jemput, ada yang dibelikan sepatu baru. Hal kecil kayak gitu ngaruh banget ke motivasi anak.”
Bagi sebagian pemain, perhatian dan pengorbanan keluarga menjadi sumber semangat yang besar. Mereka merasa latihan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk membalas dukungan orang-orang terdekat.
e. Peran pelatih
Pelatih memiliki peran ganda, tidak hanya sebagai pengajar teknik bermain, tetapi juga sebagai motivator. Cara pelatih memberikan dorongan positif, mengapresiasi pencapaian, atau bahkan menegur secara membangun dapat memengaruhi semangat pemain.
Muhammad Faiz menuturkan pengalamannya:
“Kalau pelatih bilang main saya bagus atau ada kemajuan, rasanya senang banget. Jadi pengen latihan lebih giat lagi biar bisa bikin bangga pelatih.”
Sementara itu, Ahmad Arifin, selaku pelatih, menyadari bahwa motivasi anak asuhnya tidak hanya tumbuh dari kemenangan:
“Saya selalu bilang ke anak-anak, yang penting itu usaha maksimal di lapangan. Menang itu bonus. Kalau mereka merasa dihargai usahanya, biasanya semangatnya naik.”
Pendekatan seperti ini membuat pemain merasa dihargai sebagai individu, bukan sekadar alat untuk mencapai kemenangan tim.
f. Pengaruh teman satu tim
Lingkungan sosial di dalam tim memiliki pengaruh besar terhadap motivasi pemain. Teman yang saling memberi semangat, bercanda di sela latihan, atau saling membantu dalam teknik tertentu dapat menciptakan suasana latihan yang lebih hidup dan menyenangkan.
Revaldo menggambarkan suasana ini:
“Kalau latihan rame dan teman-teman saling nyemangatin, latihannya jadi nggak terasa capek. Kadang ada yang bantu kasih tips biar operannya lebih pas, itu bikin semangat.”
Kebersamaan yang terjalin antar pemain juga mendorong mereka untuk hadir secara rutin, karena mereka tidak ingin tertinggal momen atau merasa terisolasi dari tim.
g. Penghargaan dan pengakuan
Penerimaan trofi, penghargaan individu, kepercayaan menjadi pemain inti, atau sekadar pujian dari pelatih dan penonton menjadi pemicu semangat yang kuat. Penghargaan ini memberi validasi bahwa usaha dan kerja keras pemain diakui, sehingga mereka merasa termotivasi untuk mempertahankan atau meningkatkan pencapaiannya.
M. Sanuri, pengelola SSB, menegaskan bahwa penghargaan tidak selalu harus berupa materi:
“Kadang anak-anak cukup dikasih piagam atau diumumkan jadi pemain terbaik bulan ini, mereka sudah senang. Itu jadi penyemangat untuk anak yang lain juga.”
Sikap kecil penuh rasa terima kasih ini dapat memberikan dampak yang mendalam bagi atlet tertentu dan menginspirasi mereka untuk terus berlatih keras.
Dengan mempertimbangkan semua hal, penelitian ini menunjukkan bahwa para pemain SSB Sangar Muda memiliki hubungan yang baik satu sama lain. Pertemuan rutin selama latihan dan pertandingan merupakan faktor utama dalam memupuk keakraban ini. Hal ini sejalan dengan penelitian [18], [25], yang menemukan bahwa hubungan sosial antar pemain sepak bola memiliki manfaat bagi pemain dan tim. Kenyamanan interpersonal yang dihasilkan dapat mendorong pandangan positif terhadap norma-norma kelompok dan performa optimal di lapangan. Dengan kata lain, rasa kebersamaan yang kuat antar pemain sangat penting untuk membangun tim yang kuat dan unggul.
Namun, seiring kemajuan teknologi dan semakin lazimnya penggunaan media sosial dalam kehidupan sehari-hari, pola komunikasi yang sebelumnya didominasi tatap muka telah berubah secara signifikan. Untuk berbagi informasi latihan, jadwal pertandingan, dan pernyataan resmi dari pelatih dan manajemen, para peneliti menemukan bahwa komunikasi pemain kini sebagian besar dilakukan melalui kanal digital, terutama grup WhatsApp tim [22], [23].
Fenomena ini memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Di satu sisi, komunikasi digital mempercepat penyebaran informasi dan koordinasi, yang dalam praktiknya berkontribusi signifikan terhadap manajemen tim yang responsif dan efisien. Hal ini memperkuat temuan [21], [24] yang menekankan pentingnya komunikasi efektif antara pelatih dan siswa dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif. Komunikasi yang lancar dan terfokus, bahkan dalam bentuk digital, dapat meningkatkan aspek teknis dan taktis kepelatihan sepak bola dan mendukung perkembangan sosial siswa.
