Loading [MathJax]/jax/output/HTML-CSS/config.js
Login
Education
DOI: 10.21070/acopen.10.2025.11438

Artificial Intelligence Driven Literacy Practices in Early Language Education


Praktik Literasi yang Didorong oleh Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan Bahasa Awal

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Program Studi Pendidikan Teknologi Informasi, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Artificial Intelligence Literacy Education Primary School Educational Ethnography Language Learning

Abstract

General background: The integration of artificial intelligence (AI) into education has rapidly transformed learning environments, particularly in literacy education. Specific background: In primary schools, AI offers tools that support individualized learning and streamline instructional processes. Knowledge gap: However, limited research explores the sociocultural dynamics of AI-mediated literacy learning, especially in early education within Indonesian contexts. Aims: This study investigates the application of AI in reading and writing instruction at Muhammadiyah Primary School 1 Candi, Sidoarjo, through an educational ethnography and qualitative-descriptive approach. Results: Findings demonstrate that AI facilitates personalized literacy experiences, enhances student motivation, and improves instructional efficiency. Nonetheless, critical issues such as increased student dependency on automated systems, diminished verbal interaction, and the presence of cultural bias in AI-generated content were observed. Novelty: The study highlights the teacher’s evolving role not merely as a knowledge transmitter but as a facilitator of values and cultural mediator in AI-supported classrooms. Implications: It recommends the adoption of AI integration strategies that prioritize ethical awareness, cultural contextualization, and humanistic principles, contributing to the development of an inclusive and adaptive literacy education ecosystem for primary learners.
Highlights:

  • Highlights the sociocultural impacts of AI in early literacy.

  • Reveals both benefits and ethical challenges of AI integration.

  • Emphasizes the teacher’s role as a value-based content mediator.

Keywords: Artificial Intelligence, Literacy Education, Primary School, Educational Ethnography, Language Learning

 

Pendahuluan

Perubahan besar dalam dunia pendidikan dewasa ini tidak hanya ditandai oleh hadirnya teknologi digital, tetapi juga oleh makin masifnya integrasi kecerdasan artifisial (AI) dalam praktik belajar-mengajar. Perkembangan ini turut mengubah wajah pendidikan dasar di Indonesia. Pemerintah bahkan berencana untuk memperkenalkan mata pelajaran pemrograman (coding) dan AI ke dalam kurikulum sekolah dasar mulai tahun ajaran 2025/2026, sebagai bagian dari strategi penguatan kompetensi digital anak sejak dini [1], [2]. Transformasi ini tidak berdiri sendiri, melainkan berlangsung dalam lanskap pendidikan yang semakin terdigitalisasi dan serba multimodal, di mana interaksi antara anak, teks, dan teknologi menjadi pengalaman belajar yang utuh.

Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk merefleksikan kembali konsep literasi anak di tingkat sekolah dasar. Literasi yang dulunya dimaknai sebagai kemampuan dasar membaca dan menulis, kini berkembang menjadi entitas kompleks yang melibatkan keterampilan menafsirkan, mengevaluasi, dan mencipta dalam berbagai bentuk dan medium [3], [4]. Di era digital, anak-anak tidak hanya berhadapan dengan teks cetak, tetapi juga dengan representasi multimodal seperti video, audio, gambar interaktif, dan antarmuka digital. Oleh karena itu, literasi digital dan literasi multimodal menjadi bagian integral dari kemampuan literasi anak di abad ke-21 [5].

Literasi bahasa tetap merupakan fondasi yang tidak tergantikan dalam proses belajar. Pada tahap pendidikan dasar, literasi membaca dan menulis menjadi penopang utama bagi pengembangan kompetensi lainnya. Kemampuan memahami teks, menyusun narasi, dan mengutarakan gagasan dalam bentuk tulisan atau lisan merupakan bagian dari kapasitas berpikir kritis dan reflektif anak [6]. Namun demikian, dalam dunia yang dibanjiri oleh informasi dan dikendalikan oleh algoritma, literasi tidak lagi dapat berdiri sendiri secara tradisional. Anak perlu dilatih untuk membaca secara kritis, menyaring informasi, mengenali bias, dan sekaligus mampu menciptakan makna baru secara produktif [4], [7].

Integrasi teknologi AI dalam pembelajaran bahasa telah membuka peluang baru dalam memperkaya pengalaman belajar anak. Aplikasi berbasis AI memungkinkan penyajian materi secara adaptif, memberi umpan balik otomatis terhadap tugas menulis, serta menyediakan ruang dialog interaktif yang menyerupai komunikasi nyata [8], [9]. Di sisi lain, AI juga menimbulkan tantangan pedagogis dan etis. Misalnya, penggunaan chatbot dalam praktik membaca bisa saja mendorong pasivitas belajar jika tidak disertai dengan intervensi guru yang reflektif. Sementara itu, kemampuan AI dalam mengenali kesalahan gramatikal tidak serta-merta menjamin bahwa anak memahami proses berpikir di balik struktur bahasa [10].

Dalam hal Indonesia, riset terkait pemanfaatan AI dalam pendidikan dasar masih tergolong baru dan belum banyak mengeksplorasi bidang literasi bahasa secara mendalam. Sebagian besar studi masih bersifat eksploratif, berfokus pada penggunaan aplikasi, dan belum menyentuh aspek sosiokultural yang mengiringi proses pembelajaran [11]. Padahal, belajar bahasa pada anak tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga terikat pada interaksi sosial, konteks budaya, serta praktik komunikatif yang hidup di ruang kelas [12]. Dengan demikian, memahami bagaimana AI berinteraksi dengan praktik literasi anak memerlukan pendekatan yang tidak semata-mata teknologis, tetapi juga sosiokultural.

Pentingnya pendekatan ini ditegaskan oleh teori sosiokultural dalam pendidikan, yang memandang belajar sebagai hasil dari interaksi sosial yang terstruktur, bukan sekadar proses mental individual [13]. Guru, lingkungan sekolah, serta nilai-nilai yang dibawa oleh teknologi turut memengaruhi bagaimana anak mengembangkan kemampuan berbahasa. Dalam kerangka ini, AI dapat dilihat sebagai aktor baru dalam ruang kelas yang tak netral, melainkan membawa logika, ritme, dan struktur interaksi tersendiri [14]. Oleh karena itu, penggunaan AI dalam pembelajaran bahasa tidak dapat dilepaskan dari refleksi pedagogis dan konteks sosial-budaya tempat ia dioperasikan.

Sekalipun AI menawarkan efisiensi dan personalisasi dalam pembelajaran, integrasi teknologi ini di jenjang sekolah dasar tidak dapat dilakukan secara instan. Beberapa pakar pendidikan mengingatkan bahwa anak-anak sebaiknya terlebih dahulu dibekali dengan pemahaman literasi digital, logika berpikir, dan etika berteknologi sebelum berinteraksi langsung dengan sistem berbasis AI [7], [15]. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya ketergantungan teknologi dan menghindari reduksi proses belajar menjadi sekadar aktivitas klik dan respons.

