Login
Section Education

Teachers’ Role in Overcoming Racial Discrimination in Elementary Schools

Peran Guru dalam Mengatasi Diskriminasi Rasial di Sekolah Dasar
Vol. 10 No. 2 (2025): December:

Azmi Riadi (1), Apdoludin (2), Dedek Helida Pitra (3)

(1) Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Muara Bungo, Indonesia
(2) Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Muara Bungo, Indonesia
(3) Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Muara Bungo, Indonesia

Abstract:

Background (General): Racial discrimination in schools continues to hinder inclusive education, affecting students’ psychological, social, and academic growth. Background (Specific): In Indonesia’s multicultural setting, primary schools must implement national policies such as Kurikulum Merdeka and the Profil Pelajar Pancasila to foster tolerance and diversity, yet evidence from classroom practices remains limited. Knowledge Gap: While existing studies explore multicultural education, few provide empirical insights into how elementary school teachers address racial discrimination in real classroom interactions. Aim: This study investigates the role of teachers in preventing and mitigating racial discrimination at SD Negeri 100/II Muara Bungo, highlighting their strategies and challenges. Results: Findings show that teachers embed tolerance values in lessons, use personal approaches to support minority students, and foster collaborative, diversity-oriented classroom activities. However, they face barriers such as limited training, lack of systemic school support, and external social stereotypes. Novelty: The study uniquely combines empirical field data with the framework of national education reforms, offering localized strategies rooted in cultural practices and values of Pancasila. Implications: Strengthening teacher training, institutional policies, and whole-school collaboration is essential to building sustainable, inclusive learning environments that reduce racial discrimination from the earliest stages of education.
Highlight :




  • Teachers play a vital role in instilling values of tolerance in elementary schools.




  • Key challenges include limited training and lack of institutional support.




  • A whole-school approach is needed to create an inclusive environment.




Keywords : Role of Teachers, Racial Discrimination, Elementary School, Inclusive Learning, Tolerance

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Kajian ini sangat relevan dengan kebijakan pendidikan nasional saat ini. Kurikulum Merdeka, sejak 2022, menekankan pembelajaran berbasis proyek, karakter siswa, dan pendekatan yang inklusif dan toleran. Melalui program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), nilai toleransi, empati, dan penghargaan terhadap keberagaman dijadikan bagian integral pembelajaran. Demikian pula, kebijakan pemerintah melalui inisiatif Merdeka Belajar menegaskan bahwa lingkungan sekolah harus aman, inklusif, dan bebas dari intoleransi sebagai prasyarat pendidikan efektif (Nadiem, 2021). Sehingga, studi ini tidak hanya relevan secara lokal, tetapi juga sejalan dengan strategi kebijakan nasional dalam membangun pendidikan yang adil bagi semua siswa."_

Stigma dan diskriminasi terhadap siswa dari kelompok minoritas sosial merupakan isu global yang masih menjadi tantangan besar dalam dunia pendidikan. Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada pengalaman belajar siswa, tetapi juga mempengaruhi perkembangan psikologis, sosial, dan akademik mereka. Siswa dari kelompok minoritas sering kali menghadapi perlakuan tidak adil, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat menghambat partisipasi mereka dalam kegiatan belajar mengajar (Harefa & Persada, 2024).

Kelompok minoritas sosial, termasuk kelompok etnis, ras, agama, gender, dan ekonomi, sering kali mengalami perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif yang berdampak negatif terhadap perkembangan akademis dan psikologis mereka. Diskriminasi ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari stereotip negatif, eksklusi sosial, hingga perlakuan berbeda dalam akses terhadap sumber daya pendidikan (Latifah & Karni, 2024).

Diskriminasi dalam bentuk apa pun, merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara Indonesia yang menjunjung tinggi persamaan hak setiap warga negara. Secara hukum, larangan terhadap diskriminasi telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28I ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif dalam bentuk apa pun. Dalam konteks pendidikan, larangan terhadap diskriminasi ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan demikian, setiap lembaga pendidikan, termasuk sekolah dasar, wajib menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi berdasarkan ras, suku, atau agama.

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap siswa dari kelompok minoritas sosial, karena melalui pendidikan, siswa dapat diajarkan nilai-nilai inklusivitas, toleransi, dan penghormatan terhadap keberagaman. Dengan pendekatan yang tepat, seperti pendidikan multikultural dan kurikulum yang mencerminkan berbagai perspektif sosial, siswa dapat memahami bahwa perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dihargai (Harefa & Persada, 2024).