Terdapat dua aspek yang saling bertentangan dalam fenomena ini. Di satu sisi, komunikasi digital mempercepat kolaborasi dan berbagi informasi, yang pada gilirannya sangat membantu dalam manajemen tim yang efektif dan responsif. Hal ini mendukung hasil penelitian [24], yang menyoroti pentingnya komunikasi yang baik antara pelatih dan siswa dalam menciptakan lingkungan belajar yang suportif. Bahkan dalam format digital, komunikasi yang jelas dan ringkas dapat meningkatkan elemen taktis dan teknis pengajaran sepak bola sekaligus mendorong pertumbuhan sosial siswa.
Di sisi lain, pergeseran komunikasi ini berpotensi menurunkan kualitas kedekatan emosional dan rasa kebersamaan yang selama ini terbangun melalui interaksi langsung. Interaksi digital cenderung minim ekspresi dan dimensi emosional, sehingga suasana chemistry tim menjadi kurang maksimal. Hal ini juga sejalan dengan konsep kohesi tim yang dikemukakan [26]. Menurutnya, kohesi tim erat kaitannya dengan ikatan emosional yang dekat dan kuat antar anggota, yang tercipta melalui interaksi personal, pengenalan kepribadian, dan kegiatan pembangunan tim (team building). Tanpa adanya interaksi tatap muka yang intens dan berkualitas, upaya menjaga kekompakan tim menjadi lebih menantang [27].
Selain itu, penelitian ini menemukan korelasi yang signifikan antara kemampuan sepak bola dan motivasi pemain. Temuan ini sejalan dengan penelitian [28] yang menemukan bahwa peningkatan keterampilan atlet di sekolah sepak bola didorong oleh peningkatan motivasi. Sejumlah hal, termasuk keinginan untuk memberikan yang terbaik selama pertandingan, dukungan pelatih, dan rasa tanggung jawab tim, memengaruhi motivasi pemain di SSB Sangar Muda. [29] menunjukkan bahwa salah satu faktor utama yang memengaruhi motivasi ini adalah komunikasi yang efektif antara pelatih dan pemain.
Ia menekankan pentingnya pendekatan personal oleh pelatih yang tidak hanya memberikan instruksi teknis, tapi juga memahami kebutuhan emosional setiap pemain. Pendekatan tersebut membangun rasa saling percaya dan ikatan kuat yang mampu mengangkat prestasi tim secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pelatihan sepak bola di SSB Sangar Muda tidak hanya bertumpu pada keterampilan teknis, tetapi juga pada dinamika interaksi sosial dan motivasi internal pemain yang terjaga dengan baik. Pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi harus diimbangi dengan upaya membangun interaksi tatap muka dan kegiatan membangun tim yang memperkuat kohesi emosional antar pemain. Hal ini penting untuk menciptakan tidak hanya sinergi teknis, tetapi juga ikatan sosial yang kuat, yang pada akhirnya berkontribusi positif terhadap prestasi dan pengembangan karakter pemain. Lebih lanjut, kemampuan menulis dapat diperkuat dengan menekankan penerapan praktisnya.
Misalnya, pelatih dapat secara terencana menciptakan ruang interaksi informal seperti sesi refleksi kelompok atau permainan ringan setelah latihan untuk membangun kedekatan emosional. Manajemen juga bisa menjadwalkan kegiatan team bonding di luar lapangan untuk menyatukan kelompok usia berbeda. Strategi-strategi konkret semacam ini akan memberikan arah langsung bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan pembinaan sepak bola usia dini di SSB, sehingga hasil penelitian tidak hanya berhenti pada temuan, tetapi juga memberi kontribusi nyata dalam praktik.
1. Dinamika interaksi sosial di SSB Sangar Muda ditandai dengan hubungan yang akrab dan harmonis antara pemain, pelatih, serta pihak manajemen. Interaksi ini terutama terjadi dalam sesi latihan dan pertandingan yang rutin, membentuk rasa saling percaya dan kekompakan tim. Namun, pola komunikasi mengalami perubahan dengan semakin dominannya penggunaan media sosial sebagai sarana utama komunikasi di luar kegiatan formal. Meskipun komunikasi digital memudahkan koordinasi dan penyampaian informasi, namun interaksi tatap muka yang lebih personal dan emosional cenderung berkurang, sehingga perlu upaya untuk menjaga kohesi emosional antar anggota tim melalui kegiatan team building yang lebih intens.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi pemain dalam mengikuti pembinaan sepak bola di SSB Sangar Muda antara lain: cita-cita menjadi pemain profesional, yang memberikan arah dan tujuan jangka panjang bagi para pemain; kepuasan pribadi; kesenangan berlatih dan bertanding; dukungan keluarga; peran pelatih dengan pendekatan personal yang mampu membangun kepercayaan diri; pengaruh teman satu tim; serta penghargaan dan pengakuan dari pelatih, manajemen, maupun lingkungan sekitar.Penelitian ini memberikan kontribusi penting dengan menyoroti bagaimana perubahan komunikasi digital melalui media sosial memengaruhi interaksi sosial dan motivasi pemain, sebuah aspek yang kurang mendapat perhatian dalam penelitian sebelumnya. Temuan ini memberikan nilai tambah yang relevan untuk pengembangan strategi pembinaan sepak bola yang adaptif di era teknologi saat ini.