Dari uraian di atas, terlihat adanya ketegangan sekaligus peluang dalam praktik pembelajaran bahasa anak di era AI. Di satu sisi, teknologi dapat menjadi alat bantu yang memperkuat literasi anak secara multimodal dan kontekstual. Di sisi lain, jika tidak digunakan secara reflektif dan berakar pada praktik sosial yang bermakna, AI justru berpotensi menghambat perkembangan berpikir kritis dan ekspresi personal anak.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan kajian empiris yang menggambarkan bagaimana AI digunakan dalam pembelajaran membaca dan menulis di sekolah dasar, serta bagaimana aktor-aktor pendidikan (guru, siswa, sekolah) memaknai dan merespons kehadiran teknologi ini. Dengan menjadikan SD Muhammadiyah 1 Candi di Kabupaten Sidoarjo sebagai lokasi studi, penelitian ini bertujuan untuk memotret secara deskriptif praktik pembelajaran bahasa anak yang berinteraksi dengan AI, serta menganalisisnya dalam kerangka sosiokultural.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan praktik integrasi AI dalam pembelajaran membaca dan menulis; (2) memahami tanggapan dan strategi guru serta siswa dalam menghadapi transformasi teknologi ini; dan (3) mengidentifikasi dampaknya terhadap perkembangan literasi bahasa anak di sekolah dasar. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan model pembelajaran bahasa yang lebih adaptif, kontekstual, dan berpihak pada perkembangan anak di era kecerdasan artifisial.

Metode

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan perspektif sosiokultural untuk menggambarkan secara mendalam praktik pembelajaran bahasa berbasis kecerdasan artifisial (AI) di sekolah dasar. Kerangka etnografi pendidikan dipilih karena memungkinkan peneliti untuk mengkaji praktik literasi dalam konteks sosial dan budaya yang melekat di ruang kelas, termasuk dalam interaksi antara guru, siswa, dan teknologi. Melalui pendekatan ini, peneliti tidak hanya mengamati proses belajar secara permukaan, tetapi juga menafsirkan makna, nilai, dan dinamika yang hidup di dalamnya [16].

Penelitian ini dilaksanakan di SD Muhammadiyah 1 Candi, Sidoarjo, sebuah sekolah dasar swasta yang telah menginisiasi penggunaan perangkat dan platform berbasis AI dalam kegiatan belajar-mengajar, khususnya dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Lokasi ini dipilih secara purposif dengan pertimbangan bahwa sekolah tersebut menunjukkan keterbukaan terhadap inovasi pembelajaran serta telah mulai menerapkan praktik literasi digital dan AI dalam keseharian kelas.

Subjek penelitian mencakup guru-guru Bahasa Indonesia, siswa kelas IV dan V, serta kepala sekolah. Pemilihan subjek dilakukan dengan teknik purposive sampling berdasarkan peran aktif mereka dalam proses pembelajaran yang melibatkan AI. Guru dipilih karena perannya yang strategis dalam merancang dan mengimplementasikan strategi pembelajaran, siswa dipilih sebagai pelaku utama literasi di kelas, sedangkan kepala sekolah dipertimbangkan untuk mendapatkan perspektif kelembagaan dan kebijakan.

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Observasi dilaksanakan secara langsung di ruang kelas dan lingkungan sekolah, dengan peneliti turut hadir dalam kegiatan pembelajaran untuk mencatat interaksi siswa, praktik guru, serta penggunaan teknologi dalam kegiatan membaca dan menulis. Wawancara dilakukan secara semi-terstruktur untuk memberikan ruang eksplorasi terhadap pengalaman dan pandangan informan terkait pembelajaran bahasa yang terintegrasi dengan teknologi AI. Dokumentasi diperoleh dari berbagai sumber seperti perangkat pembelajaran, hasil karya siswa, kebijakan sekolah, serta tangkapan visual interaksi antara siswa dan perangkat AI.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis model interaktif dari Miles dan Huberman yang mencakup proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan [17]. Reduksi data dilakukan dengan menyeleksi dan menyaring informasi yang relevan berdasarkan fokus penelitian. Penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi deskriptif, yang disertai kutipan langsung dari informan dan temuan lapangan untuk menguatkan analisis. Selanjutnya, penarikan kesimpulan dilakukan secara bertahap dan reflektif, mengikuti prinsip bahwa analisis kualitatif bersifat simultan dengan proses pengumpulan data.

Validitas dan keabsahan data dijaga melalui teknik triangulasi sumber dan metode. Data dari observasi, wawancara, dan dokumentasi dibandingkan dan diuji keterkonsistenannya untuk memastikan bahwa temuan yang disajikan tidak bersifat sepihak. Selain itu, proses member checking dilakukan dengan meminta konfirmasi dari informan terhadap ringkasan hasil wawancara agar tidak terjadi bias interpretasi.

Hasil dan Pembahasan

Simulasi pembelajaran yang dilaksanakan di SD Muhammadiyah 1 Candi, Sidoarjo, memperlihatkan transformasi signifikan dalam pendekatan pendidikan bahasa, khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis siswa sekolah dasar, setelah diterapkannya teknologi kecerdasan artifisial (AI) dalam ruang-ruang kelas. Transformasi ini tidak hanya terlihat dalam cara siswa mengakses materi pelajaran, tetapi juga dalam cara mereka memaknai proses belajar secara keseluruhan. Integrasi AI telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam desain pembelajaran literasi, seperti personalisasi materi, penyediaan umpan balik instan, serta pelacakan kemajuan belajar siswa secara otomatis dan berkelanjutan. Di tengah konteks sekolah berbasis agama dan nilai-nilai lokal, proses adaptasi terhadap kehadiran AI pun memunculkan dinamika yang kompleks dan menarik untuk dikaji.

Berbeda dengan model pembelajaran tradisional yang bergantung pada interaksi langsung antara guru dan siswa, pembelajaran berbantuan AI memindahkan sebagian besar proses kognitif siswa ke dalam interaksi manusia–mesin. Sistem pembelajaran berbasis AI memungkinkan siswa untuk berlatih membaca dengan intonasi dan pengucapan yang dapat dievaluasi secara real-time, serta mengasah kemampuan menulis melalui fitur koreksi otomatis dan saran redaksional yang ditawarkan oleh mesin. Meskipun demikian, perubahan ini tidak sekadar teknis, melainkan menyentuh dimensi afektif dan sosial dari praktik pendidikan itu sendiri. Keberadaan AI menggeser pusat kendali pembelajaran dari guru ke algoritma, yang pada akhirnya menuntut rekonseptualisasi peran pendidik dan lembaga sekolah dalam pembentukan pengalaman belajar yang utuh.