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil bagi semua siswa tanpa memandang latar belakang sosial mereka. Dengan menerapkan pendekatan pendidikan yang inklusif, sekolah dapat menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi siswa dari berbagai latar belakang. Pendidikan inklusif melibatkan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman, serta penyediaan dukungan yang sesuai untuk siswa yang membutuhkan.

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk generasi yang toleran, inklusif, dan menghargai keberagaman. Di Indonesia, yang dikenal sebagai negara multikultural dengan beragam suku, agama, dan budaya, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai media transfer ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai sarana penanaman nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan. Salah satu aspek penting dalam pendidikan adalah bagaimana lembaga pendidikan, khususnya sekolah, mampu mengelola keberagaman sehingga menjadi kekuatan yang mempererat persatuan, bukan menjadi sumber konflik. Dalam konteks ini, peran guru sangat krusial, terutama dalam mengatasi tantangan yang muncul terkait diskriminasi rasial di lingkungan sekolah (Hikmat dkk., 2023).

Diskriminasi rasial adalah isu yang masih menjadi perhatian global, termasuk di lingkungan sekolah. Diskriminasi ini sering kali muncul dalam berbagai bentuk, seperti stereotip negatif, pelecehan verbal, pengucilan sosial, hingga ketidakadilan dalam perlakuan terhadap siswa dari latar belakang tertentu (Karmila dkk., 2021). Di sekolah dasar, di mana siswa berada dalam fase perkembangan karakter yang sangat penting, pengalaman diskriminasi dapat berdampak negatif jangka panjang terhadap kepercayaan diri, motivasi belajar, dan hubungan sosial siswa. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah dan mengatasi diskriminasi rasial di lingkungan sekolah menjadi salah satu tanggung jawab utama lembaga pendidikan

SD Negeri 100/II Muara Bungo, yang berlokasi di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, merupakan salah satu contoh sekolah yang mencerminkan keberagaman masyarakat Indonesia. Dengan jumlah siswa sebanyak 501 orang, sekolah ini dihuni oleh siswa dari berbagai latar belakang suku, termasuk Minang, Jawa, Batak, dan Melayu. Keberagaman ini menjadi salah satu keunggulan sekaligus tantangan dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Sebagai salah satu SD favorit di Kabupaten Bungo, SD Negeri 100/II Muara Bungo memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menjadi contoh dalam pengelolaan keberagaman, khususnya dalam mengatasi isu diskriminasi rasial.

Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan pada tanggal 15 Juli 2025 di SD Negeri 100/II Muara Bungo, diketahui bahwa interaksi sosial di lingkungan sekolah dan memantau pola perilaku yang dapat menunjukkan adanya diskriminasi rasial. observasi akan mengamati interaksi sosial di lingkungan sekolah untuk mengidentifikasi pola perilaku diskriminatif, seperti pengucilan sosial dan ejekan terhadap siswa dari latar belakang suku atau ras tertentu. Wawancara dilakukan dengan siswa, guru untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang diskriminasi rasial. yang terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu kasus yang teridentifikasi adalah adanya seorang siswa dari suku Nias yang sering mengalami pengucilan sosial oleh teman-temannya. Anak ini menjadi sasaran ejekan dan perlakuan kurang menyenangkan karena warna kulitnya yang lebih gelap dibandingkan mayoritas siswa lainnya. Ejekan ini tidak hanya terjadi dalam bentuk verbal, tetapi juga terkadang dalam bentuk pengabaian saat bermain atau bekerja dalam kelompok, yang secara psikologis dapat berdampak buruk terhadap rasa percaya diri dan kenyamanan siswa tersebut di lingkungan sekolah.

Hasil observasi pada tanggal 15 Juli 2025 peneliti juga menemukan pula kasus diskriminasi terhadap seorang siswa laki-laki dari suku Batak yang sering menjadi bahan ejekan karena perbedaan agama yang dianutnya. Anak ini sering kali diejek oleh teman-temannya karena tidak menjalani sunat, yang dalam Islam dianggap sebagai kewabjiab bagi anak laki-laki. Ejekan ini tidak hanya bersifat verbal, tetapi kadang disertai dengan perlakuan yang membuat anak tersebut merasa terisolasi dalam pergaulan sehari-hari. Kedua kasus ini mencerminkan adanya dinamika sosial yang kurang sehat di sekolah, di mana stereotip dan prasangka terhadap identitas rasial dan budaya tertentu masih memengaruhi interaksi antarsiswa.