3. Pelatih dan Manajemen sebaiknya mengoptimalkan pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi, tapi tetap mengutamakan pertemuan tatap muka dan kegiatan team building rutin untuk menjaga kedekatan emosional antar anggota tim.
4. Mengembangkan program motivasi yang bersifat personal, seperti pengakuan prestasi individu maupun kelompok, serta pendekatan komunikasi yang mendukung rasa percaya diri pemain, agar motivasi tetap tinggi.
5. Melibatkan keluarga secara aktif dalam proses pembinaan, misalnya dengan mengadakan pertemuan rutin atau workshop untuk memberikan dukungan moral dan edukasi tentang peran keluarga dalam perkembangan pemain.
6. Penelitian selanjutnya bisa mengkaji lebih dalam pengaruh teknologi digital terhadap interaksi sosial dalam konteks pembinaan olahraga dan bagaimana strategi adaptasi yang efektif diterapkan.
Ucapan Terima Kasih
Naskah jurnal ini dapat tersusun berkat peran, dukungan, dan kontribusi dari berbagai pihak yang telah mendampingi penulis sepanjang proses penulisannya. Dengan rasa hormat dan ketulusan, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing atas segala arahan, masukan yang berharga, motivasi yang diberikan, serta koreksi yang membangun, sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan lebih baik dan memiliki kualitas yang lebih optimal..
A. W. Kurniawan, A. Wijayanto, F. Amiq, and M. Hafiz, Psikologi Olahraga. Akademia Pustaka, 2021.
A. Muzakar, A. Azizurrahman, and N. Khotmi, Psikologi Sosial. ITSKESMUSPRESS, 2023.
W. D. Hanum and Awalya, “Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dengan Interaksi Sosial Siswa Kelas VIII SMP,” Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, vol. 11, no. 3, p. 105, 2022. [Online]. Available: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jbk118
. doi: 10.15294/ijgc.v11i3.56699
Naldo, Apriansyah, and Banat, “Pemahaman dan Penerapan Nilai-Nilai Pendidikan Jasmani dalam Interaksi Sosial Antar Siswa SD Negeri 51 Kecamatan Air Nipis Bengkulu Selatan,” EduSport: Educative Sportive, vol. 3, no. 3, pp. 48–54, 2022. [Online]. Available: https://jurnal.unived.ac.id/index.php/edusport/article/view/2629/2863
M. A. B. Jumarin, M. Q. Alfarisyi, A. Widowati, and R. Hadinata, “Pembinaan Manajemen Prestasi untuk Sekolah Sepakbola,” Jurnal Pendidikan Olahraga, vol. 14, no. 4, pp. 207–215, 2024.
M. Atiq, “Motivasi Tim Sepakbola,” Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, pp. 1124–1135, 2019.
S. Putra, Emral, Emral, Arsil, Sin, and T. Hauw, “Konsep Model Latihan Fisik pada Sepakbola,” Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia, vol. 9, no. 2, p. 974, 2023. doi: 10.29210/1202323429
C. P. Bayudamai and D. Yuliastrid, “Tingkat Motivasi Berolahraga dan Aktivitas Fisik pada Remaja di Masa Pandemi Covid-19,” Jurnal Kesehatan Olahraga, vol. 10, no. 4, pp. 7–12, 2022.
A. C. M. Pamuji, “Interaksi Sosial dalam Bermain Sepak Bola Modifikasi untuk Anak Autis,” Jurnal Pendidikan Khusus, 2019. [Online]. Available: https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-khusus/article/view/30190
L. Yorissa, “Hubungan Antara Interaksi Sosial dengan Kepercayaan Diri pada Siswa SMK Perbankan Riau,” Jurnal Psikologi, vol. 21, Apr., pp. 43–50, 2025.
