Rapael Ginting (1), Masryna Siagian (2), Cantika Viona Adytia Hutagalung (3), Cherin Lolenstine (4)
Background: Diabetes mellitus affects over 415 million people globally and is projected to reach 642 million by 2040, with diabetic retinopathy (DR) becoming a major cause of preventable blindness. Specific background: In Indonesia, DR prevalence remains high, yet early detection is often delayed, particularly in community and private clinic settings. Knowledge gap: Most studies on DR risk factors have been conducted in tertiary hospitals or general populations, while evidence from community-based ophthalmology clinics is limited. Aim: This study analyzed factors associated with DR complications among type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients at Klinik Mata Vision Max. Results: Using a case–control design with 60 participants (30 cases, 30 controls), multivariate logistic regression revealed that uncontrolled blood glucose (OR = 7.5, p = 0.007), diabetes duration >5 years (OR = 6.4, p = 0.016), hypertension (OR = 4.5, p = 0.043), and male sex (OR = 3.97, p = 0.054) significantly increased the risk of DR, while diet showed no direct effect. Novelty: This is the first systematic case–control study in a community-based eye clinic in Indonesia addressing DR risk factors. Implications: Findings highlight the urgency of integrating DR screening into primary care, emphasizing glycemic control, hypertension management, and targeted patient education to reduce preventable blindness.Highlight :
Uncontrolled blood glucose is the dominant factor.
Age >45 years and DM duration >5 years increase risk.
Hypertension is significantly associated with diabetic retinopathy.
Keywords : Diabetes Mellitus, Diabetic Retinopathy, Risk Factors, Age, Hypertension
Diabetes melitus di seluruh dunia mencapai 415 juta jiwa dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 642 juta jiwa pada tahun 2040. Seiring meningkatnya prevalensi diabetes melitus, kasus retinopati diabetik juga mengalami peningkatan. Dalam beberapa tahun terakhir, retinopati diabetik mendapatkan perhatian khusus, baik dalam hal epidemiologi, faktor risiko, maupun dampak kesehatannya. Penyakit ini menjadi salah satu tantangan kesehatan masyarakat global karena berkontribusi besar terhadap beban kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah (Madyaputra & Ratnaningsih, 2021).
Retinopati diabetik menempati peringkat keempat penyebab kebutaan yang dapat dicegah secara global dan merupakan penyebab utama kebutaan pada populasi usia produktif di negara maju. Prevalensinya bervariasi antar negara: 19% di Bangladesh, 17–22% di India, 30,3% di Kamboja, 37% di Iran, 43,1% di Tiongkok Tengah, hingga 63% di Afrika Selatan. Di negara maju, angka kejadian berkisar antara 29,3% di Australia, 39% di Inggris, hingga 50,3% di Amerika Serikat (Nasrul, 2021). Diperkirakan, sepertiga penderita diabetes akan mengalami retinopati diabetik, dengan prevalensi global sebesar 35,4% dan retinopati diabetik proliferatif sebesar 7,5% (Yau et al., 2012; Mastari, 2022).
Di Indonesia, retinopati diabetik menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Prevalensinya mencapai 43,1% dengan tingkat pengobatan hanya 26,1% (Kemenkes, 2023). Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien terdiagnosis pada stadium lanjut, sering kali setelah munculnya gejala gangguan penglihatan yang menetap. Padahal, deteksi dini melalui skrining berkala di layanan primer dapat mencegah progresivitas penyakit.
Faktor risiko retinopati diabetik meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, dislipidemia, serta lama menderita diabetes melitus (Made et al., 2022). Berbagai studi sebelumnya telah menganalisis faktor-faktor tersebut, namun sebagian besar dilakukan di rumah sakit rujukan besar atau berbasis populasi umum. Studi yang secara spesifik meneliti pasien di klinik mata swasta, khususnya dengan pendekatan kasus–kontrol terhadap variabel risiko yang terukur, masih jarang dilakukan.