Permasalahan seperti ini menunjukkan perlunya perhatian yang lebih serius terhadap pengelolaan keberagaman di lingkungan sekolah. Sekolah, sebagai tempat siswa belajar dan bersosialisasi, seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi semua anak, tanpa memandang latar belakang ras, budaya, atau agama. Diskriminasi seperti ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental siswa yang menjadi korban, tetapi juga dapat menciptakan suasana yang kurang harmonis di antara siswa lainnya, sehingga menghambat terciptanya lingkungan belajar yang inklusif.

Pelatihan bagi guru dan staf sekolah dalam menangani isu-isu terkait stigma dan diskriminasi juga sangat penting. Guru yang terlatih dapat lebih peka terhadap kebutuhan siswa dari kelompok minoritas dan dapat menciptakan lingkungan kelas yang lebih inklusif. Guru memiliki kemampuan untuk memengaruhi cara pandang siswa terhadap keberagaman, baik melalui metode pengajaran, interaksi sehari-hari, maupun contoh sikap yang mereka tunjukkan. Dengan kata lain, guru menjadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari diskriminasi rasial (Harefa & Persada, 2024).

Mengatasi diskriminasi rasial di sekolah dasar membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Guru perlu menerapkan strategi-strategi yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga preventif. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah melalui pendidikan multikultural tidak selalu berjalan tanpa hambatan. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman guru tentang konsep dan praktik pendidikan multikultural. Banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan khusus dalam mengimplementasikan pendidikan ini, sehingga mereka kesulitan dalam merancang materi dan strategi pembelajaran yang sesuai (Andrean dkk., 2023).

Selain itu, guru juga perlu menciptakan suasana kelas yang inklusif, di mana setiap siswa merasa diterima dan dihargai tanpa memandang latar belakang ras atau etnisnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadopsi metode pembelajaran yang melibatkan semua siswa secara aktif, memberikan perhatian yang adil kepada setiap siswa, serta menghindari penggunaan bahasa atau tindakan yang dapat dianggap diskriminatif. Guru juga dapat memanfaatkan kegiatan ekstrakurikuler atau proyek kelompok untuk membangun hubungan sosial yang positif di antara siswa dari berbagai latar belakang.

Namun, peran guru dalam mengatasi diskriminasi rasial tidaklah tanpa tantangan. Dalam praktiknya, guru sering kali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya, kurangnya pelatihan terkait isu keberagaman, serta adanya stereotip atau bias yang mungkin tidak disadari. Selain itu, lingkungan sosial di luar sekolah, seperti keluarga dan masyarakat, juga dapat memengaruhi sikap siswa terhadap keberagaman. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi diskriminasi rasial di sekolah perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua, masyarakat, dan pemerintah, agar dapat memberikan dukungan yang komprehensif kepada guru dan siswa.

Meskipun sejumlah studi telah membahas peran guru dalam pendidikan inklusif, pendalaman empiris terhadap praktik penanganan diskriminasi rasial oleh guru di tingkat sekolah dasar Indonesia masih sangat minim. Sebagian besar penelitian bersifat teoritik atau terbatas pada pengembangan kurikulum tanpa menyoroti pengalaman nyata di lapangan (state of the art). Beberapa peneliti sebelumnya telah menelaah pendidikan multikultural dan nilai keberagaman (pendekatan GEDSI, pendidikan karakter lokal), namun tidak banyak yang mengeksplorasi interaksi antar siswa di kelas heterogen sebagai bagian dari strategi mitigasi diskriminasi.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengisi kekosongan tersebut (gap penelitian) dengan studi kasus di SD Negeri 100/II Muara Bungo, yang memiliki populasi siswa beragam secara etnis dan budaya. Studi ini bertujuan untuk menggambarkan praktik konkret guru dalam mencegah dan mengatasi diskriminasi rasial, serta mengidentifikasi hambatan dan strategi yang diimplementasikan. Kebaruan penelitian ini terletak pada kombinasi data lapangan kontekstual yang dipadukan dengan kebijakan nasional seperti Kurikulum Merdeka dan Proyek Profil Pelajar Pancasila—memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan model pendidikan dasar inklusif di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “Peran Guru Dalam Mengatasi Diskriminasi Rasial di Lingkungan Sekolah Dasar Studi Kasus SD Negeri 100/II Muara Bungo”.