Temuan dalam penelitian ini dirumuskan ke dalam beberapa tema utama yang saling terkait dan saling melengkapi. Pertama, praktik kelas berbasis AI, yang menggambarkan bagaimana perangkat dan sistem AI diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran harian. Kedua, respons siswa terhadap pengalaman belajar baru ini, yang mencakup aspek motivasi, tantangan, dan pola interaksi baru. Ketiga, peran guru yang mengalami redefinisi dalam konteks pembelajaran digital dan adaptasi profesional yang diperlukan. Keempat, dampak sosial–budaya yang muncul sebagai konsekuensi dari perubahan cara belajar dan mengajar, termasuk relasi antarsiswa, peran orang tua, dan budaya sekolah. Kelima, perubahan dalam ranah kognitif, afektif, dan sosial siswa yang berkaitan dengan perkembangan literasi di era digital. Terakhir, tantangan dan peluang yang menyertai proses ini—baik dari sisi infrastruktur, kebijakan, maupun etika pendidikan di era kecerdasan buatan. Keenam aspek ini akan dibahas secara mendalam dalam bagian berikutnya sebagai hasil dari pendekatan etnografi pendidikan yang diterapkan dalam studi ini.

1. Kelas Berbasis AI

Kegiatan pembelajaran di kelas menunjukkan integrasi yang semakin erat antara perangkat kecerdasan artifisial (AI) dengan kegiatan literasi dasar, khususnya membaca dan menulis. Dalam praktiknya, proses belajar tidak lagi hanya mengandalkan buku teks dan bimbingan verbal dari guru, melainkan diperkuat oleh sistem digital berbasis AI yang bekerja secara simultan dan responsif. Dua aspek utama yang menjadi fokus penerapan AI di kelas adalah keterampilan membaca dan menulis. Dalam keterampilan membaca, aplikasi berbasis speech recognition digunakan untuk menilai pengucapan siswa secara langsung. Sistem ini memungkinkan AI mendeteksi kesalahan artikulasi, intonasi, dan tempo membaca, lalu memberikan koreksi secara real-time. Selain itu, text-to-speech dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman bacaan, terutama bagi siswa dengan gaya belajar auditori atau mereka yang mengalami kesulitan dalam membaca mandiri [18], [19].

Sementara itu, dalam ranah menulis, sistem pemrosesan bahasa alami atau Natural Language Processing (NLP) memfasilitasi siswa dalam menyusun kalimat yang efektif dan sesuai kaidah. Fitur-fitur seperti pemeriksaan tata bahasa, ejaan otomatis, pemilihan diksi, dan struktur paragraf membantu siswa mengenali kesalahan serta memahami prinsip-prinsip penulisan yang baik. Tidak hanya itu, beberapa sistem AI yang digunakan di kelas juga mampu memberikan saran gaya bahasa sesuai genre tulisan yang ditugaskan, seperti narasi, deskripsi, atau eksposisi. Hal ini membuat proses menulis menjadi lebih reflektif dan kontekstual. Dengan demikian, AI tidak sekadar berfungsi sebagai alat bantu, tetapi telah menjadi mitra belajar yang aktif dalam proses pencapaian kompetensi literasi [19].

Peran guru dalam konteks ini mengalami rekontekstualisasi. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dan korektor utama, melainkan bertindak sebagai fasilitator, pengarah proses belajar, dan mediator teknologi. Sebelum siswa memanfaatkan aplikasi AI, guru biasanya memberikan pengantar berupa orientasi materi, tujuan pembelajaran, dan cara berinteraksi dengan sistem AI. Mereka juga mendampingi siswa saat menerima umpan balik dari mesin, membantu memaknai saran-saran yang diberikan, serta membimbing jika terjadi ketidaksesuaian konteks atau konten. Dalam banyak kasus, guru menjadi perantara yang menjembatani potensi AI dengan kenyataan pembelajaran yang lebih manusiawi dan penuh empati [20].

Proses pembelajaran yang muncul dari penggunaan AI bersifat diferensial, artinya materi dan strategi penyampaian dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa. AI menganalisis data performa belajar siswa dan mengelompokkan mereka berdasarkan kategori tertentu, seperti tingkat kefasihan membaca, kemampuan memahami makna tersirat, atau kecepatan menulis. Berdasarkan analisis ini, aplikasi akan menyuguhkan materi belajar yang relevan, menantang, tetapi tetap dapat dicapai. Model ini disebut sebagai adaptive learning, di mana sistem digital merespons perkembangan individu siswa secara dinamis, berbeda dari model instruksional satu arah yang seragam [18], [21].

Pengalaman belajar yang dihadirkan oleh AI juga semakin kaya berkat penerapan unsur gamifikasi. Aplikasi seperti Duolingo Kids dan sejenisnya menghadirkan pembelajaran dalam bentuk tantangan, level, sistem penghargaan digital, dan avatar yang dapat dipersonalisasi. Elemen-elemen ini membuat proses belajar terasa menyenangkan dan menumbuhkan keterlibatan emosional siswa. Banyak siswa merasa bahwa belajar bukan lagi sebuah kewajiban yang berat, melainkan sebuah petualangan yang bisa dikejar layaknya permainan. Ini sangat relevan dalam konteks pendidikan dasar, di mana motivasi intrinsik masih menjadi faktor utama keberhasilan belajar [20], [21].

AI juga mulai digunakan sebagai alat asesmen formatif harian. Setiap kegiatan membaca atau menulis yang dilakukan siswa melalui aplikasi direkam dan dianalisis oleh sistem. Guru kemudian memanfaatkan data tersebut untuk menilai kemajuan individu siswa, mengidentifikasi kesulitan belajar, dan merancang strategi instruksional lanjutan. Misalnya, jika sistem AI menunjukkan bahwa seorang siswa mengalami hambatan dalam memahami teks deskriptif, maka guru dapat menyusun pembelajaran remedial secara spesifik pada hari berikutnya. Dengan cara ini, evaluasi tidak lagi bersifat insidental atau hanya terjadi di akhir materi, melainkan menjadi bagian integral dan berkelanjutan dari proses belajar [22].

Salah satu inovasi penting dalam praktik ini adalah terjadinya pembelajaran yang melampaui batas ruang kelas. Tugas menulis, misalnya, sering kali diberikan untuk dikerjakan di rumah melalui platform digital. Setelah tugas diselesaikan, AI memproses struktur sintaksis, kosakata, dan koherensi gagasan dalam tulisan siswa. Hasil analisis itu tidak hanya dikembalikan kepada siswa sebagai umpan balik individual, tetapi juga digunakan sebagai bahan diskusi kolektif saat mereka kembali ke kelas. Guru akan mengajak siswa membedah struktur tulisan, mendiskusikan kekuatan dan kelemahannya, serta mengaitkan dengan prinsip kebahasaan yang telah dipelajari sebelumnya. Dengan demikian, proses pembelajaran berlangsung secara kontinu, transformatif, dan terhubung lintas ruang dan waktu—mengaburkan batas antara belajar formal dan informal, individual dan kolektif [22], [23].