Klinik Mata Vision Max, sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan spesialis mata di wilayah [sebutkan kota/kabupaten], memiliki karakteristik unik: menjadi rujukan utama dari layanan primer dan menampung pasien dengan latar belakang sosioekonomi beragam. Berdasarkan survei awal peneliti, pada tahun 2024 terdapat 231 kasus retinopati diabetik (prevalensi 2,41%) di klinik ini, jauh di atas target nasional retinopati diabetik sebesar 0,5% (Kemenkes, 2021). Tingginya angka ini menunjukkan adanya kesenjangan antara target nasional dan realitas lapangan.
Hingga saat ini, belum ada penelitian di Klinik Mata Vision Max yang secara sistematis menganalisis faktor-faktor risiko retinopati diabetik pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan desain kasus–kontrol. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi celah tersebut, sekaligus memberikan dasar evidence-based bagi program pencegahan dan skrining dini berbasis komunitas yang dapat diintegrasikan ke dalam sistem layanan primer untuk menurunkan beban komplikasi retinopati diabetik di wilayah ini.
Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan studi kasus–kontrol untuk menguji hubungan kausal antara faktor risiko dan kejadian retinopati diabetik pada penderita diabetes melitus tipe 2. Pendekatan ini membandingkan frekuensi paparan faktor risiko antara kelompok kasus dan kelompok kontrol, tanpa melakukan intervensi pada subjek penelitian.
Penelitian dilakukan di Klinik Mata Vision Max pada bulan Februari 2025. Populasi target adalah seluruh penderita diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi retinopati diabetik dan glaukoma yang tercatat di Klinik Mata Vision Max selama tahun 2024.
Pemilihan sampel menggunakan metode non-probability sampling dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan peneliti. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kriteria inklusi
1.Pasien rawat jalan dengan diagnosis retinopati diabetik dan/atau glaukoma.
2.Pasien dengan diabetes melitus tipe 2.
3.Memiliki data rekam medis yang lengkap.
4.Bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent.
b. Kriteria eksklusi
1.Bukan pasien rawat jalan.
2.Pasien dengan DM tipe 1 atau DM gestasional.
3.Data rekam medis tidak lengkap.
Ukuran sampel ditetapkan sebanyak 30 responden pada kelompok kasus dan 30 responden pada kelompok kontrol, berdasarkan perhitungan rumus Lemeshow untuk studi kasus–kontrol dengan tingkat kepercayaan 95%, power 80%, dan estimasi odds ratio minimal 3. Berdasarkan asumsi prevalensi paparan pada kelompok kontrol sebesar 40%, maka kebutuhan minimal sampel adalah 27 per kelompok. Peneliti menambahkan 10% untuk antisipasi drop-out sehingga total 60 responden (30 kasus dan 30 kontrol).
Variabel penelitian terdiri dari:
a)Variabel dependen: retinopati diabetik.
b)Variabel independen: usia, jenis kelamin, kontrol gula darah, hipertensi, lama menderita DM tipe 2, dan pola makan.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner terstruktur serta penelusuran data rekam medis.
Instrumen kuesioner telah melalui uji validitas menggunakan korelasi Pearson Product Moment pada 20 responden di luar sampel penelitian, dengan semua item memiliki nilai r-hitung > r-tabel (0,444) sehingga dinyatakan valid. Uji reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha menghasilkan nilai 0,82, yang menunjukkan tingkat reliabilitas sangat baik.
Figure 1. Perbandingan Faktor Resiko antara kasus dan kontrol Frekuensi Responden
Berdasarkan tabel 1 dan gambar grafik 1. terlihat bahwa karakteristik umur responden > 45 tahun pada kelompok kasus sebanyak 25 orang (41,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 17 orang (28,3%), sedangkan umur responden ≤ 45 tahun pada kelompok kasus sebanyak 5 orang (8,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 13 orang (21,7%).
Karakteristik jenis kelamin subjek penelitian menunjukkan bahwa laki-laki pada kelompok kasus sebanyak 22 orang (36,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 13 orang (21,7%), sedangkan jenis kelamin perempuan pada kelompok kasus sebanyak 8 orang (13,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 17 orang (28,3%).