Metode

Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini memberikan gambaran dan penjelasan yang tepat mengenai keadaan atau gejala yang dihadapi. Menurut (Sugiyono, 2020) metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

1.Jenis Wawancara & Panduan Instrumen

dengan panduan wawancara yang mencakup sejumlah pertanyaan utama terkait cara guru mengatasi diskriminasi rasial, hambatan yang ditemui, dan strategi yang dijalankan.

2.Subjek & Teknik Sampling

Gunakan purposive sampling untuk memilih informan dari latar budaya berbeda—guru dan siswa dari berbagai etnis di SD Negeri 100/II Muara Bungo, agar mencerminkan variasi konteks dan perspektif kasus.

3.Strategi Menjaga Validitas Data / Trustworthiness

Berdasarkan kerangka Lincoln & Guba (1985) untuk trustworthiness, gunakanlah strategi seperti:

o Credibility: triangulasi data, yaitu memadukan wawancara, observasi, dan dokumentasi; serta member checking, yakni mengonfirmasi temuan dengan partisipan untuk memastikan interpretasi akurat

oTransferability: sediakan deskripsi konteks dan latar penelitian yang kaya (thick description) sehingga pembaca dapat menilai kesamaannya dengan konteks lain

oDependability: dokumentasikan seluruh langkah penelitian secara sistematis, serta gunakan audit trail dan peer debriefing untuk memastikan konsistensi analisis

oConfirmability: rekam seluruh proses pengumpulan data (rekaman wawancara, field notes, coding, dsb.), libatkan auditor eksternal atau ‘critical friend’ untuk mengurangi bias peneliti, serta reflektif terhadap posisi penelitian Anda.

4.Prosedur Analisis Data

Jelaskan bahwa data dianalisis secara induktif menggunakan thematic analysis, dengan coding terbuka hingga terbentuk tema-tema emergen. Jika tersedia, sebutkan adanya cross coding oleh peneliti lain untuk memperkuat dependability dan inter-coder agreement

Dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran, menguraikan dan menafsirkan keadaan yang ada terkait peran guru dalam mengatasi diskriminasi rasial di lingkungan Sekolah Dasar.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran guru dalam mengatasi diskriminasi rasial di lingkungan sekolah dasar sangat penting dan strategis. Guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga membentuk karakter dan sikap siswa agar mampu hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman. Di SD Negeri 100/II Muara Bungo, guru berupaya membangun lingkungan pembelajaran yang inklusif melalui integrasi nilai-nilai toleransi dalam proses belajar-mengajar, pendekatan personal kepada siswa, serta penciptaan suasana kelas yang mendorong rasa saling menghormati.

NO Bentuk Diskirminasi Contoh Kasus di Lapangan Dampak terhadap Siswa
1 Verbal (ejekan berdasarkan ras/etnis) Panggilan dengan julukan berdasarkan warna kulit/logat Rasa minder, isolasi sosial
2. Sosial (pengucilan dalam kelompok) Tidak diajak bermain atau belajar kelompok Kehilangan kepercayaan diri
3. Kultural (penolakan kebiasaan budaya siswa) Penolakan terhadap makanan atau cara berpakaian tertentu Merasa tidak diterima dalam lingkungan
4. Struktural (perlakuan tidak setara oleh guru) Perbedaan cara menegur antara siswa mayoritas dan minoritas Ketidakadilan dalam penguatan karakter
Table 1. Bentuk Diskriminasi yang Terjadi di Sekolah

Menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis budaya lokal dan nilai Pancasila untuk menanamkan toleransi, misalnya melalui kegiatan berbagi cerita budaya antar siswa saat proyek seni kelas. Pendekatan personal terlihat ketika guru berdialog langsung dengan siswa dari latar belakang minoritas, menciptakan ruang aman dan inklusif, bukan sekadar menyampaikan materi. Kegiatan kolaboratif seperti diskusi kelompok dan proyek tematik keberagaman membentuk suasana kelas yang menghargai perbedaan.