2. Respons Siswa terhadap Pembelajaran Berbantuan AI

Siswa merespons dengan antusias terhadap kehadiran kecerdasan artifisial (AI) dalam proses pembelajaran, khususnya dalam konteks pendidikan bahasa di tingkat sekolah dasar. Mereka menunjukkan peningkatan motivasi yang cukup signifikan ketika pembelajaran disajikan melalui medium digital yang interaktif dan mampu memberikan umpan balik secara instan. AI, dengan kemampuannya mempersonalisasi interaksi belajar, memberikan kesan bahwa proses pembelajaran tidak lagi monoton, melainkan bersifat dinamis dan menyenangkan. Dalam observasi yang dilakukan, sebagian besar siswa menyatakan bahwa mereka merasa lebih tertantang dan lebih percaya diri saat berinteraksi dengan sistem pembelajaran berbasis AI dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional. Interaktivitas yang ditawarkan oleh aplikasi ini, termasuk fitur pertanyaan cepat, respons otomatis, dan tampilan visual yang menarik, membuat siswa lebih betah berada dalam lingkungan belajar, bahkan dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan biasanya [20].

Elemen gamifikasi yang tertanam dalam aplikasi—seperti pemberian lencana digital, poin pencapaian, level yang harus ditaklukkan, dan animasi yang menghibur—telah menjadi daya tarik utama bagi anak-anak usia sekolah dasar. Dalam konteks ini, belajar tidak lagi diposisikan sebagai tugas yang harus diselesaikan, melainkan sebagai bentuk permainan yang menantang dan menghibur. Beberapa siswa menyatakan bahwa mereka merasa seperti sedang bermain gim sambil belajar, sebuah pengalaman yang sebelumnya tidak mereka rasakan dalam kelas konvensional. Pencapaian digital yang diperoleh dari aplikasi memberikan validasi langsung atas usaha mereka, memicu semangat belajar lebih lanjut, dan membentuk pola belajar berbasis tantangan. Akan tetapi, pola ini juga menyimpan paradoks. Sebagian siswa mulai menunjukkan kecenderungan untuk mengejar capaian kuantitatif dari sistem (seperti skor tinggi atau badge tertentu), tanpa benar-benar memahami atau merefleksikan materi yang dipelajari. Mereka terlalu fokus pada pencapaian instan yang diberikan mesin, dan kurang mendalami proses berpikir kritis serta kemampuan memecahkan masalah yang menjadi inti dari pembelajaran itu sendiri [21].

Fenomena ini mencerminkan kecenderungan awal terhadap bentuk dependensi kognitif terhadap AI. Ketika siswa terus-menerus mendapatkan jawaban yang disediakan oleh sistem secara otomatis, mereka cenderung melewati proses penting dalam belajar, yaitu kesalahan, refleksi, dan revisi mandiri. Dalam beberapa kasus, siswa terlihat langsung menerima saran atau koreksi dari AI tanpa mempertanyakan atau mencoba memahami alasannya. Situasi ini tentu menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan penurunan kapasitas berpikir mandiri dan keterampilan metakognitif siswa dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan intervensi guru untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap keluaran AI dan menegaskan bahwa mesin adalah alat bantu, bukan otoritas tunggal dalam proses belajar [20], [21].

Selain perubahan dalam motivasi dan pola belajar, kehadiran AI juga membawa dampak pada dinamika sosial di kelas. Interaksi sosial masih terjadi, tetapi mengalami pergeseran bentuk. Aktivitas diskusi tradisional yang biasanya berlangsung dalam bentuk tanya jawab langsung antara siswa dan guru atau antarsiswa mulai tergantikan oleh diskusi berbasis aplikasi. Alih-alih mendiskusikan isi bacaan atau argumen secara verbal, siswa lebih sering membicarakan fitur dalam aplikasi, membandingkan skor yang diperoleh, atau membagikan strategi untuk menyelesaikan tantangan digital tertentu. Meskipun bentuk interaksi ini tetap mencerminkan partisipasi sosial, fokusnya telah bergeser dari isi ke medium. Teknologi, dalam hal ini, menjadi pusat interaksi kognitif sekaligus sosial yang baru [19].

Pergeseran ini menimbulkan konsekuensi yang ambivalen. Di satu sisi, siswa memperoleh pengalaman kolaboratif baru yang berbasis digital, seperti saling membantu dalam menggunakan aplikasi atau berbagi pengalaman sukses dengan AI. Di sisi lain, keterampilan komunikasi lisan dan ekspresi verbal berisiko menurun jika tidak diimbangi dengan aktivitas tatap muka yang cukup. Guru melaporkan bahwa beberapa siswa cenderung menjadi pasif dalam diskusi kelas karena terlalu terbiasa menerima umpan balik dari mesin. Bahkan, dalam kegiatan presentasi atau diskusi kelompok, sebagian siswa menunjukkan kesulitan dalam menyampaikan ide secara lisan karena terbiasa merespons dalam format tertulis atau pilihan ganda yang ditawarkan oleh AI [21].

Lebih jauh, penggunaan AI juga mengonstruksi pola baru dalam hubungan sosial antarsiswa. Siswa yang lebih mahir dalam teknologi digital dan lebih cepat beradaptasi dengan fitur-fitur AI cenderung menjadi figur sentral atau rujukan informal bagi teman-temannya. Mereka disebut oleh teman sekelas sebagai “ahli AI” atau “master aplikasi.” Ini memberikan ruang positif bagi terbangunnya kolaborasi dan saling belajar, tetapi juga dapat menimbulkan ketimpangan dalam partisipasi jika tidak dimoderasi oleh guru. Ketimpangan ini tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga dapat menjelma menjadi stratifikasi sosial dalam kelas berbasis literasi digital, yang memerlukan perhatian pedagogis secara khusus.

Dengan demikian, respons siswa terhadap pembelajaran berbasis AI mencerminkan semangat baru dalam pendidikan dasar yang penuh dengan kemungkinan, sekaligus mengandung kompleksitas yang memerlukan pengelolaan yang cermat. AI telah mengubah lanskap motivasi, cara berinteraksi, dan cara belajar siswa, tetapi semua perubahan itu perlu dikawal agar tetap sejalan dengan tujuan pendidikan yang utuh dan berakar pada pengembangan potensi manusia secara menyeluruh.

3. Peran Guru dalam Transformasi Pembelajaran

Transformasi pendidikan yang ditandai oleh kehadiran kecerdasan artifisial (AI) tidak hanya berdampak pada cara siswa belajar, tetapi juga secara mendalam mengubah peran dan orientasi kerja guru di ruang kelas. Dalam konteks pembelajaran literasi dasar, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi atau satu-satunya sumber pengetahuan. Fungsi tradisional tersebut bergeser menjadi fasilitator pembelajaran yang mendampingi siswa menjelajahi pengetahuan melalui interaksi dengan sistem digital. Perubahan ini memberikan ruang bagi guru untuk memfokuskan perhatian mereka pada aspek-aspek pembelajaran yang lebih manusiawi—yakni penguatan dimensi afektif, sosial, dan nilai-nilai kultural dalam diri peserta didik. Kehadiran AI yang mampu menangani tugas-tugas teknis dan administratif, seperti koreksi ejaan, pemberian umpan balik awal, serta analisis performa siswa, membuat waktu guru lebih banyak digunakan untuk membina hubungan pedagogis yang bermakna dan personal [18].