Penderita diabetes melitus > 5 tahun pada kelompok kasus sebanyak 24 orang (40%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 14 orang (23,3%), sedangkan ≤ 5 tahun pada kelompok kasus sebanyak 6 orang (10%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 16 orang (26,7%).
Kadar gula darah menunjukkan responden dengan kadar gula darah tidak terkontrol pada kelompok kasus sebanyak 25 orang (41,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 11 orang (18,3%), sedangkan responden dengan kadar gula darah terkontrol pada kelompok kasus sebanyak 5 orang (8,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 19 orang (31,7%).
Responden yang mempunyai riwayat hipertensi pada kelompok kasus sebanyak 23 orang (38,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 14 orang (23,3%), sedangkan responden yang tidak mempunyai riwayat hipertensi pada kelompok kasus sebanyak 7 orang (11,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 16 orang (26,7%).
Responden dengan pola makan buruk pada kelompok kasus sebanyak 17 orang (28,3%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 22 orang (36,7%), sedangkan responden dengan pola makan baik pada kelompok kasus sebanyak 13 orang (21,7%) dan pada kelompok kontrol sebanyak 8 orang (13,3%). Dari 60 subjek penelitian, ditunjukkan bahwa terdapat 30 orang (50,0%) yang mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) dan sebanyak 30 orang (50,0%) yang tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol).
Analisis Bivariat
Hasil uji bivariat dapat dilihat pada grafik berikut yang membandingkan proporsi faktor risiko antara kelompok kasus dan kontrol.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa :
a)Usia > 45 tahun dan lama menderita DM > 5 tahun menunjukkan proporsi lebih tinggi pada kelompok kasus dibanding kontrol.
b)Jenis kelamin pria, kadar gula darah tidak terkontrol, dan hipertensi juga terlihat lebih dominan pada kelompok kasus.
c)Pola makan tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara kasus dan kontrol.
Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa variabel usia, jenis kelamin, durasi DM, kadar gula darah, dan tekanan darah memiliki hubungan signifikan dengan komplikasi retinopati diabetik (p < 0,05), sedangkan pola makan tidak signifikan (p = 0,176).
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dari 35 orang (58,3%) yang berjenis kelamin laki-laki, mayoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) sebanyak 22 orang (36,7%) dan minoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol), yaitu sebanyak 13 orang (21,7%). Sementara itu, dari 25 orang (41,7%) yang berjenis kelamin perempuan, mayoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol), yaitu sebanyak 17 orang (28,3%) dan minoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus), yaitu sebanyak 8 orang (13,3%). Berdasarkan uji statistik, terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap komplikasi retinopati diabetik dengan nilai p sebesar 0,018 (p<0,05).
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dari 38 orang (63,3%) yang menderita DM tipe 2 > 5 tahun, mayoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) sebanyak 24 orang (40,0%) dan minoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol) yaitu sebanyak 14 orang (23,3%). Sementara itu, dari 22 orang (36,7%) yang menderita DM tipe 2 ≤ 5 tahun, mayoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol) yaitu sebanyak 16 orang (26,7%) dan minoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) yaitu sebanyak 6 orang (10,0%).Berdasarkan uji statistik terdapat pengaruh jangka panjang menderita diabetes tipe 2 terhadap komplikasi retinopati diabetik dengan nilai p sebesar 0,007.(p<0,05).
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dari 36 orang (60%) dengan kadar gula darah tidak terkontrol, mayoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) sebanyak 25 orang (41,7%) dan minoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol), yaitu 11 orang (18,3%). Sementara itu, dari 24 orang (40%) dengan kadar gula darah terkontrol, mayoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol), yaitu 19 orang (31,7%) dan minoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus), yaitu 5 orang (8,3%).Berdasarkan uji statistik, nilai pdari 0,000Diperoleh nilai (<0,05) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara kadar gula darah dengan komplikasi retinopati diabetik.
