Hananto Widodo (1), Intan Lovisonnya (2), Irfa Ronaboyd (3), Elisabeth Septin Puspoayu (4), Viona Aristanti (5), Mutiara Ayu Lestari (6)
Background (General): Governance at the village level plays a vital role in realizing democratic principles and sustainable local development, particularly within the framework of decentralization in Indonesia. Background (Specific): Desa Rogojampi in Banyuwangi faces challenges in implementing village regulations (Perdes) due to limited institutional capacity, low community participation, and suboptimal oversight mechanisms. Knowledge Gap: Although the legal framework strongly supports village autonomy, empirical evidence on how regulatory formulation aligns with good governance principles at the village level remains insufficient. Aims: This study aims to analyze perceptions of villagers, local officials, and the Village Consultative Body (BPD) regarding the formulation of Perdes as an instrument to strengthen good governance. Results: A survey of 40 respondents revealed adequate public understanding of Perdes (72%), but participation in drafting remains low (58%). Village officials’ regulatory capacity is modest (60%), while BPD oversight is weak (55%). Conversely, expectations for improvement are high (85%), particularly for broader public involvement and academic support. Novelty: The study integrates community-based legal education with governance principles to highlight the intersection of law, participation, and accountability in village administration. Implications: Strengthening technical capacity, expanding inclusive participation, and enhancing oversight mechanisms are crucial strategies for optimizing village regulation to achieve transparent, accountable, and responsive governance.Highlight :
Community understanding of the function of village regulations is fairly good, but participation remains low.
The capacity of village officials in regulation drafting needs strengthening.
The supervisory mechanism of the Village Consultative Body (BPD) is not yet optimal and requires improvement.
Keywords : Village Regulation, Village Governance, Good Governance, Legislation Theory, Participation
Desa Rogojampi, yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Banyuwangi, merupakan salah satu desa dengan karakteristik sosial-ekonomi yang cukup dinamis. Posisi strategis desa ini, yang berada dekat dengan pusat kegiatan ekonomi dan transportasi, memberikan peluang bagi masyarakat dalam mengembangkan sektor pertanian, perdagangan, dan jasa. Namun demikian, dinamika sosial tersebut menimbulkan tantangan dalam tata kelola pemerintahan desa yang membutuhkan kapasitas kelembagaan yang memadai, transparansi, serta akuntabilitas yang konsisten. Berdasarkan pengamatan awal, struktur pemerintahan desa Rogojampi telah mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa . Regulasi ini mengatur mekanisme penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan keuangan desa, hingga perencanaan pembangunan berbasis partisipasi masyarakat.
Namun, implementasi tata kelola tersebut di tingkat desa tidak jarang dihadapkan pada kendala yang bersifat struktural maupun kultural. Salah satu permasalahan yang ditemukan adalah keterbatasan kapasitas sumber daya manusia aparatur desa dalam memahami aspek teknis regulasi, termasuk mekanisme penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan pengelolaan anggaran berbasis akuntabilitas. Selain itu, terdapat kecenderungan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan sehingga menimbulkan potensi ketimpangan antara kebutuhan masyarakat dengan program pembangunan yang dijalankan. Permasalahan lain menyangkut pemanfaatan dana desa yang secara normatif diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, di mana tantangan muncul dalam memastikan kesesuaian alokasi dana dengan prioritas pembangunan yang berbasis kebutuhan lokal dan prinsip keberlanjutan.
Dari perspektif hukum, pelaksanaan pemerintahan desa juga dihadapkan pada problematika kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagaimana tersirat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan publik. Keterbatasan pemahaman hukum dan regulasi di kalangan perangkat desa, serta kurangnya mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang efektif , sering menjadi kendala utama dalam pencapaian tata kelola desa yang ideal. Analisis situasi ini menunjukkan urgensi peningkatan kapasitas hukum dan administrasi pemerintahan desa melalui program pengabdian masyarakat berbasis edukasi hukum, pendampingan teknis, serta advokasi implementasi kebijakan publik yang responsif terhadap kebutuhan lokal.