Efisiensi yang ditawarkan oleh AI dalam manajemen pembelajaran harian turut mengurangi beban kerja administratif guru. Sistem otomatisasi dalam aplikasi pembelajaran, seperti pelaporan hasil belajar, pemetaan capaian kompetensi, dan pembuatan rekomendasi individual, mempermudah guru dalam membuat keputusan instruksional berbasis data. Namun, pergeseran ini juga melahirkan tanggung jawab baru: guru kini berperan sebagai kurator konten dan pengawas kualitas interaksi siswa dengan teknologi. Mereka harus secara aktif memfilter materi dari sistem AI, memastikan bahwa konten tersebut relevan, kontekstual, dan sesuai dengan latar sosial–budaya serta visi pendidikan sekolah. Tanggung jawab ini menjadi lebih kompleks ketika menyangkut sensitivitas nilai, norma lokal, atau ajaran keagamaan yang tidak selalu terakomodasi dalam desain algoritma AI yang bersifat global dan generik [22].

Dalam praktiknya, guru juga dituntut untuk memiliki literasi digital yang memadai, bahkan tinggi, agar mampu membaca, memahami, serta mengevaluasi keluaran AI secara kritis. Literasi digital di sini tidak hanya berarti kemampuan teknis menggunakan perangkat atau aplikasi, tetapi juga meliputi keterampilan kognitif dan etis dalam menafsirkan makna di balik setiap keluaran sistem. Beberapa guru yang terlibat dalam studi ini mengaku menghadapi tantangan dalam memverifikasi jawaban, saran redaksional, atau koreksi tata bahasa yang diberikan AI. Tidak semua umpan balik dari mesin bersifat benar secara pedagogis maupun sesuai dengan konteks siswa. Misalnya, dalam salah satu kasus, AI menyarankan perubahan diksi yang lebih formal dalam tulisan naratif siswa kelas 3 SD, padahal konteks tugas menulis tersebut bersifat personal dan komunikatif. Tanpa literasi kritis, guru berisiko membiarkan siswa menerima masukan yang kurang tepat atau bahkan menyesatkan [22].

Kemampuan untuk menjadi mediator antara teknologi dan proses belajar manusia inilah yang menjadi titik krusial dari redefinisi peran guru. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga penjaga integritas proses pendidikan. Mereka perlu menjelaskan kepada siswa bahwa AI adalah alat bantu, bukan otoritas kebenaran mutlak. Ketika AI memberikan umpan balik yang tidak sesuai konteks atau bahkan keliru, guru harus mampu menjelaskan mengapa hal itu terjadi dan apa logika di balik koreksi yang lebih tepat. Di sinilah muncul urgensi akan literasi algoritmik dalam dunia pendidikan, yaitu pemahaman dasar tentang cara kerja sistem AI dan bias yang mungkin muncul dari desainnya. Guru dengan pemahaman seperti ini akan lebih siap membimbing siswa dalam menghadapi era pembelajaran yang sangat bergantung pada otomatisasi dan kecerdasan mesin.

Khusus dalam konteks sekolah dasar berbasis keislaman, seperti SD Muhammadiyah 1 Candi, peran guru sebagai mediator nilai menjadi sangat krusial. AI, yang dikembangkan dalam konteks global dan sering kali diasumsikan netral, sesungguhnya membawa serta kerangka nilai tertentu yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip lokal atau keyakinan agama. Materi yang diambil dari basis data berbahasa Inggris, misalnya, bisa menyisipkan idiom budaya Barat yang tidak dikenal siswa atau bahkan bertentangan dengan norma moral Islam. Dalam situasi seperti ini, guru harus proaktif melakukan seleksi konten dan, jika perlu, melakukan modifikasi pada skenario belajar yang disarankan AI. Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menyisipkan nilai-nilai keislaman dalam proses belajar, memastikan bahwa aspek spiritualitas tidak tersingkir dalam sistem pembelajaran yang makin rasional, teknologis, dan berbasis kalkulasi.

Sebagai ilustrasi, salah satu guru bahasa Indonesia menceritakan pengalamannya ketika AI merekomendasikan siswa menulis narasi tentang Halloween, karena sistem mengasumsikan ini sebagai topik populer untuk cerita anak. Guru tersebut kemudian mengarahkan siswa untuk mengganti tema menjadi cerita tentang pengalaman Ramadan, yang lebih kontekstual dan sarat makna religius. Keputusan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi mencerminkan proses pendidikan nilai yang berlangsung secara reflektif di tengah interaksi manusia dan mesin. Guru dalam hal ini tidak hanya menyunting konten, tetapi juga mengarahkan makna dan menanamkan identitas kultural pada narasi yang sedang dibangun oleh siswa.

Oleh karena itu, dalam sistem pembelajaran berbasis AI, guru tidak boleh direduksi menjadi operator teknologi semata. Mereka harus tetap menjadi aktor utama yang menjaga keseimbangan antara inovasi digital dan nilai-nilai pendidikan yang berorientasi pada kemanusiaan. Transformasi digital dalam pendidikan literasi dasar harus tetap berpijak pada semangat mendidik manusia seutuhnya: bukan hanya yang cakap secara teknologis, tetapi juga yang utuh secara etis, sosial, dan spiritual. Dalam konteks inilah, keberadaan guru sebagai fasilitator, kurator, dan mediator nilai menjadi sangat relevan dan tidak tergantikan.

4. Dampak Sosial–Budaya di Lingkungan Sekolah

Integrasi kecerdasan artifisial (AI) ke dalam ruang-ruang kelas sekolah dasar tidak hanya membawa perubahan pada dimensi kognitif siswa, melainkan juga mentransformasi budaya belajar secara menyeluruh. Budaya belajar yang sebelumnya berakar pada aktivitas fisik dan interaksi tatap muka kini mengalami pergeseran menuju pola digital yang lebih fleksibel, interaktif, dan individual. Salah satu perubahan mencolok adalah meningkatnya frekuensi interaksi siswa dengan perangkat digital sebagai medium utama pembelajaran. Buku cetak, papan tulis, dan sudut baca konvensional perlahan digantikan oleh layar tablet, aplikasi berbasis AI, dan zona digital yang dirancang untuk mendukung proses belajar mandiri berbasis algoritma. Ruang kelas kini menjadi lingkungan hybrid, di mana kegiatan belajar tidak lagi sepenuhnya bergantung pada kehadiran guru atau buku, tetapi berlangsung melalui antarmuka digital yang mampu memberi umpan balik secara instan dan otomatis [22].