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dari 37 orang (61,7%) yang mengalami hipertensi, mayoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) sebanyak 23 orang (38,3%) dan minoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol) yaitu 14 orang (23,3%). Sementara itu, dari 23 orang (38,3%) yang tidak mengalami hipertensi, mayoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol) sebanyak 16 orang (26,7%) dan minoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) sebanyak 7 orang (11,7%).
Berdasarkan uji statistik terdapat pengaruh tekanan darah terhadap komplikasi retinopati diabetik dengannilai psebesar 0,017 (p<0,05).
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dari 39 orang (65%) dengan pola makan buruk, mayoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol) sebanyak 22 orang (36,7%) dan minoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) yaitu 17 orang (28,3%). Sementara itu, dari 21 orang (35%) dengan pola makan baik, mayoritas mengalami komplikasi retinopati diabetik (kasus) sebanyak 13 orang (21,7%) dan minoritas tidak mengalami komplikasi retinopati diabetik (kontrol) sebanyak 8 orang (13,3%). Berdasarkan uji statistik, tidak terdapat pengaruh antara pola makan terhadap komplikasi retinopati diabetik dengannilai psebesar 0,176 (p<0,05).
Analisis Multivariat
Figure 2.
Grafik batang untuk perbandingan faktor risiko antara kelompok kasus dan kontrol, serta diagram horizontal yang menampilkan nilai Odds Ratio (OR) hasil analisis multivariat.
Tabel 8 menunjukkan bahwa Kadar gula darah tidak terkontrol merupakan faktor risiko dominan (OR = 7,499; p = 0,007), Durasi DM > 5 tahun juga signifikan (OR = 6,420; p = 0,016), Tekanan darah tinggi memiliki OR = 4,472 (p = 0,043) dan Jenis kelamin pria memiliki OR = 3,965, mendekati signifikan (p = 0,054).
Variabel kadar gula darah menempati posisi paling tinggi dalam mempengaruhi terjadinya komplikasi retinopati diabetik pada pasien DM tipe 2 di Klinik Mata Vision Max.
Berdasarkan hasil uji statistik multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik didapatkan bahwa faktor risiko kadar gula darah merupakan faktor dominan yang mempengaruhi komplikasi retinopati diabetik yang mempunyai OR (Odds Ratio) tertinggi yaitu 7.499 kali risiko dengannilai psebesar 0,007 (p<0,05) dan perbedaan CI sebesar 30.680.
Berdasarkan uji statistik menggunakan uji Chi-square dengan derajat signifikansi 0,05 diperoleh nilai p-value sebesar 0,024, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara usia dengan komplikasi retinopati diabetik di Klinik Mata Vision Max.
Temuan ini sejalan dengan penelitian Lassie dan Felia Tambunan (2022) di RSKM Padang Eye Center yang menemukan bahwa kelompok usia 46–55 tahun mendominasi kasus retinopati diabetik. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Risviani, Decroli, dan Arisanty (2025) di RSUD Dr. M. Djamil Padang, yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara usia dan kejadian retinopati diabetik.
Secara biologis, usia >45 tahun berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap kerusakan pembuluh darah mikro, termasuk di retina, akibat proses degeneratif, penurunan fungsi sel, dan meningkatnya apoptosis (kematian sel). Kondisi ini diperburuk oleh faktor risiko seperti hiperglikemia kronis, inflamasi, dan stres oksidatif yang mempercepat kerusakan sel retina (Darayani Risviani & Eva Decroli, 2022). Oleh karena itu, sebagian besar penderita retinopati diabetik pada penelitian ini berada pada kelompok usia lanjut.
Uji Chi-square menunjukkan p-value sebesar 0,018, menandakan adanya pengaruh signifikan antara jenis kelamin dan kejadian retinopati diabetik. Pada penelitian ini, pria lebih banyak mengalami komplikasi dibandingkan wanita.