Selain persoalan kapasitas aparatur desa, dinamika sosial di Desa Rogojampi juga dipengaruhi oleh perubahan pola kehidupan masyarakat yang semakin terintegrasi dengan aktivitas ekonomi perkotaan. Perkembangan teknologi informasi dan akses transportasi yang relatif baik memberikan peluang peningkatan kesejahteraan, namun di sisi lain menghadirkan kompleksitas baru dalam pengelolaan kebijakan publik di tingkat desa. Misalnya, terjadi perubahan orientasi masyarakat dari pertanian tradisional menuju sektor perdagangan dan jasa yang memerlukan penyesuaian dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang desa. Ketiadaan instrumen perencanaan yang adaptif terhadap perubahan ini berpotensi memunculkan ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah dusun serta dapat memperlebar kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat.
Selain itu, sistem pengawasan internal pemerintahan desa masih menghadapi kendala dalam memastikan keterbukaan informasi publik sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Prosedur pelaporan dan transparansi pengelolaan anggaran desa sering kali belum sepenuhnya dapat diakses oleh masyarakat karena keterbatasan sarana informasi serta kurangnya pemahaman teknis dari perangkat desa mengenai kewajiban keterbukaan. Hal ini berdampak pada rendahnya tingkat kepercayaan sebagian masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan dana desa. Dari latar belakang muncul permasalahan sebagai berikut: bagaimana optimalisasi partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam tata kelola pemerintahan desa.
Tahapan awal pada saat pelaksaan kegiatan penyuluhan hukum ini ialah adanya koordinasi antara tim penyuluh Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya dengan Kepala Desa Ronggojampi Kabupaten Banyuwangi. Koordinasi dimulai dengan menunjukan segala berkas administratif terkait kegiatan tim penyuluh kepada kepala desa. Kepala desa melalui perangkat desa yang lain mengumpulkan warga desa di dalam satu ruang di balai desa. Pada saat warga dikumpulkan(Sulistyowati et al., 2021), ada beberapa metode yang dilakukan yaitu metode ceramah dan ada sesi konsultasi dari tim penyuluh Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya. metode ceramah dilakukan untuk menyampaikan informasi terkait tata Kelola pemerintahan desa yang baik sesui dengan aturan perundangan-undangan lalu dihubungkan dengan peraturan desa yang telah dibuat oleh desa. Selain menggunakan metode ceramah, metode diskusi dan sharing ilmu diimplementasikan dalam kegiatan penyuluhan tersebut. Metode ini merupakan solusi alternatif jika ada sebagian warga desa tidak memahami informasi yang sudah disampaikan oleh tim penyuluh. Sesi tanya jawab atau diskusi merupakan cara untuk meningkatkan pemahaman terkait kesesuaian perdes di Desa Ronggojampi dengan aturan yang berlaku. Metode selanjutnya ialah pemberian kuisioner. Kuisioner ini diberikan untuk mengetahui progres tingkat pemahaman masyarakat pada setelah dilakukannya metode ceramah dan diskusi tersebut. Selain dosen, dalam timpenyuluh FH Unsri ini juga melibatkan peran mahasiswa. Mahasiswa tersebut mempunyai tugas untuk membantu saat berdiskusi, menyebarkan kuisioner dan menganalisa hasil kuisioner tersebut.
NoAspek yang DinilaiPersentase Responden (%)Temuan Utama
1Pemahaman masyarakat terkait fungsi dan urgensi peraturan desa72Mayoritas warga memahami pentingnya Perdes sebagai instrumen hukum lokal namun belum mendalam.
2Tingkat partisipasi masyarakat dalam penyusunan peraturan desa58Partisipasi cenderung terbatas pada forum formal, belum optimal dalam tahap perencanaan awal.
3Transparansi proses penyusunan peraturan desa65Terdapat persepsi cukup baik mengenai keterbukaan informasi, meskipun beberapa warga merasa belum semua dokumen mudah diakses.
4Kapasitas perangkat desa dalam merumuskan peraturan yang berkualitas60Diperlukan pelatihan teknis mengenai teknik penyusunan naskah akademik dan harmonisasi hukum.