Transformasi ini juga berdampak pada keterlibatan keluarga, khususnya orang tua, dalam proses belajar anak. Data lapangan menunjukkan bahwa orang tua mulai berperan sebagai pendamping teknologi di rumah, membantu anak-anak mereka mengakses aplikasi AI, menyelesaikan tugas digital, serta memahami petunjuk atau umpan balik dari sistem. Dalam beberapa kasus, keterlibatan ini memperkuat hubungan antara orang tua dan anak dalam proses pendidikan. Namun, tidak semua keluarga memiliki literasi digital yang memadai, sehingga muncul kesenjangan dalam cara mereka memfasilitasi pembelajaran berbasis AI. Orang tua yang tidak terbiasa dengan teknologi sering merasa kesulitan dalam mendampingi, sementara anak-anak cenderung lebih cepat menguasai aplikasi yang digunakan. Fenomena ini menimbulkan ketidakseimbangan yang dapat memengaruhi efektivitas belajar di rumah, terutama dalam konteks literasi dasar yang menuntut pendampingan intensif [22].

Di luar konteks rumah, penggunaan AI juga mengubah pola relasi antarsiswa. Munculnya perangkat digital sebagai media utama pembelajaran menciptakan struktur sosial baru di dalam kelas. Siswa yang memiliki kemampuan digital lebih tinggi atau terbiasa menggunakan teknologi sejak dini sering kali menjadi rujukan bagi teman-temannya. Mereka berperan sebagai mentor tidak resmi dalam membantu mengoperasikan aplikasi, menafsirkan umpan balik dari AI, atau menunjukkan cara tercepat mencapai level tertentu dalam aplikasi belajar. Peran ini memberi ruang bagi tumbuhnya kolaborasi baru yang berbasis pada solidaritas digital. Namun, di sisi lain, hal ini juga berpotensi menciptakan hierarki dalam komunitas kelas—terutama ketika keterampilan digital menjadi tolok ukur penerimaan sosial atau kepemimpinan di antara teman sebaya.

Guru harus menyikapi perubahan ini dengan strategi pedagogis yang bijak. Ketimpangan dalam penguasaan teknologi perlu dikelola agar tidak menimbulkan diskriminasi atau isolasi terhadap siswa yang tertinggal secara digital. Pendidikan kolaboratif harus diarahkan pada semangat berbagi, saling membantu, dan membangun komunitas belajar yang inklusif. Dalam konteks ini, guru tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi juga memediasi hubungan sosial yang terbentuk dalam ekosistem belajar digital. Mereka perlu menumbuhkan kesadaran bahwa kecakapan teknologi bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan belajar, dan bahwa nilai-nilai seperti empati, kerja sama, serta rasa hormat terhadap keragaman tetap menjadi fondasi utama pendidikan dasar.

Dari sisi kebudayaan, muncul kekhawatiran bahwa AI secara perlahan menggeser muatan lokalitas dalam materi pembelajaran. Guru melaporkan bahwa dalam tugas-tugas menulis, seperti membuat cerita pengalaman pribadi atau mendeskripsikan lingkungan sekitar, AI sering kali menyarankan diksi, idiom, atau struktur kalimat yang bersumber dari budaya luar, khususnya Barat. Hal ini terjadi karena sebagian besar sistem AI yang tersedia dikembangkan berdasarkan korpus data berbahasa Inggris atau budaya dominan global, yang secara otomatis memengaruhi output kontennya. Sebagai contoh, ketika siswa diminta menulis tentang kegiatan akhir pekan, AI mungkin menyarankan kalimat seperti “I spent my Saturday at a theme park,” yang tidak relevan dengan realitas anak-anak di lingkungan lokalnya.

Situasi ini menimbulkan dilema antara efektivitas teknologi dan kesesuaian budaya. Di satu sisi, AI memberikan kemudahan dalam membimbing proses menulis siswa. Di sisi lain, jika tidak diawasi, sistem tersebut dapat mendorong siswa untuk mengadopsi gaya bahasa dan referensi budaya yang asing, sehingga menjauhkan mereka dari identitas kultural yang seharusnya diperkuat sejak dini. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko menimbulkan keterasingan simbolik—di mana anak-anak lebih mengenal budaya luar daripada budayanya sendiri melalui teks yang mereka hasilkan dan konsumsi.

Untuk mengatasi masalah ini, guru perlu mengambil peran aktif sebagai penyaring budaya (cultural filter) dalam interaksi antara siswa dan AI. Mereka harus menyisipkan nilai-nilai lokal dan konteks kebudayaan dalam skenario pembelajaran digital. Ini dapat dilakukan dengan menyediakan contoh teks yang relevan secara lokal, memilih topik yang dekat dengan kehidupan siswa, atau bahkan mengembangkan perangkat AI lokal yang mampu memahami dan merespons konteks kebudayaan Indonesia secara lebih akurat. Pendekatan semacam ini tidak hanya akan memperkuat literasi siswa, tetapi juga memastikan bahwa proses pendidikan tetap berakar pada identitas dan pengalaman kolektif masyarakat setempat.

Secara keseluruhan, integrasi AI dalam pembelajaran literasi tidak hanya memengaruhi aspek pedagogis, tetapi juga membentuk ulang ekosistem sosial dan budaya sekolah. Perubahan ini membawa peluang untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan responsif terhadap kebutuhan abad ke-21, tetapi juga menuntut kewaspadaan agar pendidikan tidak tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan yang membentuk dasar eksistensinya.

5. Perubahan Kognitif, Afektif, dan Sosial

Dampak integrasi kecerdasan artifisial (AI) dalam pembelajaran literasi di sekolah dasar tidak dapat dilepaskan dari pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif, afektif, dan sosial peserta didik. Ketiga ranah ini merupakan dimensi utama yang saling berkaitan dan membentuk karakteristik pembelajar utuh. Oleh karena itu, pemahaman terhadap bagaimana AI membentuk atau memengaruhi aspek-aspek ini sangat penting untuk merancang strategi pembelajaran yang seimbang dan manusiawi.

Secara kognitif, penggunaan AI dalam pembelajaran bahasa telah menunjukkan dampak yang signifikan terhadap kecepatan dan kualitas proses belajar siswa. Dengan kemampuan untuk memberikan umpan balik instan, sistem AI mendorong siswa untuk segera mengetahui dan memperbaiki kesalahan mereka—baik dalam membaca maupun menulis. AI juga memungkinkan personalisasi materi, di mana sistem menyesuaikan tingkat kesulitan, gaya penyajian, serta topik yang disajikan sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing individu. Hal ini menciptakan pengalaman belajar yang lebih relevan dan efisien, karena siswa tidak harus mengikuti jalur pembelajaran yang seragam seperti dalam metode tradisional [18], [23].