Fathurrohkim, Aldi, K. Djaelani, Abdul, and B. Wahono, “Pengaruh Pembinaan, Kompetensi, dan Pelatihan terhadap Kinerja Pemain Sepak Bola,” Jurnal Riset Manajemen, vol. 11, no. 24, pp. 57–63, 2022. [Online]. Available: www.fe.unisma.ac.id
R. Prasetiyo, R. Setyawan, and N. N. Synthiawati, “Motivasi Berprestasi Antara Atlet dan Non Atlet,” Jurnal Pendidikan Olah Raga, vol. 12, no. 2, pp. 258–266, 2023. doi: 10.31571/jpo.v12i2.6664
F. Zuriaturizky and D. A. V. Ghasya, “Tingkat Motivasi Mahasiswa dalam Melakukan Aktivitas Olahraga,” Jurnal Pendidikan Kesehatan Rekreasi, vol. 10, no. 1, pp. 37–46, 2024. doi: 10.59672/jpkr.v10i1.3411
U. Latifah and A. C. D. Sagala, “Upaya Meningkatkan Interaksi Sosial Melalui Permainan Tradisional Jamuran pada Anak Kelompok B TK Kuncup Sari Semarang,” Jurnal Penelitian PAUDIA, pp. 112–132, 2019.
E. M. Puspita, Saharullah, and Hasyim, Psikologi Olahraga Mental Training. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2020.
N. Andromeda and E. S. Yuniwati, “Analisis Hubungan Interaksi Sosial dan Konsep Diri pada Gamers Mobile Legend di Kota Malang,” Jurnal Penelitian Inovatif, vol. 2, no. 3, pp. 575–582, 2023. doi: 10.54082/jupin.147
Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta, 2020.
M. Jannah, F. D. Permadani, and R. Widohardhono, “Motivasi Berprestasi Olahraga pada Atlet Pelajar Ketika Pandemi Covid-19 di Jawa Timur,” Paedagoria: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Kependidikan, vol. 13, no. 1, p. 60, 2022. doi: 10.31764/paedagoria.v13i1.8082
Manullang, Dasar-Dasar Manajemen Pembinaan. Ghalia Indonesia, 2020.
M. Thoha, Pembinaan Organisasi Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2019.
M. T. Yuliani and S. Syahriman, “Hubungan Antara Interaksi Sosial Teman Sebaya dengan Penerimaan Sosial Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 09 Kota Bengkulu,” Consilia: Jurnal Ilmiah Bimbingan dan Konseling, vol. 3, no. 2, pp. 182–189, 2020. doi: 10.33369/consilia.3.2.182-189
D. Chandra, H. Stid, and M. Ibrahim, “Komunikasi Interaksi Sosial Antar Remaja dalam Meningkatkan Ukhuwah Islamiyah di Desa Saba Lombok Tengah,” EDISI: Jurnal Edukasi dan Sains, vol. 2, no. 1, pp. 1–24, 2020. [Online]. Available: https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/edisi
M. F. Maradjabessy, J. J. Lasut, and J. Lumintang, “Interaksi Sosial Forum Mahasiswa Kota Tidore Kepulauan di Kota Manado,” Holistik, vol. 12, no. 1, pp. 1–19, 2019. [Online]. Available: https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/holistik/article/view/24576
A. Suryawan, “Hubungan Antara Empati dengan Interaksi Sosial pada Anggota Komunitas Pati Coffee Enthusiast,” Skripsi, Fakultas Psikologi, Universitas Semarang, 2023.
Jeprizen, “Tingkat Motivasi Peserta Didik dalam Aktivitas Olahraga di Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Pontianak,” Skripsi, Program Studi Pendidikan Jasmani, Universitas Tanjungpura Pontianak, 2019.
L. P. Jurumai, “Aktivitas dan Teritori Ruang Publik Kost sebagai Interaksi Sosial,” Jurnal Inovasi Sains dan Teknologi (INSTEK), vol. 2, no. 2, p. 563, 2019.
I. P. Puspitasari Putri and S. Irawan, “Hubungan Antara Tipe Kepribadian dengan Interaksi Sosial Karang Taruna Dukuh Klarisan Kelurahan Tanduk Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali,” Mimbar Ilmu, vol. 24, no. 1, p. 89, 2019. doi: 10.23887/mi.v24i1.17456
T. Pramadani and D. M. Sari, “Penilaian Kemampuan Passing Sepak Bola Melalui Observasi Penilaian pada Kegiatan Ekstrakurikuler Sepak Bola SD Negeri 107826 Pematang Sijonam Kecamatan Perbaungan Tahun Ajaran 2020/2021,” Jurnal Mahasiswa Pendidikan Olahraga, vol. 2, no. 1, pp. 33–39, 2021. doi: 10.55081/jumper.v2i1.503
L. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2021.