Secara umum, pendekatan yang digunakan guru meliputi internalisasi nilai melalui pembelajaran kontekstual, penguatan sikap sosial melalui kegiatan kolaboratif, serta penggunaan strategi pendidikan karakter yang berbasis pada nilai-nilai Pancasila dan budaya lokal. Guru juga menjalankan fungsinya sebagai fasilitator yang memberi ruang dialog dan kerja sama tanpa diskriminasi, serta sebagai pembimbing yang hadir saat terjadi konflik sosial antar siswa.

Praktik-praktik tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan yang humanistik dan relasional mampu membentuk kesadaran kolektif di kalangan siswa tentang pentingnya menghargai perbedaan, baik dari segi ras, etnis, agama, maupun kebiasaan budaya. Guru tidak hanya menjalankan peran pengajaran, tetapi juga menjadi agen transformasi sosial yang membangun kesadaran keberagaman sejak dini. Guru kelas V, Kasmawati, menyampaikan bahwa ia senantiasa menanamkan nilai toleransi kepada siswa dengan memperhatikan karakter dan kebutuhan masing-masing anak. Ia mengatakan,

“Saya melihat pendekatan masing-masing anak karena berbeda-beda. Saya perhatikan setiap hari, apakah ada perubahan. Kalau ada masalah, saya dekati secara pribadi.” (Wawancara, tanggal 28 Juli 2025)

Pembahasan ini sejalan dengan pendapat para ahli pendidikan di Indonesia. Tilaar (2021) menyatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan pendekatan penting dalam sistem pendidikan yang pluralistik seperti Indonesia. Guru berperan sebagai agen yang membangun kesadaran siswa akan pluralitas bangsa dan pentingnya hidup berdampingan dalam perbedaan. Pendapat ini diperkuat oleh Abdullah Idi (2010), yang menekankan bahwa pendidikan harus mengarah pada pembentukan manusia yang demokratis dan terbuka terhadap keragaman budaya serta perbedaan identitas.

Temuan ini juga diperkuat oleh beberapa penelitian relevan. Penelitian oleh Liandy (2023) menyoroti bahwa strategi pembelajaran yang interaktif, seperti simulasi dan diskusi berbasis masalah, lebih efektif dalam menanamkan nilai anti-diskriminasi dibanding metode ceramah. Namun, penelitian tersebut juga mencatat tantangan serupa dengan temuan dalam penelitian ini, yaitu keterbatasan pelatihan guru, beban kurikulum, dan pengaruh budaya luar yang masih diskriminatif. Hal ini menunjukkan perlunya intervensi sistematis untuk memperkuat kapasitas guru, khususnya dalam konteks pendidikan inklusif.

Lebih lanjut, Chumairoh dkk. (2024) dalam penelitiannya menegaskan pentingnya pendekatan GEDSI (Gender, Disabilitas, dan Sosial Inklusi) yang terbukti mampu meningkatkan pemahaman dan kompetensi guru dalam menciptakan pembelajaran yang sensitif terhadap keberagaman. Hasil pelatihan menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam kemampuan guru menyusun RPP berbasis inklusi serta meningkatnya komitmen kolektif dalam menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari diskriminasi. Temuan ini relevan dengan konteks di SD Negeri 100/II Muara Bungo, di mana guru menunjukkan inisiatif untuk membangun ruang kelas yang ramah dan adil bagi seluruh siswa, meskipun belum mendapat pelatihan formal terkait GEDSI.

Intervensi berbasis GEDSI (Gender, Disability, Social Inclusion) diperkenalkan dalam modul pembelajaran dan aktif dipraktikkan pada penempatan duduk inklusif, penggunaan media belajar inklusif, dan pembagian kelompok berdasar kebutuhan siswa. Namun, modul ini masih terbatas pada kelas pilot dan belum dipropagandakan ke seluruh tingkat kelas” . Pendidikan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila (P5) telah diterapkan via kurikulum Merdeka melalui program habituasi nilai toleransi : namun implementasi menyeluruh masih menunggu pelatihan rutin dan evaluasi formal oleh pihak sekolah dan komunitas.