AI dapat mendukung pengembangan metakognisi, yakni kesadaran siswa terhadap proses berpikir dan belajarnya sendiri. Ketika siswa menerima evaluasi otomatis dari sistem terhadap hasil bacaan atau tulisannya, mereka belajar untuk merefleksikan kesalahan, mengidentifikasi pola, dan memperbaiki performa secara mandiri. Ini membantu siswa mengembangkan keterampilan belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sejak usia dini. Namun, keberhasilan ini tidak datang tanpa risiko. Ketergantungan yang berlebihan pada koreksi otomatis yang diberikan AI dapat mengurangi keterampilan berpikir kritis. Ketika siswa terbiasa menerima jawaban atau saran instan dari sistem, mereka cenderung tidak melakukan analisis lebih lanjut terhadap mengapa suatu jawaban benar atau salah. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menumpulkan kemampuan untuk mengevaluasi informasi secara mandiri, membandingkan berbagai perspektif, dan menyusun argumen logis—semua keterampilan esensial dalam literasi tingkat lanjut [23].

Dari aspek afektif, AI memberikan pengaruh motivasional yang cukup besar. Sistem gamifikasi dalam aplikasi pembelajaran—seperti pemberian lencana, skor, level, atau medali virtual—membangkitkan semangat kompetisi sehat dan memberi rasa pencapaian kepada siswa. Bagi anak-anak sekolah dasar yang masih sangat responsif terhadap penguatan positif eksternal, elemen-elemen ini terbukti mampu meningkatkan partisipasi dan konsistensi belajar. AI memberikan sensasi keberhasilan yang terukur dan konkret, yang secara emosional memberikan kepuasan dan membangun kepercayaan diri mereka. Beberapa siswa bahkan menunjukkan kecenderungan untuk belajar lebih lama dan lebih sering karena merasa tertantang untuk “naik level” atau mendapatkan penghargaan digital tertentu [18], [23].

Namun, sistem ini juga membawa potensi tekanan emosional yang tidak dapat diabaikan. Ketika AI menetapkan skor atau klasifikasi terhadap hasil kerja siswa, ada kemungkinan munculnya kecemasan, terutama ketika skor yang diperoleh tidak sesuai harapan. Beberapa siswa dalam studi ini mengungkapkan kekhawatiran mereka tentang rendahnya nilai yang diberikan oleh sistem AI, yang dirasakan sebagai “penilaian oleh mesin.” Mereka merasa bahwa algoritma AI tidak memahami usaha atau konteks pribadi mereka, tetapi hanya memberikan evaluasi berdasarkan parameter teknis yang mungkin tidak transparan. Dalam beberapa kasus, tekanan ini bahkan menyebabkan penurunan minat belajar, terutama pada siswa dengan kepercayaan diri rendah atau yang belum terbiasa menghadapi kegagalan. Situasi ini menunjukkan perlunya peran guru sebagai pendamping emosional, yang menjembatani antara evaluasi berbasis sistem dengan apresiasi atas proses belajar yang humanistik.

Dampak lain yang mencolok dari penggunaan AI adalah pada aspek sosial pembelajaran. AI telah menciptakan bentuk kolaborasi digital baru, seperti kerja kelompok dalam platform daring, berbagi hasil pencapaian dalam aplikasi, atau memberi komentar antar teman secara virtual. Hal ini mendorong siswa untuk berinteraksi dalam ruang digital, mengembangkan literasi teknologi, serta membentuk identitas sosial dalam komunitas belajar digital. Akan tetapi, peningkatan interaksi virtual ini sering kali diikuti oleh penurunan frekuensi dan kualitas interaksi verbal langsung di kelas. Siswa menjadi lebih terbiasa mengetik, mengklik, atau memilih jawaban ketimbang menyampaikan pendapat secara lisan atau berdialog secara tatap muka [21].

Padahal, dalam konteks pendidikan bahasa, keterampilan berbicara dan ekspresi sosial merupakan bagian integral dari penguasaan literasi. Interaksi verbal tidak hanya memperkaya kosakata dan struktur kalimat, tetapi juga melatih kemampuan berargumentasi, bernegosiasi, dan menyampaikan perasaan secara tepat. Oleh karena itu, guru perlu secara sadar menyisipkan aktivitas diskusi langsung, debat ringan, atau presentasi lisan dalam setiap siklus pembelajaran berbasis AI. Aktivitas-aktivitas ini akan menjaga keseimbangan antara literasi digital dan literasi sosial yang menjadi fondasi penting dalam pengembangan bahasa anak [23].

Lebih jauh lagi, perubahan pola komunikasi yang difasilitasi AI juga memengaruhi dinamika identitas dan relasi sosial siswa. Siswa yang lebih aktif di ruang digital cenderung tampil lebih menonjol dalam komunitas belajar, sementara mereka yang tidak percaya diri dalam teknologi bisa mengalami keterasingan sosial. Situasi ini perlu diantisipasi agar tidak menimbulkan eksklusi atau bahkan perundungan berbasis digital. Dalam konteks ini, literasi digital tidak cukup hanya diajarkan sebagai keterampilan teknis, tetapi juga sebagai bagian dari pendidikan karakter yang menumbuhkan empati, toleransi, dan rasa tanggung jawab terhadap komunitas belajar.

Dengan demikian, dampak AI terhadap aspek kognitif, afektif, dan sosial dalam pembelajaran bahasa sangat kompleks. Ia membuka peluang luar biasa untuk personalisasi dan motivasi belajar, tetapi juga menimbulkan risiko terhadap otonomi berpikir, stabilitas emosional, dan keseimbangan komunikasi. Intervensi pedagogis yang bijak dan berbasis nilai sangat diperlukan agar teknologi ini tidak hanya menjadi alat yang canggih, tetapi juga sarana yang mendidik manusia secara utuh dan berkelanjutan.

Simpulan

Keseluruhan temuan dalam studi ini memperlihatkan bahwa kehadiran kecerdasan artifisial (AI) dalam pembelajaran literasi di tingkat sekolah dasar telah membawa dampak transformatif yang tidak hanya menyentuh ranah kognitif, tetapi juga ranah afektif dan sosial peserta didik. AI mampu mempercepat proses belajar melalui personalisasi materi dan umpan balik otomatis yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing siswa. Tidak hanya itu, kehadiran fitur gamifikasi dalam aplikasi pembelajaran berbasis AI juga menciptakan suasana belajar yang lebih menarik dan memotivasi, terlebih bagi anak-anak usia dasar yang sangat responsif terhadap bentuk-bentuk penghargaan digital.

Namun demikian, integrasi AI ke dalam ruang kelas juga memunculkan sejumlah tantangan yang memerlukan perhatian serius. Ketergantungan pada koreksi otomatis dari sistem dapat mengikis kemampuan berpikir kritis dan refleksi mandiri siswa. Sementara itu, dari sudut pandang afektif, AI berpotensi menimbulkan tekanan emosional, terutama ketika sistem memberikan penilaian kinerja yang tidak sesuai dengan harapan siswa atau tidak mempertimbangkan konteks usaha yang telah mereka lakukan. Secara sosial, penggunaan AI turut memengaruhi pola interaksi antar teman sebaya dan antara siswa dengan guru. Kolaborasi digital memang meningkat, namun terjadi penurunan dalam interaksi verbal langsung, yang dapat berdampak negatif pada kemampuan komunikasi lisan dan pengembangan ekspresi sosial anak.