Penjelasan yang mungkin adalah perbedaan gaya hidup. Pria cenderung memiliki perilaku berisiko lebih tinggi, seperti merokok, konsumsi alkohol, dan pola makan yang kurang sehat, serta kecenderungan menunda pemeriksaan kesehatan (Reubun, Tamtelatihu, & Yunita, 2022). Temuan ini sejalan dengan penelitian Sahela dkk. (2025) yang melaporkan proporsi komplikasi retinopati diabetik lebih tinggi pada pria di Poliklinik Mata RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Mojokerto.
Namun, hal ini berbeda dengan penelitian Kristin (2024) yang menemukan bahwa wanita justru lebih dominan mengalami retinopati diabetik karena pengaruh hormonal, khususnya estrogen, yang memengaruhi nafsu makan dan metabolisme glukosa. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa faktor gender dapat berinteraksi dengan aspek sosial-budaya dan biologis, sehingga hasil antar penelitian bisa bervariasi.
Hasil analisis menunjukkan p-value sebesar 0,007, yang berarti ada hubungan signifikan antara lama menderita diabetes dan komplikasi retinopati diabetik. Sebagian besar penderita dengan durasi >5 tahun mengalami komplikasi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Asary dkk. (2024) yang menunjukkan adanya hubungan kuat antara lama menderita DM tipe 2 dengan risiko retinopati diabetik. Durasi penyakit yang panjang menyebabkan paparan kronis terhadap hiperglikemia, sehingga merusak pembuluh darah retina secara progresif (Esmiralda, Edward, & Chayadi, 2023).
Secara fisiologis, paparan gula darah tinggi dalam waktu lama meningkatkan risiko kebocoran kapiler, iskemia retina, dan pembentukan neovaskularisasi yang menjadi ciri retinopati diabetik proliferatif.
Uji Chi-square menunjukkan p-value 0,000, menandakan pengaruh signifikan antara kadar gula darah dan komplikasi retinopati diabetik. Pasien dengan kadar gula darah tidak terkendali memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi.
Penelitian Harahap (2017) di RSUD Dr. Pirngadi Medan juga melaporkan proporsi tertinggi retinopati diabetik pada kelompok dengan HbA1c ≥6,5%. Mekanismenya melibatkan peningkatan radikal bebas (AGEs, sorbitol, ROS) akibat hiperglikemia yang memicu hipoksia dan inflamasi retina (Nafia dkk., 2021).
Kontrol gula darah yang buruk, baik karena pola makan, resistensi insulin, maupun kurangnya aktivitas fisik, dapat mempercepat progresi kerusakan retina. Oleh karena itu, intervensi manajemen DM harus menekankan pemantauan glukosa secara rutin dan edukasi perubahan gaya hidup.
P-value sebesar 0,017 menunjukkan adanya pengaruh signifikan antara hipertensi dan komplikasi retinopati diabetik. Pasien DM tipe 2 dengan hipertensi memiliki risiko dua kali lipat mengalami retinopati diabetik (Raflin Sinaga & Dharma, 2023).
Hipertensi dapat memperparah kerusakan pembuluh darah mikro yang telah terjadi akibat hiperglikemia. Kombinasi tekanan darah tinggi dan kadar gula darah tidak terkendali meningkatkan risiko perdarahan retina, edema makula, dan kebutaan permanen. Meski demikian, Nafia dkk. (2021) menemukan hasil berbeda, sehingga faktor pengendalian tekanan darah dalam konteks manajemen DM perlu diteliti lebih lanjut.
Penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara pola makan dan komplikasi retinopati diabetik (p-value 0,176). Hasil ini sejalan dengan penelitian Rajani Kadri dkk. (2021) yang menyatakan bahwa diet tidak memiliki efek langsung terhadap retinopati diabetik.