Senada dengan itu, Harefa & Persada (2024) menegaskan bahwa pendidikan memiliki peran kunci dalam mengurangi stigma terhadap kelompok minoritas melalui pendekatan kurikulum yang menghargai keberagaman dan HAM. Pendidikan yang berfokus pada pengakuan terhadap keragaman budaya mampu mereduksi sikap diskriminatif yang tumbuh dalam lingkungan sosial. Hal ini sesuai dengan praktik guru dalam penelitian ini yang berusaha mengintegrasikan materi keberagaman dalam pelajaran dan memberi ruang aman bagi siswa dari kelompok minoritas.

Dalam kajian yang lebih luas, Nainggolan & Nababan (2024) menekankan pentingnya pendidikan multikultural dalam mempromosikan toleransi. Pendidikan ini tidak hanya sekadar menyampaikan materi mengenai keberagaman, tetapi juga menanamkan sikap keterbukaan dan empati melalui kegiatan yang membangun interaksi positif antar siswa. Di sekolah yang menjadi lokasi penelitian, guru mengembangkan proyek kolaboratif yang melibatkan siswa dari berbagai latar belakang, seperti diskusi kelompok, kegiatan seni bertema keberagaman, serta integrasi nilai-nilai budaya lokal sebagai bagian dari strategi pembelajaran. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan multikultural sebagaimana dijabarkan dalam penelitian tersebut.

Sementara itu, Anggraini dkk. (2024) dalam penelitiannya mengenai implementasi pendidikan kewarganegaraan dalam mencegah diskriminasi menunjukkan bahwa kurikulum yang dirancang dengan mengedepankan prinsip-prinsip persamaan hak, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap keragaman dapat menjadi sarana efektif dalam membentuk budaya sekolah yang bebas dari diskriminasi. Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa peran guru dalam mengelola pembelajaran kewarganegaraan secara kontekstual mampu mengurangi praktik perundungan dan intoleransi berbasis etnis, agama, dan status sosial.

Seluruh temuan dan pembandingan ini memperjelas bahwa peran guru dalam mengatasi diskriminasi rasial sangat bergantung pada dua faktor utama, yaitu kapasitas individu guru dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai inklusivitas, serta dukungan sistem pendidikan yang mampu memberikan pelatihan, ruang refleksi, dan kolaborasi lintas pihak. Tanpa adanya pelatihan yang memadai dan kebijakan sekolah yang mendukung keberagaman, upaya guru seringkali terbatas pada inisiatif personal dan tidak bersifat sistemik.

Selain itu, konteks lokal dan nilai-nilai sosial yang berlaku di luar sekolah juga sangat mempengaruhi efektivitas intervensi pendidikan di kelas. Guru menyadari bahwa sikap diskriminatif siswa kadang berasal dari lingkungan rumah atau komunitas, yang membawa stereotip dan stigma terhadap kelompok tertentu. Oleh karena itu, keterlibatan orang tua dan masyarakat menjadi aspek penting dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang inklusif dan harmonis.

Dalam hal ini, pendekatan whole school approach yang mengintegrasikan peran guru, kepala sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat lokal menjadi penting untuk membangun budaya anti-diskriminasi secara menyeluruh. Pendekatan ini melibatkan seluruh unsur dalam satu kesatuan yang saling mendukung dalam mempromosikan nilai toleransi, menghormati keberagaman, dan mencegah tindakan diskriminatif baik secara verbal, sosial, maupun struktural.

Meski pembahasan dalam artikel ini sudah cukup reflektif dan mendalam, ada beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan. Studi ini hanya dilakukan di satu sekolah dasar sehingga hasilnya belum tentu mewakili konteks yang lebih luas. Selain itu, data lebih banyak bersumber dari guru, sehingga perspektif siswa dan orang tua kurang terwakili. Durasi penelitian yang terbatas juga membatasi pemantauan dampak jangka panjang intervensi yang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian lanjutan dengan sampel lebih besar, metode campuran, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dan pengamatan jangka panjang sangat diperlukan agar hasilnya lebih komprehensif dan dapat digeneralisasi.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis terhadap peran guru dalam mengatasi diskriminasi rasial di SD Negeri 100/II Muara Bungo, dapat disimpulkan bahwa:

1. Peran guru dalam mengatasi diskriminasi rasial di lingkungan sekolah dasar studi kasus SD Negeri 100/II Muara Bungo sangat strategis dalam membentuk lingkungan pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas dari diskriminasi. Guru tidak hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik, pembimbing, fasilitator, pemimpin kelas, inovator, dan panutan moral yang membentuk sikap toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan di kalangan siswa. Melalui integrasi nilai-nilai toleransi dalam pembelajaran, pendekatan personal terhadap siswa, serta penciptaan interaksi sosial yang sehat, guru mampu mengurangi potensi diskriminasi rasial di lingkungan sekolah. Upaya ini ditunjang oleh penggunaan strategi pembelajaran kontekstual, kegiatan kreatif bertema keberagaman, dan penguatan pendidikan karakter berbasis nilai Pancasila dan budaya lokal.