5Kesesuaian peraturan desa dengan kebutuhan masyarakat70Sebagian besar peraturan dinilai relevan, tetapi beberapa kebijakan belum menyentuh isu strategis jangka panjang.
6Mekanisme pengawasan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD)55Mekanisme pengawasan masih lemah karena keterbatasan pemahaman fungsi check and balance.
7Harapan terhadap optimalisasi peraturan desa85Mayoritas warga berharap adanya pelibatan masyarakat yang lebih luas, pendampingan akademisi, dan penyederhanaan bahasa hukum.
Berdasarkan survei yang melibatkan kurang lebih 40 orang dan terdiri dari beberapa komponen masyarakat, termasuk perwakilan warga, perangkat desa, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD), ditemukan bahwa pemahaman masyarakat terhadap fungsi peraturan desa cukup baik, dengan 72% responden menyatakan mengetahui urgensi peraturan desa sebagai instrumen pengaturan lokal. Namun, tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan desa masih relatif rendah (58%), yang menunjukkan perlunya strategi inklusi yang lebih efektif, terutama pada tahap perencanaan dan konsultasi publik.
Transparansi penyusunan peraturan desa memperoleh penilaian 65%, menunjukkan adanya kepercayaan publik terhadap keterbukaan informasi, meskipun masih terdapat kendala dalam akses dokumen hukum. Kapasitas perangkat desa dalam merumuskan regulasi juga belum optimal (60%), yang berimplikasi pada perlunya pelatihan teknis penyusunan naskah akademik serta harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Kesesuaian substansi peraturan desa dengan kebutuhan masyarakat memperoleh respons positif sebesar 70%, meskipun ditemukan bahwa beberapa kebijakan belum sepenuhnya mengakomodasi isu strategis, seperti pengelolaan sumber daya lokal dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mekanisme pengawasan yang dilakukan BPD hanya memperoleh skor 55%, menunjukkan perlunya penguatan fungsi kontrol agar prinsip check and balance dapat berjalan secara efektif.
Terakhir, tingkat harapan masyarakat terhadap optimalisasi penyusunan peraturan desa mencapai 85%, dengan tuntutan yang jelas, yakni pelibatan masyarakat yang lebih luas, keterlibatan akademisi untuk memastikan kualitas peraturan, serta penggunaan bahasa hukum yang sederhana agar mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Temuan ini mengindikasikan bahwa keberhasilan tata kelola pemerintahan desa yang baik sangat bergantung pada penguatan kapasitas regulatif, partisipasi publik yang inklusif, dan mekanisme pengawasan yang efektif.
Dalam perspektif hukum tata negara, tata kelola pemerintahan desa merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan yang diakui dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teori desentralisasi menjadi landasan utama yang menjelaskan adanya pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk desa, dalam rangka mewujudkan prinsip demokrasi dan pelayanan publik yang efektif . Menurut teori ini, desa memiliki kedudukan sebagai entitas pemerintahan yang bersifat otonom, sehingga mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa, hak asal-usul, dan adat istiadat. Hal ini sejalan dengan konsep good governance yang menekankan pentingnya akuntabilitas, transparansi, partisipasi publik, dan supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan .
Kerangka hukum yang memperkuat posisi desa sebagai bagian dari pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 18 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Desa berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Selanjutnya, Pasal 26 ayat (4) mengatur bahwa kepala desa dalam menjalankan tugas pemerintahan harus menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang meliputi akuntabilitas, transparansi, profesionalitas, efektivitas, dan efisiensi. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa hukum positif tidak hanya memberikan kewenangan, tetapi juga menetapkan standar normatif yang wajib dipenuhi oleh pemerintah desa dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan
Hasil kuesioner yang disebarkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Rogojampi menunjukkan bahwa sebagian besar responden menilai pemerintahan desa telah berupaya untuk mengedepankan transparansi dalam pengelolaan dana desa, khususnya melalui publikasi anggaran dan program prioritas. Namun, masih terdapat kelemahan dalam hal partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan program dan evaluasi hasil pembangunan. Temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum yang mewajibkan partisipasi aktif masyarakat (Pasal 68 ayat (1) UU Desa yang memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa) dengan implementasi praktis di lapangan. Kondisi demikian mengindikasikan bahwa mekanisme partisipasi belum sepenuhnya diinternalisasi dalam tata kelola desa. responden juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas aparatur desa dalam aspek penguasaan teknologi informasi, yang dianggap sebagai faktor penting untuk memperluas akses informasi publik dan memperkuat akuntabilitas pemerintahan desa. Temuan ini selaras dengan prinsip responsiveness dalam teori good governance, yaitu kemampuan pemerintah untuk tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, hasil kuesioner memperlihatkan bahwa meskipun kerangka hukum telah memberikan fondasi yang memadai, terdapat kebutuhan mendesak akan upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan mekanisme partisipatif agar tata kelola pemerintahan desa dapat berjalan optimal sesuai amanat hukum tata negara.
Berdasarkan hasil dan temuan dilapangan dapat disimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan Desa Rogojampi secara normatif telah memiliki dasar hukum yang kuat dan sejalan dengan teori desentralisasi dan prinsip good governance. Namun, berdasarkan temuan lapangan, diperlukan langkah korektif berupa penguatan peran masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan serta peningkatan kualitas aparatur desa, khususnya dalam pemanfaatan teknologi informasi. Dengan demikian, hubungan antara teori, norma hukum, dan praktik di tingkat desa memperlihatkan adanya ruang perbaikan untuk mencapai tata kelola pemerintahan desa yang lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel.
Sulistyowati, E., M. A. Masnun, E. S. Puspoayu, and I. Ronaboyd, "Pemberdayaan Hukum Bagi Siswa-Siswi SMAN 3 Sidoarjo Mengenai Penandaan Pada Hand Sanitizer Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Untuk Pencegahan Penyebaran Covid-19," Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia, vol. 3, no. 2, pp. 123–134, 2021. [Online]. Available: [https://doi.org/10.15294/jphi.v3i2.42551](https://doi.org/10.15294/jphi.v3i2.42551)
Perencanaan Pembangunan, "Peranan Pemerintah Desa Dalam Perencanaan Pembangunan Studi di Desa Pineleng Dua Kecamatan Pineleng," Jurnal Politico, vol. 4, no. 2, pp. 101–115, 2015. [Online]. Available: [https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/xxxx](https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/xxxx)
P. Astomo, "Kedudukan Dan Pengujian Konstitusionalitas Peraturan Desa Dalam Peraturan Perundang-Undangan," Jurnal Konstitusi, vol. 15, no. 2, pp. 283–305, 2018. [Online]. Available: [https://doi.org/10.31078/jk1524](https://doi.org/10.31078/jk1524)
J. Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, vol. 1. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006.
R. Arifin, R. Rasdi, and R. Alkadri, "Tinjauan Atas Permasalahan Penegakan Hukum Dan Pemenuhan Hak Dalam Konteks Universalisme Dan Relativisme Hak Asasi Manusia di Indonesia," Jurnal Ilmiah Hukum Legality, vol. 26, no. 1, pp. 17–30, 2018. [Online]. Available: [https://doi.org/10.22219/jihl.v26i1.6529](https://doi.org/10.22219/jihl.v26i1.6529)
A. A. Sari and J. Syaifullah, "Perilaku Komunikasi Organisasi Dalam Sosialisasi Program Kerja di Desa Wonorejo Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar," Jurnal Simbolika: Research and Learning in Communication Study, vol. 5, no. 2, pp. 132–145, 2019. [Online]. Available: [https://doi.org/10.31289/simbollika.v5i2.2234](https://doi.org/10.31289/simbollika.v5i2.2234)
I. Thomas, "Kajian Yuridis Pembentukan dan Pemekaran Desa di Kabupaten Minahasa," Jurnal Hukum Unsrat, vol. 22, no. 1, pp. 45–58, 2016. [Online]. Available: [https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/xxxx](https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/xxxx)