Namun, temuan ini perlu dianalisis kritis. Pertama, kemungkinan bias pengukuran dapat terjadi karena penilaian pola makan menggunakan kuesioner berbasis ingatan (recall), yang rentan terhadap underreporting atau overreporting. Kedua, kemungkinan confounding dari faktor seperti tingkat aktivitas fisik, kontrol gula darah, dan kepatuhan minum obat belum sepenuhnya dikendalikan, sehingga efek pola makan terhadap retinopati diabetik dapat tertutupi oleh faktor-faktor tersebut.
Secara konsep, pola makan memang memengaruhi kontrol glukosa darah, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan retina. Namun, efek ini lebih bersifat tidak langsung dan membutuhkan waktu lama untuk terlihat, sehingga pada penelitian potong lintang (cross-sectional) seperti ini, hubungan tersebut mungkin tidak tampak signifikan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor usia, jenis kelamin, lama menderita diabetes melitus tipe 2, kadar gula darah, dan hipertensi berpengaruh signifikan terhadap kejadian komplikasi retinopati diabetik pada pasien DM tipe 2 di Klinik Mata Vision Max. Dari seluruh variabel yang diuji, kadar gula darah yang tidak terkendali merupakan faktor dominan yang meningkatkan risiko komplikasi hingga 7,5 kali lipat. Sementara itu, pola makan tidak menunjukkan hubungan signifikan secara langsung, meskipun berperan tidak langsung melalui pengendalian kadar gula darah.
Implikasi praktis dari temuan ini adalah perlunya:
1.Skrining dini retinopati diabetik pada semua pasien DM tipe 2, terutama yang berusia >45 tahun, memiliki riwayat hipertensi, atau kadar gula darah tidak terkendali.
2.Edukasi intensif kepada pasien DM mengenai pentingnya pengendalian kadar gula darah, kepatuhan terapi, dan pemantauan tekanan darah secara rutin.
3.Peran aktif petugas kesehatan masyarakat dalam memberikan penyuluhan, melakukan kunjungan rumah, dan memfasilitasi pemeriksaan mata berkala untuk mencegah komplikasi yang berujung pada kebutaan.
4.Integrasi layanan DM dan pemeriksaan mata di fasilitas kesehatan primer sehingga deteksi dini dan intervensi dapat dilakukan secara berkesinambungan.
Dengan demikian, pengendalian faktor risiko melalui pendekatan multidisiplin yang melibatkan tenaga medis, pasien, keluarga, dan masyarakat menjadi kunci dalam mencegah terjadinya retinopati diabetik pada penderita DM tipe 2.
[1] T. M. Asary et al., “Hubungan Indeks Massa Tubuh, Lamanya Diabetes Melitus, dan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kejadian Retinopati Diabetik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di RSUD Praya,” Jurnal Biologi Tropis, 2024.
[2] D. R. Risviani, E. Decroli, and D. A. Arisanty, “Gambaran Umum Faktor Risiko Retinopati Diabetik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Dr. M. Djamil,” Jurnal Penelitian Ilmiah, vol. 1, no. 1, pp. 15–18, 2022.
[3] N. Esmiralda, Z. Edward, and M. L. Chayadi, “Hubungan Lama Penderita Diabetes Melitus dengan Derajat Retinopati Diabetik di Poli Mata RSUD Budi Kemuliaan Kota Batam Tahun 2020–2022,” Medical Zone: Program Studi Pendidikan Kedokteran Universitas Batam, vol. 13, no. 1, pp. 351–361, 2023, doi: 10.37776/zked.v13i1.1154.
[4] A. A. L. Harahap, “Karakteristik Penderita Retinopati Diabetik yang Dirawat di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2013–2016,” 2017, pp. 1–10.
[5] S. N. Istiqomah and G. Sholih, “Pengaruh Hubungan Pola Makan terhadap Kadar Gula Darah pada Penderita Diabetes Melitus Tipe II,” Jurnal Kesehatan Mandiri, vol. 19, no. 1, pp. 132–142, 2024.
[6] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Pedoman Nasional Pelayanan Medik: Penatalaksanaan Retinopati Diabetik,” pp. 1–36, 2023.