Transformasi peran guru juga menjadi isu penting. Guru tidak lagi berfungsi sebagai satu-satunya sumber informasi, melainkan sebagai fasilitator, kurator, dan penjaga nilai dalam proses belajar. Dalam konteks sekolah dasar yang berbasis keislaman dan berakar pada nilai-nilai lokal, peran ini menjadi semakin krusial. Guru harus mampu menyaring dan mengontekstualisasikan materi yang dihasilkan AI agar tetap relevan dengan kultur lokal dan tidak bertentangan dengan norma keagamaan. Oleh karena itu, literasi digital dan algoritmik guru menjadi aspek yang tidak bisa ditawar lagi dalam menghadapi era pendidikan berbasis AI.

Di samping itu, perubahan budaya belajar yang ditandai dengan meningkatnya interaksi dengan perangkat digital dan keterlibatan orang tua di rumah turut membentuk ekosistem belajar baru. Siswa mulai mengalami pembelajaran yang tidak terbatas ruang dan waktu, tetapi pada saat yang sama, muncul pula tantangan baru berupa ketimpangan akses terhadap perangkat dan jaringan, serta kecenderungan konten AI yang tidak selalu sensitif terhadap lokalitas budaya.

Berangkat dari keseluruhan temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa AI bukanlah jawaban tunggal atas tantangan pendidikan literasi di era digital, melainkan salah satu alat bantu yang efektif jika diintegrasikan secara bijaksana dan kontekstual. AI hendaknya tidak menjadi pengganti hubungan pedagogis yang bersifat manusiawi, melainkan penguat bagi terciptanya proses belajar yang adaptif, reflektif, dan tetap berakar pada nilai-nilai lokal dan spiritualitas peserta didik. Diperlukan langkah strategis dan kolaboratif dari berbagai pihak—guru, pengembang teknologi, orang tua, dan pembuat kebijakan—untuk memastikan bahwa implementasi AI dalam pembelajaran tetap menjunjung prinsip inklusivitas, etika, dan keberpihakan pada perkembangan anak sebagai subjek utama pendidikan. Dengan demikian, pendidikan literasi di era kecerdasan artifisial dapat tumbuh sebagai proses yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan.

References

  1. A. Y. Al-Kindi and J. T. Al-Salami, "Artificial Intelligence and Education: A Review of Current Developments and Future Prospects," International Journal of Education and Development Using ICT, vol. 17, no. 2, pp. 142–160, 2021.
  2. C. C. Miao, Y. H. Zhong, and J. C. Tang, "AI in Education: A Review," IEEE Transactions on Learning Technologies, vol. 14, no. 3, pp. 348–364, Jul.–Sep. 2021.
  3. UNESCO, Artificial Intelligence in Education: Challenges and Opportunities for Sustainable Development, Paris, France: UNESCO Publishing, 2021.
  4. M. Selwyn, "Should Robots Replace Teachers? AI and the Future of Education," British Journal of Educational Studies, vol. 68, no. 3, pp. 271–286, 2020.
  5. H. A. Taufik, "Literasi Abad 21: Peran Teknologi dalam Pembelajaran Bahasa," Jurnal Pendidikan Bahasa, vol. 11, no. 1, pp. 55–66, 2022.
  6. A. S. Widodo, "Membingkai Literasi Digital dalam Pendidikan Dasar: Peluang dan Tantangan," Jurnal Ilmu Pendidikan, vol. 28, no. 2, pp. 123–134, 2022.
  7. S. Alim and E. Setyaningsih, "Transformasi Pendidikan Bahasa di Era Digital," Bahasa dan Sastra, vol. 20, no. 1, pp. 45–58, 2021.
  8. L. S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, Cambridge, MA, USA: Harvard University Press, 1978.
  9. L. S. Fleer, "Digital Pedagogies in Early Years: A Sociocultural Perspective," Contemporary Issues in Early Childhood, vol. 22, no. 3, pp. 225–238, 2021.
  10. S. T. Tondeur, J. van Braak, J. Ertmer, and A. Ottenbreit-Leftwich, "ICT as Cultural Practice in Education: A Cross-National Analysis," Computers & Education, vol. 113, pp. 1–13, 2017.
  11. J. Lave and E. Wenger, Situated Learning: Legitimate Peripheral Participation, Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1991.
  12. P. H. Winne and N. E. Perry, "Measuring Self-Regulated Learning," in Handbook of Self-Regulation of Learning and Performance, 2nd ed., B. J. Zimmerman and D. H. Schunk, Eds. New York, NY, USA: Routledge, 2011, pp. 260–283.
  13. J. J. Gibson, "Affordances and the Ecological Approach to Visual Perception," in Perceiving, Acting, and Knowing: Toward an Ecological Psychology, R. Shaw and J. Bransford, Eds. Hillsdale, NJ, USA: Lawrence Erlbaum Associates, 1977, pp. 67–82.
  14. M. Warschauer and D. Grimes, "Automated Writing Evaluation: A Critical Review," Journal of Technology, Learning, and Assessment, vol. 10, no. 1, pp. 1–30, 2012.
  15. C. Dede, "The Role of Digital Technologies in Deeper Learning," Students at the Center: Deeper Learning Research Series, Boston, MA, USA: Jobs for the Future, 2014.
  16. M. Fullan and J. Scott, Education in the Digital Age: How We Get There, Thousand Oaks, CA, USA: Corwin Press, 2021.
  17. A. T. Kurniawan, "Pendekatan Etnografi dalam Riset Pendidikan: Antara Paradigma dan Metodologi," Jurnal Penelitian Pendidikan, vol. 21, no. 1, pp. 11–25, 2021.
  18. L. B. Resnick, "Reflections on the Nature of Learning," Educational Researcher, vol. 38, no. 3, pp. 183–190, 2009.
  19. M. M. Bakhtin, The Dialogic Imagination: Four Essays, Austin, TX, USA: University of Texas Press, 1981.
  20. C. S. D’Mello and A. C. Graesser, "AutoTutor and Affective Learning: Analyzing Learner Emotions During AI-Mediated Tutoring," International Journal of Artificial Intelligence in Education, vol. 25, no. 2, pp. 98–112, 2015.
  21. M. Tan and Y. Lee, "AI and the Transformation of Collaborative Learning," Journal of Educational Technology & Society, vol. 23, no. 4, pp. 71–84, 2020.
  22. H. M. Chen, "Cultural Implications in AI-Assisted Language Learning," Language and Intercultural Communication, vol. 20, no. 5, pp. 499–516, 2020.
  23. R. H. Reeves and K. M. Lin, "Digital Fatigue and Resilience Among Young Learners," Computers & Education, vol. 175, pp. 104319, 2022.