2. Kendala yang dihadapi guru dalam mengatasi diskriminasi rasial di lingkungan sekolah dasar studi kasus SD Negeri 100/II Muara Bungo. Kendala internal mencakup keterbatasan pelatihan dan wawasan mengenai pendidikan multikultural, serta tantangan dalam menghadapi karakter siswa yang beragam. Kendala eksternal meliputi kurangnya dukungan sistematis dari sekolah, rendahnya partisipasi orang tua, serta pengaruh lingkungan sosial yang masih memelihara stereotip dan prasangka terhadap kelompok tertentu.

3. Kebutuhan akan pendalaman kontekstual lokal menjadi penting untuk memperkuat kontribusi orisinal dari studi kasus ini. Abstrak telah menjelaskan tujuan dan hasil penelitian dengan baik, namun pada bagian simpulan perlu ditekankan apakah terdapat strategi unik yang diterapkan oleh guru di SD Negeri 100/II Muara Bungo—seperti metode pengajaran berbasis budaya lokal atau pendekatan khas terhadap siswa—yang tidak ditemukan di tempat lain. Penekanan pada konteks lokal ini akan memperkuat keunikan hasil temuan dan relevansi praktisnya bagi pengembangan model pendidikan yang inklusif di wilayah lain.

4. Pelatihan guru yang terstruktur dan berkelanjutan, khususnya dalam hal pendidikan multikultural dan pendekatan anti-diskriminasi, sangat penting untuk meningkatkan kapasitas guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adil.

5. Desain kebijakan sekolah yang sistematis, seperti penerapan kebijakan inklusi, pembentukan tim keberagaman, serta penguatan kolaborasi lintas budaya dalam proses pembelajaran, diperlukan guna mendukung praktik pendidikan yang menghargai perbedaan.

6. Pendekatan whole school approach—yang melibatkan guru, kepala sekolah, siswa, orang tua, dan masyarakat—sangat penting untuk membangun budaya anti-diskriminasi secara menyeluruh. Setiap elemen bekerja sama dalam satu kesatuan untuk mempromosikan nilai toleransi, menghormati keberagaman, dan mencegah diskriminasi baik secara verbal, sosial, maupun struktural."

Ucapan Terima Kasih

Penyelesaian artikel jurnal ini tentu tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan peran banyak pihak. Dengan penuh rasa hormat dan tulus, saya menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, semangat, serta evaluasi yang konstruktif selama proses penyusunan, hingga artikel ini dapat dirampungkan dengan baik.

References

[1] B. Andrean, S. Fharadilla, and Amelia, “Peran Pendidikan Multikultural dalam Menanggulangi Diskriminasi dan Intoleransi di Kalangan Siswa Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Dasar, vol. 4, no. 2, 2023.

[2] R. Anggraini, A. G. Adenta, and E. D. Ichwansyah, “Implementasi Pembelajaran Kewarganegaraan sebagai Upaya Menanggulangi Kasus Toleransi dan Diskriminasi di Sekolah,” Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, vol. 1, no. 3, p. 12, 2024, doi: 10.47134/pgsd.v1i3.645.

[3] H. Armiwulan, “Diskriminasi Rasial dan Etnis sebagai Persoalan Hukum dan Hak Asasi Manusia,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 44, no. 4, p. 493, 2015, doi: 10.14710/mmh.44.4.2015.493-502.

[4] J. A. Banks, An Introduction to Multicultural Education: From Theory to Practice. Pearson Education, 2019.

[5] N. U. Al Chumairoh, Machfud, S. F. A. Arifin, and F. E. Sasmita, “Penguatan Peran Guru dalam Pencegahan Diskriminasi dan Stigma melalui Pendidikan GEDSI,” Journal of Social Innovation and Community Service, vol. 1, no. 2, pp. 65–75, 2024.