[7] N. Lassie and S. F. Tambunan, “Tinjauan Umum Pasien Retinopati Diabetik yang Menjalani Terapi Injeksi Intravitreal Anti-VEGF di RSKM Padang Eye Center Tahun 2018,” Jurnal Ilmiah, vol. 1, no. 5, pp. 362–367, 2022, doi: 10.56260/sciena.v1i5.69.
[8] N. Made et al., “Prevalensi Retinopati Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah,” e-Jurnal Kedokteran Udayana, vol. 2, no. 6, pp. 1090–1099, 2022.
[9] F. M. Madyaputra and N. Ratnaningsih, “Pendekatan Kesehatan Masyarakat terhadap Retinopati Diabetik,” Oftalmologi: Jurnal Kesehatan Mata Indonesia, pp. 1–12, 2021.
[10] E. S. Mastari, “Peran Polimorfisme Gen MMP-9-1562C/T terhadap Insiden Retinopati Diabetik pada Pasien DM,” Jurnal Kesehatan dan Ilmu Kedokteran, vol. 1, no. 4, pp. 277–292, 2022.
[11] D. C. E. Maulana and I. Sovani, “Pola Rujukan Pasien Retinopati Diabetik di Pusat Rujukan Tersier Pusat Mata Nasional RS Mata Cicendo Indonesia Tahun 2016–2019,” Pusat Mata Nasional RS Mata Cicendo, vol. 1, no. 1, pp. 1–10, 2020.
[12] N. K. Nafia et al., “Berbagai Faktor Risiko Retinopati Diabetik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2,” Medica Hospitalia: Journal of Clinical Medicine, vol. 8, no. 3, pp. 265–272, 2021, doi: 10.36408/mhjcm.v8i3.596.
[13] M. Nasrul, “Prevalensi Retinopati Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus di Komunitas Prolanis Kota Mataram Tahun 2018,” Jurnal Kedokteran Unram, vol. 10, no. 3, pp. 604–608, 2021, doi: 10.29303/jku.v10i3.552.
[14] M. B. Raflin Sinaga and S. Dharma, “Pengaruh Kontrol Glukosa Darah, Hipertensi, dan Dislipidemia terhadap Komplikasi Retinopati Diabetik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2,” Jurnal Multidisiplin Indonesia, vol. 2, no. 10, pp. 3304–3319, 2023.
[15] R. Kadri, P. Vishwanath, D. Parameshar, S. Hegde, and A. A. K., “Hubungan Diet dengan Retinopati Diabetik,” BMC Ophthalmology, vol. 69, no. 1, pp. 662–665, 2021, doi: 10.4103/ijo.IJO.
[16] R. J. S. Reubun, C. L. Tamtelatihu, and M. Yunita, “Prevalensi Retinopati Diabetik pada Pasien Diabetes Melitus di Klinik Utama Provinsi Maluku,” Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, vol. 10, no. 3, pp. 366–376, 2022, doi: 10.33366/jc.v10i3.3008.
[17] D. Risviani, E. Decroli, and D. Arisanty, “Jurnal Penelitian Ilmiah,” Jurnal Penelitian Ilmiah, vol. 2, no. 1, pp. 15–18, 2025.
[18] A. A. Sahela et al., “Hubungan antara Durasi Diabetes Melitus Tipe 2 dan Kadar HbA1c dengan Retinopati Diabetik,” pp. 58–69, 2025.
[19] N. Salsabila, “Efektivitas Injeksi Intravitreal Anti-VEGF terhadap Ketajaman Penglihatan pada Pasien Retinopati Diabetik,” Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia, vol. 1, no. 2, pp. 125–133, 2020, doi: 10.25077/jikesi.v1i2.134.
[20] A. K. W. Kristin, “Analisis Faktor Komorbid Diabetes Melitus Tipe II Berdasarkan Parameter HbA1c,” Jurnal Kesehatan Masyarakat ITEKES Cendekia Utama Kudus, vol. 12, no. 1, pp. 54–65, 2024.