[6] F. Fauzi, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Juxtapose, 2017.

[7] Faturohman, E. Suhardi, and R. Wardan, “Analisis terhadap Diskriminasi Rasial dan Etnis yang Terkait dengan Hak Asasi terhadap Manusia,” Jurnal Relasi Publik, vol. 2, no. 3, 2024.

[8] A. Hamid, “Guru Profesional,” Tawazun: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 12, no. 1, p. 94, 2019, doi: 10.32832/tawazun.v12i1.1891.

[9] A. T. Harefa and B. P. L. Persada, “Peran Pendidikan dalam Mengurangi Stigma dan Diskriminasi terhadap Siswa dari Kelompok Minoritas Sosial,” Journal of Education Research, vol. 5, no. 4, pp. 4288–4294, 2024.

[10] R. Hikmat, M. J. Kustoro, and F. Siti, “Implementasi Pendidikan Islam Multikultural di Dunia Pendidikan,” JIMPS: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah, vol. 8, no. 4, pp. 3720–3730, 2023.

[11] R. S. Indri, “Analisis Yuridis Diskriminasi Rasial Menurut Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Ambroncius Nababan),” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, vol. 3, 2023.

[12] M. Kamal, Guru: Suatu Kajian Teoritis dan Praktis, vol. 12. Anugrah Utama Raharja (AURA), 2019.

[13] Karmila, F. Nurul, E. Safira, M. N. A. Siregar, and E. W. Kautsar, “Diskriminasi Pendidikan di Indonesia,” EDUCASIA: Jurnal Pendidikan, Pengajaran, dan Pembelajaran, vol. 1, no. 2, p. 140, 2021, doi: 10.26418/jppkn.v1i2.40809.

[14] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta, 2018.

[15] S. I. Latifah and A. Karni, “Pendidikan Multikultural sebagai Alat untuk Mencegah Diskriminasi di Sekolah: Peran Guru sebagai Pemimpin,” Jurnal Pendidikan Multikultural, vol. 8, no. 4, pp. 1–11, 2024.

[16] S. Liandy, “Peran Guru PKn dalam Menanamkan Sikap Anti-Diskriminasi di Lingkungan Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, vol. 5, pp. 31–35, 2023.

[17] Y. S. Lincoln and E. G. Guba, Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage Publications, 1985.

[18] N. A. Makarim, Merdeka Belajar Hadirkan Pembelajaran yang Inklusif dan Toleran. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2021.

[19] E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Remaja Rosdakarya, 2021.

[20] P. S. Mustafa, Buku Ajar Profesi Keguruan untuk Mahasiswa Pendidikan dan Keguruan. Pradina Pustaka, 2024.

[21] G. R. Nainggolan and P. N. Nababan, “Peran Pendidikan Multikultural dalam Mempromosikan Toleransi dan Mengatasi Diskriminasi di Sekolah,” Jurnal Pendidikan, vol. 1, no. 2, 2024.

[22] N. Rukaya, “Pendidikan Multikultural di Sekolah Dasar,” Jurnal Pendidikan Agama Islam, vol. 6, no. 1, 2018. [Online]. Available: [http://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/pgsd/article/view/15051](http://ojs.unpkediri.ac.id/index.php/pgsd/article/view/15051)

[23] D. G. Ryans, “Educational Psychology,” Annual Review of Psychology, vol. 6, 2019, doi: 10.1146/annurev.ps.06.020155.002243.

[24] W. Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana Prenada Media, 2021.

[25] J. W. Santrock, Perkembangan Remaja, 6th ed. Erlangga, 2021.

[26] M. N. Sari et al., Metodologi Penelitian Tindakan Kelas & Research and Development. Pradina Pustaka, 2024.

[27] I. R. Siregar, C. J. J. Waha, and C. D. Massie, “Analisis Yuridis Diskriminasi Rasial Menurut Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Ambroncius Nababan),” Jurnal Hukum, vol. 3, 2023.

[28] H. A. Sochmawardiah, Diskriminasi Rasial dalam Hukum HAM. Genta Publishing, 2019.

[29] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta, 2020.

[30] T. Suhardjo, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Implikasinya dalam Dunia Pendidikan. Ombak, 2018.

[31] H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan. Grasindo, 2024.

[32] N. A. Wiyani, Manajemen Kelas: Teori dan Praktik. Pustaka Pelajar, 2021.